Share

Bab 7

"Aku berubah pikiran, Mark!" tegas Profesor Jansen. "Karel harus mempersiapkan masa depannya. Ben juga membutuhkan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut."

Semua mata tertuju pada kaki Ben. Lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu mendapatkan cedera yang lumayan parah saat berhadapan dengan beruang demi menyelamatkan Dave. Jalannya sekarang sedikit pincang.

Karel mendekati Ben, meremas pundaknya dengan hangat. "Aku tidak akan melupakan pengorbananmu, Ben. Kalau bukan karena Dave dan Mark ingin menyelamatkan nyawaku, kau tidak akan menjadi cacat."

Utang emas bisa diganti, tapi utang budi dibawa mati. Seumur hidup ia berutang nyawa pada murid Profesor Jansen dan Instruktur Lennon.

Karel telah membuat dan menyimpan catatan khusus dalam hatinya. Enam orang pria yang saat ini bersamanya adalah orang-orang penting yang akan menjadi prioritas hidupnya kelak.

Tak peduli sesibuk apa pun dia setelah sukses nanti, dia akan selalu meluangkan waktu jika ada di antara mereka yang membutuhkan bantuannya.

Mereka telah menjadi keluarganya sekarang dan keluarga adalah prioritas utama.

"Tidak, Karel. Kakiku cacat bukan karenamu. Apa yang menimpaku mutlak merupakan takdir Tuhan. Jangan merasa bersalah!"

"Tapi ... bagaimana kalau kau dipecat dari kesatuanmu?"

"Apa yang harus kutakutkan? Rezeki bisa datang dari pintu mana saja. Jika satu pintu ditutup, maka pintu lainnya akan terbuka.

"Aku bisa saja dipecat dari ketentaraan, tapi aku masih bisa membuka usaha. Lagi pula, aku rasa Instruktur Lennon juga tidak akan membuangku."

"Membuangmu? Itu tidak mungkin, Ben! Kau salah satu tenaga andalanku. Yang kubutuhkan adalah otak dan kecerdasanmu."

Ben tersenyum lebar. "Kau dengar, Karel? Selama otakku masih sehat, aku tidak akan pernah menjadi pengangguran, Hahaha."

Karel menatap punggung orang-orang yang berjalan mendahuluinya, keluar dari gua. Ingatannya merekam setiap gerakan mereka agar nanti ia tetap dapat mengenali dari belakang ataupun dari cara mereka berjalan. Bahkan, dalam gelap dan mode penyamaran sekalipun.

Tiga jam lebih mereka menempuh perjalanan melalui jalan setapak dan meretas semak belukar. Sebuah desa kecil di kaki gunung mulai terlihat.

Profesor Jansen beserta rombongannya mendatangi sebuah villa. Berbasa-basi sejenak dengan sang pemilik, kemudian pamit.

Jay menjadi sopir untuk mereka, kembali ke kota.

"Kita langsung ke Bandara saja, Jay!"

"Siap, Prof!"

Setelah penerbangam lebih dari tujuh jam, Karel menginjakkan kaki di Bandara Schiphol. Sebuah negara asing yang tak pernah terlintas dalam mimpinya.

Ia berasal dari sebuah desa kecil yang tak terlihat dalam peta dunia. Namun, berkat pertemuannya dengan Profesor Jansen, ia dapat mencicipi pengalaman hidup yang luar biasa.

Pergaulan benar-benar mendatangkan rezeki. Semakin luas pergaulan, kian banyak pula pintu rezeki yang terbuka.

"Ayo masuk!" ajak Profesor Jansen.

Setelah berpisah dengan rombongannya di Bandara tadi, Profesor Jansen memilih untuk langsung pulang.

"I–iya."

Panggilan Profesor Jansen menyadarkan Karel yang masih melongo melihat rumah bergaya arsitektur Eropa kuno.

Rumah itu dipercantik dengan tanaman rambat yang menjalari dinding. Warna hijau serta kuntum-kuntum kecil perpaduan merah dan pink menyegarkan mata. Asri.

Karel mengekori langkah Profesor Jansen menuju lantai atas.

"Ini kamarmu," kata Profesor Jansen, berhenti pada sebuah pintu yang dicat dengan warna putih daisy.

"T–terima kasih, A–Ayah!"

"Hei, kau tak perlu gugup begitu, apalagi sampai menangis!" kelakar Profesor Jansen saat dilihatnya Karel mengusap mata dengan jari.

"A–aku tidak menangis. Aku hanya terharu."

Tanpa diduga, Profesor Jansen mendekap Karel. "Istirahatlah! Besok pagi aku akan mengajakmu ke suatu tempat."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status