Share

Lelaki Kedua
Lelaki Kedua
Penulis: Yanti Arfa

Bab 1

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Hayatun Ni’ma binti Abdus Salam dengan mas kawin sebesar seratus ribu rupiah dibayarkan tunai.”

Begitu lantang lafadz itu terucap dari bibir Farhan. Tak terdengar sedikit pun keraguan dalam nada suaranya.

Di dalam kamar sesaat aku hanya terpana. Lalu mendadak meriang, berdebar, dan juga mules. Entah rasa apa lagi.

“Sah?”

“Sah!” sahut para saksi serentak.

Perasaanku makin tidak karuan. Andai saja ada cara lain.

Ini bukanlah pernikahanku yang pertama kali. Namun justru itulah yang jadi masalah. Meskipun dalam agama dibolehkan dengan syarat tertentu, tapi ini gila. Aku dinikahi hanya untuk sekali ditiduri sebagai syarat agar Bang Fajar bisa kembali mempersuntingku.

Astaghfirullah.

Lelaki temperamen itu sudah menjatuhkan talak padaku sebanyak tiga kali. Seperti yang sudah-sudah setelah menjatuhkan talak, dia sendiri yang tergila-gila meminta untuk kembali.

Namun sayang, semua tak semudah yang ia pikirkan. Kali ini jalannya untuk kembali tertutup sudah. Dia sendiri yang dengan sengaja menutup kesempatan itu.

Jalan satu-satunya aku harus menikah dengan orang lain terlebih dahulu.

Entah ide dari mana dan entah dengan cara apa Bang Fajar meminta, setelah selesai masa idhah dia datang bersama Farhan. Mengutarakan keinginan mereka.

Mataku membelalak kaget.

Farhan bukan orang asing bagi kami. Meskipun tidak pernah saling menyapa, aku tau pemuda itu salah satu penghuni kamar kost-an mahasiswa yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari kediaman ini—rumah yang setelah berpisah dengan Bang Fajar telah berpindah menjadi hak pribadiku karena kami telah berbagai harta gono gini.

“Aku gak mau,” tolakku waktu itu.

“Ini demi kebaikan anak kita, Dek. Lagi pula Abang masih sayang banget sama kamu,” bujuknya.

Aku bergeming.

“Kamu juga masih sayang ama Abang kan?” ujarnya lagi.

Kalau ditanya masih sayang tentu saja masih. Karena sejujurnya aku tidak pernah menginginkan perceraian itu. Berkali aku mengingatkan untuk tidak menyebut kata cerai setiap kali terjadi pertengkaran.

Namun kenyataannya kata itu dengan begitu enteng berkali-kali juga keluar dari bibirnya. Sekarang apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur.

“Assalamu’alaikum.”

Ucapan yang diikuti ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunan. Seketika dadaku bergemuruh. Dan juga gugup.

Entah berapa lama aku melamun, hingga tak sadar kalau prosesi pernikahan yang hanya dihadiri kerabat dekat itu telah selesai.

Aku memang menolak untuk keluar kamar. Apa lagi alasannya kalau bukan karena malu.

Pisah, rujuk, pisah, rujuk lagi yang gemar dilakukan Bang Fajar saja selama ini sudah membuat aku seperti tidak punya muka lagi di hadapan para saudara. Apa lagi kali ini. Menjalani pernikahan, bersiap untuk ditiduri kemudian bersedia lagi untuk ditinggalkan.

Hadeuh.

Meskipun hati berontak, sayangnya aku tak punya kekuatan menolak kemauan lelaki itu. Dia selalu punya cara buat meyakinkanku bahwa apa yang terjadi pada kami adalah hal yang biasa. Dan tak perlu dibesar-besarkan.

Ketukan dan ucapan itu kembali terdengar.

“Waalaikum salam,” sahutku gugup.

Derit daun pintu yang terbuka perlahan membuat jantungku kian bertalu. Kamar tidurku kembali dimasuki laki-laki untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini oleh sosok yang berbeda. Laki-laki kedua. Sosok yang baru setengah jam yang lalu mengikrarkan janji suci pernikahan yang seharusnya menjadi hal paling sakral malah dianggap main-main.

Aku menghela napas panjang.

Saat menoleh ke pintu aku tertegun.

Dalam balutan kemeja putih dan celana bahan hitam ditambah peci sederhana yang ia kenakan, pemuda itu terlihat sangat berbeda dari biasanya. Aura Farhan begitu bersinar.

Ternyata ia cukup tampan.

Mungkin selama ini aku tidak begitu menyadari pesona yang ia miliki karena memang tidak pernah memperhatikannya.

“Saya boleh masuk, Mbak?” tanyanya sopan.

“Eh... iya, silakan,” sahutku makin salah tingkah. Lalu buru-buru memutar tubuh kembali menghadap meja rias.

Ya Tuhan. Jangan sampai ia menyadari ketololanku karena sesaat terpana menatapnya.

Lelaki itu melangkah pelan. Aku buru-buru menjatuhkan pandang ketika tanpa sengaja netra ini bertemu lewat pantulan cermin meja rias.

Ia berdehem beberapa kali. Lalu menjatuhkan pinggulnya duduk di bibir ranjang.

Suasana mendadak canggung.

Bingung mau ngapain, aku bangkit dari kursi meja rias.

“Mau minum?” Hanya kata itu yang terpikir agar aku bisa segera keluar kamar.

“Boleh,” sahutnya.

“Teh manis?”

“Air putih aja.”

“Ooh oke.”

Dengan langkah cepat aku melesat menuju pintu kamar. Kalau bisa terbang sekalian. Perasaan lega luar biasa ketika kakiku menyentuh lantai ruang tengah.

