Home / Romansa / Lelaki Pemalu dan Calon Dokter / Jangan Menangis Annisa (3)

Share

Jangan Menangis Annisa (3)

Author: Asa Jannati
last update Last Updated: 2022-04-29 00:53:57

follow akun sebelum lanjut membaca.

#Lelaki_Pemalu_Dan_Calon_Dokter

Jangan Menangis Annisa (3)

“Alqi minta tolong, Bu. Dalam keadaan sebagaimanapun kepepetnya, jangan pernah lagi minjam uang sama rentenir. Ibu sudah tahu hukumnya. Alqi minta maaf, kalau Alqi sudah jadi anak yang nggak penurut sama Ibu. Mulai saat ini, Alqi putuskan untuk berhenti kuliah. Alqi mau merantau cari kerja saja.”

Wajah sang Ibu langsung merebak merah.

“Nak, mau kemana kamu? Kuliah kamu sedikit lagi selesai, Nak.” Rosmina berpindah duduk di sebelah putranya dan mulai terisak memeluk bahu itu. Ini yang ia takutkan. Sejak semalam ia sudah tak tenang mendengar keinginan anak lelaki dengan IQ 133-nya itu yang sudah ingin berhenti dari kuliahnya. Rosmina semakin merasa berdosa karena sudah satu bulan ini memang kiriman biaya hidup untuk Alqi tak dikirim, juga termasuk biaya semester yang belum dibayar, walau sebenarnya Rosmina sudah berjanji akan segera mentransfer. Mungkin itu yang menyebabkan Alqi memutuskan pulang.

“Kamu anak yang cerdas, Nak. Ibu sangat membanggakanmu. Terlalu besar harapan Ibu sama kamu. Seandainya saja saat itu Ayah nggak di tipu. Mungkin Ibu nggak akan berani pinjam ke rentenir. Ayah dibohongi oleh orang yang sangat Ayah percaya tak mungkin menipu. Maafkan akhirnya Ibu harus jujur. Nak.” Bahu wanita yang rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban itu berguncang-guncang menahan tangis.

Akhirnya diceritakannya beban hidup Rosmina dan suaminya itu, yang selama ini tak pernah ia ceritakan bahkan kepada adik-adik Alqi. Berderai-derai air mata wanita yang sedang pilu itu membayangkan kesedihan anaknya harus berhenti kuliah. Sementara meminta anaknya melanjutkan kuliah, bukan saja karena Alqi tak menginginkan lagi. Tetapi ia sendiri sudah tak punya uang lagi, bahkan untuk membayar pinjaman rentenir yang semakin bergulung itupun akhirnya ia bingung.

Tadinya Rosmina sempat optimis bisa mengembalikan semuanya. Sayangnya usaha suaminya justru semakin bangkrut pasca ditipu uang belanja kain belasan juta yang raib di bawa kabur orang yang sudah menjadi kepercayaannya sejak lama itu. Selain menjahit baju, Rosmina berjualan camilan yang ia titip-titipkan ke warung-warung kecil. Sayangnya itu hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan makan mereka sehari-hari dan biaya sekolah ketiga adiknya Alqi. Semakin berderai Rosmina membayangkan nasib anak-anaknya kelak akan seperti apa. Ia merasa sebagai orang tua yang gagal.

Sementara di dalam kamar. Terlihat Achmad duduk termenung juga dengan air mata yang menetes diam-diam.

“Abang, mau pergi kemana? Abang jangan pergi …?” Annisa, adik perempuan pas di bawah Alqi itu mendekat ke hadapan Alqi yang sedang memasang sepatu.

“Doakan Abang saja, Nisa. Abang titip adik-adik sama kamu. Tolong jaga mereka, jaga juga Ayah Ibu, ya. Abang akan kirimin kalian uang bulanan begitu sudah dapat kerja. Kamu bikin rekening tabungan nanti, ya,” ucapnya sembari mengelus rambut wanita kelas dua SMA itu.

