Share

Bab 5

“Farhan, i – ini tuh masih sore. Ntar lagi Magrib,” ujarku gugup ketika wajah itu kian mendekat. Aku memejamkan mata rapat saat ujung salah satu jemarinya menyentuh pipiku lembut.

Jangan tanya seperti apa degup jantung ini. Aroma maskulin tubuhnya makin menciptakan debar. Bahkan suaraku bergetar. Memalukan.

Sial. Aku merutuk dalam hati. Kenapa jadi sekikuk ini.

Ayolah, Yat. Selow. Lo bahkan jauh lebih berpengalaman dari brondong itu. Bisa-bisa nanti malah lo yang diminta jadi tutor karena bisa aja ini bakal jadi pengalaman pertamanya.

Ah, mana mungkin. Bukannya tadi malam ia sendiri yang bilang sepuluh kali tanpa jeda aja ia sanggup? Lagi hari gini nyari cowok yang benar-benar tong tong? Mimpi kali.

Tanpa disadari aku menggeleng.

“Mau ngapain emang?” sahutnya. Memutus pikiran tak ada akhlak yang tetiba menguasai.

Dasar jablay. Ingin kumemaki diri sendiri.

Saat membuka mata, pemuda itu tengah menahan senyum dengan tatapan geli.

“Aku hanya mau mengambil ini,” ujarnya lagi sambil menunjukkan sebutir nasi di ujung jari telunjuk.

Reflek tanganku meraba pipi. Takut masih ada sisa makanan yang menempel di sana.

“Mikir apa hayoo,” ujarnya dengan tatapan menggoda.

“Gak!” sahutku ketus lalu membuang pandang. Malu.

“Ketahuan sekarang siapa yang paling omes.”

“Paan sih,” sahutku dengan wajah yang kian menghangat.

“Udah sana jauh-jauh.” Aku mendorong tubuhnya sambil wajah ditekuk. Bisa-bisanya dia mengerjaiku. Eh, apa memang aku yang terlalu berharap ya? Segitu kentara nya kah?

Lo memalukan Hayat.

Pemuda itu terkekeh.

“Tapi nanti kalau memang sudah benar-benar siap, bilang ya?” bisiknya di telinga.

“Biar kita benar-benar bisa saling menikmati,” lanjutnya. Lalu segera melompat turun sambil mengedipkan sebelah mata saat tanganku bersiap mencubit rusuknya.

Aku mendelik. Melemparnya kesal dengan bantal.

Farhan kian terpingkal.

Astaga. Hayatun ....! Pemuda itu menggodamu seolah kau anak abege yang lagi jatuh cinta.

Cinta?

Nggak lah.

Aku hanya tengah mencari cara bagaimana agar secepatnya bisa kembali ke pangkuan Bang Fajar.

Ah, sepertinya Farhan benar. Dengan masih tetap mengharap ayah dari anakku itu, aku seperti wanita yang nggak punya harga diri.

Seketika wajah ini kian memanas.

***

Entah kenapa malam ini tak seperti biasa, Fatih sedikit rewel. Dia sama sekali tidak mau ditemani baby sitter.

Selesai makan malam anak itu menerobos masuk kamar dan langsung naik ke pangkuanku yang tengah duduk di sofa sambil baca novel. Dia memeluk erat sambil membenamkan kepalanya di dadaku.

“Mau elon, Bunda,” gumamnya manja.

Aku menutup novel yang tengah aku baca. Meletakkannya ke samping begitu saja. Lalu mencium kedua pipinya gemas.

“Kangen ya?”

Bocah tiga tahun itu mengangguk.

“Ooh ya udah. Tapi Fatih jalan ya? Bunda gak kuat gendong. Bunda masih lemas,” ujarku sambil menurunkan tubuhnya dari pangkuan.

“Ndak au.” Ia menggeleng.

“Tapi, Sayang ....”

“Kenapa nggak dikelonin di sini aja?” ujar Farhan yang baru saja masuk kamar.

Aku menatap Fatih. “Mau bobok di sini?”

Anak itu menggeleng. Sejak disapih setahun yang lalu ia memang sudah dibiasakan tidur di kamar sendiri.

Lagian kenapa juga aku ngikutin saran Farhan.

“Ya sudah, kalau gitu gendong ma Papa aja ya? Bunda pasti nggak kuat.”

Tanpa menunggu persetujuan siapa pun, Farhan meraih tubuh anak itu dari gendonganku. Anehnya lagi tuh si anak sama sekali tidak menolak. Padahal biasanya kalau lagi manja begini, sama ayahnya saja anak itu nggak mau.

