Share

Chapter 1

Kegelapan sangat mencekam. Pohon-pohon tinggi menjuang seakan menyentuh langit, menyembunyikan segala cahaya yang ada dari pandangan. Tidak ada beda pagi dan malam di sini. Suhu udara yang naik turun dengan dratis tanpa dipredeksi membuat siapapun sulit beradaptasi. Tanah hitam yang selalu becek tidak pernah kering serta kabut tebal yang tidak pernah menghilang—pergunungan Knox yang terkutuk.

Lima orang ksatria duduk beristirahat mengelilingi api unggun kecil yang mereka nyalakan. Wajah mereka tetap penuh kewaspadaan. Jirah besi putih mereka yang indah penuh dengan darah hitam, baik yang telah kering maupun tidak, bukti mereka telah melewati banyak pertempuran sebelum ini.

"Terkutuklah Pergunungan Knox ini!!" salah satu kastria tersebut mengumpat. Dia adalah pria dengan badan paling besar dari semua yang ada. Rambut coklatnya yang panjang terikat rapi, dan mata hijaunya yang cemerlang penuh dengan kekesalan.

"Pergunungan ini memang terkutut, Harris." Balas seorang ksatria datar. Tidak seperti Harris yang berbadan besar, ksatria berambut coklat pendek dengan mata berwarna biru ini memiliki badan ramping yang tinggi.

"Aku tahu, Reis. Kau kira aku bodoh? Aku hanya ingin mengumpat saja!" penuh kejengkelan, Harris menatap Reis yang terlihat tidak peduli.

"Kau memang bodoh." Senyum Reis mengejek menatap Harris.

"Apa katamu??" teriak Harris penuh kemarahan.

"Bisakah kalian berdua tidak membuat keributan dalam kondisi ini, Harris, Reis," suara lembut seorang wanita terdengar. Dia adalah seorang ksatria wanita dalam rombongan. Rambut merah panjangnya tersanggup tinggi, dan mata hijaunya menatap Harris dan Reis tajam. "Simpan itu untuk nanti."

Harris dan Reis diam membisu tidak mengucapkan apapun lagi begitu mendengar apa yang diucapkan Tiffa. Bagaimanapun juga, apa yang dikatakan ksatria wanita itu benar, bukan saatnya mereka membuat keributan.

"Dan juga, jaga sikap kalian di depan Yang Mulia." Lanjut Tiffa lagi.

Baik Harris maupun Reis segera menoleh menatap seorang ksatria muda yang ada dalam rombongan mereka. Menundukkan kepala, mereka meminta maaf bersamaan. "Maafkan kami, Yang Mulia."

Ksatria muda tersebut adalah seorang pria tampan dengan rambut pirang pendek bagaikan emas. Sepasang matanya berwarna biru seperti langit. Badannya sangat tinggi dan proposional. Seulas senyum bersahabat memenuhi wajahnya. "Tidak apa-apa. Aku justru akan merasa heran jika kalian berdua tidak berdebat."

"Anda terlalu memaklumi mereka berdua, Yang Mulia," sela seorang ksatria wanita lagi. Dia memiliki rambut coklat yang dipotong pendek dengan mata berwarna biru, dan dialah yang memiliki badan paling kecil sekaligus paling muda dalam rombongan. "Makanya mereka berdua selalu kurang ajar seperti itu."

"Diam kau, Nilla!" hardik Harris kesal sambil menatap tajam Nilla yang tidak peduli.

Pria muda yang dipanggil Yang Mulia tertawa kecil melihat sikap para pengawal pribadinya yang wrada dalam kesatuan The Sun Order. Dia adalah seorang Kaisar dari Kekaisaran Heriors di benua Avelon ini, Sion Elvan Laphien.

"Tapi," ujar Nilla lagi sambil menghela napas. "Kenapa yang lainnya masih belum kembali? Mereka tidak mungkin tersesat, kan?"

"Kau kira yang memimpin mereka itu siapa?" tanya Reis menatap Nilla. Dia tersenyum mengejek sekali lagi, tapi kali ini untuk ksatria wanita termuda tersebut. "Kau kira Ketua Serphen itu Harris yang buta arah?"

"Hei!! Apa maksdumu Reis??" teriak Harris penuh kemarahan. Dia tidak mengatakan apapun, tapi kenapa namanya lagi-lagi disebut?

Tiffa hanya dapat menghela napas melihat perdebatan yang kembali di mulai. Penuh keputusasaan, dia menatap Sion yang masih tersenyum dan tidak berniat sedikitpun menghentikan mereka. Namun, suara derap langkah kaki berlari beberapa orang kemudian di tangkap telinga mereka.

Berdiri, baik Tiffa, Harris, Reis dan Nilla segera mencabut pedang mereka mengelilingi Sion. Penuh kewaspadan, mata mereka semua menatap sumber suara yang berada di depan mereka. Tidak ada seorangpun lagi yang bersuara di antara mereka. Mereka bisa melihat cahaya yang mendekat.

Siapa yang datang? Monster? Binatang buas?—atau makhluk berbahaya lainnya?

