Se connecter"APA KAU SUDAH GILA?" Teriakan Lexi bisa terdengar di seantero rumah.
"Aku kan suruh kau menghalangi Sebastian, bukan bikin kecelakaan," lanjut Lexi menghardik lelaki yang duduk tenang di sofa ruang tamunya. "Masalahnya, kau tidak bilang aku harus seperti apa." Lucien mengedikkan bahu dengan santai. "Kalau kau jelaskan dengan baik, aku kan bisa lakukan dengan lebih lembut." "Lebih lembut kepalamu." Lexi masih saja marah. "Targetmu itu Elian, bukan Sebastian." "Tapi kemarin kan kau suruh ke Sebastian." Lucien mulai terlihat kesal. "Kau itu bagaimana sih." "Kemarin memang aku suruh kau halangi Sebastian, tapi yang perlu kau hancurkan itu Elian." Kini Lexi menggeram marah. "Sebastian itu milikku, jadi jangan sakiti dia. Paham?" Lucien melotot menatap perempuan muda di depannya. Rasa kesal terlihat dengan jelas, apalagi dengan pancaran kemarahan yang terasa nyata hanya dari tatapannya saja. Hal yang tentu saja membuat LexSebastian menghela napas pelan, saat dirinya mulai sadar. Matanya masih terpejam, tapi kesadaran lelaki itu mulai bangun. Namun, karena kehangatan yang nyaman, rasanya Sebastian mau kembali tidur saja."Kalian serius tidur sambil berpelukan begini?"Suara bernada kesal yang terdengar, langsung membuat Sebastian membuka mata. Dia bahkan refleks bangun dari posisi tidurnya, untuk melihat siapa yang bersuara barusan."Aduh, Raphael." Pierre langsung mengeluh. "Harusnya kau itu tidak membangunkan mereka secepat itu. Kan lucu kalau banyak perawat yang lihat.""Hah?" Sebastian bergumam pelan, kemudian menoleh dan menemukan adiknya berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada."Kau tahu kalau ini bukan hotel kan?" tanya Raphael mengedikkan bahu ke arah ranjang.Tentu saja Sebastian akan mengikuti arah pandang adiknya, dan langsung terkejut ketika melihat Elian tertidur pulas sambil memeluknya. Bukan hal aneh karena mereka suami istri, tapi tempatnya yang kurang cocok. Mereka sed
Elian menatap Leo yang tersenyum cerah padanya. Jujur saja, itu terasa menyesakkan bagi Elian. Apalagi, lelaki itu sambil menyuapinya makanan. "Kau sudah telan semuanya?" Leo bertanya dengan senyum lebar. "Kalau sudah, buka mulut yang lebar lagi. Mau bubur, sup atau mash potato?" "Sup," jawab Elian dengan kedua alis terangkat. Mau tidak mau, Elian membuka mulutnya. Dia sempat melirik Sebastian untuk minta bantuan, tapi sang suami hanya bisa mengedikkan bahu. "Apa kau tidak marah?" tanya Elian dengan hati-hati. "Kenapa harus marah?" Leo balas bertanya. "Saudaraku sedang sakit dan mau manja, jadi tentu saja aku dengan senang hati mengurusimu. Mumpung suamimu memberi izin." Elian hanya meringis, kemudian kembali menatap suaminya. Dia juga memberi isyarat pada Sebastian agar mendekat. "Sejak kapan dia tahu?" Elian bertanya dengan suara berbisik. "Sepertinya dia sudah lama curiga, tapi baru yakin saat kau kena luka tusuk itu." Sebastian menjelaskan, juga dengan suara berb
"Kau terlambat," ucap Elian dengan bibir mencebik. "Tapi, Sayang. Aku cuma terlambat satu menit saja," ucap Sebastian tetap tersenyum semanis mungkin. "Satu menit, dan aku sudah coba egg benedict yang kau buat ini. Tapi, rasanya malah jadi aneh," jawab Elian masih dengan ekspresi yang tidak berubah sama sekali. "Rasa telur itu tidak mungkin berubah, Eli." Sebastian mencoba menjelaskan dengan sangat lembut. "Lagian, aku kan masak di rumah dan kau ada di rumah sakit. Tentu saja butuh sedikit waktu." "Masalahnya, aku baru makan sedikit dan rasanya sudah mual." Kali ini, Elian terlihat mengerutkan kening. "Kau mual hanya dengan satu suapan kecil?" Kedua alis Sebastian terangkat naik. "Apa telurnya bau?" "Tidak." Elian menggeleng. "Telurnya matang sempurna dan tidak bau, tapi sumpah aku butuh ke kamar mandi sekarang." Elian yang bergegas turun dari ranjang, membuat Sebastian tercengang. Lelaki itu sampai nyaris tidak sempat membantu istrinya turun dari ranjang, untung saja Pi
