Kegelapan sangat mencekam. Pohon-pohon tinggi menjuang seakan menyentuh langit, menyembunyikan segala cahaya yang ada dari pandangan. Tidak ada beda pagi dan malam di sini. Suhu udara yang naik turun dengan dratis tanpa dipredeksi membuat siapapun sulit beradaptasi. Tanah hitam yang selalu becek tidak pernah kering serta kabut tebal yang tidak pernah menghilang—pergunungan Knox yang terkutuk.
Lima orang ksatria duduk beristirahat mengelilingi api unggun kecil yang mereka nyalakan. Wajah mereka tetap penuh kewaspadaan. Jirah besi putih mereka yang indah penuh dengan darah hitam, baik yang telah kering maupun tidak, bukti mereka telah melewati banyak pertempuran sebelum ini."Terkutuklah Pergunungan Knox ini!!" salah satu kastria tersebut mengumpat. Dia adalah pria dengan badan paling besar dari semua yang ada. Rambut coklatnya yang panjang terikat rapi, dan mata hijaunya yang cemerlang penuh dengan kekesalan."Pergunungan ini memang terkutut, Harris." Balas seorang ksatria datar. Tidak seperti Harris yang berbadan besar, ksatria berambut coklat pendek dengan mata berwarna biru ini memiliki badan ramping yang tinggi."Aku tahu, Reis. Kau kira aku bodoh? Aku hanya ingin mengumpat saja!" penuh kejengkelan, Harris menatap Reis yang terlihat tidak peduli."Kau memang bodoh." Senyum Reis mengejek menatap Harris."Apa katamu??" teriak Harris penuh kemarahan."Bisakah kalian berdua tidak membuat keributan dalam kondisi ini, Harris, Reis," suara lembut seorang wanita terdengar. Dia adalah seorang ksatria wanita dalam rombongan. Rambut merah panjangnya tersanggup tinggi, dan mata hijaunya menatap Harris dan Reis tajam. "Simpan itu untuk nanti."Harris dan Reis diam membisu tidak mengucapkan apapun lagi begitu mendengar apa yang diucapkan Tiffa. Bagaimanapun juga, apa yang dikatakan ksatria wanita itu benar, bukan saatnya mereka membuat keributan."Dan juga, jaga sikap kalian di depan Yang Mulia." Lanjut Tiffa lagi.Baik Harris maupun Reis segera menoleh menatap seorang ksatria muda yang ada dalam rombongan mereka. Menundukkan kepala, mereka meminta maaf bersamaan. "Maafkan kami, Yang Mulia."Ksatria muda tersebut adalah seorang pria tampan dengan rambut pirang pendek bagaikan emas. Sepasang matanya berwarna biru seperti langit. Badannya sangat tinggi dan proposional. Seulas senyum bersahabat memenuhi wajahnya. "Tidak apa-apa. Aku justru akan merasa heran jika kalian berdua tidak berdebat.""Anda terlalu memaklumi mereka berdua, Yang Mulia," sela seorang ksatria wanita lagi. Dia memiliki rambut coklat yang dipotong pendek dengan mata berwarna biru, dan dialah yang memiliki badan paling kecil sekaligus paling muda dalam rombongan. "Makanya mereka berdua selalu kurang ajar seperti itu.""Diam kau, Nilla!" hardik Harris kesal sambil menatap tajam Nilla yang tidak peduli.Pria muda yang dipanggil Yang Mulia tertawa kecil melihat sikap para pengawal pribadinya yang wrada dalam kesatuan The Sun Order. Dia adalah seorang Kaisar dari Kekaisaran Heriors di benua Avelon ini, Sion Elvan Laphien."Tapi," ujar Nilla lagi sambil menghela napas. "Kenapa yang lainnya masih belum kembali? Mereka tidak mungkin tersesat, kan?""Kau kira yang memimpin mereka itu siapa?" tanya Reis menatap Nilla. Dia tersenyum mengejek sekali lagi, tapi kali ini untuk ksatria wanita termuda