Share

Bab 4

Pintu kamarku terkuak. Reflek aku menoleh ke sana. Wajahku mungkin telah memucat saat menyadari siapa yang berdiri di sana. Ia kembali menutup pintu dengan cepat.

“Abang?”

Aku buru-buru bangun meski rasanya tubuh remuk. Begitu beraninya lelaki yang sudah tak berhak itu menerobos masuk tanpa permisi.

“Abang gak boleh masuk ke kamar ini,” ujarku. Lalu secepatnya meraih jilbab yang tergeletak di sisi bantal dan memakainya.

“Abang kangen, Dek,” ujarnya sedikit terengah.

Ada perasaan senang menyelinap mendengar kata itu. Kangen. Tapi detik berikutnya kembali terbayang kata-kata Farhan. Bang Fajar hanya memanfaatkan aku demi egonya. Dan itu perlahan melukaiku.

Aku menggeleng, “Tapi ..., Bang?”

“Kenapa sih, Dek. Orang udah biasa juga,” protesnya.

Pikirannya benar-benar telah dibutakan atau bagaimana? Jelas-jelas kemarin pagi ia sendiri yang mengantarkan seorang suami baru untukku.

“Kenapa Abang bilang? Abang masuk rumah ini aja udah jelas salah selama tidak ditemani mahramku. Apalagi ini ke dalam kamar. Abang lupa apa status kita?” Nada suaraku sedikit meninggi.

“Kan kita gak ngapa-ngapain?” kilahnya.

“Tetap aja gak boleh. Apalagi aku sekarang dah jadi istri orang.”

“Hanya sesaat.” Ia meralat cepat.

“Apa pun itu,” sahutku kesal.

Bang Fajar dah keterlaluan. Bagaimana bisa ia dengan seenaknya masuk ke kamarku? Ingin marah, ada Fatih di antara kami.

“Fatih, temani Ayah di ruang tamu ya, Nak?” Akhirnya hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan. Kalimat yang sesungguhnya diucapkan untuk mengusir Bang Fajar.

“Tapi, Dek.”

“Bang ...!” Aku menatapnya dengan pandangan memohon. Ia menghela napas panjang. Lalu melengos. Kesal sepertinya.

“Iya, Bunda.”

Berbeda dengan tanggapan ayahnya, bocah kecil itu segera bangkit lalu melompat turun dari ranjang.

Namun sebelum kakinya menyentuh lantai, tubuh mungilnya sudah disambut Bang Fajar. Meskipun tadi dia ogah-ogahan.

“Ayah kangen banget sama kamu,” ujarnya sambil mencubit ujung hidung anak itu. Ia tertawa lebar. Tapi wajah itu kembali ditekuk saat menatapku. Lalu melangkah menggendong tubuh gempal itu keluar kamar.

“Jangan lama-lama. Kalau gak Abang akan susul lagi ke mari,” ancamnya pas di depan pintu kamar.

“Iya,” sahutku. Kemudian menghela napas lega.

Laki-laki itu kian nekad saja.

Sepeninggal mereka berdua, aku beranjak ke kamar mandi. Bersih-bersih seperlunya. Sebenarnya masih enggan meninggalkan tempat tidur, tapi aku takut Bang Fajar akan kembali ke kamar.

Ini juga yang jadi salah satu alasan kenapa aku menerima ide gilanya untuk mau dinikahi seorang muhallil. Karena sejak resmi bercerai ia malah hampir setiap hari datang. Selalu saja ada alasannya. Kalau tidak siang ya malam hari. Dan anehnya aku pun menyukai hal itu. Sehari saja tidak mendengar kabarnya aku galau.

Namun yang lebih parah ia pernah mencoba merayuku untuk melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh telah dilarang. Bahkan setengah memaksa. Beruntung aku masih bisa berpikiran waras.

Benar kata orang. Jatuh cinta orang yang telah talak tiga itu itu jauh lebih gila. Mengerikan.

Sikapnya itu jelas membuat resah warga sekitar yang masih memegang teguh norma agama. Dan memang apa yang ia lakukan itu sesuatu yang telah diharamkan.

Selesai berdandan ala kadarnya, aku melangkah keluar kamar. Mataku langsung tertuju pada ayah dan anak itu yang malah bermain di ruang tengah. Bukan di ruang tamu seperti yang aku minta.

“Bang, kok di sini?” tegurku halus.

“Kenapa sih, Dek? Kan Abang Cuma nemenin Fatih.”

Aku menghela napas. Percuma berdebat dengan orang yang telah dibutakan mata hatinya.

Tanpa mengucapkan apa pun lagi aku melangkah ke teras. Sadar akan kemarahanku, laki-laki itu menyusul di belakang. Setelah lebih dulu memanggil baby sitter Fatih menggantikannya menemani anak itu.

“Dek, jangan diemin Abang dong?” bujuknya begitu mengenyakkan pinggul di salah satu kursi teras demi melihat wajahku yang ditekuk.

Aku menatapnya sekilas.

“Gak sepantasnya Abang datang saat Farhan tidak ada.”

