Jam di dinding kamar telah menunjukkan angka 12 malam. Mataku rasanya sudah sangat mengantuk. Namun Farhan belum juga masuk kamar.
Sedikit heran sebenarnya. Kok ada laki-laki yang seolah tidak peduli akan malam pengantinnya?Penasaran aku mengintip dari balik jendela kamar, ia masih asyik mengobrol dengan abangku. Lelaki yang tadi siang menjabat tangannya saat mengucapkan ijab qabul—lelaki yang paling berhak menjadi waliku karena ayah sudah tidak ada.Apa memang sudah jadi kebiasaannya tidur larut malam? Kalau pun iya, harusnya kali ini nggak. Bukankah ia tidak saja diminta untuk menikahiku? Ijab qabul lalu pulang?No. Syarat supaya Bang Fajar bisa kembali menjadi suamiku, pria itu wajib menggauli sebagaimana mestinya suami istri. Meski membayangkan laki-laki itu akan menggagahi saja membuatku bergidik.Bagaimana mungkin aku melakukannya tanpa rasa?Apa susahnya sih? Kamu tinggal pasrah, pejamkan saja mata, biarkan laki-laki itu yang melakukan tugasnya. Jika masih tidak sanggup juga, matikan lampu. Jadi kan nggak perlu melihat wajahnya.Lagipula wajahnya nggak kalah tampan kok dari Bang Fajar. Brondong lagi. Kapan lagi coba ganti selera, rang dah halal gini.Plak!Aku menepuk jidat sendiri. Pikiran gila macam apa ini? Aku menggeleng. Tidak. Aku tidak akan melakukannya karena terpaksa. Meskipun tampan dan sudah sah, bagiku tetap aja dia orang asing. Tapi kalau tidak, kapan aku bisa lepas darinya dan kembali pada Bang Fajar?Tanpa sadar aku berdecak.“Kenapa, Mbak?”Aku tersentak kaget. Entah kapan masuknya tau-tau Raihan telah berada di kamar. Ia menatap dengan mata sedikit menyipit.“Nggak.” Aku menyahut ketus.Gimana nggak ketus. Mata dipaksa-paksain melek hanya demi menunggunya. Seolah laki-laki itu sosok yang paling penting. Eh ... tapi emang penting sih. Di tangannya kini nasib cintaku dan Bang Fajar dipertaruhkan.“Kenapa belum tidur?”Lelaki menyebalkan itu mengabaikan tampangku yang ditekuk. “Ini udah malam banget lho,” lanjutnya sambil menatap jam dinding.Udah tau malam, ngapain baru masuk kamar sekarang. Gak tau apa aku tengah menunggu kamu melakukan tugas, lalu besok pagi segera angkat kaki. Andai kata itu mampu aku ucapkan.Sayangnya lidah ini terlanjur kelu. Aku masih punya harga diri untuk tidak ingin dijatuhkan di hadapan laki-laki itu.“Aku menunggumu.” Entah kekuatan dari mana akhirnya kata itu meluncur juga dari sela bibir.Dia menatap datar.“Untuk?” tanyanya. Sebelah alisnya terangkat. Seketika aku merasa tatapan itu meremehkan. Harga diriku tersentil. Pasti dia menduga aku menunggunya untuk bisa segera melakukan ... meskipun kenyataannya demikian.“Cuma mau bilang, kalau malam ini aku belum siap.”Ah, ternyata aku tak seberani itu. Baru melihat tampangnya dari jarak sedekat ini saja aku sudah mengkeret.Laki-laki itu terkekeh pelan."Siap? Belum siap untuk apa?"Seketika aku memalingkan wajah yang menghangat. Haruskah aku jelaskan secara detail? Laki-laki ini enyebalkan juga ternyata.“Ooh, kalau cuma mau bilang itu, biar aku katakan, bahwa untuk saat ini aku pun belum berminat,” sahutnya kemudian setelah pertanyaan itu aku abaikan. Kemudian ia melangkah ke ranjang. Mengambil bantal dan selimut, lalu membawanya ke sofa.Wajahku memanas. Apa itu artinya dia mengatakan bahwa aku bukan seleranya? Sialnya yang bisa kulakukan hanya menatapnya ternganga. Aku pikir laki-laki sepertinya akan melakukan begitu ada kesempatan. Kecuali kalau dia ....Aku bergidik. Kalau apa yang aku pikirkan benar, berarti selamanya aku akan terjebak dengannya. Karena kalau dia menceraikanku sebelum menyentuh maka pernikahan kami hanya sia-sia.“Dek, usahakan dia menyentuhmu secepatnya ya? Cukup sekali saja. Setelah itu suruh dia menalakmu.” Ucapan Bang Fajar di telpon tadi pagi kembali terngiang.