Pintu kamarku terkuak. Reflek aku menoleh ke sana. Wajahku mungkin telah memucat saat menyadari siapa yang berdiri di sana. Ia kembali menutup pintu dengan cepat.
“Abang?”Aku buru-buru bangun meski rasanya tubuh remuk. Begitu beraninya lelaki yang sudah tak berhak itu menerobos masuk tanpa permisi.“Abang gak boleh masuk ke kamar ini,” ujarku. Lalu secepatnya meraih jilbab yang tergeletak di sisi bantal dan memakainya.“Abang kangen, Dek,” ujarnya sedikit terengah.Ada perasaan senang menyelinap mendengar kata itu. Kangen. Tapi detik berikutnya kembali terbayang kata-kata Farhan. Bang Fajar hanya memanfaatkan aku demi egonya. Dan itu perlahan melukaiku.Aku menggeleng, “Tapi ..., Bang?”“Kenapa sih, Dek. Orang udah biasa juga,” protesnya.Pikirannya benar-benar telah dibutakan atau bagaimana? Jelas-jelas kemarin pagi ia sendiri yang mengantarkan seorang suami baru untukku.“Kenapa Abang bilang? Abang masuk rumah ini aja udah jelas salah selama tidak ditemani mahramku. Apalagi ini ke dalam kamar. Abang lupa apa status kita?” Nada suaraku sedikit meninggi.“Kan kita gak ngapa-ngapain?” kilahnya.“Tetap aja gak boleh. Apalagi aku sekarang dah jadi istri orang.”“Hanya sesaat.” Ia meralat cepat.“Apa pun itu,” sahutku kesal.Bang Fajar dah keterlaluan. Bagaimana bisa ia dengan seenaknya masuk ke kamarku? Ingin marah, ada Fatih di antara kami.“Fatih, temani Ayah di ruang tamu ya, Nak?” Akhirnya hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan. Kalimat yang sesungguhnya diucapkan untuk mengusir Bang Fajar.“Tapi, Dek.”“Bang ...!” Aku menatapnya dengan pandangan memohon. Ia menghela napas panjang. Lalu melengos. Kesal sepertinya.“Iya, Bunda.”Berbeda dengan tanggapan ayahnya, bocah kecil itu segera bangkit lalu melompat turun dari ranjang.Namun sebelum kakinya menyentuh lantai, tubuh mungilnya sudah disambut Bang Fajar. Meskipun tadi dia ogah-ogahan.“Ayah kangen banget sama kamu,” ujarnya sambil mencubit ujung hidung anak itu. Ia tertawa lebar. Tapi wajah itu kembali ditekuk saat menatapku. Lalu melangkah menggendong tubuh gempal itu keluar kamar.“Jangan lama-lama. Kalau gak Abang akan susul lagi ke mari,” ancamnya pas di depan pintu kamar.“Iya,” sahutku. Kemudian menghela napas lega.Laki-laki itu kian nekad saja.Sepeninggal mereka berdua, aku beranjak ke kamar mandi. Bersih-bersih seperlunya. Sebenarnya masih enggan meninggalkan tempat tidur, tapi aku takut Bang Fajar akan kembali ke kamar.Ini juga yang jadi salah satu alasan kenapa aku menerima ide gilanya untuk mau dinikahi seorang muhallil. Karena sejak resmi bercerai ia malah hampir setiap hari datang. Selalu saja ada alasannya. Kalau tidak siang ya malam hari. Dan anehnya aku pun menyukai hal itu. Sehari saja tidak mendengar kabarnya aku galau.Namun yang lebih parah ia pernah mencoba merayuku untuk melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh telah dilarang. Bahkan setengah memaksa. Beruntung aku masih bisa berpikiran waras.Benar kata orang. Jatuh cinta orang yang telah talak tiga itu itu jauh lebih gila. Mengerikan.Sikapnya itu jelas membuat resah warga sekitar yang masih memegang teguh norma agama. Dan memang apa yang ia lakukan itu sesuatu yang telah diharamkan.Selesai berdandan ala kadarnya, aku melangkah keluar kamar. Mataku langsung tertuju pada ayah dan anak itu yang malah bermain di ruang tengah. Bukan di ruang tamu seperti yang aku minta.