Share

Bab 3

“Lo nggak impot*n kan?”

Laki-laki yang baru saja merebahkan tubuhnya itu tersentak. Ia kembali bangkit dan menatapku tajam.

“Apa? Coba ulangi!” Ia kembali mendekat.

Ditatap sedemikian rupa, membuat jantung ini bergemuruh. Bukan karena jatuh cinta, tapi rasa takut yang menjalar. Ternyata ia jauh lebih sangar saat terusik.

Bagaimana kalau ia melakukannya sekarang tapi memperlakukanku dengan kasar? Apalagi sepertinya ucapanku tadi benar-benar membuatnya tersinggung.

Aku menggeser pinggul perlahan saat ia semakin dekat. Menelan ludah berkali-kali yang tetiba terasa seret di kerongkongan.

Dasar mulut nggak ada akhlak emang. Bisa-bisanya kata itu meluncur begitu saja.

“Kalau kamu benar-benar menginginkannya, maka akan aku lakukan sekarang juga. Tapi kalau Cuma demi mengikuti keinginan mantan suamimu itu, aku tidak akan melakukannya,” ucapnya datar dan dingin.

Maksudnya apa?

“Kamu tau kenapa?” tanyanya lagi seolah membaca jalan pikiranku, masih tanpa ekspresi.

Aku bergeming.

“Bagiku hubungan suami istri itu hanya akan berjalan atas dasar suka sama suka. Kalau Cuma lelaki yang menikmati itu namanya perkosaan,” ujarnya sarkastis.

Aku kembali menelan ludah. Semakin gugup. Karena saat mengatakan kalimat itu wajahnya hanya berjarak beberapa inci.

“Itu kan kalau sebuah pernikahan wajar.” Akhirnya aku bisa berargumen setelah sedikit beringsut menjauh darinya.

Lagian siapa dia berani menekanku? Bukan urusannya juga aku menikmati atau tidak. Bukankah kehadirannya hanya dibutuhkan untuk menghapus jejak Bang Fajar? Yang perlu ia lakukan hanya meniduri bukan mengajak bercinta. Karena itu jelas dua hal yang berbeda.

“Begitu?” sahutnya. Lantas meloncat turun dari ranjang. Berdiri dengan kaki sedikit terbuka dan kedua tangan dilipat di depan dada. Tubuh tinggi tegap miliknya kian terlihat menjulang.

“Sekarang buka bajunya.”

“Apa?!” Mataku membulat.

Sama sekali tidak menyangka dia akan bertindak demikian.

“Kamu mau aku melakukannya sekarang kan? Buka bajunya!” desisnya lagi tajam. Dengan tubuh yang sedikit dibungkukkan. Jemari tangannya mencengkeram rahangku hingga memaksa wajahku tengadah.

Aku membuang pandang.

“Tatap aku,” desisnya.

Suka tidak suka, aku terpaksa menatapnya. Ada kemarahan dalam sorot mata itu.

“Atau kamu mau aku yang membukanya?” ujarnya lagi. Tangannya yang tadi mencengkeram dagu, kini beralih menyentuh piyama yang aku kenakan.

Reflek kedua tanganku memeluk tubuh sendiri. Menahan agar jemari itu tidak bergerak menyentuh kancing piyamaku.

Tanpa sadar aku menggeleng. Jujur melihatnya seperti itu aku merasa jadi seekor anak ayam yang berada dalam cengkeraman Elang. Pasti dalam satu kali patukan, mati.

“Kenapa? Bukannya tadi kamu udah gak sabar?” Tatapannya yang dingin makin membuatku bergidik.

Sekali lagi aku hanya bisa menggeleng.

Ternyata aku benar-benar salah bicara. Andai ada cara menarik kembali ucapan seolah kata yang membuat ia berang itu sama sekali tidak pernah ia dengar, maka akan aku lakukan.

Nyatanya ucapan bukan sebuah tulisan yang bisa didelete jika salah ketik. Ucapan adalah ungkapan yang harus dipikirkan dulu sebelum dikeluarkan.

“Maaf.” Akhirnya kata itu meluncur halus dari sela bibirku.

Ya, hanya itu satu-satunya cara agar sakit akibat kata yang sudah terlanjur terucap sedikit terobati.

Farhan menarik napas panjang lalu menghembuskannya kasar.

“Kalian berdua sama saja,” ujarnya. Lalu berbalik.

Nada kecewa tertangkap nyata dari ucapan itu.

Apa maksudnya?

“Harusnya kamu bersyukur karena aku masih menghormatimu,” gumamnya lagi tanpa menatap.

“Kalau Cuma sekedar melakukannya, itu pekerjaan paling mudah. Jangankan sekali, sepuluh kali tanpa jeda juga, aku sanggup.” Kali ini ia menoleh dan menatap lekat.

Sepuluh kali? Aku yang tepar, Pak. Tentu saja kalimat ini hanya ada dalam hati.