"Menurut laporan, Elian sudah muntah lebih dari lima kali sore ini." Raphael mengatakan itu dengan tangan terlipat di depan dada. "Jadi, apa kau mau bilang sesuatu soal itu?" lanjutnya menatap sang kakak dengan sebelah alis terangkat. "Aku juga tidak tahu," jawab Sebastian, mencoba melihat ke dalam ruangan rawat inap dari celah pintu. Sekarang ini, Sebastian memang sedang bicara berdua dengan Raphael di luar ruangan. Itu dilakukan karena sejak tadi Elian mengusir suaminya, bahkan langsung mau muntah saat melihat Sebastian. "Tidak usah lihat ke dalam dan jawab saja aku." Raphael malah menutup pintu kamar dengan lebih rapat lagi. "Masalahnya, aku bukan dokter, Rafa." Sebastian mengembuskan napas pelan. "Aku juga tidak tahu kenapa Elian tiba-tiba seperti itu, makanya aku panggil kau datang." "Kalau Elian tidak mengusirmu keluar dari kamar, aku akan bilang kalau dia mengalami gejala ibu hamil pada umumnya." Akhirnya, Raphael menjelaskan juga. "Tapi tidak mungkin dia mengusirmu
"Jadi, itu anak yang kau jadikan alasan untuk mendekati Sebastian lagi?" Elian langsung bertanya, saat mereka akhirnya bisa duduk di area taman rumah sakit.Elian dan Sebastian memilih untuk di bangku taman, sementara Sandy memilih berdiri. Sandy melakukan itu, dengan alasan agar bisa menjaga Sam yang sedang bermain dengan lebih nyaman."Walau ini memalukan, tapi ya." Sandy menjawab, sambil terus melihat putranya. "Aku akan melakukan apa pun agar anakku minimal bisa dirawat.""Ibu yang baik, tapi kau jelas bukan istri yang baik." Elian berdecak pelan, membuat suaminya tersenyum miring."Aku juga tahu itu, jadi tidak usah dibahas lagi." Sandy mendengus kesal, masih sambil memperhatikan putranya yang berkeliaran."Aku rasa, kau juga bukan partner kerja yang baik." Tiba-tiba saja Sebastian menambahkan, membuat semua orang menatapnya. "Kau biarkan Lexi yang menanggung semuanya, dan kau malah melarikan diri.""Lexi melakukan semuanya sendiri." Sandy menjelaskan dengan mata yang sedi
"Bagaimana bisa kau terbangun karena merasa lapar?" Raphael bertanya, sambil mengganti cairan infus kakak iparnya."Karena aku memang lapar," balas Elian dengan tatapan mata yang masih terlihat sayu dan wajah pucat. "Apalagi katamu aku pingsan sejak kemarin, jadi wajar aku lapar.""Elian benar." Sebastian langsung mengangguk. "Bagaimana kalau kakak iparmu ini malah sakit karena kekurangan nutrisi.""Dia tidak akan kurang nutrisi, karena aku memberikan infus nutrisi." Raphael mendengus pelan, masih sambil memantau selang infus."Lantas kenapa malah diganti?" Sebastian menunjuk ke wadah infus baru yang masih penuh. "Bukannya lebih baik kalau diberikan infus seperti itu?""Tidak bisa." Raphael menjawab dengan tegas. "Dalam keadaan normal mungkin tidak masalah, tapi kondisi Elian yang sekarang tidak memungkinkan.""Kenapa?" Kali ini Elian yang bertanya dengan mata yang sedikit melotot. "Apa aku tiba-tiba kena penyakit serius?""Hei, jangan bilang begitu." Pierre langsung menegur d