“Bang, kok di sini?” tegurku halus.“Kenapa sih, Dek? Kan Abang Cuma nemenin Fatih.”Aku menghela napas. Percuma berdebat dengan orang yang telah dibutakan mata hatinya.Tanpa mengucapkan apa pun lagi aku melangkah ke teras. Sadar akan kemarahanku, laki-laki itu menyusul di belakang. Setelah lebih dulu memanggil baby sitter Fatih menggantikannya menemani anak itu.“Dek, jangan diemin Abang dong?” bujuknya begitu mengenyakkan pinggul di salah satu kursi teras demi melihat wajahku yang ditekuk.Aku menatapnya sekilas.“Gak sepantasnya Abang datang saat Farhan tidak ada.”“Jangan bawa-bawa nama orang itu,” sanggah Bang Fajar. Tatapannya tajam dengan mimik wajah kian tidak enak dipandang“Abang nggak suka,” lanjutnya.Aku melirik sekilas. Entah karena masih terpengaruh dengan omongan Farhan tadi malam atau memang mataku yang telah terbuka, aku makin merasa tidak nyaman dengan kehadiran dan sikapnya.“Faktanya saat ini ia yang jadi suamiku.”“Dek?”Ia menatap lekat. Wajahnya mengeras. Aku tau ia kesal. Atau mungkin sedikit aneh dengan perubahan sikapku?“Lagian sepagi ini udah namu. Gak kerja emang?” tanyaku lagi.“Kerja lah.” Ia membuang tatap.“Farhan bilang kamu sakit. Abang hanya mau memastikan saja kalau dia gak bohong,” jelasnya lagi.“Ooh,” sahutku hambar.“Kok Cuma ooh.” Bang Fajar protes.“Maaf, Bang. Kepalaku sakit, aku butuh istirahat.” Aku memutus obrolan.“Ngapain aja kalian semalaman? Kok bisa sampai sakit?” sahutnya. Ada nada tidak rela di sana.Mataku membulat.Dalam keadaan seperti ini pertanyaannya sungguh membuat ilfil. Aku mau ngapain, bukankah itu tidak lagi menjadi urusannya? Setidaknya sampai Farhan menceraikanku.Lagi pula memang tidak ada apa pun yang terjadi. Setidaknya ... belum.Daripada menjawab pertanyaan tak penting itu, diam mungkin akan jauh lebih baik. Apalagi aku memang sedang tidak ingin berdebat.“Abang mau tetap di sini, silakan. Tapi aku benar-benar ingin istirahat.”Setelah mengatakan itu aku lantas bangkit.“Jangan bilang kamu mulai mencari alasan,” tuduhnya.“Satu hal yang perlu kamu ingat, Abang tak kan pernah rela melepaskanmu,” ujarnya lagi saat kakiku sudah menginjak ruang tamu.Aku hanya menggelengkan kepala.Terserahlah.*** “Jadi tadi Bang Fajar datang?” tanya laki-laki itu sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia baru saja pulang dan langsung membersihkan diri.“Siapa yang bilang?” Aku balik bertanya tanpa berani membalas tatapannya.“Gak ada.”“Terus?”“Terus apa? Aku kan Cuma nanya,” sahutnya setelah mengembalikan handuk kecil itu ke tempat semula.Pemuda itu melangkah ke depan kaca rias. Membubuhkan sedikit minyak rambut di kepalanya kemudian sisiran. Lalu menyemprotkan parfum ke leher, dan beberapa bagian tubuh yang lain. Khas anak muda banget.Aku menatapnya dengan berbagai tanya memenuhi rongga kepala. Dan pertanyaan terpenting, bagaimana bisa pemuda setampan itu setuju untuk jadi seorang muhallil? Sungguh sulit dipercaya.