Mark berlari masuk ke gua yang menjadi camp mereka dengan napas tersengal-sengal.
Seorang lelaki paruh baya, dengan seragam putih khas dokter, keluar dari ceruk gua bersama seorang pria berkemeja warna army.Usia mereka terlihat tak jauh berbeda."Kami menemukan orang di tengah di hutan," lapor Mark. "Dia masih hidup, tapi nadinya sangat lemah.""Taruh dia di atas batu itu!" Sang profesor menunjuk sebuah batu ceper seukuran ranjang bujang."Mana Dave?" tanya lelaki berkemeja warna army."D–dia ... masih bertarung melawan beruang.""Apa?! Itu bahaya," seru lelaki itu. "Jay! Ben! Cepat susul Dave!""Siap, Instruktur!"Mark terlihat cemas. "Instruktur Lennon, beruang itu sangat besar!""Bawa amunisi obat bius lebih banyak!"Setelah Jay dan Ben pergi, Instruktur Lennon dan Mark mengelilingi Karel."Luka-luka di tubuhnya bukan akibat serangan beruang. Apa yang terjadi padanya?" tanya Profesor Jansen sambil membuka kancing baju Karel."Bukan?" Instruktur Lennon ikut memeriksa kondisi Karel.Melihat pemandangan penuh darah di depan mata, Mark menghilang, kemudian kembali dengan membawa sebaskom air hangat. Ia menaruh baskom berisi air itu di samping kaki Karel."God! Siapa yang tega menyiksa manusia sekejam ini?!" tanya sang profesor dengan napas tertahan.Sejenak Instruktur Lennon kembali memindai sekujur tubuh Karel dan mengamatinya lekat."Anak ini korban kekerasan karena kebencian.""Instruktur Lennon, Anda memiliki mata yang sangat tajam! Kukira dia korban perampokan.""Profesor Jansen, aku terbiasa melihat tubuh yang berdarah-darah. Tidak seperti ini siksa yang diterima seseorang jika dia hanya dirampok."Lagi pula, rampok mana yang beraksi di tengah hutan yang jarang dimasuki orang, kecuali peneliti gila seperti Anda?"Ini lebih serius dari kelihatannya. Siapa pun yang menyiksa anak ini, orang itu ingin dia mati, atau paling tidak, cacat seumur hidup.""Kejam! Sungguh kejam!" gumam Profesor Jansen. Ia bahkan tidak tersinggung dikatai sebagai peneliti gila oleh Instruktur Lennon. "Mark, tolong bersihkan anak ini! Utamakan bagian tangannya lebih dulu!"Melihat luka menganga pada punggung tangan kanan Karel, Mark memilih membersihkan tangan kiri. Begitu tangan kiri Karel tak lagi menyisakan noda darah, Profesor Jansen segera memasang jarum IV.Hampir satu jam Mark berkutat dengan waslap dan air hangat. Menghilangkan jejak gumpalan darah kering dari setiap goresan luka di badan Karel."Selesai, Prof!" lapor Mark, membiarkan Karel tanpa ditutupi sehelai benang, kecuali pada bagian yang memalukan untuk dilihat umum.Profesor Jansen memeriksa kondisi kesehatan Karel dengan teliti sekali lagi. Ia mengernyit."Ada apa, Prof?" tanya Instruktur Lennon."Ini membingungkan! Dia menerima siksaan kejam, tapi anak malang ini juga mendapatkan setitik harapan hidup."Baiklah, aku akan mengabulkan harapan yang terakhir itu."Profesor Jansen melakukan tindakan khusus terhadap Karel. Dia mulai memasukkan cairan penetral racun."Dia juga diracun?" Mata Instruktur Lennon menyipit.Ia membungkuk, meraih jemari Karel, lalu mengamati kukunya. Kuku Karel tampak menghitam."Sadis! Orang itu tidak cukup hanya dengan menyiksanya, tapi juga meracuninya," geram Instruktur Lennon. "Anak ini terlihat polos. Apa dosanya hingga mendapat siksa begini