Home / Romansa / Lelaki Pemalu dan Calon Dokter / Sebuah Kejutan Untuk Alqi (1)

Share

Lelaki Pemalu dan Calon Dokter
Lelaki Pemalu dan Calon Dokter
Author: Asa Jannati

Sebuah Kejutan Untuk Alqi (1)

Author: Asa Jannati
last update Huling Na-update: 2022-04-29 00:28:03

Assalamualaikum teman-teman, Bersilaturahmi kembali dengan karya Asa Jannati. yuk follow akun ini sebelum atau setelah baca.

#Lelaki_Pemalu_Dan_Calon_Dokter

CINTA LELAKI BERWAJAH CAHAYA

bab 1

Temaram lampu jalanan berpendar tertimpa rintik-rintik kecil hujan yang baru saja turun.

Gegas Alqi menepi berteduh di teras warung kecil tepi jalan yang sudah tutup. Ia mengeluarkan jaket dalam tasnya, segera memakainya lalu menutup kepalanya dengan kupluk dan melangkah kembali melanjutkan perjalanan.

Dalam benaknya terbayang wajah Ibu dan Ayah yang pasti berbahagia melihatnya kembali, setelah dua bulan tak jumpa dari kota tempatnya menempuh pendidikan. Ingin segera ia mengacak rambut dan menciumi ketiga adiknya yang sudah sangat ia rindui itu. Lelah kaki melangkah berkilo meter menuju kampungnya tak ia hiraukan.

Alqi mendesah lega kala akhirnya ia bisa melihat atap rumahnya di perempatan gang. Ia percepat langkah hingga akhirnya kakinya menjejak di teras rumah. gawai hitam putihnya sedikit bercahaya kala ia melihat jam pada layar. Pukul sepuluh malam.

Alqi duduk di teras rumah sesaat, melepas sepatu dan kaus kakinya yang sudah basah. Lalu mengeluarkan sesuatu dalam tas punggungnya.

“Assalamualaikum.” Ia ketuk pintu rumahnya perlahan. Tak ada jawaban. Sekali lagi, ia ketuk, barangkali keluarganya sudah tidur. Dipindahkannya ke dekat dada satu buah pelastik berisi oleh-oleh yang sengaja ia beli untuk adik-adiknya itu. Lalu ia coba ketuk kembali. Sayang, ketukan ketiga kalinya pun tak ada yang merespon.

Ia duduk kembali, menanti dengan sabar sembari memandangi taman kecil di depan rumahnya yang nampak rapi itu. Hingga akhirnya, ada seseorang membuka pintu. Diamatinya lelaki itu dengan seksama. Alqi merasa tak mengenal lelaki tersebut.

“Siapa, ya?” tanyanya. Tak dijawab. Lelaki dengan usia kisaran empat puluh tahun itu justru mengamati Alqi dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti heran.

Sementara Alqi berusaha mengingat-ingat sosok di hadapannya, barangkali ia adalah saudara jauh yang sedang berkunjung ke rumahnya. Sayang, ia sama sekali tak mengingat siapa sosok itu.

Alqi mencoba tersenyum kepadanya. Kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Diamatinya pemandangan dalam ruang tamunya yang kini sedikit berbeda.

“Eh, Mas. Maaf, kamu siapa, ya, kok masuk-masuk ke rumah orang?” Lelaki itu menarik tangan Alqi keluar rumah dengan tatapan yang mulai curiga.

Alqi semakin bingung. Kenapa ia tak diijinkan masuk ke dalam rumahnya sendiri.

“Maaf, Bapak ini siapa, ini rumah saya.” Alqi balik bertanya dengan heran. Kenapa tak ada satupun adik atau orang tuanya keluar menyambutnya. Kemana mereka?

Lelaki itu tak menjawab, tapi reaksi wajahnya berubah tak bersahabat. Dia mundur, berdiri di depan pintu, memasang badan seakan membentengi pintu.

“Pak, ini rumahnya Pak Achmad, kan? Bapak saya.”

“Pak Achmad? Pak Achmad siapa? Apa dia pemilik rumah ini sebelumnya? Dia sudah nggak tinggal di sini, Mas. Sudah pergi. Rumah ini sudah saya beli.”

