Hop!
Tuan De Groot melontarkan butir obat yang telah ia siapkan ke mulut Karel.Glek!Begitu teriakan Karel berhenti, pil hitam itu pun tertelan dan bersarang di perut Karel.Dalam hitungan detik, tubuh Karel terkulai lemas.Salah satu anak buah Tuan De Groot meraba nadi Karel, lalu menggeleng. Memberitahu Tuan De Groot bahwa detak nadi Karel tak lagi teraba."Buang dia ke hutan!"Tubuh Karel menggelinding jatuh setelah terlepas dari pegangan dua orang lelaki yang menahannya di bibir tebing.Entah berapa lama badan benyai Karel berguling-guling, hingga terhenti setelah membentur sebatang pohon yang tak terlalu besar.Suara burung hantu di tengah pekatnya malam menjadi tembang selamat datang bagi jiwa Karel yang berada di ambang kematian.Tes! Tes!Titik embun, yang menetes dari sehelai daun berujung runcing, menimpa bibir pucat Karel. Mencairkan darah yang telah mengering.Langkah seorang lelaki berseragam kaus tentara terhenti."Hei! Kenapa berhenti? Kita masih jauh dari tujuan," tegur rekannya yang berjalan di belakang.Dia menabrak punggung temannya itu lantaran berhenti mendadak.Lelaki berkulit gelap karena terbakar matahari itu merentangkan tangan kirinya, tak memberi akses kepada rekan di belakangnya untuk menyalip."Ada mayat!""Apa?" Lelaki dengan wajah berbentuk potongan intan mengintip dari pundak temannya. "Astaga! Ayo kita cek, Dave!""Tunggu dan jangan bergerak!" Dave terus menahan temannya."Apa lagi yang harus ditunggu? Menyelamatkan nyawa sesama itu penting!""Lihat ke depan, Mark!"Mark mengangkat pandangan. Ia ternganga. "Astaga! B–beruang?"Sepasang mata tajam dari makhluk berbulu hitam itu menatap buas kepadanya. Cepat-cepat Mark mengalihkan pandangan. Pantang terbesar saat berhadapan dengan seekor beruang adalah menatap matanya."C–cepat tembak dia, Dave!""Ssst! Tenanglah!"Sebagai tentara terlatih, Dave lebih mampu menguasai diri dengan baik.Beruang hitam itu berdiri tegak, bersikap waspada. Posisi makhluk itu dari tubuh yang tergeletak di tanah hanya beberapa meter lebih jauh dari rentang jarak Dave dan Mark.Jika mereka bergerak serempak, mungkin makhluk itu akan tiba lebih cepat dan mengoyak lelaki tak berdaya itu."Mark, siaga satu untuk membawa lari bocah malang itu!" ujar Dave. "Aku akan mengalihkan perhatian makhluk itu.""Tapi, Dave—""Apa kau mau kita semua mati di sini?" potong Dave. Tatapannya terus mengawasi beruang hitam itu. "Jangan pikirkan aku! Selesaikan saja tugasmu!""Apa yang akan kau lakukan?" Mark mengkhawatirkan keselamatan Dave.Dave membuka telapak tangannya yang terentang. "Serahkan padaku hasil buruan tadi!"Mark bergerak pelan menurunkan tas di punggungnya, lalu melepaskan ikatan kantong plastik berisi seekor ayam hutan yang telah mati."Manfaatkan waktumu dengan baik, Mark! Bawa dia ke camp! Aku akan menyusul nanti!"Selesai memberi instruksi pada Mark, Dave bergeser dengan gerakan yang sangat pelan dan hati-hati. Menghindari garis sejajar dengan sosok tubuh asing yang terbaring pucat.Perhatian beruang hitam itu kini terbagi. Kepalanya bergerak ke kanan, mengikuti langkah Dave. Kemudian, kembali lurus ke depan, memperhatikan seonggok daging segar di atas permukaan tanah dan juga Mark."Sekarang, Mark!" pekik Dave seraya melempar umpan di tangannya sejauh mungkin ke arah kanan beruang.Makhluk berbulu itu mendongak ketika mencium aroma darah yang menguar di udara. Hidungnya kembang kempis. Sedetik kemudian ia berlari ke arah bau amis darah tersebut.Mark melompat mendekati sosok Karel. Secepat kilat meraba nadi di pergelangan tangan Karel, lalu berpindah ke leher.Mengetahui Karel masih hidup, Mark membuang ransel di punggungnya. Menggantikan beban itu dengan tubuh Karel.Susah payah Mark menaikkan Karel ke atas punggungnya."Lari, Mark!"Teriakan Dave diikuti dengan letusan senjata.Beruang itu masih belum kenyang. Seekor ayam hutan mungil hanya mampu mengisi sebagian sudut kecil dari lambungnya, sehingga ia bergerak mendekati Dave.Mungkin ia pikir Dave masih memiliki lebih banyak stok makanan untuknya.Mark melesat meninggalkan tempat itu sambil menggendong Karel. Menerobos semak dan belukar tanpa memedulikan kulitnya yang tergores duri dan ranting."Profesor Jansen! Profesor Jansen! Tolooong!"Mark berlari masuk ke gua yang menjadi camp mereka dengan napas tersengal-sengal.Seorang lelaki paruh baya, dengan seragam putih khas dokter, keluar dari ceruk gua bersama seorang pria berkemeja warna army.Usia mereka terlihat tak jauh berbeda."Kami menemukan orang di tengah di hutan," lapor Mark. "Dia masih hidup, tapi nadinya sangat lemah.""Taruh dia di atas batu itu!" Sang profesor menunjuk sebuah batu ceper seukuran ranjang bujang."Mana Dave?" tanya lelaki berkemeja warna army."D–dia ... masih bertarung melawan beruang.""Apa?! Itu bahaya," seru lelaki itu. "Jay! Ben! Cepat susul Dave!""Siap, Instruktur!"Mark terlihat cemas. "Instruktur Lennon, beruang itu sangat besar!""Bawa amunisi obat bius lebih banyak!"Setelah Jay dan Ben pergi, Instruktur Lennon dan Mark mengelilingi Karel."Luka-luka di tubuhnya bukan akibat serangan beruang. Apa yang terjadi padanya?" tanya Profesor Jansen sambil membuka kancing baju Karel."Bukan?" Instruktur Lennon ikut memeriksa kondisi Karel.
