Bab 36 "Akhir pekan depan kita ke Bogor."Ucapan Farhan pagi ini membuatku tersentak. Yang aku tahu saat aku terjaga tengah malam, Farhan sepertinya belum tidur meski matanya terpejam. Dari kelopaknya yang terlihat bergerak-gerak, aku yakin laki-laki itu hanya pura-pura terlelap saat tau aku akan terbangun. Mungkin ia tidak ingin aku mengusiknya. Namun, aku pun tidak ingin bertanya. Bisa jadi Farhan tengah memikirkan bagaimana cara memberitahukan semua pada ibunya. Bagaimana pun, ia butuh privasi. Dan sepertinya tindakanku benar. Buktinya, ia bisa langsung mengambil keputusan begitu terbangun di pagi hari. "Tapi nggak usah ajak Fatih dulu ya?" ujarnya lagi. Aku tersentak mendengar pernyataan yang sekaligus sebuah keputusan itu. Mungkin raut wajahku sedikit berubah karena tidak menduga Farhan akan mengatakan itu. Aku tau sebesar apa rasa sayangnya pada Fatih. Dan aku sama sekali tidak meragukannya. Akan tetapi saat ia tidak punya nyali untuk mengakui keberadaan anak itu di a
Selain sambel goreng ati yang Ibu bilang lauk kesukaan Farhan, ada banyak menu khas masakan Sunda yang tertata di meja. Pepes ikan Mas, empal gepuk, sambel dan tak ketinggalan lalapan. Juga ada nasi tutuk oncom yang lengkap dengan tahu dan tempe goreng. "Ibu mau ngapain masak sebanyak ini?" ujar Farhan begitu ia menghempaskan diri di salah satu kursi meja makan. Ia menatap semua makanan itu dengan tatapan berbinar. Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi beberapa menu itu segera berpindah ke piring makannya. "Ibu mah sebenarnya mau marah atuh sama kamu," sahut wanita itu. "Bagaimana bisa kamu nggak ngabarin Ibu kalau kamu mau datang? Untung tadi Liliana nelpon nanyain kamu dah sampai apa belum," sungutnya. "Ooh dia ngabarin Ibu? Dia mau pulang juga kan ya?" Mengabaikan wajah ibunya yang cemberut Farhan malah bertanya. "Tadinya iya, lalu tetiba batal karena ada kerjaan mendadak katanya."Farhan hanya manggut. "Maafkan kami, Bu," ujarku. "Dan maaf juga baru bisa datang," lanjutk
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Hayatun Ni’ma binti Abdus Salam dengan mas kawin sebesar seratus ribu rupiah dibayarkan tunai.” Begitu lantang lafadz itu terucap dari bibir Farhan. Tak terdengar sedikit pun keraguan dalam nada suaranya. Di dalam kamar sesaat aku hanya terpana. Lalu mendadak meriang, berdebar, dan juga mules. Entah rasa apa lagi. “Sah?”“Sah!” sahut para saksi serentak. Perasaanku makin tidak karuan. Andai saja ada cara lain. Ini bukanlah pernikahanku yang pertama kali. Namun justru itulah yang jadi masalah. Meskipun dalam agama dibolehkan dengan syarat tertentu, tapi ini gila. Aku dinikahi hanya untuk sekali ditiduri sebagai syarat agar Bang Fajar bisa kembali mempersuntingku. Astaghfirullah. Lelaki temperamen itu sudah menjatuhkan talak padaku sebanyak tiga kali. Seperti yang sudah-sudah setelah menjatuhkan talak, dia sendiri yang tergila-gila meminta untuk kembali. Namun sayang, semua tak semudah yang ia pikirkan. Kali ini jalannya untuk kembali tertutup
Jam di dinding kamar telah menunjukkan angka 12 malam. Mataku rasanya sudah sangat mengantuk. Namun Farhan belum juga masuk kamar. Sedikit heran sebenarnya. Kok ada laki-laki yang seolah tidak peduli akan malam pengantinnya? Penasaran aku mengintip dari balik jendela kamar, ia masih asyik mengobrol dengan abangku. Lelaki yang tadi siang menjabat tangannya saat mengucapkan ijab qabul—lelaki yang paling berhak menjadi waliku karena ayah sudah tidak ada. Apa memang sudah jadi kebiasaannya tidur larut malam? Kalau pun iya, harusnya kali ini nggak. Bukankah ia tidak saja diminta untuk menikahiku? Ijab qabul lalu pulang? No. Syarat supaya Bang Fajar bisa kembali menjadi suamiku, pria itu wajib menggauli sebagaimana mestinya suami istri. Meski membayangkan laki-laki itu akan menggagahi saja membuatku bergidik. Bagaimana mungkin aku melakukannya tanpa rasa? Apa susahnya sih? Kamu tinggal pasrah, pejamkan saja mata, biarkan laki-laki itu yang melakukan tugasnya. Jika masih tidak sanggup