Seketika Alqi tercenung. Keluarganya sudah pergi? Rumah ini sudah dibeli orang?

Semuanya jadi terasa membingungkan bagi Alqi. Benarkah apa yang di katakan Bapak ini? Kenapa bisa rumahnya terjual? Tergadai? Jadi benar kecurigaannya selama ini.

Sekali lagi matanya melirik ke dalam. Ada seorang Ibu datang menghampiri lelaki itu.

“Ono opo, to, Pak?” (Ada apa, sih, Pak?)

“Mboh iki. Anak’e wong sing ndue umah mbiyen palen, mbalek mrantau ora eroh nek wong tuone wes ngedol umah iki.” (Entah ini. Anaknya orang yang dulu punya rumah ini mungkin, pulang dari merantau nggak tahu kalau orang tuanya sudah menjual rumah ini.)

Seorang anak kecil berusia sekitar enam tahun ikut keluar menghampiri, menatap Alqi dengan seksama.

Alqi mulai mengerti situasianya. Ia menghela napas panjang beberapa saat. Lalu bangkit mengucapkan permisi.

“Wongalah, Le, Ibukmu ki uwes sakwulan pindah. Po ra ngabari utowo nelepon kowe, to? Rene-rene, mlebu sek, Bude gaekno teh anget.”

(Ohalah, Nak. Ibumu itu sudah satu bulan pindah. Apa tidak mengabarimu? Sini-sini, masuk rumah dulu, Bude bikinkan teh hangat.)

Tangan wanita paruh baya dengan rambut tergelung itu menarik lengan Alqi ke dalam.

Alqi mengikuti kemudian duduk. Setelah sedikit berbasa-basi. Mendapat informasi, dimana keluarganya sekarang tinggal. Yang konon katanya hidup mengontrak. Alqi memutuskan untuk pergi mencari.

“Terima kasih, Bude. Kalau begitu Alqi mau langsung permisi. Takut kemalaman. Alqi mau langsung saja mencari Ibu.”

Raut wanita itu berubah sedih. Tetangganya satu ini memang sangat menyayangi Alqi sejak kecil. Sayangnya ia tak bisa membantu banyak keluarga Alqi. Ia hanya mengangguk kecil setelah berusaha membujuk pemuda berusia dua puluh satu tahun itu, untuk menginap, namun tak berhasil.

“Hati-hati kamu, Le.”

Alqi melangkah, melewati rintik hujan yang mulai menderas. Mencari alamat kedua orang tuanya.

***Aj

Sebuah rumah papan berukuran sedang. Alqi mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit. Seorang wanita bertubuh ringkih. Sedang menjahit pakaian. Aktivitas yang ia lakukan sehari-hari. Menerima jahitan, atau sekedar membantu menambal pakaian.

Mencari penghasilan, membantu suaminya yang hanya seorang pedagang kain di pasar. Di sebelah mesin jahit itu, ada pintu yang didalamnya terlihat seseorang bersarung dan berkopiah sedang berdiri shalat.

“Ayah, Ibu,” bisiknya.

Tak tahan dengan dalamnya rindu, Ia menghambur masuk, lalu memeluk sang Ibu dari belakang. Wanita yang sedang serius menekuri kain di hadapannya itu sedikit tersentak, menoleh sesaat kemudian terpekik bahagia.

“Ya Allah, Nak. Kamu sudah pulang …?” Ia segera membalik posisi tubuh. Memeluk erat lagi putranya. Dibingkainya wajah anaknya itu dengan kedua tangan tuanya.

“Nak, kok kamu nggak bilang-bilang kalau mau pulang?” tanyanya sembari mengusap-usap wajah putranya itu meluapkan rindu.

“Bu, gimana Alqi mau bilang kalau semua nomor nggak bisa dihubungi? Bahkan Alqi harus mencari-cari dimana Ibu sekarang tinggal …?” Ada yang bergemuruh dalam dada pemuda itu. Tapi demi menjaga perasaan ibunya, ia berusaha bersikap tenang.

Bibir wanita dengan wajah yang mulai menampakkan kerutan itu bergetar menahan sesuatu.

“Maafkan Ibu, Nak.” Tes! Sebulir air menerobos begitu saja. Rahang Alqi seketika mengeras.

