Share

Bab 2

Fiki kembali menghela napas dan mengubah posisi duduk. Pertanyaan Hendri seperti soal ujian yang membutuhkan kesiapan untuk menjawabnya.

“Kamu masih lebih beruntung dibanding aku, Hen. Kamu masih dapat kalimat lembut dari Ibu Citra. Sedang aku, oh my god. Aku bahkan begitu trauma menatap mata Ibu Aara.”

Giliran Hendri, tertawa.

“Ya, salah kamu sendiri. Kok sukanya pada wanita bertipe Ibu Aara. Di dalam kelas saja, dia begitu dingin dan menyeramkan. Kamu malah bawa perasaan. Gila kamu!”

Fiki tersenyum. “Hen, hati tidak pernah bisa memilih, dia akan terpaut kepada siapa. Memang Ibu Aara sangat berbeda dengan Ibu Citra. Tapi, aku merasa, justru disitulah pesonanya. Aku penasaran, pria seperti apa, yang bisa menaklukkan hati beliau,” tutur Fiki, lembut. Topik tentang Aara, seketika menghipnotis dirinya.  

Hendri menggelengkan kepala.

“Kamu itu cari masalah sendiri. Ada Firda yang selama ini ngejar-ngejar kamu, dicuekin. Malah mau mengejar singa, yang siap menerkam kapan saja.”

“Iya singa, tetapi singa romantis, haha,” tawa Fiki pecah.

“Romantis?”

“Kamu pasti enggak tahu, Ibu Aara itu orangnya romantis. Dia dingin, tetapi pada momen tertentu, kelembutan dan keramahannya, terlihat jelas.”

“Kok kamu bisa tahu? Tahu dari mana?”

“Sudah, sudah! Kayaknya waktu kita habis, hanya untuk membahas ini. Kita kembali ke skripsi!”

“Kan belum selesai ceritanya?”

“Nanti kita sambung lagi. Lihat jam kamu, sudah jam sebelas siang!”

Astagfirullah. Iya, aku lupa!”

Keduanya pun, bergegas meninggalkan kelas.

Semenjak Citra bergabung menjadi dosen di kelas Hendri dan Fiki, dia sudah menarik perhatian Hendri. Parasnya yang menyejukkan, selalu tersenyum, benar-benar membuat Hendri jatuh cinta pada dosennya itu. Hendri sampai melupakan statusnya sebagai mahasiswa.

Dia kadang tidak sadar menatap lama Citra, baik di dalam kelas maupun di setiap pertemuan, di luar kelas. Demikian pula dengan Fiki. Entah mengapa, kedua sahabat ini bisa jatuh hati pada dua dosen yang juga berteman dekat.

Fiki sangat tertarik dengan kepribadian Aara. Tidak sama dengan wanita-wanita pada umumnya. Aara cantik, tetapi sikapnya selalu dingin kepada lawan jenis. Namun, itu yang membuat Fiki semakin penasaran, dan begitu mengidolakan dosennya itu.

Pukul dua belas siang, kampus terlihat ramai. Beberapa tampak asyik duduk santai di sekitar lapangan basket. Beberapa tampak sibuk, keluar masuk di ruangan dosen.

Azan duhur berkumandang dari masjid besar di dalam kampus. Tampak, para mahasiswa dan dosen, bersegera memenuhi panggilan Tuhan-nya. Mereka menyatu tanpa batas. Kenyataan yang menunjukkan, bahwa di hadapan Tuhan, tiada beda antara manusia. Yang membedakan, hanyalah pada tingkat keimanan pada-Nya.

Terlihat Citra dan Aara, juga berada di antara jamaah salat duhur siang ini. Hendri dan Fiki juga terlihat, berjalan cepat menuju masjid, mengejar salat berjamaah. Sesungguhnya, tiada yang lebih penting dan lebih indah, daripada pertemuan dengan Tuhan.

Pertemuan dengan-Nya, Sang Khalik, pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi. Penguasa yang nyata maupun yang gaib.

Beberapa menit berlalu.

Dua orang mahasiswa sedang berjalan di koridor masjid, mengambil sepatu yang mereka simpan di tempat penitipan. Mereka kemudian duduk, namun fokus mereka seketika berubah, saat Citra dan Aara melintas di hadapan mereka.

“Eh, Ibu Citra dan Ibu Aara,” bisik salah satu mahasiswa ke rekannya.

“Kenapa?” sahut yang lainnya.

“Aku tuh, suka banget lihat mereka berdua. Dua-duanya cantik, saliha. Pengen banget suatu saat nanti bisa seperti dosen kita itu.”

“Kalau aku fans banget sama Ibu Citra. Cantiknya paripurna, Len, sempurna!”

“Berarti kali ini, kita berbeda. Aku lebih suka Ibu Aara. Kalau kamu bilang Ibu Citra itu sempurna, Aku bilang Ibu Aara itu, unik, berbeda, dan paket komplet.”

