“Saya terima nikahnya dan kawinnya Hayatun Ni’ma binti Abdus Salam dengan mas kawin sebesar seratus ribu rupiah dibayarkan tunai.”
Begitu lantang lafadz itu terucap dari bibir Farhan. Tak terdengar sedikit pun keraguan dalam nada suaranya.Di dalam kamar sesaat aku hanya terpana. Lalu mendadak meriang, berdebar, dan juga mules. Entah rasa apa lagi.“Sah?”“Sah!” sahut para saksi serentak.Perasaanku makin tidak karuan. Andai saja ada cara lain.Ini bukanlah pernikahanku yang pertama kali. Namun justru itulah yang jadi masalah. Meskipun dalam agama dibolehkan dengan syarat tertentu, tapi ini gila. Aku dinikahi hanya untuk sekali ditiduri sebagai syarat agar Bang Fajar bisa kembali mempersuntingku.Astaghfirullah.Lelaki temperamen itu sudah menjatuhkan talak padaku sebanyak tiga kali. Seperti yang sudah-sudah setelah menjatuhkan talak, dia sendiri yang tergila-gila meminta untuk kembali.Namun sayang, semua tak semudah yang ia pikirkan. Kali ini jalannya untuk kembali tertutup sudah. Dia sendiri yang dengan sengaja menutup kesempatan itu.Jalan satu-satunya aku harus menikah dengan orang lain terlebih dahulu.Entah ide dari mana dan entah dengan cara apa Bang Fajar meminta, setelah selesai masa idhah dia datang bersama Farhan. Mengutarakan keinginan mereka.Mataku membelalak kaget.Farhan bukan orang asing bagi kami. Meskipun tidak pernah saling menyapa, aku tau pemuda itu salah satu penghuni kamar kost-an mahasiswa yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari kediaman ini—rumah yang setelah berpisah dengan Bang Fajar telah berpindah menjadi hak pribadiku karena kami telah berbagai harta gono gini.“Aku gak mau,” tolakku waktu itu.“Ini demi kebaikan anak kita, Dek. Lagi pula Abang masih sayang banget sama kamu,” bujuknya.Aku bergeming.“Kamu juga masih sayang ama Abang kan?” ujarnya lagi.Kalau ditanya masih sayang tentu saja masih. Karena sejujurnya aku tidak pernah menginginkan perceraian itu. Berkali aku mengingatkan untuk tidak menyebut kata cerai setiap kali terjadi pertengkaran.Namun kenyataannya kata itu dengan begitu enteng berkali-kali juga keluar dari bibirnya. Sekarang apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur.“Assalamu’alaikum.”Ucapan yang diikuti ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunan. Seketika dadaku bergemuruh. Dan juga gugup.Entah berapa lama aku melamun, hingga tak sadar kalau prosesi pernikahan yang hanya dihadiri kerabat dekat itu telah selesai.Aku memang menolak untuk keluar kamar. Apa lagi alasannya kalau bukan karena malu.Pisah, rujuk, pisah, rujuk lagi yang gemar dilakukan Bang Fajar saja selama ini sudah membuat aku seperti tidak punya muka lagi di hadapan para saudara. Apa lagi kali ini. Menjalani pernikahan, bersiap untuk ditiduri kemudian bersedia lagi untuk ditinggalkan.Hadeuh.Meskipun hati berontak, sayangnya aku tak punya kekuatan menolak kemauan lelaki itu. Dia selalu punya cara buat meyakinkanku bahwa apa yang terjadi pada kami adalah hal yang biasa. Dan tak perlu dibesar-besarkan.Ketukan dan ucapan itu kembali terdengar.“Waalaikum salam,” sahutku gugup.Derit daun pintu yang terbuka perlahan membuat jantungku kian bertalu. Kamar tidurku kembali dimasuki laki-laki untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini oleh sosok yang berbeda. Laki-laki kedua. Sosok yang baru setengah jam yang lalu mengikrarkan janji suci pernikahan yang seharusnya menjadi hal paling sakral malah dianggap main-main.Aku menghela napas panjang.Saat menoleh ke pintu aku tertegun.Dalam balutan kemeja putih dan celana bahan hitam ditambah peci sederhana yang ia kenakan, pemuda itu terlihat sangat berbeda dari biasanya. Aura Farhan begitu bersinar.Ternyata ia cukup tampan.Mungkin selama ini aku tidak begitu menyadari pesona yang ia miliki karena memang tidak pernah memperhatikannya.