Annisa semakin tertunduk dengan derai air mata tak tertahan. Ia tak punya kata larangan walau sebenarnya ingin. Besar harapannya kepada abangnya itu agar kelak menjadi orang yang sukses dan bisa mengangkat derajat keluarga. Ia teramat mengagumi lelaki kokoh pendirian ini sedari kecil yang selalu membanggakan keluarga juga sekolah. Sering menjadi wakil sekolah mengikuti olimpiade tingkat kabupaten atau provinsi. Hafalan Qur’an yang nyaris tiga puluh juz. Teramat disayangkan jika masa depan abangnya itu suram. Ia tak ingin abangnya gagal. Tapi apa boleh buat, bahkan ia hanya mampu meratapi keadaan tak mampu membantu apa-apa.

Nida menghambur memeluk tubuh Alqi sesenggukan. Sementara di sudut ruangan Altaf, adik bungsunya itu diam mematung dengan tatapan kosong.

“Adik-adik Abang. Kalian jangan terlalu bersedih. Tetap lakukan yang terbaik. Belajar sungguh-sungguh, jaga shalatnya. Bantu Ayah Ibu. Semoga Abang bisa bantu kuliah kalian nanti, jangna pernah putus harapan dan pesimis, ya,” pesannya kepada ketiga adiknya itu.

Mendengar itu Rosmina semakin tergugu memeluk erat putranya. Bahkan ia sendiri tak mampu menuntaskan kuliah anak kebanggaannya itu sendiri sampai lulus. Paceklik di desanya yang apa-apa serba susah membuat Rosmina dan Achmad memang tak bisa berbuat banyak.

Teringat pertama kali ia menginjakkan kaki di bumi Lampung ini. Mengikuti ibunya yang janda dan sudah renta. Demi tak ingin berpisah dengan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Ia meminta suaminya untuk ikut berpindah pulau, di sini, di sebuah desa yang jauh dari keramaian, demi bisa menjaga ibunya yang sudahtua renta. Achmad hanya menurut, menyadari ia bukan suami yang bisa memenuhi kebutuhan istri dan anaknya secara berlimpah. Ddesa Galanghani, sebuah desa yang tak maju, bahkan terkadang tak ada kendaraan umum yang melintas.

Achmad memulai peruntungan. Membuka toko pakaian dan kain di pasarnya. Karena hanya itu kemampuannya sebagai orang Padang. Ia tak mahir bercocok tanam seperti rata-rata penduduk kampung sini yang bersuku jawa. Sementara Mintarsih, Ibunya Rosmina, Nenek Alqi, hidup dari hasil kebun tak luas di belakang rumahnya.

Bertahun kemudian Mintarsih meninggal. Rosmina tetap melanjutkan hidup sederhana sembari menyekolahkan anak-anaknya. Karena tak mungkin kembali ke Jakarta membesarkan ke empat anaknya dengan biaya hidup yang pastinya mahal.

“Alqi pamit, Bu, Yah. Ia bangkit, mencium tangan kedua orang tuanya.”

“Kamu mau pergi ke kota mana, Nak? Hu hu hu hu.” Berderai-derai air mata Rosmina tak ingin melepas pelukannnya.

“Ibu tenang saja. Alqi sudah terbiasa hidup mandiri ‘kan? Alqi pasti akan cepat dapat kerjaan. Alqi akan pergi ke Jakarta, Bu.”

Achmad bangkit, menepuk-nepuk bahu istrinya. Menguatkan.

“Ikhlaskan saja, bu. Kita tak bisa membantu apa-apa. Doakan yang terbaik untuk anak kita saja,” ucap Achmad dengan bijak. Meskipun sebenarnya ada gemuruh dalam dadanya. Menyadari dirinya sebagai lelaki yang gagal dan tak berguna. Tapi ia harus terlihat tenang dan tegar di hadapan anak-anaknya.