Aku langsung menuju dapur. Sepi. Para tamu yang memang hanya ada beberapa gelintir pun sudah tak lagi terlihat.

Di ruangan berukuran 4 × 5 meter itu aku kembali tertegun. Rasanya terlalu enggan untuk kembali ke kamar. Bagaimana kalau aku berbelok ke kamar Fatih saja?

Sedari pagi aku belum bercengkerama dengan bocah tiga tahun itu karena sejak pagi sudah sibuk berdandan. Ya, mungkin lebih baik kalau aku ke sana saja.

Namun baru beberapa langkah, aku kembali berhenti. Farhan menungguku mengambilkan air minum untuknya. Mau nggak mau aku harus kembali ke kamar.

Bagaimana kalau Fatih aku ajak ke kamar sekalian? Setidaknya dengan adanya anak itu bisa sedikit mengurangi kecanggungan di antara kami.

Dengan wajah berseri aku mengetuk pintu kamar Fatih. Ternyata anak itu tengah asyik bermain dengan mbaknya.

“Bundaaa.”

Ia berlari mendekat begitu melihatku di depan pintu kamar. Aku menyambutnya hangat. Menggendong tubuh gempal itu dan menciumi pipinya yang ranum.

“Anak Bunda wangi.”

Dia tertawa senang.

“Fatih saya ajak ke kamar ya, Mbak. Sementara Mbak bisa berbenah.”

Wanita muda itu mengangguk.

Menit berikutnya aku telah melenggang menuju kamar dengan segelas air putih di tangan. Di sampingku Fatih mengikuti.

Benar saja.

Senyum Farhan mengembang begitu matanya menangkap keberadaan Fatih. Dia telah mengganti kemejanya dengan kaos oblong berwarna hitam. Terlihat kontras dengan kulitnya yang kuning langsat.

“Sini, Sayang. Dekat Om.” Ia menepuk ranjang di sampingnya.

Fatih menatapku. Mungkin heran, kenapa di kamar bundanya bukan sang Ayah, tapi orang lain. Aku mengangguk, memberi isyarat agar ia mendekat. Seperti yang diminta Farhan. Lalu aku sendiri menyuguhkan air yang aku bawa ke Farhan.

“Taruh di situ dulu aja.” Ia menunjuk ke meja kecil samping ranjang.

“Buat nanti setelah memeras keringat,” lanjutnya.

Aku membelalakkan mata.

Dasar otak mesum.

Namun sedikit lega dengan sikapnya yang sama sekali tidak lagi terlihat canggung. Padahal kami hanya interaksi satu kali sebelum pernikahan. Tepatnya saat Bang Fajar membawanya padaku waktu itu.

Dengan malu-malu Fatih mendekati Farhan setelah kembali dipanggil.

“Nama kamu Fatih ya?” ujarnya sambil mengangkat tubuh anak itu dan mendudukkannya di ranjang. Mereka kini berhadapan.

Aku mengernyitkan dahi. Kok ia bisa tau? Perasaan aku belum mengatakan apa pun padanya tentang anak itu.

“Iya, Om. Om ciapa? Kok ada di kamal Bunda?”

Farhan tersentak. Reflek menatapku. Seolah minta aku yang menjawab tanya anak itu. Aku hanya mengangkat pundak.

Farhan menggaruk-garuk kepala yang aku yakin tidak gatal. Sungguh melihatnya seperti itu aku ingin tertawa.

“Nama Om Farhan. Om ada di kamar Bunda karena mulai hari ini Om adalah Papa kamu,” sahutnya santai sambil melirikku.

“Mulai hari ini?” Aku mengulang ucapannya. Menelan ludah yang tetiba terasa seret di kerongkongan.

Apa maksudnya? Jika mulai berarti akan ada waktu lanjutan yang lebih panjang.

“Ada yang salah?” Ia balik bertanya.

“Tapi kan ...?”

Pria itu meloncat turun dari ranjang. Ia mendekat yang membuatku mundur beberapa langkah.

“Tadi aku sengaja kasih kesempatan Mbak buat menjelaskan. Tapi Mbak berniat cuci tangan kan di depan anak sendiri? Makanya biarkan aku menjawab sesuai dengan apa yang bisa dicerna oleh anak seusia ini.”

Wajahnya kian mendekat. Hanya berjarak beberapa inci yang membuat aku menahan napas karena gugup.

“Memangnya Mbak mau aku jawab bahwa aku hanya di sini untuk meniduri ibumu sekali saja lalu pergi?” bisiknya tepat di daun telingaku yang tertutup jilbab.

Wajahku menghangat seketika.

Malu. Benarkah aku serendah itu?

Dengan cepat aku berpaling. Lalu melangkah mendekati Fatih yang menatap kami bingung.

“Ya, dia juga ayahmu,” ujarku. Sudah kepalang tanggung.

Samar aku menangkap senyum terukir di bibir tipis Farhan.

Ternyata dia menyebalkan.

“Ayah?” Fatih malah makin bingung.

“Ah sudahlah.” Aku kembali menggendong anak itu. Mau memulangkannya kembali ke si Mbak.

“Biarkan dia di sini.” Farhan menahan tanganku.

Aku menatap tangan kekar yang memegang pergelangan tanganku itu.

“Maaf,” desisnya. Lalu melepaskan.

“Walaupun aku sudah berhak melakukan lebih dari ini,” lanjutnya pelan. Menatap mataku lekat.

“Jangan melampaui batas. Kamu gak liat ada anak kecil di sini,” ujarku geram. Sama berbisiknya.

Farhan membuang pandang. Lalu tanpa meminta ia meraih tubuh Fatih yang masih berada di gendonganku dan membawanya kembali ke ranjang.

“Siang ini Fatih bobok ma Papa ya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status