Masuk"Jadi, dengan terpaksa aku harus setuju untuk membuat Sebastian Leclerc jadi produser Lexi," ucap Ariana tidak kelihatan senang.
"Nah, gitu dong baru benar." Lexi langsung menatap Elian dengan sombongnya. "Perlu kau ingat di sini, Lexi." Ariana langsung menatap yang empunya nama dengan tatapan tajam, ditambah dengan aura kemarahan yang tidak ditutupi. "Aku terpaksa melakukan itu, karena tindakan bodohmu," lanjut Ariana nyaris saja mendesis. Lexi yang ditatap seperti itu, tentu saja akan terkejut. Apalagi, Elian juga menatapnya dengan cara yang sama, bahkan lebih intens. Belum ditambah dengan embusan napas lelah dan gelengan kepala beberapa orang. Rapat dadakan terpaksa harus diadakan karena ulah Lexi. Sebagian besar sebenarnya setuju Sebastian dan Lexi dipasangkan, tapi tetap tidak suka dengan cara penyanyi muda itu. "Karena sudah seperti ini, mohon kerja samanya ya." Sebastian mengucapkan itu dengan senyum tipis meng"Jadi, itu anak yang kau jadikan alasan untuk mendekati Sebastian lagi?" Elian langsung bertanya, saat mereka akhirnya bisa duduk di area taman rumah sakit.Elian dan Sebastian memilih untuk di bangku taman, sementara Sandy memilih berdiri. Sandy melakukan itu, dengan alasan agar bisa menjaga Sam yang sedang bermain dengan lebih nyaman."Walau ini memalukan, tapi ya." Sandy menjawab, sambil terus melihat putranya. "Aku akan melakukan apa pun agar anakku minimal bisa dirawat.""Ibu yang baik, tapi kau jelas bukan istri yang baik." Elian berdecak pelan, membuat suaminya tersenyum miring."Aku juga tahu itu, jadi tidak usah dibahas lagi." Sandy mendengus kesal, masih sambil memperhatikan putranya yang berkeliaran."Aku rasa, kau juga bukan partner kerja yang baik." Tiba-tiba saja Sebastian menambahkan, membuat semua orang menatapnya. "Kau biarkan Lexi yang menanggung semuanya, dan kau malah melarikan diri.""Lexi melakukan semuanya sendiri." Sandy menjelaskan dengan mata yang sedi
"Bagaimana bisa kau terbangun karena merasa lapar?" Raphael bertanya, sambil mengganti cairan infus kakak iparnya."Karena aku memang lapar," balas Elian dengan tatapan mata yang masih terlihat sayu dan wajah pucat. "Apalagi katamu aku pingsan sejak kemarin, jadi wajar aku lapar.""Elian benar." Sebastian langsung mengangguk. "Bagaimana kalau kakak iparmu ini malah sakit karena kekurangan nutrisi.""Dia tidak akan kurang nutrisi, karena aku memberikan infus nutrisi." Raphael mendengus pelan, masih sambil memantau selang infus."Lantas kenapa malah diganti?" Sebastian menunjuk ke wadah infus baru yang masih penuh. "Bukannya lebih baik kalau diberikan infus seperti itu?""Tidak bisa." Raphael menjawab dengan tegas. "Dalam keadaan normal mungkin tidak masalah, tapi kondisi Elian yang sekarang tidak memungkinkan.""Kenapa?" Kali ini Elian yang bertanya dengan mata yang sedikit melotot. "Apa aku tiba-tiba kena penyakit serius?""Hei, jangan bilang begitu." Pierre langsung menegur d
"Aku pada akhirnya memutuskan langsung pakai saja darah donor dari Leo." Raphael menjelaskan, setelah Elian dipindahkan ke ruangan yang lain. "Itu berisiko dan tidak sesuai aturan, tapi entah kenapa aku merasa yakin kalau itu aman.""Sangat aman." Leo langsung mengangguk. "Aku sempat tes kesehatan super lengkap, sebelum benar-benar kerja. Itu baru beberapa bulan lalu, jadi harusnya aman. Apalagi aku tidak pernah tidur dengan siapa pun.""Masalahnya, adalah kantong donor yang berikutnya." Raphael mengembuskan napas pelan. "Kami sedang coba minta dari tempat lain, tapi kalian tetap harus cari donor lain juga untuk jaga-jaga.""Aku sudah pasang status di media sosialku, bahkan bersedia memberi bayaran besar. Aku juga sudah minta bantuan Ariana." Sebastian menjawab adiknya dengan anggukan kepala."Untuk saat ini sudah cukup." Raphael mengangguk, sambil menatap ponsel. "Sepertinya, kita juga sudah punya tambahan kantong darah. Kami menemukan dua kantong lagi dari tempat lain dan siap
