Apa? Komplotan pencuri?Karel dan Kevin sama-sama mengerutkan kening. Tak percaya ada orang asing yang begitu berani menuduh mereka sebagai komplotan pencuri.Polisi yang terlihat dua tahun lebih tua dari Kevin dan Karel tercenung sejenak saat melihat wajah Kevin.Ia merasa tidak asing dengan wajah tampan itu. Selama beberapa detik ia berpikir keras, mengingat sosok yang tegak diam di depannya itu, tetapi tak ada kilas ingatan yang muncul di kepalanya."Pak! Ayo! Tangkap mereka!" Wanita bawel itu mendesak sang polisi untuk meringkus Karel dan Kevin."Anda siapa, Nona?" tanya Kevin. Nada suaranya terdengar tidak ramah. "Tiba-tiba masuk ke pekarangan rumah orang, lalu seenaknya memerintah polisi untuk menangkap kami. Apa rumah ini milik Anda?"Tak menyangka Kevin akan menyerang balik dirinya, wanita itu murka."Hei, Bung! Anda tidak punya hak untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini. Aku atau bukan, apa untungnya bagi Anda?"Wanita itu menelanjangi Kevin dengan tatapan garang. "Cih, pena
Sungguh wanita yang sangat keras kepala!Polisi muda itu baru saja akan membuka mulut ketika Kevin menyela, "Sudahlah, Pak. Percuma saja menjelaskan kepada orang yang berkepala batu. Kami lelah dan butuh istirahat.""Oh, silakan, Tuan!" Polisi itu merasa sungkan. Ia menyerahkan kembali kartu milik Kevin. "Maaf telah mengganggu kenyamanan Anda.""Tidak apa! Anda hanya menjalankan tugas."Karel dan Kevin berbalik, mulai mengayun langkah menuju rumah.Wanita itu berlari mengejar, lalu mengadang langkah mereka dengan merentangkan kedua tangan."Berhenti! Selama masih ada aku di sini, kalian tidak akan bisa masuk ke rumah itu!"Karel menghela napas panjang dan dalam. Ia terlalu lelah bila harus berhadapan lagi dengan orang seperti wanita itu.Cukup sudah ia bermain-main dengan anak buah Tuan De Groot. Sekarang ia butuh istirahat sebelum mempersiapkan rencana untuk hari esok."Menyingkirlah, Nona! Aku ingin istirahat di rumah sendiri. Kenapa kau terus menghalangi dan membuat keributan?" Kare
"Aku akan tinggal di sini malam ini, tapi aku pulang dulu. Aku mau mandi dan ganti baju.""Sebaiknya kau bawa kunci cadangan!" saran Karel, sebelum Kevin mengayun langkah untuk berlalu dari ruangan itu.Kevin terlihat berpikir sejenak, kemudian memisahkan satu kunci dari atas meja dan mengantonginya."Mau kubawakan makan malam?" tawarnya."Tidak usah.""Oh, oke."Sepeninggal Kevin, Karel turun ke ruang bawah tanah, di mana laboratorium pribadinya berada.Menyusuri lorong serba putih, Karel akhirnya berhenti di hadapan sebuah lukisan sesosok pria muda—Karel J. yang asli.Karel menarik telinga kiri dalam lukisan itu. Seketika terdengar desing halus dari pintu rahasia yang berputar.Sebuah terowongan terbentang di depan mata Karel. Dinding lorong itu juga dipenuhi dengan lukisan potret Karel di kedua sisi.Sisi kiri dihiasi dengan wajah Karel J. yang merupakan putra kandung Profesor Jansen. Pada dinding lorong sebelah kanan, berjajar potret dirinya saat masih berstatus sebagai mahasiswa
Sebuah pukulan keras menghantam meja bagian depan toko. Buah melon yang berada di atas meja itu jatuh berserakan. Menggelinding menuju halaman.Lelaki paruh baya itu berlari meninggalkan Karel."Apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian merusak barang daganganku?" tanya lelaki itu dengan kemarahan yang tertahan."Heh, Allen! Kau sudah tahu alasannya, tapi masih bertanya kenapa, hah?!" Lelaki bertato sepasang capit pada lengan kanannya membentak. "Aah, kau pasti sudah pikun. Sejak sebulan yang lalu kami telah menyampaikan niat tuan kami. Apa keputusanmu hari ini?""Ini satu-satunya toko yang kumiliki dan mata pencarianku. Aku tidak akan pernah menjualnya kepada tuanmu!"Cuih!Lelaki bertato capit itu meludah marah."Tua bangka tak tahu diri! Masih untung kami berbicara baik-baik padamu. Kau memang tak bisa dikasih hati. Baiklah! Tampaknya kau lebih suka cara kekerasan!"Lelaki itu mengode dua orang anak buahnya. Keduanya segera bergerak. Menghancurkan sayur dan buah dagangan Allen."Berhe