kejam?""Instruktur Lennon, apa Anda lupa? Sebagian orang justru merasa ketakutan saat bertemu dengan orang-orang polos."Anak ini kelihatannya juga keras kepala. Kepolosan dan sikap keras kepala merupakan perpaduan kepribadian yang membahayakan bagi orang-orang yang berjiwa gelap."Membiarkan anak seperti ini di sekitar mereka, sama saja dengan melempar bumerang. Suatu saat kepolosan anak ini akan mencelakai diri mereka.""Masuk akal!"Profesor Jansen tak lagi mengoceh. Konsentrasinya terpusat untuk menjahit luka-luka Karel yang cukup lebar dan dalam.Setelah mengobati pasien dadakannya, Profesor Jansen menyeka peluh."Apa dia akan baik-baik saja, Prof?" tanya Mark, satu-satunya murid yang dibawa Profesor Jansen untuk membantunya melakukan penelitian."Racun yang masuk ke tubuhnya bukan hanya jenis racun pelumpuh saraf, tapi juga pelemah organ vital. Jika tidak ditangani tepat waktu, dia akan mengucapkan selamat tinggal pada dunia, tapi racun jenis ini bisa juga menjadi jalan untuk menyelamatkan seseorang.""Menyelamatkan bagaimana, Prof? Yang namanya racun, bukankah bersifat membunuh?"Pengetahuan Mark belum sampai pada kedalaman ilmu sang profesor."Dalam hitungan detik setelah mengonsumsi racun ini, reaksi yang muncul pada jantung sama seperti bersin. Jantung akan berhenti berdetak. Orang-orang jahat itu akan mengira dia sudah mati, lalu menyingkirkannya."Mark manggut-manggut. Sekarang ia paham kenapa sosok pemuda itu dibuang ke hutan. Komplotan penjahat itu pasti mengira dia sudah mati dan mereka ingin menghilangkan jejak.Profesor Jansen menghela napas panjang. "Aku tidak tahu sudah berapa lama racun itu mengendap di tubuhnya, tapi ... mari sama-sama berdoa semoga usaha kita untuk menyelamatkan nyawanya belum terlambat.""Profesor, aku akan kembali menjelajahi hutan!" beritahu Mark."Tapi Mark ... bagaimana kalau Profesor Jansen membutuhkan tenagamu untuk merawat pemuda itu?" protes Instruktur Lennon. "Jay dan Ben telah menyusul Dave. Tetaplah di sini!""Beruang itu sangat ganas, Instruktur. Tak masalah jika Dave baik-baik sebelum Jay dan Ben menemukannya, tapi bagaimana kalau dia terluka menjelang mereka tiba?""Ini salahku. Aku tidak pernah berpikir kita akan menghadapi situasi seperti ini. Kalau tahu, aku akan membawa murid lebih banyak," keluh Profesor Jansen. "Pergilah, Mark! Aku bisa menangani anak ini sendiri.""Tapi Profesor—""Instruktur Lennon, mereka mungkin akan lebih membutuhkan bantuan Mark daripada aku."Profesor Jansen membutuhkan tanaman herbal tertentu untuk penelitian. Oleh karena itu, Mark dan Dave harus bergerak cepat untuk menemukannya.Akan tetapi, jika dihadapkan pada pilihan antara menyelamatkan nyawa orang lain dan ambisi pribadinya, Profesor Jansen lebih memilih untuk mengor
Dua bulan telah berlalu sejak perkenalan Karel dengan Profesor Jansen dan orang-orangnya.Kini ia sibuk beradu laga dengan Instruktur Lennon. Mengembalikan kebugaran tubuh dan membentuk ototnya.Instruktur Lennon meninggalkan arena latihan. Membiarkan Karel mengasah kemampuan bertarungnya seorang diri.Ia ikut duduk di samping Profesor Jansen, yang sedari tadi setia menonton Karel mengikuti sesi latihan."Pemuda malang itu benar-benar seperti pinang dibelah dua dengan putra Anda, Prof!" komentar Instruktur Lennon sambil menyeka peluh di lengannya dengan sehelai handuk kecil.Tatapannya tak lepas dari memandangi sosok Karel yang sedang berlatih bela diri tanpa mengenal lelah.Anak itu bahkan tak peduli dengan sebagian lukanya yang belum sembuh total."Ayo tinggalkan hutan sunyi ini dalam waktu tiga hari!"Sungguh percakapan dua arah dengan saluran yang berbeda."Kenapa mendadak sekali?" Instruktur Lennon mengernyit."Anak itu harus kembali ke bangku kuliah!""Apa?! Yang benar saja, Pro