“Jadi, Bu? Ini yang Ibu dan Ayah sebut punya uang untuk menguliahkanku? Jadi ini kenapa Ibu bilang di telpon terakhir kali kemarin untuk jangan pernah pulang sebelum wisuda? Ini yang Ibu bilang kalian di kampung baik-baik saja? Kenapa, Bu,kenapa Yah, harus menyembunyikan semuanya dari Alqi? Katakan Ibu sama Ayah pinjam uang dimana? Rentenir mana yang sudah mengambil rumah kita?” tanyanya penuh emosi.

Lelaki yang usai shalat itu hanya mematung berdiri di depan pintu kamar.

Sementara sang istri sudah tak mampu menahan isak dipeluk dua anak gadisnya yang sudah menghambur padanya barusan.

“Kenapa rumah yang sudah bertahun-tahun Ayah bangun dengan peluh keringat Ayah, dengan susah payah, digadaikan begitu saja? Kenapa ayah biarkan dirampas paksa oleh mereka? Kalau tahu biaya kuliahku dari uang rentenir, kalau Ayah Ibu jujur dari awal, Alqi nggak akan mau kuliah, sudah Alqi katakan berkali-kali bukan, Yah, Bu?”

Pemuda ini meradang. Ia teramat menyesal, kecewa, kenapa orang tuanya harus berbohong dan memaksakan diri menguliahkannya kalau uang itu dari uang haram.

Ia teramat menyayangi kedua orang tuanya. Ia pernah menolak untuk kuliah, tapi sayangnya orang tuanya membujuknya sedemikian rupa, mengatakan akan mampu membiayai.

Rosmina, Ibu Alqi, memang teramat menyayangkan seandainya Alqi tak kuliah, melihat putranya itu adalah lulusan terbaik di sekolahnya. Terlebih setelah mengetahui putranya itu lolos test Teknik Elektro ITB. Ia membesarkan hati Alqi bahwa untuk menguliahkannya, ia dan suaminya masih mampu. Tapi ternyata, di kemudian hari, Rosmina baru menyadari biaya kuliah anaknya itu terlalu berat untuk ditanggung. Ia dan suaminya sudah tak mampu membiayai, tapi ia juga tak ingin putranya itu tak tenang jika biaya kuliahnya menunggak, uang makanan bulanannya tak dikirim. sehingga godaan untuk menggadaikan surat rumah kepada rentenir menjadi jalan keluar yang ia ambil tanpa sepengetahuan suaminya. Achmad percaya saja ketika Rosmina berbohong memiliki tabungan yang sudah disimpannya sejak lama. Terlebih sudah dua bulan ia tak mampu memberi nafkah maksimal akibat ditipu orang kepercayaannya.

Seumur hidup, Alqi tak pernah menangis, tapi kali ini, ia menangis. Terlebih ketika melihat saat ini, ketiga adiknya Annisa, Annida, dan Altaf dan kedua orang tuanya yang nampak kurus. Mungkin mereka terlalu sering berhemat atau malah sering menahan lapar, bahkan adik-adiknya mungkin berangkat sekolah tak pernah jajan demi orang tuanya bisa melunasi cicilan kepada rentenir itu. Hingga akhirnya, rumah yang selama ini menjadi tempat bernaung, harus lepas diambil paksa oleh centeng-centeng bertubuh kekar, bayaran si nyonya rentenir.

Alqi menyesalkan yang sudah terjadi. Menyayayangkan kenapa demi sayang ibunya kepadanya justru tergelincir pada perbuatan dosa. Tapi ia pun menyadari tak akan bisa membantu apa-apa. Karena jangankan untuk menebus kembali rumah itu. Kuliahnya sendiri pun belum sepenuhnya tuntas. Ia sedang mengerjakan banyak praktek sembari menyusun tugas akhir saat ini. Tapi setelah mengetahui keadaan orang tuanya saat ini. Ia putuskan untuk tak melanjutkan kuliah, yang entah akan sampai kapan. Ia berjanji, akan bekerja sekuat tenaga, demi bisa melunasi hutang-hutang ibunya, wanita yang teramat ia sayangi itu.

