Bentakan nyaring Tuan Wills mengundang perhatian para petani yang melintas, hendak membersihkan lahan pertanian mereka setelah panen.Mereka berhenti, tapi tidak ada yang berani mendekat. Mereka hanya tegak di luar pagar. Melayangkan pandangan iba pada Tuan Jaffan.Sesekali mata mereka melirik waspada pada dua pengawal pribadi Tuan Wills.Jika terjadi sesuatu yang buruk, mereka akan segera minggat sebelum dua lelaki beringas itu bertindak atas perintah Tuan Wills.Tuan Wills masih menadahkan tangan pada Tuan Jaffan."Cepaaat! Kau telah membuang waktu berhargaku!""Berapa utang ayahku?" Karel tak sanggup lagi berdiam diri, menyaksikan Tuan Wills menindas ayahnya sesuka hati."Oh, kau anak si tua bangka ini? Kenapa tidak bilang dari tadi?" Tuan Wills mengonfirmasi dengan nada mengejek dan tatapan menghina. Mengamati penampilan Karel dari ujung rambut hingga ke kaki."Sepertinya nasibmu tidak lebih baik dari ayahmu. Apa kau punya uang? Kalau hanya hendak menipuku dengan mengulur waktu, j
"Ayo ke Balai Desa. Biar Kepala Desa dan stafnya yang menjadi saksi."Tuan Wills bungkam, tapi wajahnya mengatakan dengan jelas bahwa ia keberatan dengan usul Karel."Kalau Anda keberatan, lupakan saja! Anda boleh meninggalkan tempat ini. Ayahku akan melunasi utangnya setelah panen."Tuan Wills menggeram. "Apa kau tidak membaca dengan teliti isi surat perjanjian yang ditandatangani oleh ayahmu, hah?"Karel tersenyum tipis. "Tuan Wills, Anda mungkin bisa membodohi ayahku, karena mata tuanya tak lagi awas. Tapi, aku masih dapat membaca dengan sangat jelas. Aku bahkan dapat mendeteksi kecurangan yang Anda lakukan pada dokumen ini."Karel mengangkat dokumen itu sejajar dengan wajahnya. "Jadi bagaimana? Ke Balai Desa? Atau Anda akan berurusan dengan polisi?"Tuan Wills tidak mau terlibat dengan penegak hukum. Bisa-bisa ia ditangkap lantaran membuka bisnis jasa peminjaman uang secara ilegal."Cepatlah! Jangan membuang waktuku!" tukas Tuan Wills dengan nada kesal. Ia berjalan meninggalkan pe
"Tuan Coleman," sela Karel, "Anda salah paham.""Salah paham bagaimana? Saya sudah membaca isi perjanjian yang ditandatangani oleh ayahmu. Kalian harus bersikap sportif. Kalian tak mampu membayar, jadi mau tidak mau, kalian harus merelakan aset itu kepada Tuan Wills.""Tuan Coleman, utang ayah saya menjadi utang saya juga. Apa ada di antara kami yang mengatakan bahwa kami tidak sanggup melunasinya?"Tuan Coleman terlihat bingung, tapi apa yang dikatakan Karel tak salah. Mereka tidak pernah menyatakan bahwa mereka tidak mampu membayar utang mereka pada Tuan Wills.Karel berkata tegas pada Tuan Wills, "Tuan Wills, di hadapan Kepala Desa, sekarang tolong katakan berapa total utang yang harus kami lunasi!""Tunggu, tunggu! Jadi ini bukan tentang pengalihan hak, tapi pelunasan utang?""Betul, Tuan Coleman," sahut Tuan Jaffan. "Putra saya yang akan melunasi semua utang saya pada Tuan Wills."Pengakuan polos Tuan Jaffan disambut dengan ledakan tawa dari bawahan Tuan Coleman yang ikut mengint
"Ya? Silakan bicara, Pak!"Lelaki itu menghela napas panjang sejenak. Lidahnya terasa berat untuk digerakkan."S–sebenarnya, s–saya tidak tega untuk menagih, t–tapi ... s–saya juga sedang kepepet. Cucu saya yang telah yatim sedang dirawat di Rumah Sakit."Saya butuh uang, tapi hasil panen saya tidak terlalu bagus. Uang yang saya dapatkan dari menjual hasil panen itu tidak cukup untuk melunasi biaya pengobatan cucu saya."Lelaki itu menyeka air matanya yang jatuh menitik. Terbayang tubuh lemah cucunya yang berusia delapan tahun tergolek menahan sakit, dengan aneka selang yang menempel pada tubuh kecilnya."Berapa uang Anda yang dipinjam oleh ayah saya, Pak?" Karel melihat ketulusan dalam nada bicara dan sorot mata lelaki itu. Ia merasa tersentuh."Tuan Jaffan meminjam sebanyak empat kali. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Kalau ditotal, itu sekitar tujuh ribu lima ratus dolar."Uang sebanyak itu tidak ada nilainya di mata orang kaya. Tapi bagi warga desa yang hidupnya pas-pasan, bahkan s
