LOGINsabar ya Seb. perempuan emang gitu.
"Kudengar kau bertengkar dengan Lexi." "Aku tidak pernah bertengkar dengan siapa pun, Ariana," desis Elian dengan mata yang tanpa ragu melotot pada sang atasan. "Lagian, apa kau harus mengatakan itu saat jam pulang kantor begini? Kau bikin mood-ku jadi hancur seketika." "Santai saja kenapa?" balas Ariana dengan senyum mencibir. "Aku kan hanya menyampaikan hal yang digosipkan orang-orang." "Lexi salah paham." Mau tidak mau, Elian menjelaskan juga. "Dia pikir aku dan Sebastian itu ada hubungan dan dia marah karena Lexi ternyata suka dengan produser gilamu itu." "Oh, ya?" Ariana yang berdiri sambil menatap angka di lift, langsung menoleh menatap asistennya. "Apa kau dengar pengakuan cinta secara live?" "Ya. Aku dengar, bahkan lengkap dengan penolakannya juga." Elian mengangguk pelan, merasa tidak perlu menyembunyikan apa yang dia katakan. "Wah, pantas saja Lexi marah." Ariana mengangguk, kemudian kembali menatap angka yang terus turun bersama dengan gerakan lift-nya. "Dia dit
Elian menatap pintu ruangan di depannya dengan tatapan tajam. Dia sudah hampir lima menit berada di sana dan masih saja merasa bingung apakah harus masuk atau tidak. "Kau itu sebenarnya mau masuk atau tidak?" "Oh, hai Lexi." Mau tidak mau, Elian menyapa penyanyi asuhan kantornya itu dulu. "Mau ketemu Sebastian juga?" "Ya, tapi ini menyangkut kerjaan," balas perempuan yang dipanggil Lexi itu dengan sinis. "Tidak seperti kau yang mungkin mau merayu. Asal kau tahu, Sebastian laki-laki lurus." "Aku juga lurus, jadi tidak usah khawatir." Elian mendengus pelan saat menjawab. "Tapi, apa kau yakin datang soal kerjaan? Bukan untuk merengek?" "Merengek apa yang kau maksud?" hardik Lexi dengan mata melotot. "Semua orang juga tahu kalau kau itu sudah sering datang dan mengganggu Sebastian, agar dia mau jadi produser di albummu yang berikutnya," balas Elian dengan senyum lebar. "Sayangnya itu bukan ditentukan oleh Sebastian." "Aku tidak datang untuk merengek." Lexi kembali merengek.
Mata Elian tampak membesar, dengar rahang yang mengetat karena dia menggertakkan gigi dengan keras. Belum lagi kedua tangan yang mengepal erat, walau salah satunya memegang pulpen. Mata besar itu, kemudian melirik benda yang teronggok di atas mejanya. Sebatang cokelat yang sudah dimakan setengahnya dan tentu saja itu adalah pemberian Sebastian tadi. "Dasar sialan," desis Elian pelan. "Kenapa juga pada akhirnya aku terima benda sialan ini," lanjutnya malah mendorong batangan cokelat itu menjauh darinya. "Maaf, tapi apa ada yang salah?" Elian mendongak menatap perempuan yang memegang map di depannya. Hal yang membuatnya sadar kalau sekarang dia sedang bekerja dengan serius. "Tidak ada." Elian berdehem pelan, seraya menyugar pelan rambut super pendeknya. "Aku hanya menggerutu karena kesalahanku sendiri." "Memangnya Eli bisa bikin kesalahan?" tanya perempuan tadi dengan senyum tertahan. "Selain bos Ariana, kau itu masih termasuk orang yang perfeksionis loh. Tapi rambut yang sed
"Hei, jangan cemberut begitu dong," ucap Sebastian menengok ke arah kursi penumpang di sebelahnya. "Bukan aku loh yang bikin kau di-cancel sama taksi online sampai berulang kali." Elian yang duduk di kursi penumpang itu mendengus keras. Dia benar-benar tidak habis pikir, dengan aplikasi taksi online yang sejak tadi tidak mau menerima orderannya. Sudah lima kali cancel dari dua aplikasi yang berbeda dan sekarang dia mau tidak mau menerima tawaran menumpang Sebastian. "Apa ada yang eror dengan aplikasinya ya?" gumam Elian menatap ponselnya dengan kening berkerut, mencoba melihat apa yang salah. "Mau eror atau bukan, kau jadi menghemat ongkos kan?" tanya Sebastian yang sekarang lebih fokus pada jalanan di depannya. "Bonusnya, aku sekarang akan tahu kau tinggal di mana." "Kalau begitu, turunkan saja aku di sini." Elian langsung mengambil keputusan secepat kilat, bahkan langsung melepas sabuk pengaman yang dia pakai. "Loh, bukannya rumahmu masih jauh?" tanya Sebastian terlihat b
Elian menatap selembar foto yang terlihat lusuh. Sebagian dari foto itu sudah terbakar, tapi dia tahu siapa yang ada dalam foto itu. Hal yang membuat Elian menatap foto yang sudah nyaris tidak terlihat apa pun itu dengan sendu. "Kau datang lebih cepat ya." "Akhirnya kau datang juga." Elian dengan cepat menyimpan foto lusuh itu ke dalam tas laptop-nya. "Aku sudah pegal menunggumu, Ariana." "Mungkin kau yang aneh." Ariana tentu saja akan protes. "Ini adalah kantormu juga dan kau ada ruangan sendiri, jadi kenapa malah menunggu di lobi dan sambil berdiri menatap barang lusuh tidak jelas?" "Itu tadi barang berharga untukku," jawab Elian mengikuti langkah atasannya dengan santai. "Lagi pula, aku langsung ke sini dan tidak pulang ke rumah. Aku tidak bawa kunci ruanganmu." "Kau tidak bawa kunci ruanganku?" tanya Ariana yang segera menoleh menatap Elian dengan sebelah alis terangkat, sebelum naik lift. "Apa kau yakin kau itu asistenku?" "Aku asistenmu, tapi aku tidak ada uang lagi u
Elian menatap lelaki yang duduk di sebelahnya dengan kening berkerut. Itu sudah dia lakukan agak lama, sampai Sebastian jadi ikut mengerutkan kening. Biar bagaimana, adu tatap itu rasanya tidak nyaman. "Maaf menunggu lama." Tiba-tiba saja Pierre muncul dan membuat dua orang yang saling tatap itu langsung menoleh. Lebih tepatnya, Elian yang langsung menoleh dan itu membuat Sebastian tersenyum. "Apa aku mengganggu?" tanya Pierre dengan kedua alis yang terangkat. "Sama sekali tidak." Elian dengan cepat menggeleng dan langsung beranjak dari duduknya. "Kenapa kau malah berdiri?" tanya Sebastian dengan sebelah alis yang terangkat. "Tadinya aku mau bermalam, tapi sepertinya tidak bisa." Elian menjelaskan pada pemilik rumah. "Aku harus pulang dan kerja lagi." "Oh, sayang sekali." Pierre langsung terlihat kecewa. "Padahal aku mau ngobrol lama denganmu." "Kalau kau buru-buru pulang karena aku." Tiba-tiba saja Sebastian ikut berdiri. "Biar aku saja yang pulang." "Ini tidak ada







