Share

Bab 6. Terobos Sajalah Orc

Aku pernah membunuh Orc beberapa menit yang lalu, tapi aku tidak yakin bisa melawannya sebanyak ini. Kalau benar Orc ini datang karena pedang Direnc, maka sepenuhnya ini kesalahanku.

Aku berlari melalui jalan memutar sambil menuntun Yasemin. Sebisa mungkin kami menghindari penglihatan para Orc.

Yasemin terengah-engah. "Arkan, aku gak kuat."

Aku membawa Yasemin bersembunyi di belakang rumah warga. "Sebentar lagi kita sampai di rumah Kakek tua itu."

Sebenarnya membawa Yasemin cukup berbahaya, tapi meninggalkannya tanpa perlindungan akan lebih berbahaya. Tidak ada tempat yang aman selagi desa sedang diserang.

Pasukan Orc begitu ganas dan kejam pantas saja Zarif juga memperlakukan mereka dengan cara yang kejam. Tangisan dan jeritan menjadi suara yang menghias malam yang kelam ini. Aku mengintip sebentar lalu berlari menuju rumah lain, dan begitu seterusnya hingga sampai tiba di rumah Bamsi.

Rumah Bamsi adalah tempat bengkel besi, di dalamnya banyak terdapat laki-laki kekar yang biasa mengangkat palu besar dan memukul besi panas. Aku pikir di situ lah tempat paling aman untuk saat ini. Sayangnya, ketika kami sampai rumah Bamsi sepenuhnya rumah itu tertutup. Seolah ada tulisan tidak menerima tamu, apalagi Orc bau.

Aku dan Yasemin berhasil sampai di belakang rumahnya. Aku mengetuk pintu pelan-pelan. "Pak Bamsi!" teriaku yang nyaris berbisik. Sebab aku tidak mau menarik perhatian Orc yang ada di depan rumah.

"Bagaimana," bisik Yasemin.

"Mereka mungkin belum mendengar," kataku.

Aku kembali mengetuk pintu lebih keras. "Pak Bamsi, ini Arkan dan Yasemin anak Aftal. Tolong buka!"

Kali ini satu Orc mulai curiga. Hidung babinya seperti mengendus bau kami. Dia berderap menuju rumah belakang Bamsi dengan wajah yang kegirangan seperti kera sedang kasmaran. Warna kulit Orc itu hijau kecoklatan nampak jelas ketika dia mendekati cahaya obor. Orc itu bersiaga dengan pedang panjang di tangannya.

Aku menarik Yasemin ke belakang memposisikan dirinya di balik punggungku. Sama seperti Orc itu. Aku bersiaga. "Bagaimana ini," Yasemin berbisik suaranya bergetar ketakutan.

"Jangan bersuara," kataku.

Orc sudah setengah jalan. Berjalan langkah demi langkah dengan hati-hati. Semakin lama semakin mendekat dan jantungku seperti hendak meledak.

"Tusuk, putar, cabut," kataku dalam hati mengingat tutorial membunuh Orc dengan mudah.

Orc semakin dekat, langkahnya nyaris tidak terdengar. Kini kami hanya terhalang oleh sudut dinding. Satu langkah lagi kami akan saling berhadapan. Aku menghitung mundur dalam hati mulai dari angka lima. Keringatku bercucuran dengan deras seperti aliran sungai. Saat hitunganku mencapai angka dua, tiba-tiba seseorang menarik tubuh kami ke dalam rumah.

"Nyaris saja," ujar orang yang menarikku dengan suara yang berat.

"Aku hampir membunuh Orc lagi," kataku.

"Jangan bercanda, bocah," kata Elric anak dari Bamsi. Dia lebih tua dariku sekitar tiga tahun. Seperti ayahnya, tubuhnya juga kekar.

"Terima kasih, Elric," ucap Yasemin penuh rasa syukur.

Elric tersenyum pada Yasemin sambil merapikan tatanan rambutnya yang cepak. "Bukan masalah," katanya nampak grogi. Setidaknya aku sudah tahu, kalau Elric memang sudah menyukai Yasemin sejak lama.

"Aku melihatmu dan bergegas menolong meski dilarang orang tuaku." Elric sedetik melirikku. "Tidak aku sangka ternyata Arkan juga ada." Dari nada suaranya laki-laki itu terkesan menyesal telah menolongku. "Ayo! Ikut aku!" lanjut laki-laki yang mengenakan baju dan kaos serba ketat.

Kami berdua mengikuti Elric ke tempat yang dia tuju. Sebuah tempat di lantai dua. Di sana berkumpul laki-laki kekar dengan palu besar dimasing-masing tangannya. Aku terasa sangat kecil berada di antara mereka.

Bamsi mondar-mandir di depan keempat temannya dan dia berhenti ketika kami tiba. "Elric, kau ceroboh sekali. Bagaimana kalau kita ketahuan?"

Elric mengerutkan keningnya. "Ayah, Yasemin seorang perempuan. Sangat berbahaya kalau dia di luar."

Satu pria kekar menghampiri kami. "Pantas saja Elric berani ambil resiko, gadis ini sangat cantik," katanya sambil berkedip ke arah Yasemin.

