Masuk"Berhenti menatapku seperti itu Rafa," ucap Sebastian sambil memakai kemeja putih.
"Mana bisa?" desis Raphael dengan ekspresi wajah kesal. "Bagaimana mungkin kau tidak bilang kalau mau menikah dan itu dengan cowok." Sebastian mendengus pelan. Dia sedang berusaha menahan tawa, tapi itu jelas makin membuat adiknya kesal. "Bro, itu bukan untuk ditertawakan," hardik Raphael mulai sedikit emosi. "Menikah itu bukan permainan dan kau seharusnya manusia lurus." "Tapi aku nyatanya tidak selurus itu." Sebastian mengedikkan kedua bahunya dengan santai, sambil mengancing kemeja satu persatu. "Dan kau harusnya tidak boleh kecewa." "Aku tahu ini pilihan hidupmu, tapi ...." Raphael mengayunkan tangannya cukup keras ke udara, hanya untuk menunjukkan kekesalannya. "Tapi tidak harus sama dia juga kan?" "Memangnya, kenapa dengan Elian?" Kini Sebastian berbalik untuk menatap adiknya yang masih berpakaian santai. "Apa kau tidak suka dia.""Aku pada akhirnya memutuskan langsung pakai saja darah donor dari Leo." Raphael menjelaskan, setelah Elian dipindahkan ke ruangan yang lain. "Itu berisiko dan tidak sesuai aturan, tapi entah kenapa aku merasa yakin kalau itu aman.""Sangat aman." Leo langsung mengangguk. "Aku sempat tes kesehatan super lengkap, sebelum benar-benar kerja. Itu baru beberapa bulan lalu, jadi harusnya aman. Apalagi aku tidak pernah tidur dengan siapa pun.""Masalahnya, adalah kantong donor yang berikutnya." Raphael mengembuskan napas pelan. "Kami sedang coba minta dari tempat lain, tapi kalian tetap harus cari donor lain juga untuk jaga-jaga.""Aku sudah pasang status di media sosialku, bahkan bersedia memberi bayaran besar. Aku juga sudah minta bantuan Ariana." Sebastian menjawab adiknya dengan anggukan kepala."Untuk saat ini sudah cukup." Raphael mengangguk, sambil menatap ponsel. "Sepertinya, kita juga sudah punya tambahan kantong darah. Kami menemukan dua kantong lagi dari tempat lain dan siap
"Leo sudah kembali." Ariana berucap pelan dan membuat Sebastian langsung berdiri.Lelaki dengan wajah kusut itu segera mendekati Leo. Sebastian bahkan menatap lengan Leo yang ditutupi dengan plester khusus."Aku berhasil donor, tapi katanya perlu waktu sampai bisa dipakai," ucap Leo terlihat kusut karena masih merasa khawatir. "Kenapa masih harus menunggu?" tanya Sebastian ikut mengerutkan kening. "Karena katanya harus tes dulu, apakah darahnya cukup bagus dan aku tidak kena penyakit." Leo sampai mengembuskan napas. "Padahal aku pikir sudah bisa menyelamatkan Elian.""Yang akan menyelamatkan Elian itu adalah tim dokter." Ariana yang masih duduk dengan perut buncitnya, langsung bersuara. "Kau memang membantu, tapi pada akhirnya yang menyelamatkan Elian adalah tim dokter dan Tuhan.""Aku rasa Ariana benar." Mau tidak mau, Sebastian ikut mengangguk, walau jelas sekali kalau dia masih merasa sangat cemas. "Jadi, dari pada kalian berdiri seperti orang bodoh di sana, sana pergi d
Semua terjadi begitu cepat. Walau Sebastian tadi sudah berteriak keras, tapi nyatanya teriakan itu nyaris tidak berguna. Apalagi, Lexi rupanya bukan hanya penyanyi yang bagus, tapi dia juga pelari handal.Langkahnya begitu ringan saat berlari mendekati Elian yang jaraknya agak dekat dengannya. Jarak Hugo memang lebih dekat dengan Elian, tapi si pengawal tadi sempat terkejut dan terlambat bergerak. Wajar, karena Lexi memang terlalu tenang dan tidak ada yang melihatnya memegang pisau.Hugo masih sempat menarik tangan Elian, tapi itu pun tidak berguna. Pisau tetap saja menancap ke tubuh Elian."ELIAN!"Sebastian dengan cepat berlari ke arah sang istri. Dia membiarkan Lexi diringkus oleh para pengawal, yang awalnya harus mengawasi dan melindungi bintang utama konferensi. Bahkan Sebastian mendorong Lexi agar dia bisa lewat."Rasakan itu," pekik Lexi dengan tawa lebar, tidak melawan ketika dipegangi banyak orang. "Lebih baik kau mati saja. Aku tidak bisa bersama Sebastian, maka kau ju
