Share

Merantau Untuk Ibu (4)

Mohon klik subscribe n follow dulu sebelum membaca

Bab 5

#Lelaki_Pemalu_Dan_Calon_Dokter

-Merantau Untuk Ibu-

“Amin …. Makasih, Kak, nasehatnya bikin Nida sedikit tenang.”

Terbayang dalam benak, abangnya tadi banyak memberi nasehat, untuk lebih memperbanyak hafalan Al-Quran.

“Nida harus bisa, ya. Meski tanpa guru pembimbing. Dicicil sedikit-sedikit. Pasti bisa. Tapi kalau di TPA ada yang bimbing, ya manfaatkan itu untuk mempertajam hafalan. Nanti Abang akan kirimi Nida hape biar Abang bisa mantau Nida dari jauh, ya.”

Ia hanya mengangguk, tak bersemangat sembari memegangi tangan abangnya.

Dalam benaknya abangnya itu akan pergi lama, bertahun tak akan pulang. Bagaimana jika ia nanti rindu ingin bertemu. Bagaimana jika nanti ia tak mengerti soal matematika, atau fisika. Biasanya ia sudah mempersiapkan banyak bahan pertanyaan ketika pada akhirnya abangnya itu pulang ke rumah. Tapi sekarang? Entah akan berapa lama lagi ia akan menunggu abangnya. Bertanya dengan Annisa, yang ada ia akan kenyang dimarah terlebih dahulu, karena kakak perempuan satunya itu jutek saat mengajari. Berbeda dengan Alqi yang tenang dan sabar mengajarinya.

Dulu nyaris tiap malam Nida akan dipaksa belajar oleh Alqi ketika masih tinggal serumah. Kebiasaan disiplin dari abangnya itu lama-lama menjadi kebiasaannya juga yang membuatnya selalu juara kelas tiap tahun.

Lagi air matanya berlinang membayangkan itu semua.

Semoga Abang cepet punya pekerjaan bagus, bisa kuliah lagi, dan bisa beli mobil biar kalau pulang kampung bisa membawa mobilnya itu. Pasti bikin Ayah dan Ibu bangga. bisiknya dalam hati. Impian seorang anak gadis belia, yang belum terlalu paham tentang bagaimana hidup harus dijalani. Dalam benaknya, ia akan bangga melihat abangnya pulang membawa mobil, abangnya akan terlihat keren dan gagah.

“Sekarang gimana? Sudah agak mendingan perasaannya? Nggak terlalu sedih lagi ‘kan, Nida?” tanya Fatya tersenyum sembari mengelus tangan Nida.

Annida mengangguk, balas tersenyum.

“Nanti berangkat ngaji ‘kan? Kakak tunggu di TPA, ya. Barangkali Nida mau setoran hafalan surat juga?” Nida mengangguk. Ia ingat belum menyelesaikan hafalan surah Al Waqiah. Terngiang-ngiang lagi ucapan sang Abang, untuk lebih banyak lagi menghafal Al-Quran.

Fatya menyukai Annida, karena gadis ini anak yang periang, ramah dan bersemangat dalam menghafalkan ayat-ayat, juga tidak pernah absen berangkat mengaji. Ini membuat keduanya jadi dekat. Ini juga yang membuat Nida jadi tidak terlalu segan untuk dekat dengan Fatya. Fatya, meski anak orang berada, tidak sombong seperti anak orang kaya kebanyakan di kampung Nida. Banyak di antara mereka menjaga jarak dengan Nida karena Annida bukan berasal dari keluarga berpunya.

“Kak. Kak Fatya masih tinggal lama di sini? Belum balik ke Tanjung ‘kan?”

“Iya, Nida, lusa kakak balik. Subuh-subuh berangkat. Jadi nanti sore terakhir Kakak mengajar, mungkin akan tinggal lagi di sini dua minggu lagi,” jawabnya.

Fatya memang tidak bersekolah di sini. Ia bersekolah di SMA favourite di kota dan seminggu atau dua minggu sekali akan datang ke sini, tinggal di sini beberapa hari, berangkat sekolah subuh hari agar tidak terlambat sampai sekolah. Di sini ia akan menemani Ayah Ibunya yang sekarang lebih sering tinggal di kampung ini.

Ustadz Hamdani, punya banyak perkebunan sawit dan tebu, dari sini akan lebih mudah mengunjungi kebun-kebunnya itu. Konon rumah Ustadz banyak, ada di kota, juga di beberapa daerah. Tergantung ia mau tinggal dimana untuk mengawasi usahanya. Di tempat-tempat itu biasanya ia akan gunakan juga waktu senggang sore harinya untuk mengajar mengaji atau berceramah, dan Fatya tidak segan mengikuti ayahnya mengajar mengaji dimanapun berada.

“Kak, Nida pulang dulu, ya.” ucap Nida setelah menyadari harus segera murojaah.

“Iya, pulang dulu, ya. Nanti dicari Ibu,” balas Fatya.

Nida mengangguk, lalu melangkah pergi setelah mengucapkan salam.

***Aj

Pelabuhan Bakauheni. Seorang pemuda sedang menyandarkan tubuh pada pagar pembatas tepian kapal, mengamati lautan yang ombaknya sedang besar. Kapal akan mulai berlaju meninggalkan pelabuhan, menuju Pelabuhan Merak.

Dalam benak pemuda bermata elang ini, terus menimbang-nimbang, merencanakan apa yang akan dia lakukan nanti di tanah rantau. Bagaimana mencari kerja, bagaimana bertahan hidup, bagaimana ia harus bisa mengumpulkan uang banyak, untuk bisa melunasi hutang-hutang orang tuanya.