“Iya. Tadi dia ke sini. Katanya kamu bilang aku sakit makanya dia datang.” Entah kenapa aku ingin menjelaskan, meski tidak diminta.Farhan mendengkus. Pemuda itu membalikkan tubuh, menyandarkan bokongnya di bibir meja rias.“Dah baikan?” tanyanya.Aku mengangguk setelah membenarkan posisi duduk. Menumpuk dua bantal di kepala ranjang dan menyandarkan punggung di sana.“Maaf tadi gak bisa menemani ke dokter,” ujarnya lagi begitu tatapannya beralih ke setumpuk kecil obat-obatan di meja samping ranjang.“Tadi pagi ada wawancara mendadak dengan dosen pembimbing,” lanjutnya lagi.“Gapapa,” sahutku.“Sakit apa emang?”Aku menggeleng.“Hanya kelelahan.”“Ooh,” sahutnya pelan.Suasana kembali terasa canggung. Sekilas aku melirik. Pemuda itu menggaruk tengkuk lalu ujung hidung. Mungkin ia juga kikuk.Aku membuang tatap saat ia menoleh karena mungkin sadar tengah diperhatikan.“Oiya, Bang Fajar tadi menanyakan apa kita sudah melakukannya?” ujarnya datar.“Haaah!” Aku menatapnya tak percaya.Pemuda itu mengangguk.“Ada-ada saja,” sahutku. Lantas membuang pandang dengan wajah menghangat.Kadang hidup memang selucu itu. Tak ada yang tau jalan takdir akan seperti apa. Namun yang pasti tak ada akibat tanpa sebab. Dan sebab kegilaan Bang Fajar lah maka ada Farhan dalam kehidupan kami.Lalu siapa yang mesti disalahkan?Suasana kembali hening.Ada rasa yang berbeda saat pemuda itu mendekat. Jantungku sepertinya bekerja ekstra keras saat dua netra ini saling bertemu tanpa sengaja. Dan makin tak beraturan saat pinggulnya dijatuhkan perlahan di bibir ranjang.Jangan bilang dia ingin menuntaskan tugas dari Bang Fajar sekarang juga.“Farhan, i – ini tuh masih sore. Ntar lagi Magrib,” ujarku gugup ketika wajah itu kian mendekat. Aku memejamkan mata rapat saat ujung salah satu jemarinya menyentuh pipiku lembut. Jangan tanya seperti apa degup jantung ini. Aroma maskulin tubuhnya makin menciptakan debar. Bahkan suaraku bergetar. Memalukan. Sial. Aku merutuk dalam hati. Kenapa jadi sekikuk ini. Ayolah, Yat. Selow. Lo bahkan jauh lebih berpengalaman dari brondong itu. Bisa-bisa nanti malah lo yang diminta jadi tutor karena bisa aja ini bakal jadi pengalaman pertamanya. Ah, mana mungkin. Bukannya tadi malam ia sendiri yang bilang sepuluh kali tanpa jeda aja ia sanggup? Lagi hari gini nyari cowok yang benar-benar tong tong? Mimpi kali. Tanpa disadari aku menggeleng. “Mau ngapain emang?” sahutnya. Memutus pikiran tak ada akhlak yang tetiba menguasai. Dasar jablay. Ingin kumemaki diri sendiri. Saat membuka mata, pemuda itu tengah menahan senyum dengan tatapan geli. “Aku hanya mau mengambil ini,” ujarnya lagi sam
“Telpon dari siapa?” tanyaku begitu Farhan kembali ke kamar. Pertanyaan basa-basi yang aku telah tau jawabannya. Pemuda itu melirik sekilas, “gak penting,” sahutnya. Di luar dugaan. Aku melirik sekilas. Tak ada ekspresi apa pun di sana. Sedikit heran sebenarnya, kenapa ia tidak mau membahas? Bukankah aku adalah topik pembicaraan mereka? Nyata-nyata tadi namaku yang disebut. “Ooh.” Aku menjawab singkat. Tak ingin lagi bertanya meskipun penasaran.Lelaki itu melanjutkan langkah menuju lemari pakaian. “Mau ke mana?” tanyanya sambil jalan. Mungkin karena melihat penampilanku yang sudah rapi. “Kerja.”“Ooh.”Hening. Dari kaca meja rias aku melihat dia mengutak-atik tas pakaian. “Dah baikan emang?” tanyanya lagi. “Hmm ....” Aku mengangguk. Meski aku tau dia sama sekali tidak melihat. Pemuda itu tengah fokus dengan isi kopernya. “Ooh ya udah,” sahutnya datar. Ternyata pemuda itu mengambil jaket kulitnya. Setelah merapikan kembali tas pakaian ke dalam lemari, ia berbalik. Sesaa