"Profesor, aku akan kembali menjelajahi hutan!" beritahu Mark."Tapi Mark ... bagaimana kalau Profesor Jansen membutuhkan tenagamu untuk merawat pemuda itu?" protes Instruktur Lennon. "Jay dan Ben telah menyusul Dave. Tetaplah di sini!""Beruang itu sangat ganas, Instruktur. Tak masalah jika Dave baik-baik sebelum Jay dan Ben menemukannya, tapi bagaimana kalau dia terluka menjelang mereka tiba?""Ini salahku. Aku tidak pernah berpikir kita akan menghadapi situasi seperti ini. Kalau tahu, aku akan membawa murid lebih banyak," keluh Profesor Jansen. "Pergilah, Mark! Aku bisa menangani anak ini sendiri.""Tapi Profesor—""Instruktur Lennon, mereka mungkin akan lebih membutuhkan bantuan Mark daripada aku."Profesor Jansen membutuhkan tanaman herbal tertentu untuk penelitian. Oleh karena itu, Mark dan Dave harus bergerak cepat untuk menemukannya.Akan tetapi, jika dihadapkan pada pilihan antara menyelamatkan nyawa orang lain dan ambisi pribadinya, Profesor Jansen lebih memilih untuk mengor
Dua bulan telah berlalu sejak perkenalan Karel dengan Profesor Jansen dan orang-orangnya.Kini ia sibuk beradu laga dengan Instruktur Lennon. Mengembalikan kebugaran tubuh dan membentuk ototnya.Instruktur Lennon meninggalkan arena latihan. Membiarkan Karel mengasah kemampuan bertarungnya seorang diri.Ia ikut duduk di samping Profesor Jansen, yang sedari tadi setia menonton Karel mengikuti sesi latihan."Pemuda malang itu benar-benar seperti pinang dibelah dua dengan putra Anda, Prof!" komentar Instruktur Lennon sambil menyeka peluh di lengannya dengan sehelai handuk kecil.Tatapannya tak lepas dari memandangi sosok Karel yang sedang berlatih bela diri tanpa mengenal lelah.Anak itu bahkan tak peduli dengan sebagian lukanya yang belum sembuh total."Ayo tinggalkan hutan sunyi ini dalam waktu tiga hari!"Sungguh percakapan dua arah dengan saluran yang berbeda."Kenapa mendadak sekali?" Instruktur Lennon mengernyit."Anak itu harus kembali ke bangku kuliah!""Apa?! Yang benar saja, Pro
Mark kaget. Ia sangat terobsesi dengan perburuan tanaman herbal, tapi kini Profesor Jansen mengajak mereka semua untuk pulang."Yaaah, padahal aku mulai jatuh cinta pada kemisteriusan hutan ini," keluh Dave, sama kecewanya dengan Mark."Dia harus melanjutkan hidup dan kembali ke kampus," tegas Profesor Jansen, melirik Karel yang masih sibuk berlatih bela diri."Karena dia?" Mark dan Dave kehabisan kata untuk mendebat Profesor Jansen.Di tengah area bersih yang tak begitu luas, Karel seperti orang kesetanan memukuli Mok Yan Jong.Pukulan demi pukulan seakan merupakan pelampiasan dari kemarahannya yang terpendam.Semakin jelas bayang wajah Tuan De Groot bercokol pada puncak Mok Yan Jong itu, bertambah besar pula tenaga yang ia kerahkan pada pukulannya."Hiyaaa!"Tanpa diduga, seseorang menyergap Karel dari belakang.Bugh!"Aaakh!"Karel menggaruk kepalanya setelah sang penyergap mendarat di tanah. Rasa bersalah menggulung jiwanya melihat Dave terkapar."Maaf! Aku tidak tahu itu kau." Ka
"Aku berubah pikiran, Mark!" tegas Profesor Jansen. "Karel harus mempersiapkan masa depannya. Ben juga membutuhkan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut."Semua mata tertuju pada kaki Ben. Lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu mendapatkan cedera yang lumayan parah saat berhadapan dengan beruang demi menyelamatkan Dave. Jalannya sekarang sedikit pincang.Karel mendekati Ben, meremas pundaknya dengan hangat. "Aku tidak akan melupakan pengorbananmu, Ben. Kalau bukan karena Dave dan Mark ingin menyelamatkan nyawaku, kau tidak akan menjadi cacat."Utang emas bisa diganti, tapi utang budi dibawa mati. Seumur hidup ia berutang nyawa pada murid Profesor Jansen dan Instruktur Lennon.Karel telah membuat dan menyimpan catatan khusus dalam hatinya. Enam orang pria yang saat ini bersamanya adalah orang-orang penting yang akan menjadi prioritas hidupnya kelak.Tak peduli sesibuk apa pun dia setelah sukses nanti, dia akan selalu meluangkan waktu jika ada di antara mereka yang membutuhkan bantuanny
