-Telepon Ibu Memberi Sebuah Tanya-
Alqi tergemap, mendengar tangisan Rosmina. Ia beristighfar beberapa kali. Lalu mulai menenangkan ibunya.“Bu, tenang. Sabar.” Ia tak mencoba bertanya ada apa sebenarnya. Dibiarkannya suara wanita penyabar yang kasih sayangnya begitu luas kepada anak-anaknya itu tetap menangis.“Alqi ... Nak, anak Ibu tersayang …” Serak suara itu di antara isak.“Iya, Bu.”“Pulanglah, Nak. Ibu kangen. Ayah sakiiit ….”“Ayah sakit, Bu?”“Iya, sakit. Pulanglah, Nak. Kamu pokoknya harus pulang. Jangan di Jakarta lagi.”“Jangan di Jakarta lagi, Bu?”“Iya, Nak, huhuhu …. Pulanglah, Nak, Ibu mengkhawatirkanmu. Khawatir kamu kenapa-kenapa? Ibu takuut. Pulang sajalah, Nak. Kamu tinggal di kampung. susah senang kita di kampung saja. Ibu janji, akan segera lunasi semua hutang Ibu. Ibu pasti bisa lunasi hutang itu. Bismillah, Nak .... Cari rejeki di sini saja. Bareng-bareng sama Ayah Ibu.” Wanita yang sangat Alqi kasihi itu kembali menangis. Dalam benak Alqi menjadi penuh tanya. Kenapa ibunya tiba-tiba jadi begitu mengkhawatirkannya? Memintanya untuk pulang? Bukankah kemarin beliau sudah mengijinkannya merantau? “Ibu, maksudnya bagaimana? Ayah sakit? Alqi harus pulang?”“Iya, Nak. Pokoknya kamu harus pulang. Kamu pulang, Nak. Ayah sakit, Ibu juga kangen. Ibu khawatir kamu … kamu … ” Rosmina tak melanjutkan kata. Terdengar isak tangisnya kembali. Sangat pilu.“Bukankah Ibu sudah restui Alqi merantau, Bu? Doakan saja Alqi dalam shalat-shalat Ibu, ya. Alqi akan baik-baik saja.”“Nak … sejujurnya kemarin Ibu setengah hati merestui kamu pergi ke Jakarta. Hanya saja karena ayahmu menyetujui ddan mencegah larangan Ibu. Ibu tidak jadi melarangmu. Nak, pulang, ya, Nak.” Wanita ini seperti begitu mengharap kepulangan Alqi. Kerinduan Alqi semakin menjadi-jadi mendengar tangisan Rosmina. Ia tak tega mendengar kesedihan wanita tegar di seberang telepon yang sejatinya jarang menangis itu. Dari dulu Rosmina pandai menyembunyikan segala lara dan duka di hadapan anak-anaknya. Seperti ketika ia sampai diam-diam meminjam uang rentenir sebagai jalan keluar dari masalah keuangan yang menghimpitnya. Bahkan Sang Suami tak pernah tahu.“Nak, pulang, Nak.” Sekali lagi wanita itu memohon. Ini membuat Alqi gamang. Kenapa dengan ibunya?“Bu, ini baru satu bulan Alqi diterima kerja. Tak mungkin mendapatkan ijin cuti, tapi apakah sakit Ayah parah, Bu?” Wanita di seberang sana terdiam.“Bu, kok diam? Ayah mana?”“Ayahmu sedang ke tokonya, Nak. Walaupun sakit dia paksakan tetap jualan.”Alqi sedikit lega. Artinya sang Ayah tidak sakit seperti yang terbayang dalam benaknya. Terbujur kaku tak bisa bangun.“Bu, berarti Ayah kelelahan. Sebaiknya minta Ayah jangan terlalu memforsir kerja. Alqi lihat kalau malam sekarang Ayah bikin kerajinan bingkai foto buat dijual. Banyak istirahat saja dulu.”“Ya, Nak.”“Ibu bersabar saja dulu, ya. Ibu percaya sama Alqi. Alqi akan jaga diri baik-baik di sini.”“Oiya, Nak, kamu ingat Pak Sutopo. Tetangga rumah kita dulu. Nah dia sudah tiga tahun kerja di pertambangan kalimantan, di Tanah Laut. Kemarin Ibu sempat dengar dia pulang ke sini cari orang karena di sana masih dibutuhkan banyak tenaga, Nak. Kalau kamu mau merantau, pergilah ke kalimantan. Nanti Ibu carikan nomor hapenya, ya?”Alqi mengerutkan dahi. Kenapa dengan ibunya? Kenapa tadi memintanya untuk pulang, dan sekarang memintanya untuk bekerja saja di Kalimantan? Bukankah di Jakarta atau Kalimantan sama saja? Ini membuatnya berpikir lebih jauh.