"Boran, jangan mulai lagi," balas Bamsi pada laki-laki itu.

Sementara Yasemin tersenyum canggung.

"Maaf Yasemin," ucap Bamsi. "Bukannya aku tega, tapi Orc-orc di luar begitu ganas, aku tidak mau ambil resiko kalau keluargaku di serang." Bamsi menoleh ke sebelah kanan, tempat istri dan anak-anaknya yang masih kecil.

"Aku mengerti, Pak Bamsi. Kami juga akan melakukan hal yang sama," jawab Yasemin.

"Kalian hanya berdua, di mana Aftar?" tanyanya.

"Ayah ...."

"Dia selamat," kataku memotong kalimat Yasemin.

"Syukurlah," jawab Pria tua yang rambut dan janggutnya berwarna ganda, hitam dan putih. "Jadi, kalian sengaja ke sini atau ...."

"Kami mencari pedang," kataku. "Pedang yang dijual pamanku tadi siang."

"Ped—"

Bamsi pasti mau berkata pedang namun terhenti dengan suara pintu yang di dobrak. "Sial," teriak Bamsi. "Semuanya siaga, ada yang membobol pintu!"

"Kita akan melawan?" tanyaku.

"Jangan bodoh," pekik Bemsi. "Jangan cari mati, kita sembunyi."

'Wow,' kataku dalam hati. Badan mereka besar, tangan mereka yang berotot bisa dengan mudah mengeprek kepala Orc menjadi hidangan daging penyet. Sayang sekali, nyali mereka tidak sebesar badan mereka.

"Elric! Antarkan Yasemin pada ibumu," suruh Bamsi.

Yasemin memegang tanganku. "Pergi saja," kataku.

"Hati-hati." Yasemin membalas sebelum pergi bersama Elric.

"Pak Bamsi, soal pedang," kataku.

Bamsi menaruh telunjuknya di depan mulutnya. "Sssttt!"

"Boleh saya ambil pedang itu?" Kali ini aku berbisik.

Bamsi memberi isyarat pada kami semua untuk pergi dengan pelan-pelan. Tentu saja, berjalan di atas lantai yang terbuat dari kayu sangat sulit untuk tidak membuat suara sedikit pun. "Soal pedang, kita bicara nanti."

"Tidak bisa," kataku. "Pedang itu sangat penting, bisa saja pedang itu adalah kunci dari semua kejadian ini."

Di lantai bawah terdengar lagi suara barang yang dibanting. Orc itu entah sedang kesal atau memang sekedar hobi mereka saja yang merusak barang-barang.

Bamsi mencengkram lenganku dan menariknya untuk bergerak lebih cepat. "Apa maksudmu? Di mana Aftal mendapatkan pedang itu?" bisiknya dengan pelan.

"Sebenarnya itu pedangku, aku menemukannya di hutan."

"Apa maksud kamu dengan kunci?"

"Orc itu mungkin datang untuk mencari pedang itu."

"Pedang karatan?" Bamsi menarik kerah bajuku. "Pedang apa itu sebenarnya? Kalau sampai keluargaku jadi korban gara-gara pedang itu aku akan membunuhmu."

"Kenapa kau tidak membunuh Orc itu saja? Aku yakin mereka akan mati kalau kalian menghantam kepalanya dengan palu besar itu." Aku menunjuk palu besar yang sejak tadi dibawa oleh masing-masing dari mereka.

"Kami bukan petarung, menyerang mereka akan membahayakan anak dan istri kami di dalam."

Kami sudah masuk ke sebuah ruangan. Bamsi menutup pintunya secara pelan-pelan. Aku tidak melihat Yasemin atau perempuan lainnya di ruangan ini, tapi aku melihat Elric.

"Di mana Yasemin?" tanyaku.

"Dia sudah aman," katanya sambil menunjuk dinding belakang.

Oke, Yasemin sudah aman, kecuali kalau Orc sudah menemukan tempat ini. Sebuah ide buruk terbesit dalam benakku. Aku menghampiri kembali Bamsi.

"Pak! Tolong beritahu aku di mana pedangnya."

"Kau sangat keras kepala," bisiknya.

"Aku akan keluar dari sini, menampakan diri pada Orc dengan begitu mereka tidak akan menyerang kalian."

"Jangan gila, bocah!"

"Pak Bamsi pasti tidak mau kalau keluarga Bapak jadi korban. Beri tahu aku di mana pedang itu dan aku akan mengambilnya sambil mengalihkan para Orc."

"Pedang itu berada di gudang senjata. Di lantai satu sebelah kanan." Bamsi melototiku. "Kau hanya akan mengantarkan nyawamu."

Aku harap Zarif benar. Pedang Direnc mampu menyelamatkan kami. Sebelum aku keluar aku menemui Elric. "Jaga Yasemin dengan nyawamu," ujarku.

Elric mengangguk kepala. "Pasti."

Aku keluar dan mengisyaratkan pintu agar langsung di tutup. Aku berlari menuju tangga yang dengan mudahnya mendapatkan perhatian dari para Orc yang tengah naik ke atas. Senyum mereka merekah dan tatapan mereka terlihat haus akan darah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status