tersebut. "Kau kira Ketua Serphen itu Harris yang buta arah?""Hei!! Apa maksdumu Reis??" teriak Harris penuh kemarahan. Dia tidak mengatakan apapun, tapi kenapa namanya lagi-lagi disebut?Tiffa hanya dapat menghela napas melihat perdebatan yang kembali di mulai. Penuh keputusasaan, dia menatap Sion yang masih tersenyum dan tidak berniat sedikitpun menghentikan mereka. Namun, suara derap langkah kaki berlari beberapa orang kemudian di tangkap telinga mereka.Berdiri, baik Tiffa, Harris, Reis dan Nilla segera mencabut pedang mereka mengelilingi Sion. Penuh kewaspadan, mata mereka semua menatap sumber suara yang berada di depan mereka. Tidak ada seorangpun lagi yang bersuara di antara mereka. Mereka bisa melihat cahaya yang mendekat.Siapa yang datang? Monster? Binatang buas?—atau makhluk berbahaya lainnya?Dari dalam kegelapan dan kabut di depan, Sion dan yang lainnya kemudian melihat lima orang ksatria berlari mendekati mereka. Kelegaan memenuhi hati mereka saat menyadari bahwa itu adalah Serphen dan yang lainnya. Tapi, kelegaan itu tidak bertahan lama, sebab kondisi rekan mereka sekarang cukup mengejutkan."Serphen!!""Ketua!!"Berlari mendekati mereka, baik Sion dan yang lainnya dapat melihat jelas kondisi rekan mereka sekarang. Tubuh mereka penuh luka dan darah, dan yang paling parah adalah Alexis yang kehilangan lengan kanannya."Apa yang terjadi?!" tanya Harris panik. Serphen, Alexis, Thermis, Ophelia, George dan Reffa adalah ksatria pengawal langsung Kaisar Heriors. Mereka adalah ksatria elit dalam kesatuan The Sun Order yang kemampuannya telah diakui semua yang ada di Benua Avelon. Siapa yang sanggup melukai mereka separah ini?"Makhluk-makhluk yang tidak dikenal," jawab Serphen, sang ketua kesatuan The Sun Order. Dia adalah seorang pria paruh baya yang tinggi dengan rambut perak panjang. Ekspresi wajahnya sangat datar dan serius, mata birunya menatap ke belakang sejenak dan kemudian terarah pada Sion. "Kita harus segera meninggalkan tempat kita berada sekarang, Yang Mulia."Apa yang menyerang dirinya dan timnya barusan adalah makhluk yang tidak pernah dilihat ataupun didengarnya selama ini. Saat memasuki Pergunungan terkutuk Knox, Serphen sudah mempredeksi bahaya yang akan dihadapi, hanya saja, dia tidak pernah menyangka akan sebahaya ini. Pergunungan ini memang terkutuk sesuai namanya.Sion mengangguk tanpa bertanya lagi. Dia tidak tahu apa yang dihadapi Serphen dan yang lainnya, tapi dia tahu betapa bahaya keadaan mereka sekarang.Harris, Reis, Tiffa dan Nilla dengan sigap segera membantu mereka yang terluka. Harris segera mengaitkan lengan kiri Alexis ke bahunya. "Tahan, jangan sampai kehilangan kesadaran." ujarnya.Alexis tersenyum dengan wajahnya yang pucat pasi menahan sakit. Dia adalah seorang pria muda berusia awal dua puluh. Rambut merah pendek dan punggungnya basah karena keringat. Ophelia telah menghentikan pendarahannya, dan juga, dia telah meminum obat penahan sakit. Tapi, dia bisa merasa pandangan mata hijaunya mulai terasa berat. Dia tidak tahu sampai kapan dirinya bisa bertahan. "Maaf merepotkanmu.""Traktir aku bir setelah kita keluar dari pergunungan terkutuk ini." Balas Harris lagi. Tidak ada senyum di wajahnya yang serius, seakan dia ragu apakah mereka bisa meninggalkan tempat mereka berada sekarang dengan