“Bu, sabar saja dulu. Alqi tekuni dulu pekerjaan di sini. Nanti kalau Alqi mau ke Kalimantan, Alqi kabari.”Sang Ibu menghela napas panjang. Entah apa yang ada dalam benaknya. Sempat ia masih berusaha membujuk. Alqi hanya mendengarkan ucapan ibunya dan mengiyakan saja.“Ya sudah, ya, Bu. Nanti malam Alqi telepon lagi, Alqi masih kerja. Ibu jaga kesehatan.” Telepon ditutup setelah Alqi berucap salam. Ada satu pertanyaan yang masih bermain di kepalanya.***AjDua bulan bekerja, Alqi berhasil membeli motor butut cash. Ia tak mau membeli motor baru dengan cicilan. Rupanay dia sudah paham dengan prinsip cicilan yang juga riba. Motor butut berharga empat juta cukup baginya, yang pentign surat-suratnya lengkap. Ia bersyukur tak perlu berjalan kaki lagi bila mendadak ada panggilan urgent dari kantor. Sebagai security memang harus siap stanby kapanpun diperlukan meski diluar jam kerja.Dua hari lalu lelaki pendiam ini telah menyebar brosur usaha service laptop yang coba ia jadikan pekerjaan sampingan. Sepulang kerja, malamnya dia akan membereskan laptop-laptop yang rusak untuk dibenahi. Lumayan, bisa menambah tabungannya. Ia sudah bertekad untuk terus menabung guna melunasi hutang orang tuanya. Maka dia juga harus menambah pundi-pundi pemasukan selagi waktunya cukup.Lagi-lagi dilihatnya motor butut diteras kosnya itu dengan bangga. Motor butut itu bisa meluncur ke rumah orang-orang yang memanggilnya untuk menservice laptop, juga mengantarnya kembali ketika laptop sudah betul.“Weits, side job baru, nich.” ujar Deni yang baru saja muncul di kontrakan Alqi.“Eh, masuk, Kang. Tumben main. Bini lagi nggak ada di rumah?”“Weits tahu aja, lo, Al. Iya, Bini sama anak lagi ke rumah orang tuanya. Di rumah sepi, jadi ya main sini aja, kali-kali bisa godain kamu pacaran.”“Pacaran, pacaran sama siapa, Kang? Sama angin biar masuk angin?” Deni terkekeh.“Bisa ngelawak juga, lo, Al. Kang Deni pikir kamu beku terus, kayak es di frezer nggak cair-cair.”“THR kali Kang nggak cair-cair,” balasnya lagi.Diamatinya rekannya itu yang kembali fokus menekan keyboards dan mengamati angka-angka pada layar laptop yang rusak itu. Terdengar bunyi tilawah dengan volume kecil yang diputar dari gawai.“Kamu memang keren Al, sulit kan itu benerin laptop rusak. Lumayan juga cuannya, yakan? Calon-calon orang masa depannya sukses ini, ulet begini. Salut Akang sama kamu ….”“Ya lumayan, Kang. Ngisi waktu kosong sehabis pulang kerja, ‘kan …?”“Nah, ya juga, si. Biar nggak kelayapan kayak saya. Tapi kenapa kamu nggak coba peruntungan lain. Ya nyoba-nyoba jadi artis gitu, kamu kan ganteng mirip artis siapa, tu, ya? Oh Dimas seto, bener-bener, kamu mirip Dimas Seto. Cakepan kamu malah.”“Udah banyak Kang yang jadi artis. Biar saya jadi tukang service laptop aja.”“Oh, iya, ya. Nanti kalau kamu jadi artis juga, mereka sepi job.”Alqi terkekeh. Matanya tetap fokus menekuri layar laptop, tangannya sibuk menekan tuts keyboards kesana kemari mengetik kode-kode pemrograman.Terdengar Adzan Isya. Alqi segera bangkit untuk shalat.“Ayok, Kang, kita ke masjid,” ajaknya pada Deni. Deni mengangguk mengikuti Alqi.Sepulang dari masjid, di teras kos-kosan sudah ada Santa duduk menunggu. Gadis ini, sudah beberapa kali datang ke kosan Alqi untuk sekedar mengantarkan makanan, minuman atau camilan. Alqi tak bisa menolak karena Santa adalah juga atasannya di kantor. Namun ia jadi sedikit tak enak hati karena Santa jadi terbiasa datang membawakan oleh-oleh, bahkan ketika sepulang dinas dari luar kota mengikuti bosnya, dia akan datang membawakan oleh-oleh.