Sedari tadi Zain berjalan bolak-balik layaknya sebuah setrika yang sedang bekerja. Sebelah tangannya terkepal menutup mulut. Sesekali ia meniup kepalan tangan yang bergetar itu. Detak jantungnya memburu dan kian bergemuruh seiring waktu.
"Duduk, Bro! Bawa tenang! Banyak-banyak berdoa!" bujuk Yoshi, menenangkan kegelisahan Zain. Tanpa membantah, Zain menjatuhkan pantat di atas kursi ruang tunggu. Namun, sedetik kemudian ia bangkit lagi dengan resah yang makin membuncah. Yoshi menghela napas panjang, prihatin dengan kondisi Zain. Ia tahu kakak sepupunya sedang dilanda panik. Sudah cukup lama Amisha dikurung di dalam ruangan bersalin, tetapi belum juga terdengar lengkingan tangis bayi. Ketenangan batin Zain terus tergerus detik demi detik. Gianna berlari tergopoh-gopoh melewati koridor rumah sakit menuju ruang bersalin. Ia harus menyelesaikan urusannya dengan klien sebelum datang menyusul Amisha.Kabut pagi telah berlalu tersaput hangatnya sinar mentari. Zain dan keluarganya baru saja bersiap hendak mengikuti Kadir meninjau sawah yang lain ketika ponselnya berdering nyaring.“Ya?” sahut Zain, mengangkat panggilan teleponnya.Dadanya berdegup kencang ketika membaca nama salah seorang aparat polisi tertera di sana. Bayangan wajah Zaina langsung terlintas di benaknya.“Seseorang baru saja melaporkan penemuan anak hilang ke kantor kami, Pak. Usia dan ciri-cirinya mirip sekali dengan anak Bapak. Kami harap Bapak bisa segera datang untuk mengecek langsung,” beritahu aparat polisi itu dari seberang telepon.“Baik, Pak. Tunggu! Aku akan melesat ke sana,” sahut Zain, sigap.Detak jantungnya makin berpacu cepat. Ia sungguh memendam harap bahwa gadis kecil yang ditemukan itu benar-benar Zaina.“Sayang, Kai sama mama dan bibi ya. Papa pergi sebentar,” pamit Zaina pada Kaina yang tiba di sisinya. Ia berjongkok sembari mengusap lembut
“Ayo, Nona Cilik … habiskan sarapannya ya … biar cepat besar,” rayu Siti, membujuk Kaina agar mau membuka mulut.Alih-alih termakan rayuan Siti, Kaina malah membekap mulut dengan kedua tangan mungilnya. Kepalanya menggeleng kuat.“Sedikit lagi,” bujuk Siti.Kaina kembali menggeleng. Semenjak kembarannya menghilang, selera makan Kaina pun terbang. Saat Zaina masih ada, ia dan Zaina akan berlomba menghabiskan makanan mereka, disuapi Zain dan Amisha. Keduanya tampak bersemangat untuk menjadi pemenang.“Sudahlah, Bi. Tidak usah dipaksa kalau memang dia tidak mau,” ujar Amisha, menengahi Siti dan Kaina yang saling bersitegang dengan keinginan masing-masing.“Tapi, perjalanannya cukup jauh, Non. Nanti Non Kaina kelaparan,” kilah Siti.“Tidak apa-apa, Bi. Bawa bekal saja.”Siti tak lagi membantah. Ia meletakkan piring nasi yang dipegangnya di atas meja makan.Kaina menurunkan kedua tangan yang masih menutupi mulutnya.