Mark kaget. Ia sangat terobsesi dengan perburuan tanaman herbal, tapi kini Profesor Jansen mengajak mereka semua untuk pulang."Yaaah, padahal aku mulai jatuh cinta pada kemisteriusan hutan ini," keluh Dave, sama kecewanya dengan Mark."Dia harus melanjutkan hidup dan kembali ke kampus," tegas Profesor Jansen, melirik Karel yang masih sibuk berlatih bela diri."Karena dia?" Mark dan Dave kehabisan kata untuk mendebat Profesor Jansen.Di tengah area bersih yang tak begitu luas, Karel seperti orang kesetanan memukuli Mok Yan Jong.Pukulan demi pukulan seakan merupakan pelampiasan dari kemarahannya yang terpendam.Semakin jelas bayang wajah Tuan De Groot bercokol pada puncak Mok Yan Jong itu, bertambah besar pula tenaga yang ia kerahkan pada pukulannya."Hiyaaa!"Tanpa diduga, seseorang menyergap Karel dari belakang.Bugh!"Aaakh!"Karel menggaruk kepalanya setelah sang penyergap mendarat di tanah. Rasa bersalah menggulung jiwanya melihat Dave terkapar."Maaf! Aku tidak tahu itu kau." Ka
"Aku berubah pikiran, Mark!" tegas Profesor Jansen. "Karel harus mempersiapkan masa depannya. Ben juga membutuhkan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut."Semua mata tertuju pada kaki Ben. Lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu mendapatkan cedera yang lumayan parah saat berhadapan dengan beruang demi menyelamatkan Dave. Jalannya sekarang sedikit pincang.Karel mendekati Ben, meremas pundaknya dengan hangat. "Aku tidak akan melupakan pengorbananmu, Ben. Kalau bukan karena Dave dan Mark ingin menyelamatkan nyawaku, kau tidak akan menjadi cacat."Utang emas bisa diganti, tapi utang budi dibawa mati. Seumur hidup ia berutang nyawa pada murid Profesor Jansen dan Instruktur Lennon.Karel telah membuat dan menyimpan catatan khusus dalam hatinya. Enam orang pria yang saat ini bersamanya adalah orang-orang penting yang akan menjadi prioritas hidupnya kelak.Tak peduli sesibuk apa pun dia setelah sukses nanti, dia akan selalu meluangkan waktu jika ada di antara mereka yang membutuhkan bantuanny
"Tempat apa ini, Ayah?"Karel mengedarkan pandangan, menyapu setiap sudut ruang bawah tanah kediaman Profesor Jansen dengan rasa ingin tahu tingkat dewa."Ini laboratorium pribadiku. Tempat di mana aku melakukan berbagai penelitian rahasia dan mengembangkan penemuan baru.""Pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.""Memang, tapi hasilnya sebanding dengan keuntungan dan kepuasan yang akan kau dapatkan jika penelitianmu berhasil."Profesor Jansen terus menggiring Karel ke sudut yang lain. Memasuki sebuah ruangan yang lebih kecil.Begitu Profesor Jansen menekan tombol remot di genggamannya, tirai yang menggantung di tengah ruangan terangkat. Tampak sebuah peti kaca.Sesosok tubuh terbaring kaku di dalam kotak kaca itu. Berselimutkan gumpalan kabut putih.Bagai ditarik oleh sebuah magnet berkekuatan besar, kaki Karel bergerak maju.Ia mengucek mata berulang kali setelah melihat rupa sosok yang terbujur kaku itu."A–Ayah, s–siapa dia? K–kenapa d–dia sangat mirip denganku?"Kerongkongan