Mereka terlihat berbincang ringan saat menuju kamar Fatih yang terpisah ruang tengah dari kamarku. Tepatnya Farhan yang ngajak bicara, sementara anak itu hanya mengamati wajah lelaki itu lekat. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

“Malam anak cakep. Bobok yang nyenyak ya?” ujarnya sambil menidurkan Fatih di ranjang. Setelah itu tanpa mengatakan apa pun lagi Farhan meninggalkan kami.

“Terima kasih,” kataku.

Farhan yang sudah berada di depan pintu kamar melirik. Hanya anggukan kepalanya sebagai jawaban.

Sudah lebih dua jam aku menemani. Entah sudah berapa banyak dongeng yang aku ceritakan. Fatih belum juga terpejam.

Suaraku makin lama makin pelan saat bercerita, hingga pada akhirnya aku sendiri tak lagi mendengar apa yang aku ucapkan.

Aku tersentak bangun.

Lapat suara azan menyapa pendengaran. Saat mengucek mata, tatapanku singgah pada jam Mickey Mouse yang tergantung di dinding ber-wall paper didominasi warna biru.

Pukul 04.10 menit.

Lha?

Mataku langsung cling saat menyadari tengah berada di mana. Kamar Fatih. Menatap ke samping anak itu tengah tertidur pulas. Perlahan aku bangkit dari ranjang. Beringsut turun dengan sangat hati-hati. Tak ingin mengusik tidurnya.

Lalu keluar menuju kamar sendiri.

Ketika membuka pintu aku mendapati kamar kosong. Tak ada tanda-tanda ranjang atau pun sofa bekas ditiduri. Farhan tidak terlihat di manapun.

Apa mungkin semalam pemuda itu pergi setelah mengantarkan Fatih dan nggak pulang?

Ah, bodo amatlah.

Aku melanjutkan langkah ke kamar mandi. Mau bersih-bersih untuk selanjutnya melaksanakan solat Subuh.

Menerobos masuk begitu saja saat pintu kamar mandi tersebut terbuka. Nyaris saja teriakanku menggema di pagi buta jika saja aku tidak segera membekap mulut sendiri. Dengan cepat aku berbalik. Meninggalkan tempat yang membuat wajah ini memanas hingga ke kuping. Dan kembali menutup rapat daun pintu.

Farhan sialan. Bisa-bisanya dia nggak mengunci pintu. Mana keran air juga tidak dinyalakan. Malah duduk santai di kloset sambil mengebulkan asap rokok dari sela bibirnya.

Namun bukan itu yang membuat gagal fokus. Tapi tubuhnya yang nyaris tanpa busana. Hanya menyisakan boxer yang dipelorotin hingga ke lutut. Dan perutnya itu?

Beih.

Aku benci pikiranku.

Masih dengan debar dan dumelan panjang dari bibir, aku kembali melangkah ke kamar Fatih. Lebih baik aku menumpang dulu di kamar mandinya.

Selain memaksimalkan waktu juga menghindari Farhan saat nanti ia keluar dari kamar mandi. Biarlah aktifitas bersih-bersih raga pagi ini ditunaikan di kamar putraku.

Saat kembali melangkah ke kamar, Farhan masih tidak ada.

Mungkin masih di kamar mandi, batinku. Walau setengah nggak yakin juga karena sudah lumayan lama.

Aku menggeleng pelan.

Apa peduliku? Bukankah ia hanya seseorang yang entah dalam beberapa waktu lagi akan segera angkat kaki? Ia mau mandi kek, mau tidur di sana sekalian bukan urusanku.

Ya, urusanku dengannya hanya seputar anu yang hingga saat ini belum juga terlaksana.

Astaga.

Tidak mau larut dalam pikiran yang bukan-bukan, aku melanjutkan langkah ke depan meja rias.

Hari ini aku mulai masuk kerja setelah cuti beberapa hari. Sengaja memanfaatkan cuti tahunan agar tidak ada teman kantor yang kepo dengan pernikahan nggak wajar ini.

Saat tengah asyik berdandan, aku mendengar suara dering ponsel. Dari teras. Aku menajamkan pendengaran.

“Ya, Bang.” Suara Farhan.

Penasaran aku mengintip dari balik tirai jendela yang memang menghadap ke sana. Ternyata pemuda itu telah rapi. Duduk di salah satu kursi teras dengan secangkir kopi yang masih mengebulkan asap di meja kecil di depannya.

“Belum,” jawabnya lagi.

Entah untuk pertanyaan apa dari si penelepon.

“Semalam Fatih rewel, Mbak Hayat tidur di kamarnya.”

Fix!

Si penelepon tak lain dan tak bukan pasti Bang Fajar. Ia menagih janji pemuda itu, mungkin.

Aku menghela napas panjang. Kembali fokus pada pekerjaanku make over wajah yang tadi sempat tertunda.

Sedikit heran juga sih.

Apa alasan pemuda itu menunda? Nggak mungkin karena ia tidak mengerti caranya kan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status