Beberapa jam sebelum konferensi pers. "Elian." Yang empunya nama langsung menoleh dengan ekspresi kesal ketika namanya dipanggil. Padahal tadinya Elian sangat buru-buru karena hari ini dia terlambat bangun, bahkan sampai membuat Sebastian harus berangkat duluan. Tapi sekarang langkahnya malah dihalangi. "Ada apa sih?" tanya Elian pada perempuan yang menghampirinya. "Ini ada kiriman untukmu." "Hah? sepagi ini?" tanya Elian kini dengan kening berkerut bingung. "Iya, aku juga bingung. Soalnya waktu aku datang, ini sudah ada di atas meja resepsionis," ucap perempuan yang menghampiri tadi. "Tapi yang penting sekarang sudah aku berikan padamu." Tanpa banyak bicara lagi, Elian langsung mengambil paket itu. Dia lagi buru-buru, jadi tidak banyak bertanya. "Apa yang kau bawa itu?" Leo menyambut Elian. "Aku sudah tunggu dari tadi loh." "Aku terlambat bangun dan mengacau di rumah," ucap Elian membanting kotak yang dia bawa ke atas meja. "Jadi, itu kiriman dari mana?" Leo kemb
"Hei, Nona. Butuh tumpangan?"Elian hanya bisa menggeleng, ketika mendengar suara yang sudah sangat dia kenali. Dia juga tidak perlu mencari arah datangnya suara, karena mobil Sebastian sudah terparkir di depannya dengan jendela terbuka."Aku tidak butuh tumpangan, tapi aku butuh makan," jawab Elian yang akhirnya membuka pintu mobil dan masuk."Bagaimana pertemuanmu dengan Sandy?" Sebastian langsung bertanya, setelah yakin istrinya sudah duduk dengan nyaman."Tidak terlalu buruk, tapi tetap saja menyebalkan." Elian mengedikkan bahu dengan santai. "Dia mengancam.""Mengancam seperti apa?" Sebastian yang kaget, tidak sengaja menaikkan intonasi suaranya.Tadi, Elian memang memberi tahu Sebastian soal ajakan Sandy. Itu pun dia lakukan saat sudah dalam perjalanan menunjuk ke tempat janjian. Biar bagaimana, Elian tetap mau suaminya tahu, tanpa perlu ikut campur. Untung Sebastian mau menjemput dan menunggu dengan tenang."Katanya kalau aku menolak permintaan dia hari ini, dia tidak b
Elian menatap Leo yang melangkah dengan canggung, sambil mengangguk kepala. Pembicaraan mereka sudah selesai dan kini Elian hanya bisa menatap lelaki yang sebenarnya adalah saudara kembarnya itu. "Kau yakin dengan keputusanmu itu?" Ariana bertanya dengan tangan terlipat di depan dada, sambil bersandar di pintu. "Yakin." Elian mengangguk pelan. "Tidak usah ditanya lagi." Sebastian ikut membela sang istri. "Elian juga pasti sudah berpikir dengan baik, sebelum memutuskan untuk tidak memberi tahu Leo." "Biar bagaimana, Leo mengenaliku sebagai Elian Vollen. Bukan Leonie Moretti, saudara kembarnya," lanjut Elian kini memilih untuk melanjutkan pekerjaan. "Lagian, dia sama sekali tidak kenal aku kan?" "Iya sih." Ariana mengangguk pelan. "Padahal tidak terlalu banyak yang berubah darimu, tapi dia masih tidak sadar juga. Apalagi sekarang kau sudah mulai berpenampilan sebagai perempuan." "Dalam pikiran Leo, adiknya Leonie sudah mati," balas Elian diikuti dengan embusan napas pelan. "







