"Aku berubah pikiran, Mark!" tegas Profesor Jansen. "Karel harus mempersiapkan masa depannya. Ben juga membutuhkan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut."
Semua mata tertuju pada kaki Ben. Lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu mendapatkan cedera yang lumayan parah saat berhadapan dengan beruang demi menyelamatkan Dave. Jalannya sekarang sedikit pincang.Karel mendekati Ben, meremas pundaknya dengan hangat. "Aku tidak akan melupakan pengorbananmu, Ben. Kalau bukan karena Dave dan Mark ingin menyelamatkan nyawaku, kau tidak akan menjadi cacat."Utang emas bisa diganti, tapi utang budi dibawa mati. Seumur hidup ia berutang nyawa pada murid Profesor Jansen dan Instruktur Lennon.Karel telah membuat dan menyimpan catatan khusus dalam hatinya. Enam orang pria yang saat ini bersamanya adalah orang-orang penting yang akan menjadi prioritas hidupnya kelak.Tak peduli sesibuk apa pun dia setelah sukses nanti, dia akan selalu meluangkan waktu jika ada di antara mereka yang membutuhkan bantuannya.Mereka telah menjadi keluarganya sekarang dan keluarga adalah prioritas utama."Tidak, Karel. Kakiku cacat bukan karenamu. Apa yang menimpaku mutlak merupakan takdir Tuhan. Jangan merasa bersalah!""Tapi ... bagaimana kalau kau dipecat dari kesatuanmu?""Apa yang harus kutakutkan? Rezeki bisa datang dari pintu mana saja. Jika satu pintu ditutup, maka pintu lainnya akan terbuka."Aku bisa saja dipecat dari ketentaraan, tapi aku masih bisa membuka usaha. Lagi pula, aku rasa Instruktur Lennon juga tidak akan membuangku.""Membuangmu? Itu tidak mungkin, Ben! Kau salah satu tenaga andalanku. Yang kubutuhkan adalah otak dan kecerdasanmu."Ben tersenyum lebar. "Kau dengar, Karel? Selama otakku masih sehat, aku tidak akan pernah menjadi pengangguran, Hahaha."Karel menatap punggung orang-orang yang berjalan mendahuluinya, keluar dari gua. Ingatannya merekam setiap gerakan mereka agar nanti ia tetap dapat mengenali dari belakang ataupun dari cara mereka berjalan. Bahkan, dalam gelap dan mode penyamaran sekalipun.Tiga jam lebih mereka menempuh perjalanan melalui jalan setapak dan meretas semak belukar. Sebuah desa kecil di kaki gunung mulai terlihat.Profesor Jansen beserta rombongannya mendatangi sebuah villa. Berbasa-basi sejenak dengan sang pemilik, kemudian pamit.Jay menjadi sopir untuk mereka, kembali ke kota."Kita langsung ke Bandara saja, Jay!""Siap, Prof!"Setelah penerbangam lebih dari tujuh jam, Karel menginjakkan kaki di Bandara Schiphol. Sebuah negara asing yang tak pernah terlintas dalam mimpinya.Ia berasal dari sebuah desa kecil yang tak terlihat dalam peta dunia. Namun, berkat pertemuannya dengan Profesor Jansen, ia dapat mencicipi pengalaman hidup yang luar biasa.Pergaulan benar-benar mendatangkan rezeki. Semakin luas pergaulan, kian banyak pula pintu rezeki yang terbuka."Ayo masuk!" ajak Profesor Jansen.Setelah berpisah dengan rombongannya di Bandara tadi, Profesor Jansen memilih untuk langsung pulang."I–iya."Panggilan Profesor Jansen menyadarkan Karel yang masih melongo melihat rumah bergaya arsitektur Eropa kuno.Rumah itu dipercantik dengan tanaman rambat yang menjalari dinding. Warna hijau serta kuntum-kuntum kecil perpaduan merah dan pink menyegarkan mata. Asri.Karel mengekori langkah Profesor Jansen menuju lantai atas."Ini kamarmu," kata Profesor Jansen, berhenti pada sebuah pintu yang dicat dengan warna putih daisy."T–terima kasih, A–Ayah!""Hei, kau tak perlu gugup begitu, apalagi sampai menangis!" kelakar Profesor Jansen saat dilihatnya Karel mengusap mata dengan jari."A–aku tidak menangis. Aku hanya terharu."Tanpa diduga, Profesor Jansen mendekap Karel. "Istirahatlah! Besok pagi aku akan mengajakmu ke suatu tempat.""Tempat apa ini, Ayah?"Karel mengedarkan pandangan, menyapu setiap sudut ruang bawah tanah kediaman Profesor Jansen dengan rasa ingin tahu tingkat dewa."Ini laboratorium pribadiku. Tempat