Share

Rumah Masa Kecil Mungkinkah Kembali (6)

Bab 6

-Rumah Masa Kecil Mungkinkah Kembali-

“Ya Allah, Qi, baru aja Kang Deni senang punya temen lurus kayak kamu bisa ngajarin shalat, tempat nanya soal agama, eh malah sekarang mau pindah kerja ….” Deni muram. Diusap wajah itu dengan ujung bahunya.

“Kita masih sering ketemu, Kang.” Alqi menepuk pundak Kakang ketemu gede yang cukup menghibur hari-harinya belakangan ini.

“Bang Alqi. Santa sediiihh banget. Kenapa, si harus pindah? Nanti kita jadi jarang ketemu, deh. Jangan sombong ya kalau udah ada di tempat kerja yang baru ….” Dua sudut bibir perempuan dengan wajah mirip Prilly Latuconsina itu tertarik ke bawah.

“Jangan sedih, Bu Bos. Ini malah jalan terbaik. Kan kalau nanti kalian jadi nikah, nggak boleh kerja satu kantor. Ini bentuk pengorbanan Alqi, mengalah, resign dari sini,” candanya yang ditimpali Alqi dengan mata membulat.

“Insyaa Allah kita masih bisa silaturahmi, Bu Bos,” jawab Alqi.

“Ya, janji, ya Bang, tetep komunikasi. Tetep mau jawab kalau saya W*. Sukses ditempat yang baru.”

“Ya, dong, kan kita masih bisa maen ke kosan Alqi seperti biasa. Alqi kan pengen bantuin kehidupan orang tuanya. Di tempat yang baru gajinya lumayan, jabatannya naik, jadi staff admin. Kita doain aja Bu Bos, semoga Alqi makin sukses, Bu Bos juga, ya, biar saya kecipratan terus,” lanjut Deni.

Setelah berpamitan kepada jajaran Bos di kantor. Alqi pamitan. Ia siap dengan kehidupan baru di tempat kerja barunya.

***Aj

[Bang Alqi, lagi apa sekarang? Abang kapan bisa ajak Nida jalan-jalan ke Jakarta? Nida pengen ke tempat Abang. Oiya Nida SMS pake nomor hape temen sebangku Nida. Kalau mau bales, balesnya cepet, ya, Bang .…] 

[Abang Al telepon bisa, Dek?]

[Bisa, sekarang, ya, Bang?]

“Halo, Dek, Abang lagi istirahat kerja, Nida masih di sekolah?”

“Iya, sudah waktunya pulang sekolah, Bang, ini baru mau jalan pulang, tapi masih di kelas.”

“Oh, Abang sudah kirim HP untuk Nida sama Kak Nisa. Mungkin dua hari lagi baru sampai.”

“Yang bener, Bang? Ah, ya Allah alhamdulillah ….” Terdengar riang suara di seberang sana. 

“Nida yang tadinya sedih, jadi nggak terlalu sedih, deh. Makasih, y, Bangku yang ganteng …” lanjutnya.

“Emang Nida sedih kenapa?” 

“Ya karena Nida sekarang udah nggak punya rumah lagi. Terus temen-temen main Nida sekarang nggak mau main lagi sama Nida. Mungkin karena sekarang Nida tinggal di rumah papan, lantainya tanah. Soalnya mereka kayak jijik gitu pas pertama kali Nida ajak ke rumah kontrakan kita, Bang.”

Mendengan penuturan adiknya itu, hati Alqi terenyuh iba.

“Udah, Nida fokus aja belajar. Nggak usahlah sering main. Biarin yang jauhin Nida, asal bukan kita yang jauhin ‘kan? Kita tetap harus selalu baik sama siapapun.”

“Iya, Nida selalu baik kok, tiap hari Nida belajar sama muroja’ah aja sekarang. Tapi, Bang apa rumah kita bisa kita ambil lagi, Bang. Katanya orang-orang, rumah kita sudah dijual sama Bu Sarmi ke orang yang nempatin sekarang.” Terdengar nada sedih dari sana.

Alqi menghela napas panjang.

“Nida sabar aja. Pasti bisa kembali. Nanti Abang usahakan.”

“Kalau sudah dijual, manalah bisa diambil lagi, Bang. Orang yang nempatin sekarang kan nggak mau jual rumahnya lagi?”

“Ya, sabar, aja. Abang nanti bisa hipnotis orang itu biar mau pulangin ke kita lagi.” Hibur Alqi pada adik cerdasnya itu.

“Ah, nggak ngerti, Nida,”

“Sudah, yang penting Nida sekarang fokus aja kerjain yang penting-penting. shalat yang rajin, belajar terus, hafalan terus, dan ajarin Altaf biar pinter kaya Nida juga. Seperti yang udah Abang ajarin jurusnya. Oke?”

“Ya, oke-oke. Tapi beneran, Bang rumah Nida bisa kita tempatin lagi. Rumah itu banyak kenangannya, Bang. Ddari kita kecil, Abang kecil. Rasanay sedih kalau kita nggak bisa nempatin rumah ktia sendiri. Nida sediihhhh banget.”

“Bismillah, ya, Dek. Doakan bisa. Ya udah kamu sekarang pulang. Nanti lapar. Tadi sekolah jajan nggak?”

“Nggak jajan, tapi kemarin pulang ngaji, Nida dikasih kue-kue enak banget banyak dari Kak Fatya. Katanya itu dia beli dari kota. Jadi tadi Nida bawa ke sekolah, deh.”

