Share

Bab 2

Jam di dinding kamar telah menunjukkan angka 12 malam. Mataku rasanya sudah sangat mengantuk. Namun Farhan belum juga masuk kamar.

Sedikit heran sebenarnya. Kok ada laki-laki yang seolah tidak peduli akan malam pengantinnya?

Penasaran aku mengintip dari balik jendela kamar, ia masih asyik mengobrol dengan abangku. Lelaki yang tadi siang menjabat tangannya saat mengucapkan ijab qabul—lelaki yang paling berhak menjadi waliku karena ayah sudah tidak ada.

Apa memang sudah jadi kebiasaannya tidur larut malam? Kalau pun iya, harusnya kali ini nggak. Bukankah ia tidak saja diminta untuk menikahiku? Ijab qabul lalu pulang?

No. Syarat supaya Bang Fajar bisa kembali menjadi suamiku, pria itu wajib menggauli sebagaimana mestinya suami istri. Meski membayangkan laki-laki itu akan menggagahi saja membuatku bergidik.

Bagaimana mungkin aku melakukannya tanpa rasa?

Apa susahnya sih? Kamu tinggal pasrah, pejamkan saja mata, biarkan laki-laki itu yang melakukan tugasnya. Jika masih tidak sanggup juga, matikan lampu. Jadi kan nggak perlu melihat wajahnya.

Lagipula wajahnya nggak kalah tampan kok dari Bang Fajar. Brondong lagi. Kapan lagi coba ganti selera, rang dah halal gini.

Plak!

Aku menepuk jidat sendiri. Pikiran gila macam apa ini? Aku menggeleng. Tidak. Aku tidak akan melakukannya karena terpaksa. Meskipun tampan dan sudah sah, bagiku tetap aja dia orang asing. Tapi kalau tidak, kapan aku bisa lepas darinya dan kembali pada Bang Fajar?

Tanpa sadar aku berdecak.

“Kenapa, Mbak?”

Aku tersentak kaget. Entah kapan masuknya tau-tau Raihan telah berada di kamar. Ia menatap dengan mata sedikit menyipit.

“Nggak.” Aku menyahut ketus.

Gimana nggak ketus. Mata dipaksa-paksain melek hanya demi menunggunya. Seolah laki-laki itu sosok yang paling penting. Eh ... tapi emang penting sih. Di tangannya kini nasib cintaku dan Bang Fajar dipertaruhkan.

“Kenapa belum tidur?”

Lelaki menyebalkan itu mengabaikan tampangku yang ditekuk. “Ini udah malam banget lho,” lanjutnya sambil menatap jam dinding.

Udah tau malam, ngapain baru masuk kamar sekarang. Gak tau apa aku tengah menunggu kamu melakukan tugas, lalu besok pagi segera angkat kaki. Andai kata itu mampu aku ucapkan.

Sayangnya lidah ini terlanjur kelu. Aku masih punya harga diri untuk tidak ingin dijatuhkan di hadapan laki-laki itu.

“Aku menunggumu.” Entah kekuatan dari mana akhirnya kata itu meluncur juga dari sela bibir.

Dia menatap datar.

“Untuk?” tanyanya. Sebelah alisnya terangkat. Seketika aku merasa tatapan itu meremehkan. Harga diriku tersentil. Pasti dia menduga aku menunggunya untuk bisa segera melakukan ... meskipun kenyataannya demikian.

“Cuma mau bilang, kalau malam ini aku belum siap.”

Ah, ternyata aku tak seberani itu. Baru melihat tampangnya dari jarak sedekat ini saja aku sudah mengkeret.

Laki-laki itu terkekeh pelan.

"Siap? Belum siap untuk apa?"

Seketika aku memalingkan wajah yang menghangat. Haruskah aku jelaskan secara detail? Laki-laki ini enyebalkan juga ternyata.

“Ooh, kalau cuma mau bilang itu, biar aku katakan, bahwa untuk saat ini aku pun belum berminat,” sahutnya kemudian setelah pertanyaan itu aku abaikan. Kemudian ia melangkah ke ranjang. Mengambil bantal dan selimut, lalu membawanya ke sofa.

Wajahku memanas. Apa itu artinya dia mengatakan bahwa aku bukan seleranya? Sialnya yang bisa kulakukan hanya menatapnya ternganga. Aku pikir laki-laki sepertinya akan melakukan begitu ada kesempatan. Kecuali kalau dia ....

Aku bergidik. Kalau apa yang aku pikirkan benar, berarti selamanya aku akan terjebak dengannya. Karena kalau dia menceraikanku sebelum menyentuh maka pernikahan kami hanya sia-sia.