“Jangan bawa-bawa nama orang itu,” sanggah Bang Fajar. Tatapannya tajam dengan mimik wajah kian tidak enak dipandang

“Abang nggak suka,” lanjutnya.

Aku melirik sekilas. Entah karena masih terpengaruh dengan omongan Farhan tadi malam atau memang mataku yang telah terbuka, aku makin merasa tidak nyaman dengan kehadiran dan sikapnya.

“Faktanya saat ini ia yang jadi suamiku.”

“Dek?”

Ia menatap lekat. Wajahnya mengeras. Aku tau ia kesal. Atau mungkin sedikit aneh dengan perubahan sikapku?

“Lagian sepagi ini udah namu. Gak kerja emang?” tanyaku lagi.

“Kerja lah.” Ia membuang tatap.

“Farhan bilang kamu sakit. Abang hanya mau memastikan saja kalau dia gak bohong,” jelasnya lagi.

“Ooh,” sahutku hambar.

“Kok Cuma ooh.” Bang Fajar protes.

“Maaf, Bang. Kepalaku sakit, aku butuh istirahat.” Aku memutus obrolan.

“Ngapain aja kalian semalaman? Kok bisa sampai sakit?” sahutnya. Ada nada tidak rela di sana.

Mataku membulat.

Dalam keadaan seperti ini pertanyaannya sungguh membuat ilfil. Aku mau ngapain, bukankah itu tidak lagi menjadi urusannya? Setidaknya sampai Farhan menceraikanku.

Lagi pula memang tidak ada apa pun yang terjadi. Setidaknya ... belum.

Daripada menjawab pertanyaan tak penting itu, diam mungkin akan jauh lebih baik. Apalagi aku memang sedang tidak ingin berdebat.

“Abang mau tetap di sini, silakan. Tapi aku benar-benar ingin istirahat.”

Setelah mengatakan itu aku lantas bangkit.

“Jangan bilang kamu mulai mencari alasan,” tuduhnya.

“Satu hal yang perlu kamu ingat, Abang tak kan pernah rela melepaskanmu,” ujarnya lagi saat kakiku sudah menginjak ruang tamu.

Aku hanya menggelengkan kepala.

Terserahlah.

***

“Jadi tadi Bang Fajar datang?” tanya laki-laki itu sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia baru saja pulang dan langsung membersihkan diri.

“Siapa yang bilang?” Aku balik bertanya tanpa berani membalas tatapannya.

“Gak ada.”

“Terus?”

“Terus apa? Aku kan Cuma nanya,” sahutnya setelah mengembalikan handuk kecil itu ke tempat semula.

Pemuda itu melangkah ke depan kaca rias. Membubuhkan sedikit minyak rambut di kepalanya kemudian sisiran. Lalu menyemprotkan parfum ke leher, dan beberapa bagian tubuh yang lain. Khas anak muda banget.

Aku menatapnya dengan berbagai tanya memenuhi rongga kepala. Dan pertanyaan terpenting, bagaimana bisa pemuda setampan itu setuju untuk jadi seorang muhallil? Sungguh sulit dipercaya.

“Iya. Tadi dia ke sini. Katanya kamu bilang aku sakit makanya dia datang.” Entah kenapa aku ingin menjelaskan, meski tidak diminta.

Farhan mendengkus. Pemuda itu membalikkan tubuh, menyandarkan bokongnya di bibir meja rias.

“Dah baikan?” tanyanya.

Aku mengangguk setelah membenarkan posisi duduk. Menumpuk dua bantal di kepala ranjang dan menyandarkan punggung di sana.

“Maaf tadi gak bisa menemani ke dokter,” ujarnya lagi begitu tatapannya beralih ke setumpuk kecil obat-obatan di meja samping ranjang.

“Tadi pagi ada wawancara mendadak dengan dosen pembimbing,” lanjutnya lagi.

“Gapapa,” sahutku.

“Sakit apa emang?”

Aku menggeleng.

“Hanya kelelahan.”

“Ooh,” sahutnya pelan.

Suasana kembali terasa canggung. Sekilas aku melirik. Pemuda itu menggaruk tengkuk lalu ujung hidung. Mungkin ia juga kikuk.

Aku membuang tatap saat ia menoleh karena mungkin sadar tengah diperhatikan.

“Oiya, Bang Fajar tadi menanyakan apa kita sudah melakukannya?” ujarnya datar.

“Haaah!” Aku menatapnya tak percaya.

Pemuda itu mengangguk.

“Ada-ada saja,” sahutku. Lantas membuang pandang dengan wajah menghangat.

Kadang hidup memang selucu itu. Tak ada yang tau jalan takdir akan seperti apa. Namun yang pasti tak ada akibat tanpa sebab. Dan sebab kegilaan Bang Fajar lah maka ada Farhan dalam kehidupan kami.

Lalu siapa yang mesti disalahkan?

Suasana kembali hening.

Ada rasa yang berbeda saat pemuda itu mendekat. Jantungku sepertinya bekerja ekstra keras saat dua netra ini saling bertemu tanpa sengaja. Dan makin tak beraturan saat pinggulnya dijatuhkan perlahan di bibir ranjang.

Jangan bilang dia ingin menuntaskan tugas dari Bang Fajar sekarang juga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status