di mana aku melakukan berbagai penelitian rahasia dan mengembangkan penemuan baru.""Pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.""Memang, tapi hasilnya sebanding dengan keuntungan dan kepuasan yang akan kau dapatkan jika penelitianmu berhasil."Profesor Jansen terus menggiring Karel ke sudut yang lain. Memasuki sebuah ruangan yang lebih kecil.Begitu Profesor Jansen menekan tombol remot di genggamannya, tirai yang menggantung di tengah ruangan terangkat. Tampak sebuah peti kaca.Sesosok tubuh terbaring kaku di dalam kotak kaca itu. Berselimutkan gumpalan kabut putih.Bagai ditarik oleh sebuah magnet berkekuatan besar, kaki Karel bergerak maju.Ia mengucek mata berulang kali setelah melihat rupa sosok yang terbujur kaku itu."A–Ayah, s–siapa dia? K–kenapa d–dia sangat mirip denganku?"Kerongkongan
Pasak bumi kokoh menjulang di kejauhan. Memamerkan puncak runcing yang mulai berselimut kabut musim semi.Terik mentari perlahan kehilangan kegarangannya seiring dengan jarak senja yang kian mendekat.Tok! Tok!Pintu kamar Karel diketuk hati-hati, seakan si pengetuk merasa takut suara ketukannya akan mengganggu sang penghuni kamar."Masuk!"Karel berteriak tanpa mengalihkan pandangan dari keyboard macbook, di mana jemarinya masih terbuai dengan tarian sibuk.Pintu kamar itu tak dikunci. Seorang lelaki berusia awal tiga puluhan melangkah masuk. Ia langsung duduk di atas sofa yang berada di sisi kiri Karel. Meletakkan berkas yang dibawanya di atas meja."Kepulanganmu membuatku terlihat buruk," keluh lelaki itu, menyilangkan kaki sembari bersandar, seakan-akan pundaknya berisi beban berat.Karel menjauhkan tangannya dari keyboard. "Aku tahu kau sangat sibuk. Aku tidak ingin mengganggumu.""Cih, seperti orang lain saja!" Lelaki itu menurunkan kakinya, duduk lurus. "Karel, tak peduli hujan
Di pengujung senja yang bertabur gerimis, Xela pulang dari menikmati liburan bersama teman-temannya. Merayakan kelulusan sekaligus bersiap menyambut status baru sebagai mahasiswa."Anak kurang ajar!" umpat Tuan De Groot, menyeret dengan kasar lengan Xela begitu gadis itu menginjakkan kaki di ruang tamu."Akh! Ayah, sakit!""Kau pantas mendapatkan siksa yang lebih pedih dari ini! Kau mencoreng wajahku!"Plak!Tamparan Tuan De Groot meninggalkan cap lima jari pada pipi Xela yang berkulit cerah, juga jejak luka pada hatinya yang berdenyut perih."A–apa salahku, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?""Kau! Masih tidak mengetahui kesalahanmu, hah?!" Tuan De Groot melotot geram. "Aku mengizinkanmu pergi dengan teman-temanmu untuk menikmati liburan, tapi apa yang kau lakukan, hah?! Kau menikah dengan laki-laki tak berguna!"Xela merasakan suhu di ruangan itu turun ke titik minus. Membuat tubuhnya menggigil dan aliran darahnya membeku. Lidahnya mendadak kelu.Tuan De Groot terus menyeret Xela. Mening
"Tuan, ada mobil yang mengikuti kita dari tadi," lapor sopir yang mengendarai kendaraan milik Tuan De Groot.Sorot matanya beriak cemas, melirik spion samping berulang kali."Kau pikir ini jalan pribadiku?" sentak Tuan De Groot, merasa kesal lantaran niatnya untuk memejamkan mata terganggu."Tapi ini mencurigakan, Tuan. Saya telah mengedipkan lampu dan menepi agar mereka bisa mendahului, tapi mereka justru memperlambat setelah berhasil menyejajari kendaraan kita.""John, kau berpikir terlalu jauh. Apa ini untuk pertama kalinya kau menempuh perjalanan jarak jauh?"Sebagai sopir, bukankah seharusnya kau tahu bahwa lebih baik mengurangi kecepatan daripada mengambil risiko beradu kambing dengan lawan dari arah depan?"Sudahlah! Berkendara saja dengan baik! Jangan ganggu aku! Aku ingin istirahat!"Ckiiit!John membanting setir ke kiri dan menginjak pedal rem dengan kuat."John! Kau ingin mati, hah?!"Tuan De Groot meledak. Baru saja ia berpesan pada sang sopir untuk membiarkannya beristira