“Hati-hati, Nak. Dimanapun kamu berada. Tetap jaga shalat. Kabari terus Ibu kamu, ya,” pesannya, lalu memeluk putra kebanggaannya itu.

“Maafkan Ayah. Belum bisa memberi yang terbaik untuk pendidikanmu,” lanjutnya.

Alqi mengangguk-angguk dalam pelukan ayahnya. “Tak masalah, Yah. Ini bukan hal besar untuk Alqi. Tapi Alqi janji kalau sudah cukup uang untuk kuliah, Alqi akan lanjutkan kuliah. Alqi akan urus surat-surat cuti kuliah dulu sebelum ke Jakarta, nanti,” balasnya kepada lelaki yang ia kagumi itu.

Setelah itu. Alqi melangkah dengan ringan meninggalkan rumahnya. Berjalan kaki menuju kabupaten, mencari kendaraan yang bisa mengantarnya ke Bandung.

“Abang ... “ Isak Annida. Ia berlari mengikuti abangnya hingga ujung gang. Lalu melambaikan tangannya hingga abangnya hilang dari pandangan mata.

Ia kembali berjalan pulang ke rumah dengan pandangan yang terus menunduk.

“Nida …” Seseorang menyebut namanya. Annida ragu mendongakkan pandangan karena matanya basah. Diusapnya segera pipinya itu berkali-kali sampai bersih.

“Kak Fatya …?” balasnya setelah mengetahui siapa yang menyapa.

“Kamu kenapa, Nida? Kenapa kok nangis di jalan?” tanya Fatya heran menatapi wajah gadis kecil ini.

Nida semakin sedih, bahunya berguncang kembali.

“Aduh-aduh, kamu kenapa. sini-sini kita istirahat dulu di gardu.” Fatya memapah Nida hingga duduk di sebuah gardu.

“Kamu tenang, ya. Tapi nggak apa-apa kalau mau menangis, biar lega,” ucapnya.

Mengelus punggung Annida yang sedang terus sesenggukan, menantinya hingga sedikit mereda. Diusapnya wajah Nida dengan jilbab miliknya.

“Bang Alqi, kak ….” ucapnya Nida kemudian.

“Bang Alqi, kenapa dengan abangmu, Nida?” tanyanya lembut.

Diceritakannya semua kesedihan Nida kepada wanita muda itu. Wanita yang memang layak menjadi tempat bersandar dan mengadu bagi Nida. Usia Fatya yang seumuran dengan kakaknya, Annisa, membuat Nida merasa nyaman bercerita. Terlebih Fatya adalah wanita yang berpikiran dewasa dan keibuan membuat banyak orang senang dekat dengannya.

Fatya mengangguk-angguk usai mendengarkan cerita Nida.

“Kita doakan saja Abang kamu, ya, Nida. Kita juga nanti shalat dan minta pertolongan Allah agar bisa mempermudah kehidupan kita. Kita doakan semoga Bang Alqi di sana lekas menemukan jalan keluar dan kemudahan menyelesaikan masalah-masalahnya. Semoga apa yang jadi impian Bang ALqi, Nida dan keluarga akan segera menjadi kenyataan,” ucapnya menenangkan Nida.

-To be continued-

Shalat yang paling menunjukkan rasa terima kasih kita kepada Allah adalah sholat dhuha. Shalat yang paling menunjukkan rasa cinta kita kepada Allah adalah shalat malam. (Alqi Quote)

Jangan lupa tinggalkan komen dan tekan love di bawah. Terima kasih sudah membantu penulis bertumbuh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lelaki Pemalu dan Calon Dokter   Akhir yang Bahagia (TAMAT)