“Saya boleh masuk, Mbak?” tanyanya sopan.“Eh... iya, silakan,” sahutku makin salah tingkah. Lalu buru-buru memutar tubuh kembali menghadap meja rias.Ya Tuhan. Jangan sampai ia menyadari ketololanku karena sesaat terpana menatapnya.Lelaki itu melangkah pelan. Aku buru-buru menjatuhkan pandang ketika tanpa sengaja netra ini bertemu lewat pantulan cermin meja rias.Ia berdehem beberapa kali. Lalu menjatuhkan pinggulnya duduk di bibir ranjang.Suasana mendadak canggung.Bingung mau ngapain, aku bangkit dari kursi meja rias.“Mau minum?” Hanya kata itu yang terpikir agar aku bisa segera keluar kamar.“Boleh,” sahutnya.“Teh manis?”“Air putih aja.”“Ooh oke.”Dengan langkah cepat aku melesat menuju pintu kamar. Kalau bisa terbang sekalian. Perasaan lega luar biasa ketika kakiku menyentuh lantai ruang tengah.Aku langsung menuju dapur. Sepi. Para tamu yang memang hanya ada beberapa gelintir pun sudah tak lagi terlihat.Di ruangan berukuran 4 × 5 meter itu aku kembali tertegun. Rasanya terlalu enggan untuk kembali ke kamar. Bagaimana kalau aku berbelok ke kamar Fatih saja?Sedari pagi aku belum bercengkerama dengan bocah tiga tahun itu karena sejak pagi sudah sibuk berdandan. Ya, mungkin lebih baik kalau aku ke sana saja.Namun baru beberapa langkah, aku kembali berhenti. Farhan menungguku mengambilkan air minum untuknya. Mau nggak mau aku harus kembali ke kamar.Bagaimana kalau Fatih aku ajak ke kamar sekalian? Setidaknya dengan adanya anak itu bisa sedikit mengurangi kecanggungan di antara kami.Dengan wajah berseri aku mengetuk pintu kamar Fatih. Ternyata anak itu tengah asyik bermain dengan mbaknya.“Bundaaa.”Ia berlari mendekat begitu melihatku di depan pintu kamar. Aku menyambutnya hangat. Menggendong tubuh gempal itu dan menciumi pipinya yang ranum.“Anak Bunda wangi.”Dia tertawa senang.“Fatih saya ajak ke kamar ya, Mbak. Sementara Mbak bisa berbenah.”Wanita muda itu mengangguk.Menit berikutnya aku telah melenggang menuju kamar dengan segelas air putih di tangan. Di sampingku Fatih mengikuti.Benar saja.Senyum Farhan mengembang begitu matanya menangkap keberadaan Fatih. Dia telah mengganti kemejanya dengan kaos oblong berwarna hitam. Terlihat kontras dengan kulitnya yang kuning langsat.“Sini, Sayang. Dekat Om.” Ia menepuk ranjang di sampingnya.Fatih menatapku. Mungkin heran, kenapa di kamar bundanya bukan sang Ayah, tapi orang lain. Aku mengangguk, memberi isyarat agar ia mendekat. Seperti yang diminta Farhan. Lalu aku sendiri menyuguhkan air yang aku bawa ke Farhan.“Taruh di situ dulu aja.” Ia menunjuk ke meja kecil samping ranjang.“Buat nanti setelah memeras keringat,” lanjutnya.Aku membelalakkan mata.Dasar otak mesum.Namun sedikit lega dengan sikapnya yang sama sekali tidak lagi terlihat canggung. Padahal kami hanya interaksi satu kali sebelum pernikahan. Tepatnya saat Bang Fajar membawanya padaku waktu itu.Dengan malu-malu Fatih mendekati Farhan setelah kembali dipanggil.“Nama kamu Fatih ya?” ujarnya sambil mengangkat tubuh anak itu dan mendudukkannya di ranjang. Mereka kini berhadapan.Aku mengernyitkan dahi. Kok ia bisa tau? Perasaan aku belum mengatakan apa pun padanya tentang anak itu.“Iya, Om. Om ciapa? Kok ada di kamal Bunda?”Farhan tersentak. Reflek menatapku. Seolah minta aku yang menjawab tanya anak itu. Aku hanya mengangkat pundak.Farhan menggaruk-garuk kepala yang aku yakin tidak gatal. Sungguh melihatnya seperti itu aku ingin tertawa.