Alqi berjanji, esok, akan menemui rentenir itu, menegosiasikan barangkali bisa mengambil kembali rumah orang tuanya. Meski entah dengan cara bagaimana, ia belum tahu.

----

Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi).

_______

🌹To be continued🌹

Jangan lupa untuk tekan bintang di bawah dan tinggalkan komentar di tiap bab. Terima kasih sudah membantu penulis bertumbuh.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Lelaki Pemalu dan Calon Dokter   Akhir yang Bahagia (TAMAT)

    Lelaki dengan Seribu TahajudBab 42 Ending.-Akhir yang Bahagia-Jika tak ia turuti, khawatir akan mengecewakannya. Dituruti, maka akan semakin timbul rasa bersalah dalam benaknya.Alqi kembali merenung. Lama keduanya terduduk dalam diam."Maksud Fatya, Abang masih bisa membayarnya dengan cara lain."Alqi yang duduk menatap lantai, mendongakkan wajah."Cara lain?" Kedua alis lebat itu hampir menyatu."Maksudnya Fatya …." lanjutnya karena tak kunjung ada jawaban."Emm …. Bagaimana kalau gantinya …. Fatya minta Abang datang kepada Ayah Ibu untuk melamar Fatya?"Deg! Suara itu lirih, sangat lirih. tapi berhasil membuat Alqi tersentak hebat. Kedua bola matanya membulat. Fatya telah menegakkan kepalanya. Kini mata jeli itu menatap mata elang di hadapannya. Dengan ribuan debar yang hadir dalam dada, ia berusaha kuat menatap mata itu. Berusaha menunjukkan bahwa ia sedang tak main-main dengan permintaannya. Secepat kilat Alqi membuang pandang ke arah lain. Wajah pualam, kedua mata menyejukk

  • Lelaki Pemalu dan Calon Dokter   Permintaan Fatya untuk Alqi (41)

    Lelaki dengan Seribu TahajudBab 41-Permintaan Fatya untuk Alqi-"Masya Allah, ini indah sekali Fatya. Terima kasih, ya." "Sama-sama, Bang." Fatya mengangguk. Ada semu merah di pipinya.---"Abang doakan juga, semoga Fatya lekas wisudanya, ya ....""Amiiin, semoga lekas Sarjana Kedokteran dan jadi Dokter," timpal Nida menggelendot ke bahu Fatya."Doakan, ya, Nida, Bang.""Insyaallah …."Kemudian Fatya menyalami Rosmina dan Lilyana. Rosmina memeluk Fatya erat. "Nak Fatya, terima kasih sudah menyempatkan datang ke wisuda Alqi. Masyaallah Ibu senang sekali. Nak Fatya seorang wanita yang pasti selalu ada tepat ketika kami benar-benar membutuhkan pertolongan. Terima kasih, Nak. Terima kasih … Ibu sangat terharu Nak Fatya datang. Pasti ini di antara kesibukan kuliah Nak Fatya, menyempatkan waktu untuk datang." "Nggak, Bu. Fatya pasti menyempatkan datang. Akan sangat rugi kalau Fatya nggak ikut hadir merasakan kebahagiaan ini."Fatya mengusap-usap punggung Rosmina dalam pelukannya. Har

  • Lelaki Pemalu dan Calon Dokter   Semu Merah di Pipi Fatya (40)

    Lelaki dengan Seribu TahajudBab 40Semu Merah di Pipi Fatya"Selamat, Bang, sudah menjadi sarjana yang membanggakan keluarga." Suara seorang wanita yang Alqi sangat kenali terdengar dari balik punggungnya.---Alqi berbalik.Seorang wanita berjilbab biru berdiri bersama dua orang pria."Santa.""Ya, Bang. Santa turut senang akhirnya Abang bisa menuntaskan pendidikan Abang. Sekali lagi selamat, ya."Santa memberikan sebuah box berpita yang sepertinya berisi kue, kepada Alqi."Terima kasih, Santa. Terima kasih juga bingkisannya. Kamu datang saja sudah membuat saya senang.""Tentu Santa datang, ini 'kan hari bahagia Abang. Abang banyak memberi pelajaran berharga dalam hidup Santa. Abang banyak membuat Santa semakin dekat dengan Allah. Semakin paham arti syukur yang sebenarnya."Wanita yang semakin mengulurkan jilbabnya lebih panjang itu sumringah."Santa juga turut senang, mendengar cerita dari Nida, Abang berkumpul kembali dengan Bu Lilyana. Santa takjub mendengar kisah Abang. Abang le