    Lelaki dengan Seribu TahajudBab 42 Ending.-Akhir yang Bahagia-Jika tak ia turuti, khawatir akan mengecewakannya. Dituruti, maka akan semakin timbul rasa bersalah dalam benaknya.Alqi kembali merenung. Lama keduanya terduduk dalam diam."Maksud Fatya, Abang masih bisa membayarnya dengan cara lain."Alqi yang duduk menatap lantai, mendongakkan wajah."Cara lain?" Kedua alis lebat itu hampir menyatu."Maksudnya Fatya …." lanjutnya karena tak kunjung ada jawaban."Emm …. Bagaimana kalau gantinya …. Fatya minta Abang datang kepada Ayah Ibu untuk melamar Fatya?"Deg! Suara itu lirih, sangat lirih. tapi berhasil membuat Alqi tersentak hebat. Kedua bola matanya membulat. Fatya telah menegakkan kepalanya. Kini mata jeli itu menatap mata elang di hadapannya. Dengan ribuan debar yang hadir dalam dada, ia berusaha kuat menatap mata itu. Berusaha menunjukkan bahwa ia sedang tak main-main dengan permintaannya. Secepat kilat Alqi membuang pandang ke arah lain. Wajah pualam, kedua mata menyejukk

  • Lelaki Pemalu dan Calon Dokter   Permintaan Fatya untuk Alqi (41)

    Lelaki dengan Seribu TahajudBab 41-Permintaan Fatya untuk Alqi-"Masya Allah, ini indah sekali Fatya. Terima kasih, ya." "Sama-sama, Bang." Fatya mengangguk. Ada semu merah di pipinya.---"Abang doakan juga, semoga Fatya lekas wisudanya, ya ....""Amiiin, semoga lekas Sarjana Kedokteran dan jadi Dokter," timpal Nida menggelendot ke bahu Fatya."Doakan, ya, Nida, Bang.""Insyaallah …."Kemudian Fatya menyalami Rosmina dan Lilyana. Rosmina memeluk Fatya erat. "Nak Fatya, terima kasih sudah menyempatkan datang ke wisuda Alqi. Masyaallah Ibu senang sekali. Nak Fatya seorang wanita yang pasti selalu ada tepat ketika kami benar-benar membutuhkan pertolongan. Terima kasih, Nak. Terima kasih … Ibu sangat terharu Nak Fatya datang. Pasti ini di antara kesibukan kuliah Nak Fatya, menyempatkan waktu untuk datang." "Nggak, Bu. Fatya pasti menyempatkan datang. Akan sangat rugi kalau Fatya nggak ikut hadir merasakan kebahagiaan ini."Fatya mengusap-usap punggung Rosmina dalam pelukannya. Har

  • Lelaki Pemalu dan Calon Dokter   Semu Merah di Pipi Fatya (40)

    Lelaki dengan Seribu TahajudBab 40Semu Merah di Pipi Fatya"Selamat, Bang, sudah menjadi sarjana yang membanggakan keluarga." Suara seorang wanita yang Alqi sangat kenali terdengar dari balik punggungnya.---Alqi berbalik.Seorang wanita berjilbab biru berdiri bersama dua orang pria."Santa.""Ya, Bang. Santa turut senang akhirnya Abang bisa menuntaskan pendidikan Abang. Sekali lagi selamat, ya."Santa memberikan sebuah box berpita yang sepertinya berisi kue, kepada Alqi."Terima kasih, Santa. Terima kasih juga bingkisannya. Kamu datang saja sudah membuat saya senang.""Tentu Santa datang, ini 'kan hari bahagia Abang. Abang banyak memberi pelajaran berharga dalam hidup Santa. Abang banyak membuat Santa semakin dekat dengan Allah. Semakin paham arti syukur yang sebenarnya."Wanita yang semakin mengulurkan jilbabnya lebih panjang itu sumringah."Santa juga turut senang, mendengar cerita dari Nida, Abang berkumpul kembali dengan Bu Lilyana. Santa takjub mendengar kisah Abang. Abang le

  • Lelaki Pemalu dan Calon Dokter   Wisuda dan Cumlaude (39)