“Tapi, Bang. Aku nggak bisa. Bagaimana mungkin aku membiarkan diriku disentuh laki-laki lain sementara cintaku hanya sama Abang?” sahutku keberatan.Bang Fajar menghela napas berat.“Kamu pikir Abang rela? Tapi mau gimana lagi? Kita nggak punya cara lain, Dek.”Aku terdiam.“Plis.” Tatapan itu memohon.Aku lagi-lagi membuang pandang. Membiarkan untuk sesaat hening mendominasi.“Adek dengar omongan Abang kan, Sayang. Demi kita,” bujuknya lagi.Begini nih yang membuat aku senantiasa luluh, berlutut padanya, walau dicampakkan berkali-kali. Sedikit saja ucapan lembut darinya meluluhlantakkan pertahanku.“Bucinmu itu dah akut.” Kalimat itu pernah dituduhkan teman kerjaku waktu itu. “Kek nggak ada lelaki lain aja di dunia ini. Mana ada pasangan yang kerjaannya, nikah rujuk, nikah rujuk. Kalian kira masih pacaran? Berantem, putus, lalu baikan dan kembali sayang-sayangan. Pasangan aneh,” omelnya.Mungkin ia mulai jengah mendengar curhatanku yang itu itu melulu.Waktu itu aku hanya diam. Karena memang begitu kenyataannya.“Dek, jawab Abang dong.” Suara Bang Fajar terdengar memelas di ujung sana karena omongannya tidak juga ditanggapi. Kalau ia sudah seperti itu, dalam kamusku hanya ada satu kata.“Ya.” Akhirnya aku pasrah. Lagi-lagi ....Terdengar ia menarik napas lega setelah tertawa pelan. Pasti wajahnya semringah. Menyebalkan. Tapi mau apa lagi, sayangku untuknya kebangetan. Dia sangat tau itu. Dan bodohnya aku membiarkan diri dimanfaatkan.“Oiya, ingat. Adek gak boleh ikut menikmati.” Ia memperingatkan.Bagaimana ceritanya? Kalau ternyata nanti laki-laki itu lebih ehem, ya otomatislah. Apa lagi sudah lama nggak.Seketika wajahnya memanas.“Abang cemburu,” lanjutnya. Ucapan itu kembali mengacaukan pikiran. Membuat rasaku terbang ke langit ketujuh saking senangnya.“Apaan sih, Bang. Bayangin aja aku malas. Ini kan juga karena terpaksa, gara-gara Abang.” Aku cemberut. Meski tau percuma karena dia sama sekali tidak melihat.“Sttt ... sudahlah. Abang kan dah minta maaf,” rajuknya.Selalu begitu. Sayangnya aku terlalu tak berdaya setiap kali berhadapan dengan ayah dari anakku itu.“Jangan ngambek dong.”“Enggak.”“Nah gitu dong. Abang makin sayang, Dek. Gak sabar menunggu waktu idhahmu selesai, setelah nanti diceraikan Farhan,” ujarnya.“Lha, nikah aja belum, Bang.” Aku tertawa.“Nah, makanya itu. Ikuti aja sesuai perintah Abang ya, biar semua lancar.”.“Lha, dia bengong. Gak ngantuk emang.” Suara Farhan memutus lamunanku.Pria itu mendekat. Ia menghempaskan pinggul di bibir ranjang. Menatap dengan pandangan menyelidik.“Ada apa?” tanyanya lagi. Datar.Aku menggeleng. “Gak.”“Ooh ya, sudah. Tidurlah. Aku gak akan macam-macam kok. Beneran.”Tapi aku maunya kamu ‘macam-macam’. Kata yang terlintas begitu saja di kepala. Bang Fajar benar, semakin cepat akan semakin baik. Tapi bagaimana mengatakannya?Dengan Bang Fajar yang sudah menikah sekian tahun pun aku belum pernah meminta duluan.Lelaki itu kembali bangkit. Lalu mengusap pucuk kepalaku dan menciumnya lembut.“Good night.” Ia kembali melangkah menuju sofa.Hanya sebatas itu? Kapan jadinya? Padahal suasana sudah sangat mendukung.“Lo nggak impot*n kan?” tanyaku tiba-tiba.“Lo nggak impot*n kan?”Laki-laki yang baru saja merebahkan tubuhnya itu tersentak. Ia kembali bangkit dan menatapku tajam. “Apa? Coba ulangi!” Ia kembali mendekat. Ditatap sedemikian rupa, membuat jantung ini bergemuruh. Bukan karena jatuh cinta, tapi rasa takut yang menjalar. Ternyata ia jauh lebih sangar saat terusik. Bagaimana kalau ia melakukannya sekarang tapi memperlakukanku dengan kasar? Apalagi sepertinya ucapanku tadi benar-benar membuatnya tersinggung. Aku menggeser pinggul perlahan saat ia semakin dekat. Menelan ludah berkali-kali yang tetiba terasa seret di kerongkongan. Dasar mulut nggak ada akhlak emang. Bisa-bisanya kata itu meluncur begitu saja. “Kalau kamu benar-benar menginginkannya, maka akan aku lakukan sekarang juga. Tapi kalau Cuma demi mengikuti keinginan mantan suamimu itu, aku tidak akan melakukannya,” ucapnya datar dan dingin. Maksudnya apa? “Kamu tau kenapa?” tanyanya lagi seolah membaca jalan pikiranku, masih tanpa ekspresi. Aku bergeming. “Ba