selamat."Baiklah." Tawa Alexis pelan. Dia berusaha terus tersenyum dan tertawa, sebab, dia tidak ingin membuat siapapun merasa iba dengan kondisinya. Kehilangan lengan sama saja dengan akhir dari karirnya sebagai seorang ksatria."Kehilangan tangan tidak berarti kehilangan jati diri kita sebagai kastria," ujar George tiba-tiba. Pria paruh baya berambut merah dan bermata biru yang memegang obor di tangannya bisa melihat eksresi wajah Alexis dengan jelas, dan dia tahu apa yang ada dalam pikiran pria muda tersebut. "Aku kehilangan kaki kananku saat berusia dua puluh lima tahun, tapi kini saat aku berusia empat puluh dua tahun, aku masih tetap seorang ksatria."George adalah seorang ksatria berkaki satu yang sangat terkenal. Dia kehilangan kaki kanannya saat bertugas. Namun meski begitu, dia tidak kehilangan karirnya sebagai seorang ksatria. Sangat berat dan penuh diskriminasi, tapi dia berhasil melatih dirinya bergerak seakan kaki pasak kayunya adalah kaki aslinya yang hilang.Alexis tersenyum dan tidak mengatakan apapun lagi. Dalam lubuk hati terdalamnya, dia berharap apa yang dikatakan George benar, dan dia tetap akan menjadi ksatria di ke depannya.Akrrr... Akrrrrr...Akrrr.... Akrrr...Akrrr... Akrrr...Suara-suara aneh seperti gumaman rendah manusia yang sahut menyahut terdengar di sekeliling mereka, membut bulu kuduk semua yang mendengarnya berdiri."Sialan!! Mereka sudah disini!!" Mencabut pedangnya, Reffa segera memasang kuda-kuda siap menyerang. Mata biru pria paruh baya tersebut menatap sekeliling penuh kewaspadaan.Semua yang ada juga segera mencabut pedang mereka. Bahkan Alexis yang terluka parah juga segera menjauh dari Harris dan mencabut pedangnya dengan tangan kirinya. Mereka menatap sekeliling penuh kewaspadaan seperti Reffa, terutama bagi Sion, Harris, Reis, Tiffa dan Nilla yang tidak tahu makhluk apa yang akan mereka hadapi.Api unggun yang tadinya dinyalakan oleh Sion dan yang lainnya menunggu kepulangan Serphen dan rekan mereka tiba-tiba padam. Membuat satu-satunya sumber cahaya yang mereka miliki sekarang adalah obor di tangan George.Suara gumaman aneh tersebut kemudian terhenti, membuat pergunungan terkutuk Knox menjadi sunyi. Namun, sedetik kemudian, suara tawa histeris yang mengerikan menggantikan. Suara tawa yang mirip sekali dengan suara tawa manusia namun sekaligus bukan.Hahahahaha!Hihihihi!Hahahaha!"Sialan, ada seberapa banyak mereka?!" penuh kemarahan, Thermis, ksatria wanita muda berkulit coklat manis mengumpat. Dia menatap sekeliling dengan mata kirinya, sebab mata kanannya tertutup penutup mata. Berambut perak panjang yang diikat satu, dia adalah ksatria bermata satu yang cukup terkenal."Mereka semakin banyak." Ophelia yang dari tadi diam membisu berujar pelan. Berambut pirang panjang dan bermata hijau cemerlang, dia adalah seorang wanita anggun berusia awal tiga puluh yang biasanya se