  • Lelaki Pemalu dan Calon Dokter   Wisuda dan Cumlaude (39)

    Lelaki dengan Seribu Tahajud.Bab 39-Wisuda dan Cumlaude-Dari balik pintu, dua orang Dokter sahabat Lilyana itu mengusap pipi yang basah, ikut bahagia.---Hari-hari selanjutnya Alqi banyak berdiskusi dengan para dokter yang menangani Rosmina dan Lilyana. Dua cinta terbaiknya kini yang sedang benar-benar ia usahakan kesembuhannya.Alqi telah memutuskan untuk tak akan banyak mempertanyakan tentang masa lalunya lagi kepada dua orang wanita itu. Sejatinya mereka berdua sangat menyayanginya. Rosmina yang begitu tulus membesarkannya dalam kekurangan. Lilyana yang sudah melahirkannya dan membuatnya ada di dunia ini.Itu anugerah terbesar dalam hidupnya yang sengaja Allah rancang seperti itu. Segala yang sudah terjadi mengandung ketetapan Allah. Ketetapan Allah tidak melulu sama seperti apa yang kita ingini. Terkadang kita perlu merenung lebih dalam untuk menangkap maksud Sang Pemberi Hidup. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyuka

  • Lelaki Pemalu dan Calon Dokter   Pelukan Penerimaan

    Lelaki dengan Seribu Tahajud.Bab 38-Pelukan Penerimaan-"Assalamualaikum." Alqi mengucap salam. Tatapannya tepat bertemu dengan seorang wanita berjilbab yang sedang terbaring lemah itu. Ada iba menjalari hatinya. Melihat tubuh lemah dengan infus dan selang oksigen yang terpasang di hidung.Ia melangkah masuk perlahan dan duduk disebelah wanita itu. Hilang sudah kekecewaan yang bersemayam selama ini melihat Lilyana terbaring lemah. Lelaki yang hatinya selalu dekat kepada Allah dan dekat kepada kebaikan ini seakan mendapat petunjuk-Nya untuk segera meluaskan maaf dan melangitkan doa kepada wanita yang telah pernah berjuang melahirkannya ke dunia ini."Semoga lekas sembuh, ya, Bu," ucap Alqi.Lilyana hanya diam. Kemudian matanya sedikit memejam. Alqi mendapat informasi bahwa Lilyana sudah tak bicara sejak kemarin sore. Hanya matanya yang sesekali terbuka saat terjaga dan akan memejam kembali untuk tidur.Lama Alqi menunggunya membuka mata kembali, namun Lilyana tetap terpejam."Ibu m

  • Lelaki Pemalu dan Calon Dokter   Berdamai dengan Ego Diri (37)

    Lelaki dengan Seribu Tahajud.Bab 37-Berdamai dengan Ego Diri'Lihatlah Al, bukan cuma kamu yang sakit, bahkan mereka juga sama terguncangnya. Mereka begitu menyayangimu.'Alqi lekas bangkit mengambil handuk untuk mandi. Membersihkan diri. Shalat sunnah dua rakaat mencoba mencari tenang. Menyandarkan diri pada Sang Pemilik Jiwa. Setelah itu ia meluncur dengan motor tuanya.Ia ingin segera bertemu Rosmina, wanita sederhana yang dalam ketakberpunyaannya sejak dulu selalu bersahaja. Tak pernah merasa kurang dengan apapun yang ia punya. Yang sudah sedemikian baiknya merawatnya yang bukan anak kandungnya tapi tak sedikitpun terasa ada yang berbeda. Bahkan sedemikian baiknya menjaga rahasia tentang siapa dirinya selama bertahun-tahun lamanua. Bahkan Alqi bisa merasakan bagaimana sebegitu kuatnya mimpi Rosmina untuk bisa menguliahkannya di Institut terkemuka di negeri ini. Tetap meyakini mampu menguliahkannya meski dengan segala keterbatasan. Hingga pada akhirnya garis nasib membuatnya ter

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status