“Lo nggak impot*n kan?”Laki-laki yang baru saja merebahkan tubuhnya itu tersentak. Ia kembali bangkit dan menatapku tajam. “Apa? Coba ulangi!” Ia kembali mendekat. Ditatap sedemikian rupa, membuat jantung ini bergemuruh. Bukan karena jatuh cinta, tapi rasa takut yang menjalar. Ternyata ia jauh lebih sangar saat terusik. Bagaimana kalau ia melakukannya sekarang tapi memperlakukanku dengan kasar? Apalagi sepertinya ucapanku tadi benar-benar membuatnya tersinggung. Aku menggeser pinggul perlahan saat ia semakin dekat. Menelan ludah berkali-kali yang tetiba terasa seret di kerongkongan. Dasar mulut nggak ada akhlak emang. Bisa-bisanya kata itu meluncur begitu saja. “Kalau kamu benar-benar menginginkannya, maka akan aku lakukan sekarang juga. Tapi kalau Cuma demi mengikuti keinginan mantan suamimu itu, aku tidak akan melakukannya,” ucapnya datar dan dingin. Maksudnya apa? “Kamu tau kenapa?” tanyanya lagi seolah membaca jalan pikiranku, masih tanpa ekspresi. Aku bergeming. “Ba
Pintu kamarku terkuak. Reflek aku menoleh ke sana. Wajahku mungkin telah memucat saat menyadari siapa yang berdiri di sana. Ia kembali menutup pintu dengan cepat. “Abang?” Aku buru-buru bangun meski rasanya tubuh remuk. Begitu beraninya lelaki yang sudah tak berhak itu menerobos masuk tanpa permisi. “Abang gak boleh masuk ke kamar ini,” ujarku. Lalu secepatnya meraih jilbab yang tergeletak di sisi bantal dan memakainya. “Abang kangen, Dek,” ujarnya sedikit terengah. Ada perasaan senang menyelinap mendengar kata itu. Kangen. Tapi detik berikutnya kembali terbayang kata-kata Farhan. Bang Fajar hanya memanfaatkan aku demi egonya. Dan itu perlahan melukaiku. Aku menggeleng, “Tapi ..., Bang?”“Kenapa sih, Dek. Orang udah biasa juga,” protesnya. Pikirannya benar-benar telah dibutakan atau bagaimana? Jelas-jelas kemarin pagi ia sendiri yang mengantarkan seorang suami baru untukku. “Kenapa Abang bilang? Abang masuk rumah ini aja udah jelas salah selama tidak ditemani mahramku. Apalag
“Farhan, i – ini tuh masih sore. Ntar lagi Magrib,” ujarku gugup ketika wajah itu kian mendekat. Aku memejamkan mata rapat saat ujung salah satu jemarinya menyentuh pipiku lembut. Jangan tanya seperti apa degup jantung ini. Aroma maskulin tubuhnya makin menciptakan debar. Bahkan suaraku bergetar. Memalukan. Sial. Aku merutuk dalam hati. Kenapa jadi sekikuk ini. Ayolah, Yat. Selow. Lo bahkan jauh lebih berpengalaman dari brondong itu. Bisa-bisa nanti malah lo yang diminta jadi tutor karena bisa aja ini bakal jadi pengalaman pertamanya. Ah, mana mungkin. Bukannya tadi malam ia sendiri yang bilang sepuluh kali tanpa jeda aja ia sanggup? Lagi hari gini nyari cowok yang benar-benar tong tong? Mimpi kali. Tanpa disadari aku menggeleng. “Mau ngapain emang?” sahutnya. Memutus pikiran tak ada akhlak yang tetiba menguasai. Dasar jablay. Ingin kumemaki diri sendiri. Saat membuka mata, pemuda itu tengah menahan senyum dengan tatapan geli. “Aku hanya mau mengambil ini,” ujarnya lagi sam
“Telpon dari siapa?” tanyaku begitu Farhan kembali ke kamar. Pertanyaan basa-basi yang aku telah tau jawabannya. Pemuda itu melirik sekilas, “gak penting,” sahutnya. Di luar dugaan. Aku melirik sekilas. Tak ada ekspresi apa pun di sana. Sedikit heran sebenarnya, kenapa ia tidak mau membahas? Bukankah aku adalah topik pembicaraan mereka? Nyata-nyata tadi namaku yang disebut. “Ooh.” Aku menjawab singkat. Tak ingin lagi bertanya meskipun penasaran.Lelaki itu melanjutkan langkah menuju lemari pakaian. “Mau ke mana?” tanyanya sambil jalan. Mungkin karena melihat penampilanku yang sudah rapi. “Kerja.”“Ooh.”Hening. Dari kaca meja rias aku melihat dia mengutak-atik tas pakaian. “Dah baikan emang?” tanyanya lagi. “Hmm ....” Aku mengangguk. Meski aku tau dia sama sekali tidak melihat. Pemuda itu tengah fokus dengan isi kopernya. “Ooh ya udah,” sahutnya datar. Ternyata pemuda itu mengambil jaket kulitnya. Setelah merapikan kembali tas pakaian ke dalam lemari, ia berbalik. Sesaa