"Akh! Sial! Tangkap wanita itu! Jangan biarkan dia lolos!" lolong lelaki bergigi tonggos setelah Xela berhasil menggigit lengannya.Xela mencopot sepatu berhak tinggi yang dikenakannya, lalu berlari dengan kecepatan penuh."Terus lari, Xela! Jangan pedulikan aku!" teriak Tuan De Groot, menyemangati putrinya.Dua anak buah lelaki bergigi tonggos memenjarakan dirinya dalam cengkeraman erat mereka.Xela terus berlari menembus malam, menyelamatkan diri dari kejaran lelaki bergigi tonggos dan dua orang anak buahnya.Dugh!Sebuah sepatu menghantam belakang lutut Xela, membuatnya jatuh tersungkur mencium tanah."Hahaha ... mau lari ke mana lagi, Nona?"Xela tak akan membiarkan para pemburu nafsu itu mendapatkan apa yang mereka inginkan dari dirinya.Sambil meringis menahan perih pada wajahnya yang tergores permukaan jalan, Xela kembali bangkit. Berlari dengan tertatih-tatih."Tolooong!"Ckiit!Sebuah motor besar yang melintas menginjak rem, sejengkal sebelum menabrak Xela.Merasa mendapat per
Karel menarik lepas tanda bekas luka yang menempel pada wajah dan punggung tangannya.Ia merendam benda yang terlihat seperti karet itu dalam cairan khusus, kemudian membersihkan wajahnya dari sisa-sisa polesan make-up."Kau keren, Bro! Dulu, aku tidak mengerti kenapa seorang mahasiswa kedokteran mengikuti kursus olah vokal dan program kecantikan."Ck! Ternyata kau menyiapkan senjata untuk balas dendam dari jauh-jauh hari."Kevin setia menunggu Karel menyelesaikan aktivitasnya sambil terus memperhatikan setiap detail gerakan tangan Karel.Apa memang gerakan tangan seorang dokter seluwes itu? Bahkan, saat menyapu wajah dengan perlengkapan kosmetik pun tampak sangat ahli dan lincah."Kevin, sukses itu tidak turun dari langit dalam hitungan hari. Kalau punya tujuan di masa depan, kau harus merintis jalan dengan mempersiapkan rencana yang matang."Aku butuh waktu bertahun-tahun untuk dapat menguasai keterampilan make over dan mengubah suara. Aku tidak ingin bekerja dengan setengah-setenga
"Bagus kau akhirnya datang. Jika tidak, aku akan memaksamu dengan caraku.""Mana berani saya tidak menghargai undangan Anda, Tuan De Groot."Karel benci harus berpura-pura ramah pada permukaan, sementara hatinya dipenuhi gelegak amarah.Namun, demi membalaskan sakit hatinya yang berkarat, ia harus melakoni perannya dengan sangat baik."Itu artinya, kau setuju untuk bekerja sebagai sopir dan pengawal pribadi putriku, bukan?""Saya tidak bisa memutuskan, Tuan. Anda sendiri yang akan memutuskannya. Saya hanya bisa bekerja untuk putri Anda, jika Anda berkenan memenuhi persyaratan dari saya."Tuan De Groot tak berkedip menatap Karel. Lelaki berwajah jelek di depannya itu cukup punya nyali untuk bernegosiasi dengannya.Kalau bukan karena lelaki itu telah menyelamatkan harga diri putrinya, ia tidak akan bersikap lunak kepada seseorang yang berani meningkahi kata-katanya."Katakan!""Terima kasih! Anda sangat pengertian, Tuan."Pujian Karel melambungkan arogansi Tuan De Groot. Dagunya terangka
"Kau boleh mengujinya!" Tuan De Groot berbalik ke dalam.Setelah merenungi rangkaian kalimat dari Lewis, keyakinannya pada Karel sedikit goyah. Akan tetapi, dia tidak mungkin menarik kembali kata-katanya pada Karel.Jalan satu-satunya hanyalah membiarkan Lewis menguji kemampuan Karel.Jika lelaki itu mampu mengalahkan Lewis, maka dia layak untuk dipertahankan. Sebaliknya, bila anak itu gagal, ia punya alasan untuk memecatnya.Dengan merestui Lewis untuk berhadapan secara langsung dengan Karel, dia tidak hanya mendapat kesempatan untuk membuktikan kemampuan Karel, tetapi juga memiliki alasan untuk menyingkirkan anak itu tanpa merasa bersalah.Tuan De Groot menyeringai licik. Membayangkan ia membunuh dua ekor burung dengan satu batu.Lewis tersenyum senang sembari mengusap tinju. Kesempatan untuk menyingkirkan saingan akhirnya datang.Ia berteriak lantang, menghentikan langkah Karel yang nyaris mencapai pintu gerbang."Berhenti!"Seiring dengan berakhirnya teriakan Lewis, lelaki itu mem