"Keluar dari toko ini! Ayo bertarung satu lawan satu!" tantang anak buah si tato capit.Karel memuji keberanian lelaki itu dalam hati."Kau jual, aku beli!"Karel menyusul lelaki itu keluar, tetapi Allen mencekal lengannya."Hentikan, Nak! Melawan kekerasan dengan cara yang sama hanya akan membuatmu celaka. Biarkan dia pergi!"Karel berpikir sejenak. Allen benar. Ia tidak harus menanggapi tantangan anak buah si tato capit.Bisa jadi itu hanya sebuah akal bulus untuk menjauhkannya dari Allen.Mempertimbangkan kemungkinan si tato capit mencabut pisau dan menyerang Allen, Karel memilih mundur. Berjongkok di hadapan si tato capit."Siapa pun tuanmu, toko ini tidak akan pernah menjadi miliknya! Paham?!"Cuih!Si tato capit meludahi Karel."Aku belum kalah! Aku akan mengingat dengan baik penghinaanmu ini dan melaporkannya pada Capit Baja. Mereka tidak akan melepaskanmu!""Kau bawahan Capit Baja?" Karel ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar."Iya. Kenapa? Apa kau merasa takut? Bertulu
Di Distrik Penna, kata polisi selalu menjadi momok yang menakutkan bagi orang biasa.Sekali seseorang berurusan dengan polisi karena tindak kriminal, sanksi sosial akan memberikan hukuman yang lebih kejam.Masyarakat yang mendiami Distrik Penna—terutama di daerah pedesaan dan para orang tua—percaya bahwa pelaku kriminal yang ditahan polisi merupakan manusia berhati iblis.Orang-orang seperti itu harus dihindari dan tak layak untuk dikasihani.Kesempatan kedua hanya milik mereka yang benar-benar teraniaya dan menjadi korban fitnah.Nyali si tato capit menciut. Ia lebih rela kehilangan uang daripada harus menerima sanksi sosial setelah bebas dari kantor polisi."B–baik. A–aku akan membayarnya." Si tato capit mengeluarkan ponsel. "Mana nomor rekeningnya?""Pindai saja!" Allen menyodorkan kode QR.Setelah semua urusan keuangan antara si tato capit dan Allen selesai, Karel menyadarkan anak buah lelaki itu dari pingsannya."Bawa mereka pergi dari sini dan jangan pernah kembali lagi!"Membab
"Weis, habis shopping nih?" sambut Kevin setibanya Karel di ruang tengah rumah besarnya. Entah sejak kapan Kevin kembali ke rumah itu.Tanpa malu-malu Kevin langsung menyambar kantong keresek yang dibawa Karel."Eh, cuma buah? Mana yang lain? Hayooo ...." Kevin menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Ekspresi wajahnya terlihat konyol."Kau boleh makan buah itu sepuasnya. Aku mau mandi.""Hah? Mandi lagi? Memangnya apa yang kau—"Sambil berlalu, Karel menyumpal mulut Kevin dengan setangkai anggur. Memotong pertanyaan konyol yang mungkin akan membuat kuping Karel memerah.Fuih! Fuih!Kevin meludahkan sisa-sisa tangkai anggur yang mengotori mulutnya.Detik berikutnya ia membawa buah itu ke dapur. Mencucinya hingga bersih.Ia duduk santai sambil menikmati buah, menunggu Karel turun dari lantai atas.Setelah tiga puluh menit waktu berlalu, Karel bergabung dengan Kevin. Ikut mencicipi sebutir anggur."Kau serius tidak mau mengambil alih pimpinan perusahaan? Jangan sampai menyesal lo. Aku sih s
Karel memasang masker, lalu turun dari mobil Kevin, tepat di depan gerbang Rumah Sakit."Bro!"Panggilan Kevin memaksa Karel untuk berbalik. Menanti apa yang akan dikatakan Kevin selanjutnya."Beli mobil! Itu akan memudahkan gerakmu!""Lihat bagaimana nanti!"Karel meninggalkan Kevin. Sahabatnya itu menggeleng sembari mendecih, tapi ia masa bodoh.Ia sudah menduga Kevin akan menyarankan hal seperti itu. Nanti saja memikirkannya. Sekarang ia harus selekasnya menemui seseorang.Lift membawa Karel untuk terus naik hingga ke lantai tujuh belas. Matanya bergerak liar, membaca setiap ruangan.Tiba di depan sebuah pintu yang bertuliskan wakil direktur, Karel mengetuk."Masuk!"Karel memenuhi undangan sang pemilik ruangan.Seorang lelaki berusia awal lima puluhan langsung bangkit dari tempat duduknya. Tersenyum menyongsong kehadiran Karel."Selamat pagi, Dokter Smith!" sapa Karel, mengulurkan tangan untuk menyalami lelaki itu."Dokter J!" seru Dokter Smith. "Saya senang Anda akhirnya bersedia