Share

Telepon Ibu Memberi Sebuah Tanya (5)

-Telepon Ibu Memberi Sebuah Tanya-

Alqi tergemap, mendengar tangisan Rosmina. Ia beristighfar beberapa kali. Lalu mulai menenangkan ibunya.

“Bu, tenang. Sabar.” Ia tak mencoba bertanya ada apa sebenarnya. Dibiarkannya suara wanita penyabar yang kasih sayangnya begitu luas kepada anak-anaknya itu tetap menangis.

“Alqi ... Nak, anak Ibu tersayang …” Serak suara itu di antara isak.

“Iya, Bu.”

“Pulanglah, Nak. Ibu kangen. Ayah sakiiit ….”

“Ayah sakit, Bu?”

“Iya, sakit. Pulanglah, Nak. Kamu pokoknya harus pulang. Jangan di Jakarta lagi.”

“Jangan di Jakarta lagi, Bu?”

“Iya, Nak, huhuhu …. Pulanglah, Nak, Ibu mengkhawatirkanmu. Khawatir kamu kenapa-kenapa? Ibu takuut. Pulang sajalah, Nak. Kamu tinggal di kampung. susah senang kita di kampung saja. Ibu janji, akan segera lunasi semua hutang Ibu. Ibu pasti bisa lunasi hutang itu. Bismillah, Nak .... Cari rejeki di sini saja. Bareng-bareng sama Ayah Ibu.”  Wanita yang sangat Alqi kasihi itu kembali menangis. 

Dalam benak Alqi menjadi penuh tanya. Kenapa ibunya tiba-tiba jadi begitu mengkhawatirkannya? Memintanya untuk pulang? Bukankah kemarin beliau sudah mengijinkannya merantau? 

“Ibu, maksudnya bagaimana? Ayah sakit? Alqi harus pulang?”

“Iya, Nak. Pokoknya kamu harus pulang. Kamu pulang, Nak. Ayah sakit, Ibu juga kangen. Ibu khawatir kamu … kamu … ” Rosmina tak melanjutkan kata. Terdengar isak tangisnya kembali. Sangat pilu.

“Bukankah Ibu sudah restui Alqi merantau, Bu? Doakan saja Alqi dalam shalat-shalat Ibu, ya. Alqi akan baik-baik saja.”

“Nak … sejujurnya kemarin Ibu setengah hati merestui kamu pergi ke Jakarta. Hanya saja karena ayahmu menyetujui ddan mencegah larangan Ibu. Ibu tidak jadi melarangmu. Nak, pulang, ya, Nak.” 

Wanita ini seperti begitu mengharap kepulangan Alqi. Kerinduan  Alqi  semakin menjadi-jadi mendengar tangisan Rosmina. Ia tak tega mendengar kesedihan wanita tegar di seberang telepon yang sejatinya jarang menangis itu. Dari dulu Rosmina  pandai menyembunyikan segala lara dan duka di hadapan anak-anaknya. Seperti ketika ia sampai diam-diam meminjam uang rentenir sebagai jalan keluar dari masalah keuangan yang menghimpitnya. Bahkan Sang Suami tak pernah tahu.

“Nak, pulang, Nak.” Sekali lagi wanita itu memohon. Ini membuat Alqi gamang. Kenapa dengan ibunya?

“Bu, ini baru satu bulan Alqi  diterima kerja. Tak mungkin mendapatkan ijin cuti, tapi apakah sakit Ayah parah, Bu?” 

Wanita di seberang sana terdiam.

“Bu, kok diam? Ayah mana?”

“Ayahmu sedang ke tokonya, Nak. Walaupun sakit dia paksakan tetap jualan.”

Alqi sedikit lega. Artinya sang Ayah tidak sakit seperti yang terbayang dalam benaknya. Terbujur kaku tak bisa bangun.

“Bu, berarti Ayah kelelahan. Sebaiknya minta Ayah jangan terlalu memforsir kerja. Alqi lihat kalau malam sekarang Ayah bikin kerajinan bingkai foto buat dijual. Banyak istirahat saja dulu.”

“Ya, Nak.”

“Ibu bersabar saja dulu, ya. Ibu percaya sama Alqi. Alqi akan jaga diri baik-baik di sini.”