    Lelaki dengan Seribu Tahajud.Bab 39-Wisuda dan Cumlaude-Dari balik pintu, dua orang Dokter sahabat Lilyana itu mengusap pipi yang basah, ikut bahagia.---Hari-hari selanjutnya Alqi banyak berdiskusi dengan para dokter yang menangani Rosmina dan Lilyana. Dua cinta terbaiknya kini yang sedang benar-benar ia usahakan kesembuhannya.Alqi telah memutuskan untuk tak akan banyak mempertanyakan tentang masa lalunya lagi kepada dua orang wanita itu. Sejatinya mereka berdua sangat menyayanginya. Rosmina yang begitu tulus membesarkannya dalam kekurangan. Lilyana yang sudah melahirkannya dan membuatnya ada di dunia ini.Itu anugerah terbesar dalam hidupnya yang sengaja Allah rancang seperti itu. Segala yang sudah terjadi mengandung ketetapan Allah. Ketetapan Allah tidak melulu sama seperti apa yang kita ingini. Terkadang kita perlu merenung lebih dalam untuk menangkap maksud Sang Pemberi Hidup. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyuka

  • Lelaki Pemalu dan Calon Dokter   Pelukan Penerimaan

    Lelaki dengan Seribu Tahajud.Bab 38-Pelukan Penerimaan-"Assalamualaikum." Alqi mengucap salam. Tatapannya tepat bertemu dengan seorang wanita berjilbab yang sedang terbaring lemah itu. Ada iba menjalari hatinya. Melihat tubuh lemah dengan infus dan selang oksigen yang terpasang di hidung.Ia melangkah masuk perlahan dan duduk disebelah wanita itu. Hilang sudah kekecewaan yang bersemayam selama ini melihat Lilyana terbaring lemah. Lelaki yang hatinya selalu dekat kepada Allah dan dekat kepada kebaikan ini seakan mendapat petunjuk-Nya untuk segera meluaskan maaf dan melangitkan doa kepada wanita yang telah pernah berjuang melahirkannya ke dunia ini."Semoga lekas sembuh, ya, Bu," ucap Alqi.Lilyana hanya diam. Kemudian matanya sedikit memejam. Alqi mendapat informasi bahwa Lilyana sudah tak bicara sejak kemarin sore. Hanya matanya yang sesekali terbuka saat terjaga dan akan memejam kembali untuk tidur.Lama Alqi menunggunya membuka mata kembali, namun Lilyana tetap terpejam."Ibu m

  • Lelaki Pemalu dan Calon Dokter   Berdamai dengan Ego Diri (37)

    Lelaki dengan Seribu Tahajud.Bab 37-Berdamai dengan Ego Diri'Lihatlah Al, bukan cuma kamu yang sakit, bahkan mereka juga sama terguncangnya. Mereka begitu menyayangimu.'Alqi lekas bangkit mengambil handuk untuk mandi. Membersihkan diri. Shalat sunnah dua rakaat mencoba mencari tenang. Menyandarkan diri pada Sang Pemilik Jiwa. Setelah itu ia meluncur dengan motor tuanya.Ia ingin segera bertemu Rosmina, wanita sederhana yang dalam ketakberpunyaannya sejak dulu selalu bersahaja. Tak pernah merasa kurang dengan apapun yang ia punya. Yang sudah sedemikian baiknya merawatnya yang bukan anak kandungnya tapi tak sedikitpun terasa ada yang berbeda. Bahkan sedemikian baiknya menjaga rahasia tentang siapa dirinya selama bertahun-tahun lamanua. Bahkan Alqi bisa merasakan bagaimana sebegitu kuatnya mimpi Rosmina untuk bisa menguliahkannya di Institut terkemuka di negeri ini. Tetap meyakini mampu menguliahkannya meski dengan segala keterbatasan. Hingga pada akhirnya garis nasib membuatnya ter

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status