Karel tersedak."Apa maksud Ayah ingin mengembalikan semua uang itu?""Karel, aku tidak ingin membebanimu dengan tanggung jawab yang seharusnya menjadi kewajibanku."Aku tidak menyangka pergaulanmu begitu luas, hingga temanmu percaya untuk meminjamkan uang dalam jumlah besar."Terlepas apakah kita berutang pada teman atau saudara, utang tetaplah utang. Kita wajib membayar."Mereka bersedia memberi kita pinjaman bukan karena uang mereka berlebih. Bisa jadi mereka mengorbankan kebutuhan mereka hanya karena tak tega melihat kita teraniaya."Kita mesti pandai-pandai bersyukur dan berterima kasih dengan menunjukkan kesungguhan niat untuk membayar."Tolong sampaikan rasa terima kasihku yang mendalam pada temanmu itu. Katakan padanya, aku akan mencicil setelah panen nanti!"Karel tak bisa berkata-kata.Ayahnya mengira semua uang yang ia keluarkan untuk melunasi utang berasal dari pinjaman."Ayah ... kalau aku bilang uang itu bukan pinjaman, apa Ayah akan percaya padaku?"Cukup lama Tuan Jaffa
"Kalau aku mengatakan pekerjaanku yang sebenarnya, bisakah Ayah menyimpannya untuk diri sendiri?"Terus terang, aku merasa tidak nyaman jika orang-orang mengetahui identitasku. Nyawaku bisa saja terancam.""Hah! Segawat itu? Memangnya apa pekerjaanmu? Mata-mata?""Bukan, Ayah."Karel membisikkan sesuatu di telinga Tuan Jaffan. Membuat netra tua lelaki sepuh itu membeliak.Detik berikutnya, ia merangkul Karel. Tergugu haru."Aku bangga padamu, Nak! Tuhan telah menarikmu hingga mencapai puncak kesuksesan dengan cara-Nya.""Itu semua juga berkat doa-doa Ayah. Aku percaya Ayah tak pernah melupakanku, walaupun aku menghilang tanpa jejak."Aku selalu di hati Ayah, sama seperti diriku yang senantiasa menabur rindu untuk Ayah. Benar kan, Yah?"Tuan Jaffan mengangguk. Memang begitu kenyataannya. Di sepertiga akhir malam, ia selalu terjaga, bermunajat pada Sang Khalik untuk keselamatan putra semata wayangnya.Tak lelah ia menyemai harap akan sebuah perjumpaan dengan sang anak.Kini, setelah rat
Tuan Jaffan menggeleng. Tersenyum meyakinkan. "Tidak, Sayang. Kebahagiaanmu adalah hal terpenting dalam hidupku. Aku menikahimu bukan untuk membuatmu mencemaskan aku."Aku ingin membina keluarga kecil yang bahagia bersamamu. Sayang, maafkanlah suamimu yang tak peka ini! Aku terlalu sibuk mengejar dolar hingga mengabaikan perasaanmu."Nyonya Jaffan menanggapi permintaan maaf suaminya dengan menyatukan bibir mereka.Setelah lumatan penuh perasaan itu terhenti, Tuan Jaffan berkata, "Sayang, tabunganku mungkin belum cukup untuk membeli lahan dan membangun rumah impianmu.""Tidak apa. Kita bisa menggunakan sisa uang pembelian lahan dengan membangun rumah papan seadanya saja."Seminggu setelah mengundurkan diri dari pekerjaannya, Tuan Jaffan menjual apartemennya, lalu membeli lahan yang tidak terlalu luas di daerah subur. Harga lahan pertanian di daerah subur seperti itu sangat tinggi. Nyaris menghabiskan semua uang tabungan dan hasil penjualan apartemen miliknya.Uang yang tersisa hanya cu
Karel dan Tuan Jaffan terus hanyut dalam perasaan yang mengharu biru.Sementara di kediaman Tuan De Groot, lelaki berwajah sangar itu meraung. Melempar segala benda yang ada di atas meja kerjanya kepada si tanpa alis."Bodoh! Mengurus satu orang tua yang sudah lemah saja kau tak mampu. Untuk apa aku menggajimu, hah?!"Prang!Cangkir kopi di atas meja Tuan De Groot menghantam lantai akibat bantingan keras dari Tuan De Groot.Serpihannya ada yang melambung tinggi, menggores wajah si tanpa alis. Darah segar mengalir deras.Lelaki yang masih sangat lemah setelah menjadi bulan-bulanan Karel itu hanya bisa meringis menahan perih."M–maaf, Tuan. Lelaki tua itu dilindungi oleh seorang pemuda yang sedang berlibur. D–dia sangat kuat.""Pecundang! Kau dan anak buahmu tak mampu mengalahkan seorang pemuda yang sedang liburan? Apa kau banci?"Tok! Tok!Kemarahan Tuan De Groot terjeda karena mendengar suara ketukan pintu.Seorang lelaki berbadan kurus masuk dengan kepala menunduk."Maaf, Tuan! Saya