Pintu kamarku terkuak. Reflek aku menoleh ke sana. Wajahku mungkin telah memucat saat menyadari siapa yang berdiri di sana. Ia kembali menutup pintu dengan cepat. “Abang?” Aku buru-buru bangun meski rasanya tubuh remuk. Begitu beraninya lelaki yang sudah tak berhak itu menerobos masuk tanpa permisi. “Abang gak boleh masuk ke kamar ini,” ujarku. Lalu secepatnya meraih jilbab yang tergeletak di sisi bantal dan memakainya. “Abang kangen, Dek,” ujarnya sedikit terengah. Ada perasaan senang menyelinap mendengar kata itu. Kangen. Tapi detik berikutnya kembali terbayang kata-kata Farhan. Bang Fajar hanya memanfaatkan aku demi egonya. Dan itu perlahan melukaiku. Aku menggeleng, “Tapi ..., Bang?”“Kenapa sih, Dek. Orang udah biasa juga,” protesnya. Pikirannya benar-benar telah dibutakan atau bagaimana? Jelas-jelas kemarin pagi ia sendiri yang mengantarkan seorang suami baru untukku. “Kenapa Abang bilang? Abang masuk rumah ini aja udah jelas salah selama tidak ditemani mahramku. Apalag
“Farhan, i – ini tuh masih sore. Ntar lagi Magrib,” ujarku gugup ketika wajah itu kian mendekat. Aku memejamkan mata rapat saat ujung salah satu jemarinya menyentuh pipiku lembut. Jangan tanya seperti apa degup jantung ini. Aroma maskulin tubuhnya makin menciptakan debar. Bahkan suaraku bergetar. Memalukan. Sial. Aku merutuk dalam hati. Kenapa jadi sekikuk ini. Ayolah, Yat. Selow. Lo bahkan jauh lebih berpengalaman dari brondong itu. Bisa-bisa nanti malah lo yang diminta jadi tutor karena bisa aja ini bakal jadi pengalaman pertamanya. Ah, mana mungkin. Bukannya tadi malam ia sendiri yang bilang sepuluh kali tanpa jeda aja ia sanggup? Lagi hari gini nyari cowok yang benar-benar tong tong? Mimpi kali. Tanpa disadari aku menggeleng. “Mau ngapain emang?” sahutnya. Memutus pikiran tak ada akhlak yang tetiba menguasai. Dasar jablay. Ingin kumemaki diri sendiri. Saat membuka mata, pemuda itu tengah menahan senyum dengan tatapan geli. “Aku hanya mau mengambil ini,” ujarnya lagi sam
“Telpon dari siapa?” tanyaku begitu Farhan kembali ke kamar. Pertanyaan basa-basi yang aku telah tau jawabannya. Pemuda itu melirik sekilas, “gak penting,” sahutnya. Di luar dugaan. Aku melirik sekilas. Tak ada ekspresi apa pun di sana. Sedikit heran sebenarnya, kenapa ia tidak mau membahas? Bukankah aku adalah topik pembicaraan mereka? Nyata-nyata tadi namaku yang disebut. “Ooh.” Aku menjawab singkat. Tak ingin lagi bertanya meskipun penasaran.Lelaki itu melanjutkan langkah menuju lemari pakaian. “Mau ke mana?” tanyanya sambil jalan. Mungkin karena melihat penampilanku yang sudah rapi. “Kerja.”“Ooh.”Hening. Dari kaca meja rias aku melihat dia mengutak-atik tas pakaian. “Dah baikan emang?” tanyanya lagi. “Hmm ....” Aku mengangguk. Meski aku tau dia sama sekali tidak melihat. Pemuda itu tengah fokus dengan isi kopernya. “Ooh ya udah,” sahutnya datar. Ternyata pemuda itu mengambil jaket kulitnya. Setelah merapikan kembali tas pakaian ke dalam lemari, ia berbalik. Sesaa