“Oiya, Nak, kamu ingat Pak Sutopo. Tetangga rumah kita dulu. Nah dia sudah tiga tahun kerja di pertambangan kalimantan, di Tanah Laut.  Kemarin Ibu sempat dengar dia pulang ke sini cari orang karena di sana masih dibutuhkan banyak tenaga, Nak. Kalau kamu mau merantau, pergilah ke kalimantan. Nanti Ibu carikan nomor hapenya, ya?”

Alqi mengerutkan dahi. Kenapa dengan ibunya? Kenapa tadi memintanya untuk pulang, dan sekarang memintanya untuk bekerja saja di Kalimantan? Bukankah di Jakarta atau 

Kalimantan sama saja? Ini membuatnya berpikir lebih jauh.

“Bu, sabar saja dulu. Alqi tekuni dulu pekerjaan di sini. Nanti kalau Alqi mau ke Kalimantan, Alqi kabari.”

Sang Ibu menghela napas panjang. Entah apa yang ada dalam benaknya. Sempat ia masih berusaha membujuk. Alqi hanya mendengarkan ucapan ibunya dan mengiyakan saja.

“Ya sudah, ya, Bu. Nanti malam Alqi telepon lagi, Alqi masih kerja. Ibu jaga kesehatan.”

 Telepon ditutup setelah Alqi berucap salam. Ada satu pertanyaan yang masih bermain di kepalanya.

***Aj

Dua bulan bekerja, Alqi berhasil membeli motor butut cash. Ia tak mau membeli motor baru dengan cicilan. Rupanay dia sudah paham dengan prinsip cicilan yang juga riba. Motor butut berharga empat juta cukup baginya, yang pentign surat-suratnya lengkap. Ia bersyukur  tak perlu berjalan kaki lagi bila mendadak ada panggilan urgent dari kantor. Sebagai security memang harus siap stanby kapanpun diperlukan meski diluar jam kerja.

Dua hari lalu lelaki pendiam ini telah menyebar brosur usaha service laptop yang coba ia jadikan pekerjaan sampingan. Sepulang kerja, malamnya dia akan membereskan laptop-laptop yang rusak untuk dibenahi. Lumayan, bisa menambah tabungannya. Ia sudah bertekad untuk terus menabung guna melunasi hutang orang tuanya. Maka dia juga harus menambah pundi-pundi pemasukan selagi waktunya cukup.

Lagi-lagi dilihatnya motor butut diteras kosnya itu dengan bangga. Motor butut itu bisa meluncur ke rumah orang-orang yang memanggilnya untuk menservice laptop, juga mengantarnya kembali ketika laptop sudah betul.

“Weits, side job baru, nich.” ujar Deni yang baru saja muncul di kontrakan Alqi.

“Eh, masuk, Kang. Tumben main. Bini lagi nggak ada di rumah?”

“Weits tahu aja, lo, Al. Iya, Bini sama anak lagi ke rumah orang tuanya. Di rumah sepi, jadi ya main sini aja, kali-kali bisa godain kamu pacaran.”

“Pacaran, pacaran sama siapa, Kang? Sama angin biar masuk angin?” 

Deni terkekeh.

“Bisa ngelawak juga, lo, Al. Kang Deni pikir kamu beku terus, kayak es di frezer nggak cair-cair.”

“THR kali Kang nggak cair-cair,” balasnya lagi.

Diamatinya rekannya itu yang kembali fokus menekan keyboards dan mengamati angka-angka pada layar laptop yang rusak itu. Terdengar bunyi tilawah dengan volume kecil yang diputar dari gawai.

“Kamu memang keren Al, sulit kan itu benerin laptop rusak. Lumayan juga cuannya, yakan? Calon-calon orang masa depannya sukses ini, ulet begini. Salut Akang sama kamu ….”

“Ya lumayan, Kang. Ngisi waktu kosong sehabis pulang kerja, ‘kan …?”

“Nah, ya juga, si. Biar nggak kelayapan kayak saya. Tapi kenapa kamu nggak coba peruntungan lain. Ya nyoba-nyoba jadi artis gitu, kamu kan ganteng mirip artis siapa, tu, ya? Oh Dimas seto, bener-bener, kamu mirip Dimas Seto. Cakepan kamu malah.”

