“Farhan, i – ini tuh masih sore. Ntar lagi Magrib,” ujarku gugup ketika wajah itu kian mendekat. Aku memejamkan mata rapat saat ujung salah satu jemarinya menyentuh pipiku lembut.
Jangan tanya seperti apa degup jantung ini. Aroma maskulin tubuhnya makin menciptakan debar. Bahkan suaraku bergetar. Memalukan.Sial. Aku merutuk dalam hati. Kenapa jadi sekikuk ini.Ayolah, Yat. Selow. Lo bahkan jauh lebih berpengalaman dari brondong itu. Bisa-bisa nanti malah lo yang diminta jadi tutor karena bisa aja ini bakal jadi pengalaman pertamanya.Ah, mana mungkin. Bukannya tadi malam ia sendiri yang bilang sepuluh kali tanpa jeda aja ia sanggup? Lagi hari gini nyari cowok yang benar-benar tong tong? Mimpi kali.Tanpa disadari aku menggeleng.“Mau ngapain emang?” sahutnya. Memutus pikiran tak ada akhlak yang tetiba menguasai.Dasar jablay. Ingin kumemaki diri sendiri.Saat membuka mata, pemuda itu tengah menahan senyum dengan tatapan geli.“Aku hanya mau mengambil ini,” ujarnya lagi sambil menunjukkan sebutir nasi di ujung jari telunjuk.Reflek tanganku meraba pipi. Takut masih ada sisa makanan yang menempel di sana.“Mikir apa hayoo,” ujarnya dengan tatapan menggoda.“Gak!” sahutku ketus lalu membuang pandang. Malu.“Ketahuan sekarang siapa yang paling omes.”“Paan sih,” sahutku dengan wajah yang kian menghangat.“Udah sana jauh-jauh.” Aku mendorong tubuhnya sambil wajah ditekuk. Bisa-bisanya dia mengerjaiku. Eh, apa memang aku yang terlalu berharap ya? Segitu kentara nya kah?Lo memalukan Hayat.Pemuda itu terkekeh.“Tapi nanti kalau memang sudah benar-benar siap, bilang ya?” bisiknya di telinga.“Biar kita benar-benar bisa saling menikmati,” lanjutnya. Lalu segera melompat turun sambil mengedipkan sebelah mata saat tanganku bersiap mencubit rusuknya.Aku mendelik. Melemparnya kesal dengan bantal.Farhan kian terpingkal.Astaga. Hayatun ....! Pemuda itu menggodamu seolah kau anak abege yang lagi jatuh cinta.Cinta?Nggak lah.Aku hanya tengah mencari cara bagaimana agar secepatnya bisa kembali ke pangkuan Bang Fajar.Ah, sepertinya Farhan benar. Dengan masih tetap mengharap ayah dari anakku itu, aku seperti wanita yang nggak punya harga diri.Seketika wajah ini kian memanas.*** Entah kenapa malam ini tak seperti biasa, Fatih sedikit rewel. Dia sama sekali tidak mau ditemani baby sitter.Selesai makan malam anak itu menerobos masuk kamar dan langsung naik ke pangkuanku yang tengah duduk di sofa sambil baca novel. Dia memeluk erat sambil membenamkan kepalanya di dadaku.“Mau elon, Bunda,” gumamnya manja.Aku menutup novel yang tengah aku baca. Meletakkannya ke samping begitu saja. Lalu mencium kedua pipinya gemas.“Kangen ya?”Bocah tiga tahun itu mengangguk.“Ooh ya udah. Tapi Fatih jalan ya? Bunda gak kuat gendong. Bunda masih lemas,” ujarku sambil menurunkan tubuhnya dari pangkuan.“Ndak au.” Ia menggeleng.“Tapi, Sayang ....”“Kenapa nggak dikelonin di sini aja?” ujar Farhan yang baru saja masuk kamar.Aku menatap Fatih. “Mau bobok di sini?”Anak itu menggeleng. Sejak disapih setahun yang lalu ia memang sudah dibiasakan tidur di kamar sendiri.Lagian kenapa juga aku ngikutin saran Farhan.“Ya sudah, kalau gitu gendong ma Papa aja ya? Bunda pasti nggak kuat.”Tanpa menunggu persetujuan siapa pun, Farhan meraih tubuh anak itu dari gendonganku. Anehnya lagi tuh si anak sama sekali tidak menolak. Padahal biasanya kalau lagi manja begini, sama ayahnya saja anak itu nggak mau.Mereka terlihat berbincang ringan saat menuju kamar Fatih yang terpisah ruang tengah dari kamarku. Tepatnya Farhan yang ngajak bicara, sementara anak itu hanya mengamati wajah lelaki itu lekat. Entah apa yang ada dalam pikirannya.“Malam anak cakep. Bobok yang nyenyak ya?” ujarnya sambil menidurkan Fatih di ranjang. Setelah itu tanpa mengatakan apa pun lagi Farhan meninggalkan kami.