“Bang Alqi, baru pulang dari masjid ya? Nih aku baru pulang dari Ciwidey, ada oleh-oleh buat kamu.” Ia menyodorkan satu plastik ukuran sedang itu kepada Alqi. Alqi tak bisa menolak lagi-lagi ditodong seperti itu. Ia terima juga pemberian itu karena khawatir Santa tersinggung bila menolaknya.“Buat saya, mana, Bu Bos? Masak Alqi saja dikasih?” Kang Deni, lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu nyeletuk.“Eh, saya nggak ngira ada kamu di sini juga, Kang.” Wanita seksi yang wajahnya lumayan manis itu mengeluarkan dua lembar uang ratusan dari dompetnya. Nih, buat jajan Rado,” ucapnya menyebut anak lelaki Deni.“Ashiaap, waduww, gede amat, makasih, Bu Bos,” balasnya sembari mencium dua lembar uang kertas yang terlihat masih baru itu.Alqi kembali menekuri laptop di ruang tamunya. Sementara Santa, yang memang tinggalnya tak jauh dari kosan Alqi ikut duduk mengamati disebelah Alqi sembari sesekali bertanya tentang bahasa pemrograman. Sesekali ia juga mengobrol dengan Deni.Tak lama Santa beranjak ke dapur, membuatkan teh untuk Deni dan Alqi."Nih teh, biar makin enak ngobrolnya," ucap Santa setelah kembali lagi ke ruang tamu.“Waduh jadi enak, nih saya. Makasih Bu Santa, jarang-jarang nih kita dibikinin teh spesial langsung sama sekretaris cantik. Biasanya Bu Sekretaris bikinin buat Bos Direktur aja," sambar Deni."Ya sekali-kali, Kang, mumpung di sini," balas Santa sembari meletakkan satu lagi teh panas ke meja Alqi."Udahlah, Qi. Kalau uang hasil nyervis-nyervis gini udah cukup. Lamar ajalah Bu Santa. Dia baik banget. Sama kamu juga kan perhatian terus. Setuju Akang, Mah,” celetuk Deni menyadari bahwa perhatian Santa pada Alqi adalah bentuk rasa suka.Mendengar wejangan Deni, Alqi terbatuk-batuk. Santa lekas mengambilkannya air putih dan membantu Alqi minum. Dua mata sepasang muda-mudi saling tatap lekat. Alqi segera menundukkan pandangan, beristighfar dalam hati. Terlebih wanita di hadapannya ini memakai pakaian dengan belahan dada yang terbuka. Alqi merasa risih ketika tak sengaja pandangannya jatuh ke sana."Widiw, mesranya .... Udah deh, ah, Qi. Halalin ... halalin ...." Goda Deni melihat adegan barusan."Apaan Kang Deni, temennya batuk malah digodain." Santa menepiskan tangan ke dekat wajah Deni.Alqi kemudian masuk ke dalam. Menuju kamar, meninggalkan mereka berdua.To Be Continued.Bab 6-Rumah Masa Kecil Mungkinkah Kembali-“Ya Allah, Qi, baru aja Kang Deni senang punya temen lurus kayak kamu bisa ngajarin shalat, tempat nanya soal agama, eh malah sekarang mau pindah kerja ….” Deni muram. Diusap wajah itu dengan ujung bahunya.“Kita masih sering ketemu, Kang.” Alqi menepuk pundak Kakang ketemu gede yang cukup menghibur hari-harinya belakangan ini.“Bang Alqi. Santa sediiihh banget. Kenapa, si harus pindah? Nanti kita jadi jarang ketemu, deh. Jangan sombong ya kalau udah ada di tempat kerja yang baru ….” Dua sudut bibir perempuan dengan wajah mirip Prilly Latuconsina itu tertarik ke bawah.“Jangan sedih, Bu Bos. Ini malah jalan terbaik. Kan kalau nanti kalian jadi nikah, nggak boleh kerja satu kantor. Ini bentuk pengorbanan Alqi, mengalah, resign dari sini,” candanya yang ditimpali Alqi dengan mata membulat.“Insyaa Allah kita masih bisa silaturahmi, Bu Bos,” jawab Alqi.“Ya, janji, ya Bang, tetep komunikasi. Tetep mau jawab kalau saya WA. Sukses ditempat yang b