"Tempat apa ini, Ayah?"Karel mengedarkan pandangan, menyapu setiap sudut ruang bawah tanah kediaman Profesor Jansen dengan rasa ingin tahu tingkat dewa."Ini laboratorium pribadiku. Tempat di mana aku melakukan berbagai penelitian rahasia dan mengembangkan penemuan baru.""Pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.""Memang, tapi hasilnya sebanding dengan keuntungan dan kepuasan yang akan kau dapatkan jika penelitianmu berhasil."Profesor Jansen terus menggiring Karel ke sudut yang lain. Memasuki sebuah ruangan yang lebih kecil.Begitu Profesor Jansen menekan tombol remot di genggamannya, tirai yang menggantung di tengah ruangan terangkat. Tampak sebuah peti kaca.Sesosok tubuh terbaring kaku di dalam kotak kaca itu. Berselimutkan gumpalan kabut putih.Bagai ditarik oleh sebuah magnet berkekuatan besar, kaki Karel bergerak maju.Ia mengucek mata berulang kali setelah melihat rupa sosok yang terbujur kaku itu."A–Ayah, s–siapa dia? K–kenapa d–dia sangat mirip denganku?"Kerongkongan
Pasak bumi kokoh menjulang di kejauhan. Memamerkan puncak runcing yang mulai berselimut kabut musim semi.Terik mentari perlahan kehilangan kegarangannya seiring dengan jarak senja yang kian mendekat.Tok! Tok!Pintu kamar Karel diketuk hati-hati, seakan si pengetuk merasa takut suara ketukannya akan mengganggu sang penghuni kamar."Masuk!"Karel berteriak tanpa mengalihkan pandangan dari keyboard macbook, di mana jemarinya masih terbuai dengan tarian sibuk.Pintu kamar itu tak dikunci. Seorang lelaki berusia awal tiga puluhan melangkah masuk. Ia langsung duduk di atas sofa yang berada di sisi kiri Karel. Meletakkan berkas yang dibawanya di atas meja."Kepulanganmu membuatku terlihat buruk," keluh lelaki itu, menyilangkan kaki sembari bersandar, seakan-akan pundaknya berisi beban berat.Karel menjauhkan tangannya dari keyboard. "Aku tahu kau sangat sibuk. Aku tidak ingin mengganggumu.""Cih, seperti orang lain saja!" Lelaki itu menurunkan kakinya, duduk lurus. "Karel, tak peduli hujan
Di pengujung senja yang bertabur gerimis, Xela pulang dari menikmati liburan bersama teman-temannya. Merayakan kelulusan sekaligus bersiap menyambut status baru sebagai mahasiswa."Anak kurang ajar!" umpat Tuan De Groot, menyeret dengan kasar lengan Xela begitu gadis itu menginjakkan kaki di ruang tamu."Akh! Ayah, sakit!""Kau pantas mendapatkan siksa yang lebih pedih dari ini! Kau mencoreng wajahku!"Plak!Tamparan Tuan De Groot meninggalkan cap lima jari pada pipi Xela yang berkulit cerah, juga jejak luka pada hatinya yang berdenyut perih."A–apa salahku, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?""Kau! Masih tidak mengetahui kesalahanmu, hah?!" Tuan De Groot melotot geram. "Aku mengizinkanmu pergi dengan teman-temanmu untuk menikmati liburan, tapi apa yang kau lakukan, hah?! Kau menikah dengan laki-laki tak berguna!"Xela merasakan suhu di ruangan itu turun ke titik minus. Membuat tubuhnya menggigil dan aliran darahnya membeku. Lidahnya mendadak kelu.Tuan De Groot terus menyeret Xela. Mening