"Aaargh! Zainaku mana? Zaina!" jerit Amisha histeris sambil menjambak rambut dengan kasar. Kedua bola matanya bergerak liar ke segala arah, mencari keberadaan sosok Zaina.Kaina yang baru muncul di kamar mamanya sontak berdiri dengan tubuh gemetar. Wajah imutnya seketika memucat. Kaki mungilnya spontan menapak mundur secara perlahan.Zain refleks menyambar tubuh Kaina dan mengangkat tubuh mungil itu dalam gendongannya."Bawa Kaina bermain, Bi!" pinta Zain pada Siti.Asisten rumah tangganya itu juga sekonyong-konyong berlari ke lantai atas begitu mendengar jeritan Amisha.Zain menghampiri Amisha, mendekapnya dengan penuh kasih."Ini semua salahku. Aku yang membawanya ke mal itu. Aku yang membuat Zaina menghilang," racau Amisha dalam isak tangisnya.Sudah tiga bulan waktu berlalu. Namun, Amisha masih belum bisa menerima kenyataan hilangnya Zaina dengan lapang dada. Setelah melewati fase kehilangan yang membuatnya tampak li
Tak ada yang mampu mengatur pergantian hari kecuali Sang Pemilik alam itu sendiri. Tak terasa dua tahun sudah waktu berlaku sejak kelahiran Kaina dan Zaina. Hari-hari Amisha dan Zain berpijar indah penuh warna. Ceria bak aneka bunga yang bermekaran di musim semi. "Siap berangkat, Sayang?" tanya Amisha, berlutut di hadapan Zaina. "Ciap, Mama!" sahut Zaina, semringah. "Ayo!" kata Amisha, menggendong Zaina. Si kecil Zaina memang lebih terbiasa dengan Amisha. Mungkin karena semenjak kecil Amisha dan Zain lebih cenderung membagi pengasuhan. "Papa sama Kaina boleh ikut, Zai?" goda Zain. Ia baru saja bergabung turun setelah mendandani si sulung, Kaina. Zaina mengangguk dengan tangan yang terus bergelayut di leher Amisha. "Ayo, Kai! Gendong papa," seru Zain, memberi komando pada Kaina. Ia berjongkok di hadapan Kaina. Kedua tangannya terentang.
Sedari tadi Zain berjalan bolak-balik layaknya sebuah setrika yang sedang bekerja. Sebelah tangannya terkepal menutup mulut. Sesekali ia meniup kepalan tangan yang bergetar itu. Detak jantungnya memburu dan kian bergemuruh seiring waktu. "Duduk, Bro! Bawa tenang! Banyak-banyak berdoa!" bujuk Yoshi, menenangkan kegelisahan Zain. Tanpa membantah, Zain menjatuhkan pantat di atas kursi ruang tunggu. Namun, sedetik kemudian ia bangkit lagi dengan resah yang makin membuncah. Yoshi menghela napas panjang, prihatin dengan kondisi Zain. Ia tahu kakak sepupunya sedang dilanda panik. Sudah cukup lama Amisha dikurung di dalam ruangan bersalin, tetapi belum juga terdengar lengkingan tangis bayi. Ketenangan batin Zain terus tergerus detik demi detik. Gianna berlari tergopoh-gopoh melewati koridor rumah sakit menuju ruang bersalin. Ia harus menyelesaikan urusannya dengan klien sebelum datang menyusul Amisha.
"Aduh! Sakit banget!" keluh Amisha, mengaduh. Ia berjuang menahan nyeri dengan memegangi bagian bawah perutnya. Terpaksa ia pun membatalkan niatnya untuk turun, lalu kembali duduk di tepi ranjang. Tas kerja yang sudah ditentengnya ditaruhnya di atas kasur. Wajahnya memucat. Sebagian besar isi perutnya bagai ditarik dengan paksa ke bawah. "Astagfirullah. Ya Allah! Sakitnya!" jerit Amisha lagi. Ia mencoba meluruskan perutnya dengan menopangkan kedua tangan ke belakang. Namun, rasa nyeri itu tak berkurang sama sekali. Malah semakin menyentak. Zain yang saat itu sudah menunggu di bawah berdiri dengan gelisah. Biasanya Amisha tak pernah terlambat berangkat kerja. Diliriknya arloji yang melingkar di tangannya. Hampir sepuluh menit Amisha mundur dari kebiasaan disiplin waktunya. Raut muka Zain seketika berubah ketika teringat bahwa mereka baru kemarin pulang dari Bumi Rafflesia. Mendugas ia masuk kemb