“Nama Om Farhan. Om ada di kamar Bunda karena mulai hari ini Om adalah Papa kamu,” sahutnya santai sambil melirikku.“Mulai hari ini?” Aku mengulang ucapannya. Menelan ludah yang tetiba terasa seret di kerongkongan.Apa maksudnya? Jika mulai berarti akan ada waktu lanjutan yang lebih panjang.“Ada yang salah?” Ia balik bertanya.“Tapi kan ...?”Pria itu meloncat turun dari ranjang. Ia mendekat yang membuatku mundur beberapa langkah.“Tadi aku sengaja kasih kesempatan Mbak buat menjelaskan. Tapi Mbak berniat cuci tangan kan di depan anak sendiri? Makanya biarkan aku menjawab sesuai dengan apa yang bisa dicerna oleh anak seusia ini.”Wajahnya kian mendekat. Hanya berjarak beberapa inci yang membuat aku menahan napas karena gugup.“Memangnya Mbak mau aku jawab bahwa aku hanya di sini untuk meniduri ibumu sekali saja lalu pergi?” bisiknya tepat di daun telingaku yang tertutup jilbab.Wajahku menghangat seketika.Malu. Benarkah aku serendah itu?Dengan cepat aku berpaling. Lalu melangkah mendekati Fatih yang menatap kami bingung.“Ya, dia juga ayahmu,” ujarku. Sudah kepalang tanggung.Samar aku menangkap senyum terukir di bibir tipis Farhan.Ternyata dia menyebalkan.“Ayah?” Fatih malah makin bingung.“Ah sudahlah.” Aku kembali menggendong anak itu. Mau memulangkannya kembali ke si Mbak.“Biarkan dia di sini.” Farhan menahan tanganku.Aku menatap tangan kekar yang memegang pergelangan tanganku itu.“Maaf,” desisnya. Lalu melepaskan.“Walaupun aku sudah berhak melakukan lebih dari ini,” lanjutnya pelan. Menatap mataku lekat.“Jangan melampaui batas. Kamu gak liat ada anak kecil di sini,” ujarku geram. Sama berbisiknya.Farhan membuang pandang. Lalu tanpa meminta ia meraih tubuh Fatih yang masih berada di gendonganku dan membawanya kembali ke ranjang.“Siang ini Fatih bobok ma Papa ya?”Selain sambel goreng ati yang Ibu bilang lauk kesukaan Farhan, ada banyak menu khas masakan Sunda yang tertata di meja. Pepes ikan Mas, empal gepuk, sambel dan tak ketinggalan lalapan. Juga ada nasi tutuk oncom yang lengkap dengan tahu dan tempe goreng. "Ibu mau ngapain masak sebanyak ini?" ujar Farhan begitu ia menghempaskan diri di salah satu kursi meja makan. Ia menatap semua makanan itu dengan tatapan berbinar. Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi beberapa menu itu segera berpindah ke piring makannya. "Ibu mah sebenarnya mau marah atuh sama kamu," sahut wanita itu. "Bagaimana bisa kamu nggak ngabarin Ibu kalau kamu mau datang? Untung tadi Liliana nelpon nanyain kamu dah sampai apa belum," sungutnya. "Ooh dia ngabarin Ibu? Dia mau pulang juga kan ya?" Mengabaikan wajah ibunya yang cemberut Farhan malah bertanya. "Tadinya iya, lalu tetiba batal karena ada kerjaan mendadak katanya."Farhan hanya manggut. "Maafkan kami, Bu," ujarku. "Dan maaf juga baru bisa datang," lanjutk
Bab 36 "Akhir pekan depan kita ke Bogor."Ucapan Farhan pagi ini membuatku tersentak. Yang aku tahu saat aku terjaga tengah malam, Farhan sepertinya belum tidur meski matanya terpejam. Dari kelopaknya yang terlihat bergerak-gerak, aku yakin laki-laki itu hanya pura-pura terlelap saat tau aku akan terbangun. Mungkin ia tidak ingin aku mengusiknya. Namun, aku pun tidak ingin bertanya. Bisa jadi Farhan tengah memikirkan bagaimana cara memberitahukan semua pada ibunya. Bagaimana pun, ia butuh privasi. Dan sepertinya tindakanku benar. Buktinya, ia bisa langsung mengambil keputusan begitu terbangun di pagi hari. "Tapi nggak usah ajak Fatih dulu ya?" ujarnya lagi. Aku tersentak mendengar pernyataan yang sekaligus sebuah keputusan itu. Mungkin raut wajahku sedikit berubah karena tidak menduga Farhan akan mengatakan itu. Aku tau sebesar apa rasa sayangnya pada Fatih. Dan aku sama sekali tidak meragukannya. Akan tetapi saat ia tidak punya nyali untuk mengakui keberadaan anak itu di a
