Aku menyeruput jus jeruk hingga menghabiskan hampir setengahnya dalam sekali tegukan. Pertanyaan ceplas-ceplos Bang Fajar nyaris membuatku tersedak. Bisa-bisanya dia menanyakan apakah aku dan Farhan telah melakukannya. “Kenapa? Kamu gak berniat berubah pikiran kan?” Bang Fajar bertanya lagi. Pria itu menatap tajam. “Apaan sih?” Aku mendelik. “Abang serius, Yat.” Tanpa mengatakannya, aku pun tau kalau lelaki yang telah memberiku satu orang putra ini mulai terlihat tidak sabaran. Wajar sebenarnya. Karena kalau Cuma menikah untuk ditiduri sekali saja seharusnya tidak memerlukan waktu lama. Namun kenyataan tidak sesimpel itu. Aku telah berusaha. Bahkan aku telah merendahkan harga diri untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu. Mengingat peristiwa malam itu perasaan malu kembali menyelimuti. Sekaligus mulai bimbang dengan kesungguhan Bang Fajar. Apa jaminan ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi? “Jadi Abang sengaja mencegat hanya untuk menanyakan ini?” Aku balik bert
Aku menatap gugup wajah Farhan yang kian mendekat. Duduk di sofa dengan jarak yang sedekat itu menghadirkan debar tersendiri. Terlebih saat napasnya yang hangat menyapu kulit wajah. Ayolah, Yat. Jangan belagak seolah lo perawan ting-ting yang sama sekali belum pernah tersentuh. Aku membatin. Yang ada nanti lo malah terlihat aneh di matanya. Pemuda di depan lo itu hanya seorang anak muda yang sengaja dipilihkan untuk sekedar singgah, lalu menghilang.Sepertinya anak muda itu sekarang tengah tergoda. Kesempatan lo buat memulai duluan, kalau sekiranya ia masih berniat menunda. Suara hati terus mengompori.Etdah! Apa yang paling penting adalah ... urusan kalian kelar. Kelar. Ya, sejak awal bukankah memang itu tujuannya? Sayang aku tak punya nyali. Atau mungkin juga gengsi karena pernah dianggap tidak punya harga diri. Sialan memang. Sungguh demi apa pun aku tak menyangka akan segugup ini. "Kebiasaan ya, makan belepotan," ujarnya sambil menyapu lembut bibirku dengan ujung jari tel
Tak penting siapa yang memulai, tapi hasil yang telah dicapai. Satu yang tak bisa dipungkiri, kenyataannya kami saling menikmati keintiman ini. Aku sangat yakin itu. Setelah menghela napas panjang, aku membuangnya perlahan. Niat yang semula hanya untuk sekedar balas menjahili, meninggalkan Farhan saat nafsu pria itu memuncak, terpatahkan dengan sendirinya. Pernah dengar istilah masuk dalam perangkap sendiri? Kali ini aku mengalami. Mencoba kabur setelah membuat gairah pemuda itu bangkit ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Akhirnya dengan sadar diri aku menyerah tak sampai dalam hitungan jam. Wajahku menghangat mengingat bagaimana cara Farhan mengeksekusi. Dia benar. Bercinta itu naluriah. Anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap makhluk yang bernyawa untuk bisa berkembang di muka bumi ini. Adalah satu kebodohan meragukan seseorang bisa atau tidak. Siapa pun dia, selama masih punya nafsu, pasti akan mengerti dengan sendirinya. Kuncinya hanya satu, dia ingin. Farhan tela
Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku menautkan alis. Merasa tak punya urusan apapun yang mendesak, panggilan itu aku abaikan. Terputus dengan sendirinya. Setelah meletakkan ponsel di ranjang, aku berjalan cepat menuju pintu depan. Dimana ketukan makin intens. Sedikit penasaran, siapa yang bertamu pagi-pagi? Aku mundur beberapa langkah. Kaget. Tamu tak diundang itu ternyata Bang Fajar. Ia menerobos masuk begitu saja saat pintu terbuka. Wajah yang biasanya senantiasa rapi, kini mulai ditumbuhi cambang dan kumis yang dibiarkan memanjang. Rahangnya yang tajam kian mengeras. Bang Fajar terlihat sedikit tidak terurus. Ia mengedarkan pandangan. “Mana dia!?” tanyanya dengan tatapan nyalang.“Dia? Dia siapa?”“Si brengsek itu.” Ia langsung masuk ke ruang tengah. Farhan. Pasti pemuda itu yang ia cari. Cuma yang membuat heran, kenapa ia tampak begitu marah? “Abang kenapa?” tanyaku sambil mengikuti langkah laki-laki itu. Bang Fajar tak menggubris. Langkahnya terus saja bergerak m