Selama satu minggu ia di bandung mengurusi cuti kuliahnya. Setelah itu, ia bergegas ke Jakarta. Entah akan kemana tempat yang ia tuju. Hanya saja, sisi hati terdalamnya mengatakan, ‘Kamu harus pergi ke Jakarta Alqi, jemput masa depanmu di sana.” Itu yang membuatnya yakin dan optimis.

Di Jakarta, ia sama sekali tak punya saudara. Mungkin teman-temannya banyak, tapi Alqi bukan tipikal orang yang mau merepotkan orang lain. Jadi dia putuskan akan berjuang di atas kakinya sendiri.

Hal pertama yang ia lakukan adalah pergi ke masjid untuk shalat-shalat sunnah berkali-kali setelah melaksanakan shalat wajib. Kembali murojaah hafalan ayat-ayat yang ia punya. Kemudian ia pergi ke terminal Blok M. Mengikuti para pedagang asongan mengambil barang untuk dijajakan keliling. Seharian ia berkeliling menjual minuman, permen, ciki dan sebagainya. Alhamdulillah keuntungan seratus ribu didapat hari pertama ia berjualan. Baginya bekerja apa saja dulu tak apa yang penting menghasilkan dan halal.

Malamnya ia mengikuti dimana tinggal para pedagang asongan yang sudah menjadi temannya itu, untuk sekedar numpang tidur. Wajah manis dan terkesan orang baik itu tak membuat teman-teman pedagang asongan menolak kehadirannya. Ia begitu mudah diterima. Berhari-hari Alqi terus berjualan asongan hingga bisa mengumpulkan satu setengah juta rupiah dalam waktu dua minggu.

Alqi semakin bersemangat jualan. Berjualan sebagai pedagang asongan adalah batu loncatannya untuk mencari profesi selanjutnya. Tak mungkin selamanya ia menjadi penjual asongan. Alqi memang menginginkan dirinya suatu saat menjadi pedagang, seperti Rasulullah, hanya saja itu nanti, jika ia sudah memiliki modal yang cukup. Yang terpenting sekarang, ia bisa segera membantu Ibu dan Ayah, melunasi hutang-hutang rentenir itu.

Ia optimis, suatu saat bisa diterima bekerja kantoran, meski hanya berijasazah SMA. Semoga nilai-nilai yang ia punya, juga berkas nilai kuliah, bisa membantunya.

Sembari berdagang asongan. Alqi mengirimkan berkas-berkas lamaran ke berbagai perusahaan. Uangnya sempat habis karena untuk foto copy puluhan berkas dan ongkos pergi ke sana kemari.

Seminggu, dua minggu, sampai pada akhirnya, ia diterima di sebuah perusahaan kecil, sebagai security. Ia syukuri. Sejak itu ia memilih hidup mengontrak di tempat yang lebih dekat dengan kantor tempatnya bekerja.

“Kamu ini sebenarnya orang pintar, Qi. Nggak pantas jadi srikiti,” ujar Deni, teman seprofesinya yang doyan melawak. Teman yang sering mengajaknya diskusi sembari jaga pos.

“Nggak apa-apa, Kang. Kan cuma ijasah SMA, ya, cocoknya memang jadi security.”

“Lha tapi kamu itu aslinya bisa jadi orang office. Kamu pegang kerjaan apa juga bisa. Masuk tim accounting bisa, jadi team IT bisa, apalagi divisi-divisi lainnya, 'lah kecil buat kamu, mah, Qi. Sayangnya kamu masih baru masuk dunia kerja, sih, ya.”

“Iya, Kang, cari pengalaman saja dulu, disabarin,” jawabnya tenang.

“Iya, ya kalau rejeki ‘kan, nanti juga ketemu jalannya.”

“Iya, Kang, jaman sekarang ‘kan yang dilihat itu bukan cuma pinter, nilai bagus. Tapi seberapa lama sudah mengabdi di perusahaan, itu yang dapat kesempatan lebih besar.”

“He-em, betul kamu. Lagian orang pinter itu sering beruntung, moga aja ada jalan buat kamu, ya. Semoga Nyak Babe sehat terus."

"Makasih, Kang."

“Kang Deni. Kamu udah makan siang belum? makan, gih, di pantry ada nasi padang dua.” Santa, sekertaris kantor, tiba-tiba sudah berdiri di samping pos.

“Eh, Bu Santa. Kaget saya. he he he.” Kang Deni terlonjak, mendengar suara manja seorang wanita yang ternyata sang secretary yang ia idolai itu. Santa berdiri dengan sembari sesekali melirik Alqi.

“Makan? Alqi kamu sudah makan belum?” Ia menjawil lengan Alqi, lalu kembali nyengir menatap gadis berambut panjang itu.

Yang dijawil hanya beku memandang sekitar.

“Iya, ajakin Bang Alqi, ya, Kang … Santa beli dua, satu buat Kang Deni, satu buat Bang Alqi,” ucapnya sembari menebar senyum, masih menatapi Alqi.

"Yuk, Qi, jarang-jarang ini kitah ditelaktir Bu Bos."

Gawai hitam putih Alqi tiba-tiba berdering. Tertera sebuah panggilan dari nomor yang sangat dikenalnya. Nomor ibunya di kampung.

"Kang Deni ke pantry aja dulu, ya."

Alqi pergi meninggalkan mereka untuk mengangkat telepon.

"Halo, Bu, Assalamualaikum?"

Terdengar suara isak tangis di sana.

To Be Continued.

trmksh jg utk tmn2 yg sll setia mendukung karya2 Asa. Tinggalkan jejak love, like dan komen sebelum menuju bab selanjutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status