“Udah banyak Kang yang jadi artis. Biar saya jadi tukang service laptop aja.”

“Oh, iya, ya. Nanti kalau kamu jadi artis juga, mereka sepi job.”

Alqi terkekeh. Matanya tetap fokus menekuri layar laptop, tangannya sibuk menekan tuts keyboards kesana kemari mengetik kode-kode pemrograman.

Terdengar Adzan Isya. Alqi segera bangkit untuk shalat.

“Ayok, Kang, kita ke masjid,” ajaknya pada Deni. Deni mengangguk mengikuti Alqi.

Sepulang dari masjid, di teras kos-kosan sudah ada Santa duduk menunggu. Gadis ini, sudah beberapa kali datang ke kosan Alqi untuk sekedar mengantarkan makanan, minuman atau camilan. Alqi tak bisa menolak karena Santa adalah juga atasannya di kantor. Namun ia jadi sedikit tak enak hati karena Santa jadi terbiasa datang membawakan oleh-oleh, bahkan ketika sepulang dinas dari luar kota mengikuti bosnya, dia akan datang membawakan oleh-oleh.

“Bang Alqi, baru pulang dari masjid ya? Nih aku baru pulang dari Ciwidey, ada oleh-oleh buat kamu.” Ia menyodorkan satu plastik ukuran sedang itu kepada Alqi. Alqi tak bisa menolak lagi-lagi ditodong seperti itu. Ia terima juga pemberian itu karena khawatir Santa tersinggung bila menolaknya.

“Buat saya, mana, Bu Bos? Masak Alqi saja dikasih?” Kang Deni, lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu nyeletuk.

“Eh, saya nggak ngira ada kamu di sini juga, Kang.” Wanita seksi yang wajahnya lumayan manis itu mengeluarkan dua lembar uang ratusan dari dompetnya. 

Nih, buat jajan Rado,” ucapnya menyebut anak lelaki Deni.

“Ashiaap, waduww, gede amat, makasih, Bu Bos,” balasnya sembari mencium dua lembar uang kertas yang terlihat masih baru itu.

Alqi kembali menekuri laptop di ruang tamunya. Sementara Santa, yang memang tinggalnya tak jauh dari kosan Alqi ikut duduk mengamati disebelah Alqi sembari sesekali bertanya tentang bahasa pemrograman. Sesekali ia juga mengobrol dengan Deni.

Tak lama Santa beranjak ke dapur, membuatkan teh untuk Deni dan Alqi.

"Nih teh, biar makin enak ngobrolnya," ucap Santa setelah kembali lagi ke ruang tamu.

“Waduh jadi enak, nih saya. Makasih Bu Santa, jarang-jarang nih kita dibikinin teh spesial langsung sama sekretaris cantik. Biasanya Bu Sekretaris bikinin buat Bos Direktur aja," sambar Deni.

"Ya sekali-kali, Kang, mumpung di sini," balas Santa sembari meletakkan satu lagi teh panas ke meja Alqi.

"Udahlah, Qi. Kalau uang hasil nyervis-nyervis gini udah cukup. Lamar ajalah Bu Santa. Dia baik banget. Sama kamu juga kan perhatian terus. Setuju Akang, Mah,” celetuk Deni menyadari bahwa perhatian Santa pada Alqi adalah bentuk rasa suka.

Mendengar wejangan Deni, Alqi terbatuk-batuk. Santa lekas mengambilkannya air putih dan membantu Alqi minum. Dua mata sepasang muda-mudi saling tatap lekat. Alqi segera menundukkan pandangan, beristighfar dalam hati. Terlebih wanita di hadapannya ini memakai pakaian dengan belahan dada yang terbuka. Alqi merasa risih ketika tak sengaja pandangannya jatuh ke sana.

"Widiw, mesranya .... Udah deh, ah, Qi. Halalin ... halalin ...." Goda Deni melihat adegan barusan.

"Apaan Kang Deni, temennya batuk malah digodain." Santa menepiskan tangan ke dekat wajah Deni.

Alqi kemudian masuk ke dalam. Menuju kamar, meninggalkan mereka berdua.

To Be Continued.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status