Dari dalam kegelapan dan kabut di depan, Sion dan yang lainnya kemudian melihat lima orang ksatria berlari mendekati mereka. Kelegaan memenuhi hati mereka saat menyadari bahwa itu adalah Serphen dan yang lainnya. Tapi, kelegaan itu tidak bertahan lama, sebab kondisi rekan mereka sekarang cukup mengejutkan.

"Serphen!!"

"Ketua!!"

Berlari mendekati mereka, baik Sion dan yang lainnya dapat melihat jelas kondisi rekan mereka sekarang. Tubuh mereka penuh luka dan darah, dan yang paling parah adalah Alexis yang kehilangan lengan kanannya.

"Apa yang terjadi?!" tanya Harris panik. Serphen, Alexis, Thermis, Ophelia, George dan Reffa adalah ksatria pengawal langsung Kaisar Heriors. Mereka adalah ksatria elit dalam kesatuan The Sun Order yang kemampuannya telah diakui semua yang ada di Benua Avelon. Siapa yang sanggup melukai mereka separah ini?

"Makhluk-makhluk yang tidak dikenal," jawab Serphen, sang ketua kesatuan The Sun Order. Dia adalah seorang pria paruh baya yang tinggi dengan rambut perak panjang. Ekspresi wajahnya sangat datar dan serius, mata birunya menatap ke belakang sejenak dan kemudian terarah pada Sion. "Kita harus segera meninggalkan tempat kita berada sekarang, Yang Mulia."

Apa yang menyerang dirinya dan timnya barusan adalah makhluk yang tidak pernah dilihat ataupun didengarnya selama ini. Saat memasuki Pergunungan terkutuk Knox, Serphen sudah mempredeksi bahaya yang akan dihadapi, hanya saja, dia tidak pernah menyangka akan sebahaya ini. Pergunungan ini memang terkutuk sesuai namanya.

Sion mengangguk tanpa bertanya lagi. Dia tidak tahu apa yang dihadapi Serphen dan yang lainnya, tapi dia tahu betapa bahaya keadaan mereka sekarang.

Harris, Reis, Tiffa dan Nilla dengan sigap segera membantu mereka yang terluka. Harris segera mengaitkan lengan kiri Alexis ke bahunya. "Tahan, jangan sampai kehilangan kesadaran." ujarnya.

Alexis tersenyum dengan wajahnya yang pucat pasi menahan sakit. Dia adalah seorang pria muda berusia awal dua puluh. Rambut merah pendek dan punggungnya basah karena keringat. Ophelia telah menghentikan pendarahannya, dan juga, dia telah meminum obat penahan sakit. Tapi, dia bisa merasa pandangan mata hijaunya mulai terasa berat. Dia tidak tahu sampai kapan dirinya bisa bertahan. "Maaf merepotkanmu."

"Traktir aku bir setelah kita keluar dari pergunungan terkutuk ini." Balas Harris lagi. Tidak ada senyum di wajahnya yang serius, seakan dia ragu apakah mereka bisa meninggalkan tempat mereka berada sekarang dengan selamat.

"Baiklah." Tawa Alexis pelan. Dia berusaha terus tersenyum dan tertawa, sebab, dia tidak ingin membuat siapapun merasa iba dengan kondisinya. Kehilangan lengan sama saja dengan akhir dari karirnya sebagai seorang ksatria.

"Kehilangan tangan tidak berarti kehilangan jati diri kita sebagai kastria," ujar George tiba-tiba. Pria paruh baya berambut merah dan bermata biru yang memegang obor di tangannya bisa melihat eksresi wajah Alexis dengan jelas, dan dia tahu apa yang ada dalam pikiran pria muda tersebut. "Aku kehilangan kaki kananku saat berusia dua puluh lima tahun, tapi kini saat aku berusia empat puluh dua tahun, aku masih tetap seorang ksatria."

George adalah seorang ksatria berkaki satu yang sangat terkenal. Dia kehilangan kaki kanannya saat bertugas. Namun meski begitu, dia tidak kehilangan karirnya sebagai seorang ksatria. Sangat berat dan penuh diskriminasi, tapi dia berhasil melatih dirinya bergerak seakan kaki pasak kayunya adalah kaki aslinya yang hilang.

Alexis tersenyum dan tidak mengatakan apapun lagi. Dalam lubuk hati terdalamnya, dia berharap apa yang dikatakan George benar, dan dia tetap akan menjadi ksatria di ke depannya.

Akrrr... Akrrrrr...

Akrrr.... Akrrr...

Akrrr... Akrrr...

Suara-suara aneh seperti gumaman rendah manusia yang sahut menyahut terdengar di sekeliling mereka, membut bulu kuduk semua yang mendengarnya berdiri.

"Sialan!! Mereka sudah disini!!" Mencabut pedangnya, Reffa segera memasang kuda-kuda siap menyerang. Mata biru pria paruh baya tersebut menatap sekeliling penuh kewaspadaan.

Semua yang ada juga segera mencabut pedang mereka. Bahkan Alexis yang terluka parah juga segera menjauh dari Harris dan mencabut pedangnya dengan tangan kirinya. Mereka menatap sekeliling penuh kewaspadaan seperti Reffa, terutama bagi Sion, Harris, Reis, Tiffa dan Nilla yang tidak tahu makhluk apa yang akan mereka hadapi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status