Sejatinya setiap manusia itu tak pernah puas dengan apa yang ia dapat. Dan itu benar adanya. Setidaknya itu yang sekarang sedang aku rasakan. Ketika masalahku dengan Bang Fajar kelar dan Farhan kini telah jadi milikku tanpa harus main kucing-kucingan lagi dengan banyak pihak, masalah lain mendadak jadi ganjalan dalam pikiran. Tentang orang tua Farhan. Ya, meskipun laki-laki itu bilang bahwa pernikahan kami telah mendapat restu dari ibunya, tetap saja aku merasa ada yang salah karena sang bunda yang menolak hadir di saat resepsi. Entah apa alasan wanita itu. Terkadang aku merasa seperti ada sesuatu yang sedang ditutupi Farhan. Mungkinkah sebenarnya restu itu belum ia dapatkan? Aku cukup tau diri untuk tidak berharap banyak bisa diterima tanpa syarat, tapi setidaknya aku punya hak untuk dianggap dan ibu Farhan berhak tau tentang wanita seperti apa yang jadi pendamping hidup putranya. Bukankah seharusnya begitu? Namun untuk mendesak Farhan aku pun merasa tidak tega. Jadi aku
Bulan separuh terlihat menggantung di langit yang temaram. Cahaya kemerahan di ufuk barat mulai tenggelam berganti cahaya lampu gedung-gedung pencakar langit yang seolah melewati batas garis cakrawala. Satu persatu bintang mulai terlihat bermunculan. Malam yang indah. Seindah rasa yang bersemayam di dadaku saat memikirkan Farhan. Setelah banyak hal yang terjadi, akhirnya aku bisa bernapas lega. Kini pernikahan kami bukan hanya telah diakui khalayak, tapi juga telah dicatat oleh pengadilan agama. Bukan lagi kawin muhallil seperti awal kami disatukan. Aku tersentak saat tiba-tiba seseorang mengungkung tubuhku dari belakang. Kedua tangan kekar yang aku sudah tahu siapa pemiliknya itu menggenggam terali pagar pembatas. Aroma shampoo menguar mendera penciuman begitu laki-laki yang memenuhi pikiran itu menyangkutkan dagunya di bahuku. Sementara kedua tangannya berpindah melingkari perutku. "Mikirin apa, Sayang?" bisiknya. "Kamu," sahutku spontan sambil memeluk kedua lengannya. Maksudku
"Gaun itu untuk resepsi kita."Langkahku tertahan. Untuk sesaat hanya tertegun lalu kemudian berbalik. "Bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Jangan biarkan aku seperti orang buta yang kehilangan tongkat. Tidak tau apa pun. Semakin aku raba, semakin aku bingung. Karena selalu saja aku menemukan hal baru yang sama sekali belum aku kenali," ujarku menatap lekat wajah itu. Farhan terkekeh pelan. "Bunda duduk di sini dulu dong!" Ia menepuk sofa di sisinya. Aku cemberut, namun tetap mendekat seperti yang ia minta. "Bagian mana yang membuat Bunda seperti orang buta?" tanyanya setelah aku menghempaskan diri di sampingnya. "Semuanya,” sahutku. Ia menautkan alis. Tak sadarkah dengan bersikap seperti itu membuat ia terlihat kian tampan berkali-kali lipat? "Coba Bunda urutkan, biar aku bisa jelaskan dengan mudah," sahutnya mengulum senyum. Farhan lalu memutar tubuh. Melipat kaki kanannya di sofa hingga posisi duduk laki-laki itu kini menghadapku.Sesaat tatapan kami bertemu. T