Pasak bumi kokoh menjulang di kejauhan. Memamerkan puncak runcing yang mulai berselimut kabut musim semi.Terik mentari perlahan kehilangan kegarangannya seiring dengan jarak senja yang kian mendekat.Tok! Tok!Pintu kamar Karel diketuk hati-hati, seakan si pengetuk merasa takut suara ketukannya akan mengganggu sang penghuni kamar."Masuk!"Karel berteriak tanpa mengalihkan pandangan dari keyboard macbook, di mana jemarinya masih terbuai dengan tarian sibuk.Pintu kamar itu tak dikunci. Seorang lelaki berusia awal tiga puluhan melangkah masuk. Ia langsung duduk di atas sofa yang berada di sisi kiri Karel. Meletakkan berkas yang dibawanya di atas meja."Kepulanganmu membuatku terlihat buruk," keluh lelaki itu, menyilangkan kaki sembari bersandar, seakan-akan pundaknya berisi beban berat.Karel menjauhkan tangannya dari keyboard. "Aku tahu kau sangat sibuk. Aku tidak ingin mengganggumu.""Cih, seperti orang lain saja!" Lelaki itu menurunkan kakinya, duduk lurus. "Karel, tak peduli hujan
Di pengujung senja yang bertabur gerimis, Xela pulang dari menikmati liburan bersama teman-temannya. Merayakan kelulusan sekaligus bersiap menyambut status baru sebagai mahasiswa."Anak kurang ajar!" umpat Tuan De Groot, menyeret dengan kasar lengan Xela begitu gadis itu menginjakkan kaki di ruang tamu."Akh! Ayah, sakit!""Kau pantas mendapatkan siksa yang lebih pedih dari ini! Kau mencoreng wajahku!"Plak!Tamparan Tuan De Groot meninggalkan cap lima jari pada pipi Xela yang berkulit cerah, juga jejak luka pada hatinya yang berdenyut perih."A–apa salahku, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?""Kau! Masih tidak mengetahui kesalahanmu, hah?!" Tuan De Groot melotot geram. "Aku mengizinkanmu pergi dengan teman-temanmu untuk menikmati liburan, tapi apa yang kau lakukan, hah?! Kau menikah dengan laki-laki tak berguna!"Xela merasakan suhu di ruangan itu turun ke titik minus. Membuat tubuhnya menggigil dan aliran darahnya membeku. Lidahnya mendadak kelu.Tuan De Groot terus menyeret Xela. Mening
"Tuan, ada mobil yang mengikuti kita dari tadi," lapor sopir yang mengendarai kendaraan milik Tuan De Groot.Sorot matanya beriak cemas, melirik spion samping berulang kali."Kau pikir ini jalan pribadiku?" sentak Tuan De Groot, merasa kesal lantaran niatnya untuk memejamkan mata terganggu."Tapi ini mencurigakan, Tuan. Saya telah mengedipkan lampu dan menepi agar mereka bisa mendahului, tapi mereka justru memperlambat setelah berhasil menyejajari kendaraan kita.""John, kau berpikir terlalu jauh. Apa ini untuk pertama kalinya kau menempuh perjalanan jarak jauh?"Sebagai sopir, bukankah seharusnya kau tahu bahwa lebih baik mengurangi kecepatan daripada mengambil risiko beradu kambing dengan lawan dari arah depan?"Sudahlah! Berkendara saja dengan baik! Jangan ganggu aku! Aku ingin istirahat!"Ckiiit!John membanting setir ke kiri dan menginjak pedal rem dengan kuat."John! Kau ingin mati, hah?!"Tuan De Groot meledak. Baru saja ia berpesan pada sang sopir untuk membiarkannya beristira