-Maukah Kamu Datang Menemui Papa?- (7)Kemudian ia fokus lagi membereskan service-an laptop di depannya. Di sampingnya berjajar sembilan buah laptop yang menanti untuk dibenahi juga. Seperti biasa, lantunan murotal bervolume kecil terdengar mengalun dari gawainya.“Bang Alqi ….” Seorang wanita sudah berdiri di depan pintu kosnya. Tubuhnya basah wajahnya berurai air mata.---“Bu San-ta,” jawab Alqi terbata. Tanpa diminta, Santa langsung masuk ke ruang tamu kosannnya. Alqi segera bangkit berdiri, tergagap.“Bang, Papa Santa kecelakaan,” isaknya.“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.”“Tolong antar Santa ke Primaya Hospital Tangerang, naik motor, biar cepat sampai, Bang.” Alqi terpegun sesaat. Kemudian menatap wanita yang sedang menangis ini. “Tolong, Bang. Santa nggak tahu lagi mau minta tolong siapa. Santa nggak tahu apakah Papa selamat atau nggak. Tolong kalau perlu nanti Santa bayar.” Terbata di antara tangisan Santa memohon.Alqi menjadi iba, dan alangkah kurang ajarnya bila tak
-Kedermawanan Gadis Berhati Salju- (8)Sebuah WA masuk dari Santa.[Alhamdulillah. Semoga terus Allah sehatkan, ya.] balas Alqi.[Papa mau kenal kamu lebih jauh, Bang. Mama juga. Maukah kamu nanti datang sekali lagi menjenguk Papa?]----Seketika Alqi tertegun. Sebuah tawaran baik. Bersilaturahmi. Alqi mencoba tak ingin punya penilaian berlebihan. Tapi di sisi lain ada tanya dalam benaknya. Apakah keluarga Santa mengira ia memiliki hubungan khusus dengan Santa? Jika, ya, Alqi merasa tak perlu datang, karena akan semakin sulit menghindar dan akan menyakiti Santa nantinya. Ia tak hendak ingin menjalin hubungan dekat dengan perempuan manapun saat ini.Ia lelaki yang punya prinsip tak pacaran, tak dekat dengan wanita manapun. Ia begitu menghormati wanita, memacarinya artinya adalah menjatuhkan martabatnya sebagai seorang wanita.Ia ingat pesan Ustadz Ibrahim yang sering berceramah di masjid Salman, kampusnya, laki-laki baik-baik tak akan memacari perempuan manapun. Berdekatan dengan lawan
-Fatya, Mahasiswi Kedokteran UI-'Aku harus fokus mencari jalan keluar untuk membayar biaya Ayah,' bisiknya.Ia melangkah pergi ke toilet rumah sakit, membersihkan diri, berganti pakaian, lalu beranjak ke mushala rumah sakit. Berwudlu dan melaksanakan shalat sunnah berakaat-rakaat. Alqi mencari tenang dari kegundahan yang merajai hatinya.***ajSeusai shalat dan bermunajat pada Allah memohon diberi kemudahan hidup dan perlindungan, Alqi merenung. Ia masih terus berpikir bagaimana mengganti uang Fatya. Karena tak ada perjanjian hutang piutang antara keluarganya dengan Fatya. Artinya uang talangan dari Fatya harus segera dibayar. Annisa, adiknya juga tadi sempat memintanya untuk berbicara pada Fatya soal pembayaran rumah sakit yang ditalanginya.Alqi mendesah resah, menghembuskan napas berkali-kali. Dalam rekeningnya hanya ada delapan juta. Mungkin juga akan habis untuk biaya perawatan ayahnya dan obat-obatan. Gontai ia berjalan menuruni tangga masjid. Duduk di bangku-bangku taman ruma
Lelaki dengan Seribu TahajudBab 11-Ditemui Santa dan Menjemput Fatya-Alqi jadi penasaran, beberapa kali Nida menyebut wanita yang sellau memasang fotonya di facebook. siapa sebenarnya?“Bang Alqi!” Seseorang menyebut namanya di depan pintu. Terlihat Sri dibelakangnya.--Alqi terpegun, di depannya sudah ada Santa. Santa terpaku menatap Alqi, ada kilatan bening di matanya. “Santa …?” Al terbangun, kaget. Ia segera keluar kamar. Meminta asistennya melanjutkan sisa pekerjaanya pada laptop yang sedikit lagi selesai.Alqi melangkah mengajak Santa menuju teras rumah. Ia mempersilahkan Santa duduk. “Kemana saja kamu selama ini, Bang?” tanya Santa to the point setelah ia duduk. Alqi tak langsung menjawab. Tatapannya tertuju pada bunga-bunga taman di hadapannya.“Maaf, ya, Santa. Saya sudah lama nggak menghubungi kamu.”“Bukan cuma nggak menghubungi, Bang. Tapi juga nggak pernah menjawab WA-WA dari saya, panggilan telepon dari saya!”Santa nampak emosional.“Apa susahnya, sih, Bang, se