"Leo sudah kembali." Ariana berucap pelan dan membuat Sebastian langsung berdiri.Lelaki dengan wajah kusut itu segera mendekati Leo. Sebastian bahkan menatap lengan Leo yang ditutupi dengan plester khusus."Aku berhasil donor, tapi katanya perlu waktu sampai bisa dipakai," ucap Leo terlihat kusut karena masih merasa khawatir. "Kenapa masih harus menunggu?" tanya Sebastian ikut mengerutkan kening. "Karena katanya harus tes dulu, apakah darahnya cukup bagus dan aku tidak kena penyakit." Leo sampai mengembuskan napas. "Padahal aku pikir sudah bisa menyelamatkan Elian.""Yang akan menyelamatkan Elian itu adalah tim dokter." Ariana yang masih duduk dengan perut buncitnya, langsung bersuara. "Kau memang membantu, tapi pada akhirnya yang menyelamatkan Elian adalah tim dokter dan Tuhan.""Aku rasa Ariana benar." Mau tidak mau, Sebastian ikut mengangguk, walau jelas sekali kalau dia masih merasa sangat cemas. "Jadi, dari pada kalian berdiri seperti orang bodoh di sana, sana pergi d
Semua terjadi begitu cepat. Walau Sebastian tadi sudah berteriak keras, tapi nyatanya teriakan itu nyaris tidak berguna. Apalagi, Lexi rupanya bukan hanya penyanyi yang bagus, tapi dia juga pelari handal.Langkahnya begitu ringan saat berlari mendekati Elian yang jaraknya agak dekat dengannya. Jarak Hugo memang lebih dekat dengan Elian, tapi si pengawal tadi sempat terkejut dan terlambat bergerak. Wajar, karena Lexi memang terlalu tenang dan tidak ada yang melihatnya memegang pisau.Hugo masih sempat menarik tangan Elian, tapi itu pun tidak berguna. Pisau tetap saja menancap ke tubuh Elian."ELIAN!"Sebastian dengan cepat berlari ke arah sang istri. Dia membiarkan Lexi diringkus oleh para pengawal, yang awalnya harus mengawasi dan melindungi bintang utama konferensi. Bahkan Sebastian mendorong Lexi agar dia bisa lewat."Rasakan itu," pekik Lexi dengan tawa lebar, tidak melawan ketika dipegangi banyak orang. "Lebih baik kau mati saja. Aku tidak bisa bersama Sebastian, maka kau ju
Beberapa jam sebelum konferensi pers. "Elian." Yang empunya nama langsung menoleh dengan ekspresi kesal ketika namanya dipanggil. Padahal tadinya Elian sangat buru-buru karena hari ini dia terlambat bangun, bahkan sampai membuat Sebastian harus berangkat duluan. Tapi sekarang langkahnya malah dihalangi. "Ada apa sih?" tanya Elian pada perempuan yang menghampirinya. "Ini ada kiriman untukmu." "Hah? sepagi ini?" tanya Elian kini dengan kening berkerut bingung. "Iya, aku juga bingung. Soalnya waktu aku datang, ini sudah ada di atas meja resepsionis," ucap perempuan yang menghampiri tadi. "Tapi yang penting sekarang sudah aku berikan padamu." Tanpa banyak bicara lagi, Elian langsung mengambil paket itu. Dia lagi buru-buru, jadi tidak banyak bertanya. "Apa yang kau bawa itu?" Leo menyambut Elian. "Aku sudah tunggu dari tadi loh." "Aku terlambat bangun dan mengacau di rumah," ucap Elian membanting kotak yang dia bawa ke atas meja. "Jadi, itu kiriman dari mana?" Leo kemb