“Terima kasih,” kataku.Farhan yang sudah berada di depan pintu kamar melirik. Hanya anggukan kepalanya sebagai jawaban.Sudah lebih dua jam aku menemani. Entah sudah berapa banyak dongeng yang aku ceritakan. Fatih belum juga terpejam.Suaraku makin lama makin pelan saat bercerita, hingga pada akhirnya aku sendiri tak lagi mendengar apa yang aku ucapkan.Aku tersentak bangun.Lapat suara azan menyapa pendengaran. Saat mengucek mata, tatapanku singgah pada jam Mickey Mouse yang tergantung di dinding ber-wall paper didominasi warna biru.Pukul 04.10 menit.Lha?Mataku langsung cling saat menyadari tengah berada di mana. Kamar Fatih. Menatap ke samping anak itu tengah tertidur pulas. Perlahan aku bangkit dari ranjang. Beringsut turun dengan sangat hati-hati. Tak ingin mengusik tidurnya.Lalu keluar menuju kamar sendiri.Ketika membuka pintu aku mendapati kamar kosong. Tak ada tanda-tanda ranjang atau pun sofa bekas ditiduri. Farhan tidak terlihat di manapun.Apa mungkin semalam pemuda itu pergi setelah mengantarkan Fatih dan nggak pulang?Ah, bodo amatlah.Aku melanjutkan langkah ke kamar mandi. Mau bersih-bersih untuk selanjutnya melaksanakan solat Subuh.Menerobos masuk begitu saja saat pintu kamar mandi tersebut terbuka. Nyaris saja teriakanku menggema di pagi buta jika saja aku tidak segera membekap mulut sendiri. Dengan cepat aku berbalik. Meninggalkan tempat yang membuat wajah ini memanas hingga ke kuping. Dan kembali menutup rapat daun pintu.Farhan sialan. Bisa-bisanya dia nggak mengunci pintu. Mana keran air juga tidak dinyalakan. Malah duduk santai di kloset sambil mengebulkan asap rokok dari sela bibirnya.Namun bukan itu yang membuat gagal fokus. Tapi tubuhnya yang nyaris tanpa busana. Hanya menyisakan boxer yang dipelorotin hingga ke lutut. Dan perutnya itu?Beih.Aku benci pikiranku.Masih dengan debar dan dumelan panjang dari bibir, aku kembali melangkah ke kamar Fatih. Lebih baik aku menumpang dulu di kamar mandinya.Selain memaksimalkan waktu juga menghindari Farhan saat nanti ia keluar dari kamar mandi. Biarlah aktifitas bersih-bersih raga pagi ini ditunaikan di kamar putraku.Saat kembali melangkah ke kamar, Farhan masih tidak ada.Mungkin masih di kamar mandi, batinku. Walau setengah nggak yakin juga karena sudah lumayan lama.Aku menggeleng pelan.Apa peduliku? Bukankah ia hanya seseorang yang entah dalam beberapa waktu lagi akan segera angkat kaki? Ia mau mandi kek, mau tidur di sana sekalian bukan urusanku.Ya, urusanku dengannya hanya seputar anu yang hingga saat ini belum juga terlaksana.Astaga.Tidak mau larut dalam pikiran yang bukan-bukan, aku melanjutkan langkah ke depan meja rias.Hari ini aku mulai masuk kerja setelah cuti beberapa hari. Sengaja memanfaatkan cuti tahunan agar tidak ada teman kantor yang kepo dengan pernikahan nggak wajar ini.Saat tengah asyik berdandan, aku mendengar suara dering ponsel. Dari teras. Aku menajamkan pendengaran.“Ya, Bang.” Suara Farhan.Penasaran aku mengintip dari balik tirai jendela yang memang menghadap ke sana. Ternyata pemuda itu telah rapi. Duduk di salah satu kursi teras dengan secangkir kopi yang masih mengebulkan asap di meja kecil di depannya.“Belum,” jawabnya lagi.Entah untuk pertanyaan apa dari si penelepon.“Semalam Fatih rewel, Mbak Hayat tidur di kamarnya.”Fix!Si penelepon tak lain dan tak bukan pasti Bang Fajar. Ia menagih janji pemuda itu, mungkin.Aku menghela napas panjang. Kembali fokus pada pekerjaanku make over wajah yang tadi sempat tertunda.Sedikit heran juga sih.Apa alasan pemuda itu menunda? Nggak mungkin karena ia tidak mengerti caranya kan?“Telpon dari siapa?” tanyaku begitu Farhan kembali ke kamar. Pertanyaan basa-basi yang aku telah tau jawabannya. Pemuda itu melirik sekilas, “gak penting,” sahutnya. Di luar dugaan. Aku melirik sekilas. Tak ada ekspresi apa pun di sana. Sedikit heran sebenarnya, kenapa ia tidak mau membahas? Bukankah aku adalah topik pembicaraan mereka? Nyata-nyata tadi namaku yang disebut. “Ooh.” Aku menjawab singkat. Tak ingin lagi bertanya meskipun penasaran.Lelaki itu melanjutkan langkah menuju lemari pakaian. “Mau ke mana?” tanyanya sambil jalan. Mungkin karena melihat penampilanku yang sudah rapi. “Kerja.”