Serphen dan yang lainnya juga menyadari kehadiran sosok tersebut. Menatapnya, mereka tidak tahu apakah yang di samping mereka tersebut adalah manusia atau makhluk aneh lainnya. Sekilas, dia terlihat seperti manusia yang menggunakan jubah panjang berwarna hitam dengan kerudung yang menutupi kepalanya, dan juga, dua bola cahaya yang berputar di atasnya, mereka tahu itu adalah sihir. Penyihir, kah?Sosok misterius itu berjalan mendekat, dan para makhluk hitam yang ada seketika melompat ke belakang sambil menyeringai marah. Tapi, diam di tempat, mereka tidak menyerang membabi buta lagi seperti sebelumnya.Berhenti berjalan. Sosok misterius itu kemudian mengangkat tangan kanannya. Dari sekelilingnya, ratusan bola cahaya kecil bermunculan. Melayang terbang, bola cahaya tersebut menerangi kegelapan tempat mereka berada dengan jelas. Menekuk jari kelingking, manis dan tengahnya, sosok itu mengarahkan jari telunjuknya ke arah para makhluk-makhluk hitam yang semakin menyeringai penuh kemarahan,
Kwakk! Kwakk! Kwakk!Kwakk! Kwakk! Kwakk!Kwakk! Kwakk! Kwakk!Suara aneh mengerikan terdengar dari belakang mereka bersamaan dengan getaran hebat di tanah. Tidak melihatpun, Sion dan yang lainnya tahu, ada makhluk aneh yang mendekat. Dari suara dan getaran yang ada, jumlahnya juga sangat luar biasa.Tidak membuang waktu, Sion dan yang lainnya segera berlari mengejar sosok yang telah berlari di depan mereka terlebih dahulu. Apapun yang ada di belakang mereka sekarang, mereka tidak mau menghadapinya.Berlari terus tanpa melihat ke belakang, Sion dan pengawalnya bisa merasa jelas makhluk-makhluk di belakang mereka mengejar. Suara yang ada semakin kuat, begitu juga dengan getaran di tanah tempat mereka berpijak. Sosok misterius yang ada di depan mereka kemudian mengangkat tangan kanannya dan menunjuk sesuatu di depan.Menatap arah yang ditunjuk sosok tersebut, Sion dan yang lainnya kemudian melihat pintu sebuah gua. Pintu gua tersebut tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu kecil. A
Sion dan pengawalnya tidak tahu di mana mereka berada sekarang. Dunia di luar pintu gua yang mereka lihat bukanlah tempat yang mereka kenal. Cahaya matahari sore dan langit tetap sama, tetapi sekeliling mereka terasa sungguh aneh. Pohon-pohon yang ada sangat besar dan tua, bahkan banyak dari pohon, tumbuhan dan bunga yang mereka lalui adalah jenis tumbuhan yang tidak pernah mereka lihat selama ini. Udara yang ada juga sangat bersih dan segar. Tempat ini terasa seakan bukanlah lagi benua Avelon di mana mereka hidup.Berlari mengikuti pria berambut hitam bagaikan langit malam tersebut, Sion dan yang lainnya menatap lekat punggunya. Mereka yakin dia manusia, secara fisik, dia tidak berbeda dengan mereka. Kalaupun yang ada, perbedaannya terletak pada warna kulit putih bersih, garis-garis muka dan juga warna rambut serta mata."Alexis," memanggil Alexis yang ada di punggungnya, Harris menoleh menatap wajah pucat pasi rekannya tersebut. "Kau masih hidup, kan?"Alexis tertawa pelan mendengar
Alexis menggerakkan lengannya dan jari-jemarinya. Kedua matanya yang masih terbelalak sama sekali tidak dapat menyembunyikan perasaan takjud dan tidak percaya yang ada. Apakah dia sedang bermimpi? Bagaimana bisa lengannya yang telah putus dapat kembali?Menatap kembali wanita berambut hitam yang tersenyum kepadanya, Alexis tidak tahu harus berkata apa. Dia tahu dia harus mengucapkan terima kasih akan keajaiban yang diberikan padanya, tapi dia benar tidak dapat menemukan suaranya.Menggerakkan tangannya lagi, telapak tangan wanita berambut hitam itu terarah pada Alexis. Cahaya hangat kembali muncul dan menyembuhkan luka-luka lainnya yang ada. Badannya yang terasa berat menjadi ringan, dan meski tidak pulih seratus persen, dia tahu, dirinya telah selamat dari pintu kematian.Menatap terus wanita berambut hitam yang telah menyembuhkan seluruh lukanya, Alexis kemudian mengucapkan terima kasih dengan ekspresi tidak percaya yang masih belum menghilang di wajahnya. Suaranya bergetar pelan. "