Aku melemparkan ponsel begitu saja dengan kasar ke ranjang. Namun buru-buru kembali meraihnya saat benda pipih itu mencelat ke lantai. Untung gapapa. Masa iya aku merelakan gawai satu-satunya itu rusak? Sementara cicilannya aja belum lunas.Etdah. Aku menarik napas lega. Lagi kalau dipikir-pikir untuk apa semua itu? Kenapa juga harus kesal kalau chatku diabaikan. Untuk apa aku marah kalau tiba-tiba nomor ponsel Farhan tidak lagi bisa dihubungi? Toh pada kenyataannya kami memang telah kelar. Ya, kelar. Telah berakhir. Tapi kok rasanya sakit ya? Makanya jangan bermain hati. Bucin sih? Dah tau laki-laki itu cuma persinggahan. Ah sial. Aku memaki suara hati sendiri. Tapi tunggu .... Bukankah sikap Farhan memang manis? Dia terlalu sempurna untuk dianggurin begitu saja. Satu lagi, kalau di matanya aku tak berarti apa-apa, ia nggak perlu kecewa dong? Apalagi sampai semarah tadi gitu tau Bang Fajar mengunjungiku. Fix! Farhan juga punya rasa yang sama. Semoga aku tidak kegeer
“Papaaa!” Belum sempat aku mengatakan apa pun Fatih telah lebih dulu berlari ke arah pemuda itu. Serta merta aku mengejarnya. Sesaat wajah Farhan nampak terkejut, lalu kemudian kembali terlihat santai. Ia bahkan melanjutkan menyeruput minuman seolah tak peduli apa pun. Jangan tanya seperti apa rasaku. Bukan untuk diri sendiri, tapi untuk Fatih. Di mana aku tau sebesar apa harapan anak itu padanya. Tapi apa yang ia dapat? “Papa?” Sang gadis mengulang ucapan Fatih sambil menatap bingung pada Farhan. “Maaf, Mbak. Anak saya salah orang. Dia sudah lama banget gak ketemu ayahnya. Kangen mungkin. Maaf ya.” Aku menyela, meraih tubuh Fatih dan menggendong anak itu cepat. Tanpa mengatakan apa pun lagi segera berlalu. Kembali ke parkiran. Tentu saja akan sangat tidak lucu jika aku tetap bertahan di sana. Aku tidak sekuat itu untuk menahan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Apalagi dengannya aku sempat menaruh harap, walaupun sedikit. Namun mungkin rasa kecewaku tidak akan sebesar ini jika
Aku tertegun menatap halaman lembar terakhir novel itu. Novel yang belum selesai dibaca tempo hari. Perasaan aku meninggalkannya di sofa. Entah bagaimana ceritanya novel tersebut tau-tau ada di laci meja rias. Namun bukan itu yang membuat tertegun. Tapi tulisan tangan yang ada di sana. KAMUDear kamu, Andai rasa adalah waktu, maka kamu adalah detik demi detik itu. Bergerak perlahan, teratur, dan pasti. Dear kamu, Andai hati ini singgasana, maka kamulah sang ratu itu. Si penguasa yang istimewa. Dear kamu, Andai cinta adalah jalan, maka bagiku hanya ada satu tujuan. Kamu. Hanya sebatas itu. Tanpa titimangsa. Tanpa tanda tangan. Apa lagi nama pembuat. Mungkinkah tulisan itu adalah milik penulisnya? Tapi apa iya semesra itu ia memperlakukan pembacanya? Bucin bener. Tapi kalau bukan, siapa? Bang Fajar? Jelas bukan dia banget. Lagipula novel itu aku beli baru beberapa hari yang lalu di salah satu toko buku di blok M square. Farhan? Mungkinkah? Jangan terlalu kege’eran, Yat
“Dek, maunya yang seperti apa sih? Kita dah obrak abrik beberapa katalog lho. Dah nyobain yang udah ready juga.”Bang Fajar mulai bosan sepertinya. Ia menatapku, lelah. Aku bukan tak punya pilihan. Dalam hati sudah ada yang aku tandai. Namun sengaja berlama-lama karena untuk mengundur waktu agar saat pulang nanti, berharap Farhan telah mengantarkan Fatih ke rumah. Dan Bang Fajar tidak perlu ketemu dengan pemuda itu. “Kan tadi aku dah bilang, semuanya bagus. Abang masih suruh aku yang milih. Tau sendiri kan, semakin banyak pilihan semakin bingung akunya,” sahutku sambil mengerucutkan bibir. ‘Seperti kamu yang menghadirkan Farhan di antara kita, kan galau Adek, Bang.’“Ya namanya toko, ya pasti banyak pilihan lah, gimana sih?” sahut Bang Fajar tertawa kecil. Tapi aku yakin itu tawa yang dipaksakan. “Terus Abang nyalahin aku? Gausah aja mendingan.” Aku langsung berbalik, mau menuju pintu keluar. Dimana-mana cewek kan gitu. Kalau dah terdesak, pura-pura jadi orang yang paling ter