Lelaki dengan Seribu TahajudBab 12-Dua Hati yang Menjaga-“Subhanallah.” Itu saja yang keluar dari bibir Alqi.Nida menunggu jawaban selanjutnya abangnya.“Bang? Kok diem, bisa nggak?”“Ihh, Abang, nih, nanti Kak Fatya keburu disamber orang jahat. Eh Astaghfirullahaladzim. Aduh, Bang buruan jawab bisa nggak. Kasihan dianya.”Alqi menatap jam, pukul setengah delapan malam. Ia ragu karena belum pernah menjemput perempuan, terlebih yang bukan muhrim, dan Fatya tidak memintanya langsung. Alqi sangat sungkan. Kemudian ia mengingat kembali banyak kebaikan Fatya untuk keluarganya. Alqi hanya bingung bagaimana jika nanti hanya bergoncengan berdua ditambah motornya adalah motor butut.“Dek, dia beneran minta dijemput? Gimana kalau dia nggak mau dijemput Abang. Dia ‘kan sangat menjaga diri. Gimana kalau sekarang sudah ada temannya yang jemput?“Bang, orang dia aja bikin status, nyari-nyari kendaraan atau orang yang mau ngjemput dia nggak ada.”“Sama sekali nggak ada kendaraan di sana, Nida?”
-Kebaikan Hati Wanita Pualam- 12Alqi memasuki gerbang rumah megah Lilyana kembali. Tapi sekilas matanya melihat sebuah mobil yang tadi ia kenal. di seberang jalan itu, ternyata mobil Santa terparkir. ‘Ada apa dengan gadis itu? Kenapa semalam ini dia belum pulang?’---Alqi terdiam mematung, tak berusaha mendekat, tapi benaknya berpikir, apa yang harus dilakukan. Kemudian dia melangkah masuk ke dalam rumah, menuju ke dalam kamarnya. Mungkin memang lebih baik membiarkannya saja, tak perlu menemuinya. Ini sudah larut. Seharusnya dia sudah pulang. Bukankah tadi sudah pamit pada simbok. Seharusnya sebagai wanita, dia tahu diri tak baik malam-malam di jalanan, terlebih dia sekarang sudah berjilbab. Atau ini bentuk kecewa dan protesnya karena tadi diabaikan Alqi?Alqi membersihkan diri, mandi dengan air hangat sebentar. Kepalanya terasa agak sedikit pusing, mungkin efek terkena sedikit hujan dan angin di jalanan tadi.Setelah mandi, ia ke dapur, membuat rebusan air hangat yang diberi jahe,
Lelaki dengan Seribu TahajudNisa Ingin Bisa Kuliah, Bang (13)... Fatya ingin lebih bermanfaat. Gimana kalau Fatya ingin uang itu digunakan untuk biaya kuliah nisa dulu, sisanya mungin bisa Abang gunakan untuk yang lain.""Iya, Nida setuju. Kak Nisa sangat pengen kuliah, Bang," timpal Annida.Alqi terpegun ... diam, lama ....----Berbagai rasa berkecamuk dalam benaknya. Ada rasa malu, karena lagi-lagi wanita ini bagai malaikat selalu datang menolong di saat yang benar-benar dibutuhkan. Tak enak hati, karena lagi-lagi dia yang menawarkan bantuan, bahkan di saat semua belum meminta. Sedih, karena sebagai lelaki, Alqi merasa tak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, impian keluarganya, justru selalu ada orang yang menolongnya."Bang, maafkan Fatya. Fatya tak berniat lain." Fatya merasa ucapannya barusan khawatir akan menyinggung Alqi. Ia menyadari seperti mengatur hidup seseorang karena memiliki uang.Alqi menghela napas dalam. Bahu bidangnya ikut bergerak naik mengikuti gerakan paru-p