“Ya udah, kalau begitu, syukuri masih ada yang baik sama Nida. Abang kerja lagi, ya. Tungguin aja hapenya datang.”

“Iya, Nida tungguin juga Abang datang secepatnya, ya. Ciye-ciye, Abang sekarang udah punya pacar, ya di Jakarta?”

“Enggak, Abang nggak punya pacar,” jawabnya datar.

“Itu kemarin Nida facebooknya ada yang add, gambar profilnya cewek foto berdua sama Abang.”

“Sudah biarin aja, mungkin itu orang iseng. Abang sibuk kerja ‘kan. Nggak pacar-pacaran. Udah, ya, Dek cantik. Abang lanjut kerja lagi. kamu cepet pulang. Assalamualaikum.”

Klik telepon terputus.

***Aj

“Alqi, kok banyak amat, Nak, uang yang kamu kirim ke kampung ….? Ya Allah, enam puluh juta, besar sekali itu, Nak. Kamu di sana jangan terlalu tirakat. Makan yang sehat, tidur yang cukup. Jangan terlalu pikirkan Ibu, Ayah, Nak …..” Terdengar suara parau dari panggilan telepon di seberang Sumatra.

“Alhamdulillah, sudah masuk, ya, Bu.”

“Iya, sudah masuk tapi itu kok banyak banget? Kamu senang-senangin diri sendiri di sana. Kamu cukup makan bisa beli barang-barang sendiri nggak minta Ibu aja ibu sudah sangat bangga, Nak. Kenapa harus kirim sebanyak itu.”

“Itu uangnya bisa Ibu pakai untuk beli apapun yang selama ini Ibu pengen. Bisa juga buat nambah modal dagang Ayah.”

“Buat dikasihkan ke Bu Sarmi aja, Bu, biar rumah kita bisa kembali,” samber Altaf, yang tiba-tiba nimbrung di samping Rosmina. Bu Rosmina memang meloudspeaker panggilan.

“Yey, mana bisa. orang rumahnya sudah dijual rentenir itu ke orang lain lagi. Rentenir mah mana mau rugi,” Annisa, Sang Kakak menimpali.

“Eh, kata siapa, bisa kok rumah itu balik lagi, kata Bang Alqi bisa,” sahut Annida.

“Ya nggak bisa, Adek. Kamu dibohongi Bang Alqi aja, tuh biar kamu nggak cerewet, ngomel terus soal rumah minta balik, sama aja nih sama altaf.”

“Ih, Abang kita tuh pinter. Lihat aja, bisa balik lagi, ya ‘kan, Bang.” Nida mendekatkan suara ke gawai.

“Ya udah-ya udah, kalian jangan ribut aja, Ibu mau bicara sama Abang kalian inih.” Rosmina berusaha menenangkan kericuhan anak-anaknya yang terjadi tiba-tiba.

“Ya, Nak, jadi memang kata Bu Sarmi, uang rumah itu setelah dijual nggak ada harganya. Rumah itu sama kebun kita dibelakang cuma laku terjual tiga ratus juta. Ibu ditunjukin kuitansi jual belinya. Jadi Ibu diminta mencicil seratus jutanya dari total yang harus dibayar empat ratus juta, kata dia itu udah  di stop tanpa bunga lagi. Bulet aja seratus juta. Jadi kemarin Ibu sudah kasih dua puluh juta, sekarang ada uang enam puluh juta. Gimana kalau uang itu Ibu kasihkan ke Bu Sarmi aja, Nak?”

Sejujurnya Alqi geram mendengar soal rentenir itu lagi. Tapi ia juga tak mau ibunya terlalu lama berurusan dengan hutang rentenir. Sehingga akhirnya ia setujui permintaan ibunya itu agar keluarganya bisa segera lepas dari jerat rentenir. Dalam benak ia akan segera melunasi sisa dua puluh jutanya itu.

“Ya udah, Bu, lunasi saja,” jawabnya kemudian. 

“Terima kasih, ya, Nak. Maafkan Ibu, karena Ibu kamu jadi seperti ini.”

“Doakan saja terus Alqi di sini, Bu.”

“Ibu doakan, setiap malam ibu doakan untuk kamu, Nak. Agar kamu selalu sehat, kamu terhindar dari segala marabahaya. Dan ibu juga berdoa kamu bisa berkumpul lagi di sini. Jangan pikirkan lagi soal sisa dua puluh juta. Ibu akan bisa lunasi itu secepatnya, Nak.”

Alqi hanya mendesah, tak menimpali ucapan ibunya.

“Alqi mau kerja lagi, Bu. Assalamualaikum.”

Kemudian ia fokus lagi membereskan service-an laptop di depannya. Di sampingnya berjajar sembilan buah laptop yang menanti untuk dibenahi juga. Seperti biasa, lantunan murotal bervolume kecil terdengar mengalun dari gawainya.

“Bang Alqi ….” Seorang wanita sudah berdiri di depan pintu kosnya. Tubuhnya basah wajahnya berurai air mata.

To Be Continued.

Siapakah perempuan itu kira-kira?

Annisa, Annida, Fatya, Santa, atau perempuan tak dikenal?

-------

Alhamdulillah sudah sampai bab ini. Biar kita saling terhubung, yuk follow I*******m Asa Jannati, ada info lanjutan cerita ini dan cerita lainnya di sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status