"Aku benar-benar bisa melihat dengan sempurna!!" berseru penuh kebahagiaan, Thermis menatap Nilla yang sedari tadi terus mengamati mata kanannya."Bagaimana bisa?" gumam Nilla pelan. Sadar akan ucapannya yang bisa mengundang salah paham, dia segera menjelaskan. "Ah—maksudku, bagaimana bisa ada kekuatan penyembuh yang bisa menyembuhkan mata seseorang yang telah hancur lima tahun lalu?"Thermis mengangguk kepala, dia mengerti kebingungan Nilla, dan bahkan sesungguhnya dia juga tidak akan percaya dengan kemampuan tersebut jika tidak melihat dan mengalaminya sendiri.Menoleh menatap George yang sedang sparing dengan Reis dan Tiffa, Thermis tersenyum. Dia bisa melihat tawa di wajah George yang terus bergerak dengan cepat dan enerjik. Sepetinya, pria paruh baya tersebut juga sangat bahagia dengan apa yang terjadi padanya. "Tapi, aku tidak peduli. Kurasa George dan Alexis juga tidak peduli," tersenyum lagi, dia menoleh pada Alexis yang duduk tidak jauh darinya. "Benar, kan?"Alexis tertawa k
Duduk mengelilingi api unggun yang dinyalakan, Tiffa menarik selimut yang diberikan Yue kepadanya. Meski berada dalam tempat terbuka pada malam hari, dia tidak merasa kedinginan sedikitpun berkat selimut yang ternyata terbuat dari bulu Fire Bear.Fire Bear.Fire Bear adalah monster sihir besar yang sangat ditakuti banyak orang. Mereka disebut Fire Bear karena mereka bisa menggunkan sihir menyelubungi seluruh tubuh mereka dengan api yng sangat kuat. Mereka juga sangat kuat dan agresif, sekali mengamuk, akan dibutuhkan satu pasukan untuk mengehentikannya. Untungnya, Fire Bear memiliki habitat yang cukup jauh dari pemukiman manusia, mereka bahkan tergolong monster yang langkah. Bulu mereka sendiri bernilai sangat tinggi dan dicari banyak orang, sebab bulu tersebut adalah bahan baku utama untuk membuat Armor tahan akan api yang berkualitas tinggi. Karena itulah, Tiffa tidak mengerti, bagaimana Ling dan Yue memiliki bulu Fire Bear sebanyak ini dan diberikan pada mereka sebagai selimut.Men
Tidak ada yang aneh dalam sup daging buatan Ling. Masakannya sungguh enak. Dengan daging, kentang wortel serta sayuran yang banyak, satu mangkuk sudah cukup mengenyangkan perut Sion dan yang pengawalnya.Mengamati Ling dan Yue yang juga telah selesai makan, Sion melihat sepasang suami-istri itu sedang berbincang penuh senyum dengan Xing Xing yang tertidur pulas dalam pelukan sang ibu. Dia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi mereka terlihat sangat harmonis dan—dapat dipercaya. Bolehkah?—bisakah dia mempercayai mereka yang dia sendiri tidak yakin manusia atau bukan?"Yang Mulia," panggil Ophelia pelan. Dia mengerti sekali apa yang ada dalam pikiran Sion sekarang, sebab, bagaimanapun juga dia melihatnya tumbuh besar. "Hamba merasa, kita bisa meminta bantuan mereka."Sion dan yang lainnya menoleh menatap Ophelia. "Kenapa kau berkata seperti itu, Ophelia?" tanya Sion."Hamba merasa mereka dapat dipercayai." Jawab Ophelia. Kedua matanya menatap lurus Sion tanpa keraguan."Ophelia dan