“Ooh.”Hening. Dari kaca meja rias aku melihat dia mengutak-atik tas pakaian. “Dah baikan emang?” tanyanya lagi. “Hmm ....” Aku mengangguk. Meski aku tau dia sama sekali tidak melihat. Pemuda itu tengah fokus dengan isi kopernya. “Ooh ya udah,” sahutnya datar. Ternyata pemuda itu mengambil jaket kulitnya. Setelah merapikan kembali tas pakaian ke dalam lemari, ia berbalik. Sesaa
Aku menyeruput jus jeruk hingga menghabiskan hampir setengahnya dalam sekali tegukan. Pertanyaan ceplas-ceplos Bang Fajar nyaris membuatku tersedak. Bisa-bisanya dia menanyakan apakah aku dan Farhan telah melakukannya. “Kenapa? Kamu gak berniat berubah pikiran kan?” Bang Fajar bertanya lagi. Pria itu menatap tajam. “Apaan sih?” Aku mendelik. “Abang serius, Yat.” Tanpa mengatakannya, aku pun tau kalau lelaki yang telah memberiku satu orang putra ini mulai terlihat tidak sabaran. Wajar sebenarnya. Karena kalau Cuma menikah untuk ditiduri sekali saja seharusnya tidak memerlukan waktu lama. Namun kenyataan tidak sesimpel itu. Aku telah berusaha. Bahkan aku telah merendahkan harga diri untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu. Mengingat peristiwa malam itu perasaan malu kembali menyelimuti. Sekaligus mulai bimbang dengan kesungguhan Bang Fajar. Apa jaminan ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi? “Jadi Abang sengaja mencegat hanya untuk menanyakan ini?” Aku balik bert
Aku menatap gugup wajah Farhan yang kian mendekat. Duduk di sofa dengan jarak yang sedekat itu menghadirkan debar tersendiri. Terlebih saat napasnya yang hangat menyapu kulit wajah. Ayolah, Yat. Jangan belagak seolah lo perawan ting-ting yang sama sekali belum pernah tersentuh. Aku membatin. Yang ada nanti lo malah terlihat aneh di matanya. Pemuda di depan lo itu hanya seorang anak muda yang sengaja dipilihkan untuk sekedar singgah, lalu menghilang.Sepertinya anak muda itu sekarang tengah tergoda. Kesempatan lo buat memulai duluan, kalau sekiranya ia masih berniat menunda. Suara hati terus mengompori.Etdah! Apa yang paling penting adalah ... urusan kalian kelar. Kelar. Ya, sejak awal bukankah memang itu tujuannya? Sayang aku tak punya nyali. Atau mungkin juga gengsi karena pernah dianggap tidak punya harga diri. Sialan memang. Sungguh demi apa pun aku tak menyangka akan segugup ini. "Kebiasaan ya, makan belepotan," ujarnya sambil menyapu lembut bibirku dengan ujung jari tel
Tak penting siapa yang memulai, tapi hasil yang telah dicapai. Satu yang tak bisa dipungkiri, kenyataannya kami saling menikmati keintiman ini. Aku sangat yakin itu. Setelah menghela napas panjang, aku membuangnya perlahan. Niat yang semula hanya untuk sekedar balas menjahili, meninggalkan Farhan saat nafsu pria itu memuncak, terpatahkan dengan sendirinya. Pernah dengar istilah masuk dalam perangkap sendiri? Kali ini aku mengalami. Mencoba kabur setelah membuat gairah pemuda itu bangkit ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Akhirnya dengan sadar diri aku menyerah tak sampai dalam hitungan jam. Wajahku menghangat mengingat bagaimana cara Farhan mengeksekusi. Dia benar. Bercinta itu naluriah. Anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap makhluk yang bernyawa untuk bisa berkembang di muka bumi ini. Adalah satu kebodohan meragukan seseorang bisa atau tidak. Siapa pun dia, selama masih punya nafsu, pasti akan mengerti dengan sendirinya. Kuncinya hanya satu, dia ingin. Farhan tela
Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku menautkan alis. Merasa tak punya urusan apapun yang mendesak, panggilan itu aku abaikan. Terputus dengan sendirinya. Setelah meletakkan ponsel di ranjang, aku berjalan cepat menuju pintu depan. Dimana ketukan makin intens. Sedikit penasaran, siapa yang bertamu pagi-pagi? Aku mundur beberapa langkah. Kaget. Tamu tak diundang itu ternyata Bang Fajar. Ia menerobos masuk begitu saja saat pintu terbuka. Wajah yang biasanya senantiasa rapi, kini mulai ditumbuhi cambang dan kumis yang dibiarkan memanjang. Rahangnya yang tajam kian mengeras. Bang Fajar terlihat sedikit tidak terurus. Ia mengedarkan pandangan. “Mana dia!?” tanyanya dengan tatapan nyalang.“Dia? Dia siapa?”“Si brengsek itu.” Ia langsung masuk ke ruang tengah. Farhan. Pasti pemuda itu yang ia cari. Cuma yang membuat heran, kenapa ia tampak begitu marah? “Abang kenapa?” tanyaku sambil mengikuti langkah laki-laki itu. Bang Fajar tak menggubris. Langkahnya terus saja bergerak m
Aku melemparkan ponsel begitu saja dengan kasar ke ranjang. Namun buru-buru kembali meraihnya saat benda pipih itu mencelat ke lantai. Untung gapapa. Masa iya aku merelakan gawai satu-satunya itu rusak? Sementara cicilannya aja belum lunas.Etdah. Aku menarik napas lega. Lagi kalau dipikir-pikir untuk apa semua itu? Kenapa juga harus kesal kalau chatku diabaikan. Untuk apa aku marah kalau tiba-tiba nomor ponsel Farhan tidak lagi bisa dihubungi? Toh pada kenyataannya kami memang telah kelar. Ya, kelar. Telah berakhir. Tapi kok rasanya sakit ya? Makanya jangan bermain hati. Bucin sih? Dah tau laki-laki itu cuma persinggahan. Ah sial. Aku memaki suara hati sendiri. Tapi tunggu .... Bukankah sikap Farhan memang manis? Dia terlalu sempurna untuk dianggurin begitu saja. Satu lagi, kalau di matanya aku tak berarti apa-apa, ia nggak perlu kecewa dong? Apalagi sampai semarah tadi gitu tau Bang Fajar mengunjungiku. Fix! Farhan juga punya rasa yang sama. Semoga aku tidak kegeer
“Papaaa!” Belum sempat aku mengatakan apa pun Fatih telah lebih dulu berlari ke arah pemuda itu. Serta merta aku mengejarnya. Sesaat wajah Farhan nampak terkejut, lalu kemudian kembali terlihat santai. Ia bahkan melanjutkan menyeruput minuman seolah tak peduli apa pun. Jangan tanya seperti apa rasaku. Bukan untuk diri sendiri, tapi untuk Fatih. Di mana aku tau sebesar apa harapan anak itu padanya. Tapi apa yang ia dapat? “Papa?” Sang gadis mengulang ucapan Fatih sambil menatap bingung pada Farhan. “Maaf, Mbak. Anak saya salah orang. Dia sudah lama banget gak ketemu ayahnya. Kangen mungkin. Maaf ya.” Aku menyela, meraih tubuh Fatih dan menggendong anak itu cepat. Tanpa mengatakan apa pun lagi segera berlalu. Kembali ke parkiran. Tentu saja akan sangat tidak lucu jika aku tetap bertahan di sana. Aku tidak sekuat itu untuk menahan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Apalagi dengannya aku sempat menaruh harap, walaupun sedikit. Namun mungkin rasa kecewaku tidak akan sebesar ini jika
Aku tertegun menatap halaman lembar terakhir novel itu. Novel yang belum selesai dibaca tempo hari. Perasaan aku meninggalkannya di sofa. Entah bagaimana ceritanya novel tersebut tau-tau ada di laci meja rias. Namun bukan itu yang membuat tertegun. Tapi tulisan tangan yang ada di sana. KAMUDear kamu, Andai rasa adalah waktu, maka kamu adalah detik demi detik itu. Bergerak perlahan, teratur, dan pasti. Dear kamu, Andai hati ini singgasana, maka kamulah sang ratu itu. Si penguasa yang istimewa. Dear kamu, Andai cinta adalah jalan, maka bagiku hanya ada satu tujuan. Kamu. Hanya sebatas itu. Tanpa titimangsa. Tanpa tanda tangan. Apa lagi nama pembuat. Mungkinkah tulisan itu adalah milik penulisnya? Tapi apa iya semesra itu ia memperlakukan pembacanya? Bucin bener. Tapi kalau bukan, siapa? Bang Fajar? Jelas bukan dia banget. Lagipula novel itu aku beli baru beberapa hari yang lalu di salah satu toko buku di blok M square. Farhan? Mungkinkah? Jangan terlalu kege’eran, Yat