Cobaan apa lagi ini? Hatiku teriris melihat tatapan itu. Luisya ponakanku. Darah yang mengalir di tubuh kami sama. Jika ia terluka, aku pasti akan merasakan sakit yang sama. Namun sikap yang ditunjukkan Luisya membuat aku lupa akan hal itu. Dia bertindak menjadi seseorang yang paling benar. Menghakimi tanpa melihat dari dua sisi. Aku menghempaskan tubuh di jok belakang begitu pintu mobil tertutup rapat. “Sesuai aplikasi ya, Bu?”Ucapan sang driver hanya aku jawab dengan anggukan. Setelahnya aku memejamkan mata. Mencoba meredam emosi yang masih di ubun-ubun. “Tante itu gak pantas buat Mas Farhan.” Kata-kata yang keluar sinis dari bibir Luisya sungguh membuat sesak. Aku sama sekali tidak menyangka, gadis yang biasanya begitu manis bisa setidak punya etika itu saat bicara dengan orang yang notabene wajib dia hormati. “Tante sadar umur dong, perbedaan usia kalian lima tahun. Mas Farhan itu layak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dan lebih cantik dari Tante.”“Maksudnya? Sia
“Han,” panggilku pelan sambil membelakangi laki-laki itu. Meringkuk di bawah selimut dengan pikiran yang masih berkecamuk. Apa yang baru saja terjadi bukan sebagai suatu jaminan bahwa hubungan kami akan kembali membaik. Bisa saja kan Farhan hanya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Andai itu benar, betapa menyakitkannya takdirku. Jujur, sebelum ini aku bisa merasakan ketulusan Farhan. Ia telah membuktikannya, baik padaku maupun pada Fatih. Dia menyayangi kami bahkan lebih daripada Bang Fajar sendiri. Entahlah kalau itu hanya perasaanku saja. Apalagi di satu sisi ia sangat tertutup. Ikatan pernikahan seperti apa namanya jika sang istri tidak mengenal asal usul suaminya sendiri? Katakanlah tadinya pernikahan kami hanya untuk sebuah kepentingan, nyatanya takdir membuat kami bersatu lebih lama. Siapa yang bisa menolak ketentuan-Nya? “Hmmm,” sahut Farhan di belakang punggungku. Hanya gumaman. Sesaat keraguan menyelimuti. Pantaskah aku membicarakan keresahan ini di saat suasana
Sudah hari ketiga Farhan pergi dari rumah. Tepatnya aku yang mengusir. Sepertinya sikapku benar-benar membuat laki-laki muda itu terluka. Wajar. Siapapun dalam posisinya pasti akan sakit hati diperlakukan sedemikian rupa. Berharap dia yang akan memulai chat duluan agaknya hanya sesuatu yang sia-sia. Ada rasa rindu yang mendesak di dalam sini, namun terhalang gengsi. Bagaimana mungkin aku harus menjilat ludah sendiri? Seorang Hayat tidak akan melakukannya. Tapi kalau didiami, maka aku akan benar-benar kehilangan dia. Sanggupkah? “Ahhh.” Aku menggeram dalam sesal. Tak seharusnya aku terpancing dengan omongan Lilyana. Kalau pun ada masalah bukankah sebaiknya dibicarakan? Bukannya malah mengambil keputusan sepihak yang nyatanya tidak saja melukai Farhan, tapi juga diri sendiri. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Mengedepankan emosi dalam menghadapi permasalahan membuat segalanya jadi berantakan. Duh, Hayat, kenapa lo tidak belajar dari hubungan lo dengan Bang Fajar? Adakah ma
“Lo kenal tante gue?” Luisya menyela ketika melihat kami saling menatap bingung. Gadis itu mengempaskan pinggulnya di bibir ranjang. Ia menatap kami berdua bergantian. “Tante?” Lilyana malah tak kalah bingung. “Iya, adik bungsu bokap. Kenapa?” Gadis itu membetulkan duduknya. Kali ini ia bersila di atas ranjang. Sesaat Lilyana hanya tertegun. Perlahan gadis itu ikut mengempaskan pinggul di bibir ranjang, di depan Luisya. “Lha, kok bisa kebetulan gini ya?” gumamnya pelan. Seperti pada diri sendiri. “Apanya yang kebetulan,” sahutku berbarengan dengan Luisya. Aku bangkit dari tidur. Menyandarkan tubuh pada kepala ranjang. Ditatap sedemikian rupa, gadis itu membuang muka. Jengah. “Ah nggak.” Ia cepat-cepat menggeleng. “Kalau kalian ...?” Aku sengaja menggantung ucapan, menanti penjelasan. Menatap mereka berdua bergantian. “Lily teman kuliah aku, Tan,” sahut Luisya. “Ooh.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. “Btw, kalian kenal di mana?” tanya Luisya lagi. “Di Facebook