“Hanya saja... ah, sudahlah. Kalian tidak akan pernah mengerti,” lanjutnya lagi sambil melangkah menuju sofa. Menghempaskan pinggulnya di sana.

“Padahal kalau kamu berpikir sedikit saja, di sini kamu adalah pihak yang paling dirugikan. Hanya saja sepertinya cinta buta telah menutup akal sehatmu,” gumamnya pelan.

Menopang kedua sikunya pada lutut, ia menatap dengan pandangan ... entah.

Wajahku mungkin sudah seputih kapas. Tanpa sadar kelopak mataku menghangat.

Dia benar. Kalau pun ada pihak yang dirugikan di sini, jelas itu adalah aku. Tak seharusnya aku mengikuti rencana gila Bang Fajar.

Bukankah lelaki itu berkali-kali mengatakan dia akan berubah lantas mengulanginya lagi? Tapi aku masih percaya. Dan sekarang? Bukankah apa yang ia lakukan kali ini sungguh keterlaluan.

Mungkin baginya aku tak lebih dari sebuah barang. Dia akan ambil saat ingin, lalu membuangnya setelah merasa tak membutuhkan.

Itukah yang dia sebut cinta?

Bodohnya aku, kenapa selama ini hanya bisa menutup mata?

“Farhan, aku ... aku.”

Tubuhku gemetaran lalu perlahan merosot ke lantai. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Sesenggukan menahan isak.

Samar aku dengar ia menarik napas panjang.

“Bangunlah,” ujarnya pelan. Bangkit dari duduknya.

Aku bergeming.

“Bangun, Mbak,” ujarnya lagi. Kali ini pemuda itu menyentuh pundakku pelan. Ia ikut berjongkok di karpet.

Perlahan aku mendongak. Sesaat netra ini bertemu.

“Sayangi dirimu, Mbak. Jadilah wanita yang punya harga diri. Kamu sekarang tidak lagi punya kewajiban mengikuti kemauannya. Sadari itu. Bang Fajar hanya mantan yang tengah memanfaatkanmu demi egonya.”

Aku menatap wajah itu lekat?

“Lalu kenapa kamu menyanggupi?”

“Sudahlah. Tidur gih. Sudah terlalu malam.” Ia malah mengalihkan pembicaraan.

Pemuda itu mengusap pelan pucuk kepalaku dan kembali bangkit, menuju sofa.

***

Aku membuka mata saat cahaya matahari menerobos masuk dari celah ventilasi. Aku kesiangan. Saat mencoba bangun, sekujur tubuh rasanya tak bertulang. Akhirnya aku hanya tidur telentang.

Kelopak mataku terasa sedikit memanas. Aku meraba dahi. Hangat. Sepertinya kejadian semalam yang membebani pikiran berimbas pada kesehatan.

Sejujurnya aku merasa malu pada Farhan. Pemuda 22 tahun itu telah membuat harga diriku lebur jadi serpihan tak berharga.

Ia menelanjangiku bukan dalam arti yang sebenarnya. Tapi pemuda itu telah membuka mataku tentang arti sebuah kebenaran. Cinta saja tidak cukup untuk membangun rumah tangga. Ada ego yang harus bisa sama-sama diredam untuk mencapai sebuah keluarga samawa.

Dari sikapnya aku belajar. Bahwa dewasa bukan masalah umur tapi pikiran. Dan Bang Fajar tidak punya itu. Mungkin juga aku.

Saat menatap ke sofa, pemuda itu sudah tidak ada. Bantal dan selimut yang semalam ia pakai telah terlipat rapi. Mungkin ia ke kampus. Karena Bang Fajar bilang ia masih kuliah semester akhir.

Aku curiga, ia bersedia jadi muhallilku pasti karena uang. Kalau bukan alasan apa lagi?

Ah ... buat apa juga aku memikirkan pria itu. Bukan urusanku.

“Bunda.” Ketukan di pintu menyadarkan bahwa ada tanggung jawab lain yang menunggu uluran tanganku.

Malaikat kecil yang bernama Fatih.

Tanpa menunggu sahutan, pintu itu telah terkuak. Tubuh mungilnya berlari mendekat.

“Bunda,” panggilnya lagi.

“Bunda kenapa beyum bangun? Bunda atit?” Anak itu langsung memanjat, naik ke ranjang. Duduk persis di sebelah pundakku. Lalu meraba dahiku dengan mimik serius.

Ia memang selalu begitu setiap kali melihat aku terkapar di tempat tidur. Bermula beberapa bulan lalu, akibat salah makan, aku harus merelakan waktu tiga hari tidak bisa bangkit dari ranjang. Diare akut diiringi demam tinggi. Aku pikir aku harus koit saat itu juga.

“Bunda hanya capek, Nak,” sahutku. Menatap wajah tanpa dosa itu.

“Tapi tadi Papa bilang Bunda atit,” sahutnya.

“Papa?”

Anak kecil itu mengangguk polos.

Di saat yang sama pintu kamar kembali terkuak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status