Aku menyeruput jus jeruk hingga menghabiskan hampir setengahnya dalam sekali tegukan. Pertanyaan ceplas-ceplos Bang Fajar nyaris membuatku tersedak. Bisa-bisanya dia menanyakan apakah aku dan Farhan telah melakukannya. “Kenapa? Kamu gak berniat berubah pikiran kan?” Bang Fajar bertanya lagi. Pria itu menatap tajam. “Apaan sih?” Aku mendelik. “Abang serius, Yat.” Tanpa mengatakannya, aku pun tau kalau lelaki yang telah memberiku satu orang putra ini mulai terlihat tidak sabaran. Wajar sebenarnya. Karena kalau Cuma menikah untuk ditiduri sekali saja seharusnya tidak memerlukan waktu lama. Namun kenyataan tidak sesimpel itu. Aku telah berusaha. Bahkan aku telah merendahkan harga diri untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu. Mengingat peristiwa malam itu perasaan malu kembali menyelimuti. Sekaligus mulai bimbang dengan kesungguhan Bang Fajar. Apa jaminan ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi? “Jadi Abang sengaja mencegat hanya untuk menanyakan ini?” Aku balik bert
Aku menatap gugup wajah Farhan yang kian mendekat. Duduk di sofa dengan jarak yang sedekat itu menghadirkan debar tersendiri. Terlebih saat napasnya yang hangat menyapu kulit wajah. Ayolah, Yat. Jangan belagak seolah lo perawan ting-ting yang sama sekali belum pernah tersentuh. Aku membatin. Yang ada nanti lo malah terlihat aneh di matanya. Pemuda di depan lo itu hanya seorang anak muda yang sengaja dipilihkan untuk sekedar singgah, lalu menghilang.Sepertinya anak muda itu sekarang tengah tergoda. Kesempatan lo buat memulai duluan, kalau sekiranya ia masih berniat menunda. Suara hati terus mengompori.Etdah! Apa yang paling penting adalah ... urusan kalian kelar. Kelar. Ya, sejak awal bukankah memang itu tujuannya? Sayang aku tak punya nyali. Atau mungkin juga gengsi karena pernah dianggap tidak punya harga diri. Sialan memang. Sungguh demi apa pun aku tak menyangka akan segugup ini. "Kebiasaan ya, makan belepotan," ujarnya sambil menyapu lembut bibirku dengan ujung jari tel
Tak penting siapa yang memulai, tapi hasil yang telah dicapai. Satu yang tak bisa dipungkiri, kenyataannya kami saling menikmati keintiman ini. Aku sangat yakin itu. Setelah menghela napas panjang, aku membuangnya perlahan. Niat yang semula hanya untuk sekedar balas menjahili, meninggalkan Farhan saat nafsu pria itu memuncak, terpatahkan dengan sendirinya. Pernah dengar istilah masuk dalam perangkap sendiri? Kali ini aku mengalami. Mencoba kabur setelah membuat gairah pemuda itu bangkit ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Akhirnya dengan sadar diri aku menyerah tak sampai dalam hitungan jam. Wajahku menghangat mengingat bagaimana cara Farhan mengeksekusi. Dia benar. Bercinta itu naluriah. Anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap makhluk yang bernyawa untuk bisa berkembang di muka bumi ini. Adalah satu kebodohan meragukan seseorang bisa atau tidak. Siapa pun dia, selama masih punya nafsu, pasti akan mengerti dengan sendirinya. Kuncinya hanya satu, dia ingin. Farhan tela
Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku menautkan alis. Merasa tak punya urusan apapun yang mendesak, panggilan itu aku abaikan. Terputus dengan sendirinya. Setelah meletakkan ponsel di ranjang, aku berjalan cepat menuju pintu depan. Dimana ketukan makin intens. Sedikit penasaran, siapa yang bertamu pagi-pagi? Aku mundur beberapa langkah. Kaget. Tamu tak diundang itu ternyata Bang Fajar. Ia menerobos masuk begitu saja saat pintu terbuka. Wajah yang biasanya senantiasa rapi, kini mulai ditumbuhi cambang dan kumis yang dibiarkan memanjang. Rahangnya yang tajam kian mengeras. Bang Fajar terlihat sedikit tidak terurus. Ia mengedarkan pandangan. “Mana dia!?” tanyanya dengan tatapan nyalang.“Dia? Dia siapa?”“Si brengsek itu.” Ia langsung masuk ke ruang tengah. Farhan. Pasti pemuda itu yang ia cari. Cuma yang membuat heran, kenapa ia tampak begitu marah? “Abang kenapa?” tanyaku sambil mengikuti langkah laki-laki itu. Bang Fajar tak menggubris. Langkahnya terus saja bergerak m