“Dek, usahakan dia menyentuhmu secepatnya ya? Cukup sekali saja. Setelah itu suruh dia menalakmu.” Ucapan Bang Fajar di telpon tadi pagi kembali terngiang.

“Tapi, Bang. Aku nggak bisa. Bagaimana mungkin aku membiarkan diriku disentuh laki-laki lain sementara cintaku hanya sama Abang?” sahutku keberatan.

Bang Fajar menghela napas berat.

“Kamu pikir Abang rela? Tapi mau gimana lagi? Kita nggak punya cara lain, Dek.”

Aku terdiam.

“Plis.” Tatapan itu memohon.

Aku lagi-lagi membuang pandang. Membiarkan untuk sesaat hening mendominasi.

“Adek dengar omongan Abang kan, Sayang. Demi kita,” bujuknya lagi.

Begini nih yang membuat aku senantiasa luluh, berlutut padanya, walau dicampakkan berkali-kali. Sedikit saja ucapan lembut darinya meluluhlantakkan pertahanku.

“Bucinmu itu dah akut.” Kalimat itu pernah dituduhkan teman kerjaku waktu itu. “Kek nggak ada lelaki lain aja di dunia ini. Mana ada pasangan yang kerjaannya, nikah rujuk, nikah rujuk. Kalian kira masih pacaran? Berantem, putus, lalu baikan dan kembali sayang-sayangan. Pasangan aneh,” omelnya.

Mungkin ia mulai jengah mendengar curhatanku yang itu itu melulu.

Waktu itu aku hanya diam. Karena memang begitu kenyataannya.

“Dek, jawab Abang dong.” Suara Bang Fajar terdengar memelas di ujung sana karena omongannya tidak juga ditanggapi. Kalau ia sudah seperti itu, dalam kamusku hanya ada satu kata.

“Ya.” Akhirnya aku pasrah. Lagi-lagi ....

Terdengar ia menarik napas lega setelah tertawa pelan. Pasti wajahnya semringah. Menyebalkan. Tapi mau apa lagi, sayangku untuknya kebangetan. Dia sangat tau itu. Dan bodohnya aku membiarkan diri dimanfaatkan.

“Oiya, ingat. Adek gak boleh ikut menikmati.” Ia memperingatkan.

Bagaimana ceritanya? Kalau ternyata nanti laki-laki itu lebih ehem, ya otomatislah. Apa lagi sudah lama nggak.

Seketika wajahnya memanas.

“Abang cemburu,” lanjutnya. Ucapan itu kembali mengacaukan pikiran. Membuat rasaku terbang ke langit ketujuh saking senangnya.

“Apaan sih, Bang. Bayangin aja aku malas. Ini kan juga karena terpaksa, gara-gara Abang.” Aku cemberut. Meski tau percuma karena dia sama sekali tidak melihat.

“Sttt ... sudahlah. Abang kan dah minta maaf,” rajuknya.

Selalu begitu. Sayangnya aku terlalu tak berdaya setiap kali berhadapan dengan ayah dari anakku itu.

“Jangan ngambek dong.”

“Enggak.”

“Nah gitu dong. Abang makin sayang, Dek. Gak sabar menunggu waktu idhahmu selesai, setelah nanti diceraikan Farhan,” ujarnya.

“Lha, nikah aja belum, Bang.” Aku tertawa.

“Nah, makanya itu. Ikuti aja sesuai perintah Abang ya, biar semua lancar.”

.

“Lha, dia bengong. Gak ngantuk emang.” Suara Farhan memutus lamunanku.

Pria itu mendekat. Ia menghempaskan pinggul di bibir ranjang. Menatap dengan pandangan menyelidik.

“Ada apa?” tanyanya lagi. Datar.

Aku menggeleng. “Gak.”

“Ooh ya, sudah. Tidurlah. Aku gak akan macam-macam kok. Beneran.”

Tapi aku maunya kamu ‘macam-macam’. Kata yang terlintas begitu saja di kepala. Bang Fajar benar, semakin cepat akan semakin baik. Tapi bagaimana mengatakannya?

Dengan Bang Fajar yang sudah menikah sekian tahun pun aku belum pernah meminta duluan.

Lelaki itu kembali bangkit. Lalu mengusap pucuk kepalaku dan menciumnya lembut.

“Good night.” Ia kembali melangkah menuju sofa.

Hanya sebatas itu? Kapan jadinya? Padahal suasana sudah sangat mendukung.

“Lo nggak impot*n kan?” tanyaku tiba-tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status