Aku menyeruput jus jeruk hingga menghabiskan hampir setengahnya dalam sekali tegukan. Pertanyaan ceplas-ceplos Bang Fajar nyaris membuatku tersedak. Bisa-bisanya dia menanyakan apakah aku dan Farhan telah melakukannya. “Kenapa? Kamu gak berniat berubah pikiran kan?” Bang Fajar bertanya lagi. Pria itu menatap tajam. “Apaan sih?” Aku mendelik. “Abang serius, Yat.” Tanpa mengatakannya, aku pun tau kalau lelaki yang telah memberiku satu orang putra ini mulai terlihat tidak sabaran. Wajar sebenarnya. Karena kalau Cuma menikah untuk ditiduri sekali saja seharusnya tidak memerlukan waktu lama. Namun kenyataan tidak sesimpel itu. Aku telah berusaha. Bahkan aku telah merendahkan harga diri untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu. Mengingat peristiwa malam itu perasaan malu kembali menyelimuti. Sekaligus mulai bimbang dengan kesungguhan Bang Fajar. Apa jaminan ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi? “Jadi Abang sengaja mencegat hanya untuk menanyakan ini?” Aku balik bert
Aku menatap gugup wajah Farhan yang kian mendekat. Duduk di sofa dengan jarak yang sedekat itu menghadirkan debar tersendiri. Terlebih saat napasnya yang hangat menyapu kulit wajah. Ayolah, Yat. Jangan belagak seolah lo perawan ting-ting yang sama sekali belum pernah tersentuh. Aku membatin. Yang ada nanti lo malah terlihat aneh di matanya. Pemuda di depan lo itu hanya seorang anak muda yang sengaja dipilihkan untuk sekedar singgah, lalu menghilang.Sepertinya anak muda itu sekarang tengah tergoda. Kesempatan lo buat memulai duluan, kalau sekiranya ia masih berniat menunda. Suara hati terus mengompori.Etdah! Apa yang paling penting adalah ... urusan kalian kelar. Kelar. Ya, sejak awal bukankah memang itu tujuannya? Sayang aku tak punya nyali. Atau mungkin juga gengsi karena pernah dianggap tidak punya harga diri. Sialan memang. Sungguh demi apa pun aku tak menyangka akan segugup ini. "Kebiasaan ya, makan belepotan," ujarnya sambil menyapu lembut bibirku dengan ujung jari tel
Tak penting siapa yang memulai, tapi hasil yang telah dicapai. Satu yang tak bisa dipungkiri, kenyataannya kami saling menikmati keintiman ini. Aku sangat yakin itu. Setelah menghela napas panjang, aku membuangnya perlahan. Niat yang semula hanya untuk sekedar balas menjahili, meninggalkan Farhan saat nafsu pria itu memuncak, terpatahkan dengan sendirinya. Pernah dengar istilah masuk dalam perangkap sendiri? Kali ini aku mengalami. Mencoba kabur setelah membuat gairah pemuda itu bangkit ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Akhirnya dengan sadar diri aku menyerah tak sampai dalam hitungan jam. Wajahku menghangat mengingat bagaimana cara Farhan mengeksekusi. Dia benar. Bercinta itu naluriah. Anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap makhluk yang bernyawa untuk bisa berkembang di muka bumi ini. Adalah satu kebodohan meragukan seseorang bisa atau tidak. Siapa pun dia, selama masih punya nafsu, pasti akan mengerti dengan sendirinya. Kuncinya hanya satu, dia ingin. Farhan tela
Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku menautkan alis. Merasa tak punya urusan apapun yang mendesak, panggilan itu aku abaikan. Terputus dengan sendirinya. Setelah meletakkan ponsel di ranjang, aku berjalan cepat menuju pintu depan. Dimana ketukan makin intens. Sedikit penasaran, siapa yang bertamu pagi-pagi? Aku mundur beberapa langkah. Kaget. Tamu tak diundang itu ternyata Bang Fajar. Ia menerobos masuk begitu saja saat pintu terbuka. Wajah yang biasanya senantiasa rapi, kini mulai ditumbuhi cambang dan kumis yang dibiarkan memanjang. Rahangnya yang tajam kian mengeras. Bang Fajar terlihat sedikit tidak terurus. Ia mengedarkan pandangan. “Mana dia!?” tanyanya dengan tatapan nyalang.“Dia? Dia siapa?”“Si brengsek itu.” Ia langsung masuk ke ruang tengah. Farhan. Pasti pemuda itu yang ia cari. Cuma yang membuat heran, kenapa ia tampak begitu marah? “Abang kenapa?” tanyaku sambil mengikuti langkah laki-laki itu. Bang Fajar tak menggubris. Langkahnya terus saja bergerak m
Aku melemparkan ponsel begitu saja dengan kasar ke ranjang. Namun buru-buru kembali meraihnya saat benda pipih itu mencelat ke lantai. Untung gapapa. Masa iya aku merelakan gawai satu-satunya itu rusak? Sementara cicilannya aja belum lunas.Etdah. Aku menarik napas lega. Lagi kalau dipikir-pikir untuk apa semua itu? Kenapa juga harus kesal kalau chatku diabaikan. Untuk apa aku marah kalau tiba-tiba nomor ponsel Farhan tidak lagi bisa dihubungi? Toh pada kenyataannya kami memang telah kelar. Ya, kelar. Telah berakhir. Tapi kok rasanya sakit ya? Makanya jangan bermain hati. Bucin sih? Dah tau laki-laki itu cuma persinggahan. Ah sial. Aku memaki suara hati sendiri. Tapi tunggu .... Bukankah sikap Farhan memang manis? Dia terlalu sempurna untuk dianggurin begitu saja. Satu lagi, kalau di matanya aku tak berarti apa-apa, ia nggak perlu kecewa dong? Apalagi sampai semarah tadi gitu tau Bang Fajar mengunjungiku. Fix! Farhan juga punya rasa yang sama. Semoga aku tidak kegeer
“Papaaa!” Belum sempat aku mengatakan apa pun Fatih telah lebih dulu berlari ke arah pemuda itu. Serta merta aku mengejarnya. Sesaat wajah Farhan nampak terkejut, lalu kemudian kembali terlihat santai. Ia bahkan melanjutkan menyeruput minuman seolah tak peduli apa pun. Jangan tanya seperti apa rasaku. Bukan untuk diri sendiri, tapi untuk Fatih. Di mana aku tau sebesar apa harapan anak itu padanya. Tapi apa yang ia dapat? “Papa?” Sang gadis mengulang ucapan Fatih sambil menatap bingung pada Farhan. “Maaf, Mbak. Anak saya salah orang. Dia sudah lama banget gak ketemu ayahnya. Kangen mungkin. Maaf ya.” Aku menyela, meraih tubuh Fatih dan menggendong anak itu cepat. Tanpa mengatakan apa pun lagi segera berlalu. Kembali ke parkiran. Tentu saja akan sangat tidak lucu jika aku tetap bertahan di sana. Aku tidak sekuat itu untuk menahan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Apalagi dengannya aku sempat menaruh harap, walaupun sedikit. Namun mungkin rasa kecewaku tidak akan sebesar ini jika