Share

Bab 3

Mark berlari masuk ke gua yang menjadi camp mereka dengan napas tersengal-sengal.

Seorang lelaki paruh baya, dengan seragam putih khas dokter, keluar dari ceruk gua bersama seorang pria berkemeja warna army.

Usia mereka terlihat tak jauh berbeda.

"Kami menemukan orang di tengah di hutan," lapor Mark. "Dia masih hidup, tapi nadinya sangat lemah."

"Taruh dia di atas batu itu!" Sang profesor menunjuk sebuah batu ceper seukuran ranjang bujang.

"Mana Dave?" tanya lelaki berkemeja warna army.

"D–dia ... masih bertarung melawan beruang."

"Apa?! Itu bahaya," seru lelaki itu. "Jay! Ben! Cepat susul Dave!"

"Siap, Instruktur!"

Mark terlihat cemas. "Instruktur Lennon, beruang itu sangat besar!"

"Bawa amunisi obat bius lebih banyak!"

Setelah Jay dan Ben pergi, Instruktur Lennon dan Mark mengelilingi Karel.

"Luka-luka di tubuhnya bukan akibat serangan beruang. Apa yang terjadi padanya?" tanya Profesor Jansen sambil membuka kancing baju Karel.

"Bukan?" Instruktur Lennon ikut memeriksa kondisi Karel.

Melihat pemandangan penuh darah di depan mata, Mark menghilang, kemudian kembali dengan membawa sebaskom air hangat. Ia menaruh baskom berisi air itu di samping kaki Karel.

"God! Siapa yang tega menyiksa manusia sekejam ini?!" tanya sang profesor dengan napas tertahan.

Sejenak Instruktur Lennon kembali memindai sekujur tubuh Karel dan mengamatinya lekat.

"Anak ini korban kekerasan karena kebencian."

"Instruktur Lennon, Anda memiliki mata yang sangat tajam! Kukira dia korban perampokan."

"Profesor Jansen, aku terbiasa melihat tubuh yang berdarah-darah. Tidak seperti ini siksa yang diterima seseorang jika dia hanya dirampok.

"Lagi pula, rampok mana yang beraksi di tengah hutan yang jarang dimasuki orang, kecuali peneliti gila seperti Anda?

"Ini lebih serius dari kelihatannya. Siapa pun yang menyiksa anak ini, orang itu ingin dia mati, atau paling tidak, cacat seumur hidup."

"Kejam! Sungguh kejam!" gumam Profesor Jansen. Ia bahkan tidak tersinggung dikatai sebagai peneliti gila oleh Instruktur Lennon. "Mark, tolong bersihkan anak ini! Utamakan bagian tangannya lebih dulu!"

Melihat luka menganga pada punggung tangan kanan Karel, Mark memilih membersihkan tangan kiri. Begitu tangan kiri Karel tak lagi menyisakan noda darah, Profesor Jansen segera memasang jarum IV.

Hampir satu jam Mark berkutat dengan waslap dan air hangat. Menghilangkan jejak gumpalan darah kering dari setiap goresan luka di badan Karel.

"Selesai, Prof!" lapor Mark, membiarkan Karel tanpa ditutupi sehelai benang, kecuali pada bagian yang memalukan untuk dilihat umum.

Profesor Jansen memeriksa kondisi kesehatan Karel dengan teliti sekali lagi. Ia mengernyit.

"Ada apa, Prof?" tanya Instruktur Lennon.

"Ini membingungkan! Dia menerima siksaan kejam, tapi anak malang ini juga mendapatkan setitik harapan hidup.

"Baiklah, aku akan mengabulkan harapan yang terakhir itu."

Profesor Jansen melakukan tindakan khusus terhadap Karel. Dia mulai memasukkan cairan penetral racun.

"Dia juga diracun?" Mata Instruktur Lennon menyipit.

Ia membungkuk, meraih jemari Karel, lalu mengamati kukunya. Kuku Karel tampak menghitam.

"Sadis! Orang itu tidak cukup hanya dengan menyiksanya, tapi juga meracuninya," geram Instruktur Lennon. "Anak ini terlihat polos. Apa dosanya hingga mendapat siksa begini kejam?"

"Instruktur Lennon, apa Anda lupa? Sebagian orang justru merasa ketakutan saat bertemu dengan orang-orang polos.

"Anak ini kelihatannya juga keras kepala. Kepolosan dan sikap keras kepala merupakan perpaduan kepribadian yang membahayakan bagi orang-orang yang berjiwa gelap.

"Membiarkan anak seperti ini di sekitar mereka, sama saja dengan melempar bumerang. Suatu saat kepolosan anak ini akan mencelakai diri mereka."

"Masuk akal!"

Profesor Jansen tak lagi mengoceh. Konsentrasinya terpusat untuk menjahit luka-luka Karel yang cukup lebar dan dalam.

Setelah mengobati pasien dadakannya, Profesor Jansen menyeka peluh.

"Apa dia akan baik-baik saja, Prof?" tanya Mark, satu-satunya murid yang dibawa Profesor Jansen untuk membantunya melakukan penelitian.

"Racun yang masuk ke tubuhnya bukan hanya jenis racun pelumpuh saraf, tapi juga pelemah organ vital. Jika tidak ditangani tepat waktu, dia akan mengucapkan selamat tinggal pada dunia, tapi racun jenis ini bisa juga menjadi jalan untuk menyelamatkan seseorang."

"Menyelamatkan bagaimana, Prof? Yang namanya racun, bukankah bersifat membunuh?"

Pengetahuan Mark belum sampai pada kedalaman ilmu sang profesor.

"Dalam hitungan detik setelah mengonsumsi racun ini, reaksi yang muncul pada jantung sama seperti bersin. Jantung akan berhenti berdetak. Orang-orang jahat itu akan mengira dia sudah mati, lalu menyingkirkannya."

Mark manggut-manggut. Sekarang ia paham kenapa sosok pemuda itu dibuang ke hutan. Komplotan penjahat itu pasti mengira dia sudah mati dan mereka ingin menghilangkan jejak.

Profesor Jansen menghela napas panjang. "Aku tidak tahu sudah berapa lama racun itu mengendap di tubuhnya, tapi ... mari sama-sama berdoa semoga usaha kita untuk menyelamatkan nyawanya belum terlambat."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status