Keduanya tertawa.

“Kita ini ya, menghayal-nya terlalu jauh, haha,” ucap Tuti.

“Enggak apa-apa, namanya harapan. Ya siapa yang tahu, kan?” sahut Lenny.

“Tapi yang aku heran, kok keduanya kompak banget ya? Sama-sama jomblo.”

“Kamu tuh, kayak enggak bisa lihat saja. Ibu Citra dan Ibu Aara kan, wanita salihah. Enggak mungkinlah, ada kata pacaran di kamus mereka. Kalau nikah, ya pasti!”

“Iya maksud aku, kok belum nikah?”

“Kalau Ibu Citra, aku sering dengar, Pak Restu nge-fans banget sama beliau. Cuma itu, Ibu Citra tidak menanggapi. Kalau Ibu Aara, memang menjaga jarak dari lawan jenis. Di dalam kelas saja, dia selalu menjaga jarak dengan mahasiswa laki-laki."

“Iya kita tunggu saja berita baiknya. Kita enggak usah bahas terlalu jauh! Ayo kita balik ke kelas.”

Mereka pun, meninggalkan masjid.

Citra dan Aara menjadi dua dosen yang cukup terkenal di kampus. Citra terkenal dengan kecantikan wajahnya, yang selalu menjadi bahan perbincangan mahasiswa-mahasiswa. Sedangkan Aara sangat dikenal dengan kecerdasannya. Dan juga sikap dinginnya pada mahasiswa laki-laki.

Aara selalu memberikan prioritas pada mahasiswa perempuan, dan tidak ada kompromi untuk mahasiswa laki-laki. Itulah yang terkadang dikeluhkan oleh mahasiswanya. Mereka menuntut keadilan Aara dalam memperlakukan mereka.

Namun, tidak ada yang mampu mematahkan argumen Aara. Setingkat Rektor pun, tidak bisa berbicara panjang lebar, jika berhadapan dengannya.

“Kelas kamu sudah selesai?” tanya Aara pada Citra, di ruangan dosen.

“Iya, sudah. Aku cuma punya satu kelas hari ini. Kamu?” jawab Citra.

“Aku juga sudah. Mau balik sekarang?” lanjut Aara.

“Boleh. Tapi, bisa enggak, makan siang dulu?”

“Di kantin?”

“Oke.”

Aara lantas menyimpan beberapa berkas di dalam almari kerjanya. Sedang Citra, membersihkan dokumen di atas mejanya.

Keduanya pun beranjak, menuju kantin. Jarak antara ruangan mereka dan kantin tidak terlalu jauh, sehingga tidak lama, mereka sudah tiba di kantin.

Di sana, tampak Hendri dan Fiki sedang asyik bergurau. Dan keduanya langsung mati gaya, terdiam, setelah melihat kedatangan kedua dosennya. Walaupun dari jarak yang tidak terlalu dekat, namun keberadaan Citra dan Aara, tampak jelas dari tempat kedua pria muda itu.

“Cit, ada Hendri tuh,” bisik Aara, tertawa. “Biarkan saja!”

“Enak banget ya kalau punya fans, serasa jadi artis,” lanjut Aara, masih tertawa.

Citra menghela napas. “Ya enggak juga. Tadi tuh, Hendri baru ketemu aku. Dia konsultasi proposal skripsi, dan seperti biasa sikapnya.”

“Dia fans berat kamu, Cit. Luar biasa perjuangannya hanya untuk bisa selalu bertemu kamu.”

“Aduh, malah buat aku pusing!”

Aara terkekeh.

“Yang sampai buat heboh, dia pindah jurusan, hanya gara-gara kamu.”

“Itulah Ra. Hal seperti ini yang aku hindari. Aku tidak ingin ada hati yang terluka, karena menaruh harapan sama aku. Karena aku tahu, rasanya terluka. Apalagi Hendri itu masih muda. Aku takut perhatiannya padaku, akan mengganggu masa depannya.”

“Kok malah jadi bawa perasaan begini? Enggak usah sedih-sedih dulu. Makanan tuh, sudah menunggu dari tadi,” ujar Aara, sambil melanjutkan makan siang, diikuti Citra.

Kedekatan Aara dan Citra sebenarnya belumlah lama. Tapi hubungan mereka sangat dekat. Citra sangat dekat dengan ibunda Aara, dan demikian pula sebaliknya.

Karakter yang kontra, membuat persahabatan mereka selalu diuji dengan kesabaran dan penerimaan, atas sikap masing-masing yang kadang sama-sama keras.

***

Papan nama besar yang terbentang panjang bertuliskan Man Art (Layanan Desain Profesional), tampak mencolok di sebuah ruko yang tak begitu besar. Tampak dua orang pria muda sedang sibuk dengan aktivitas yang berbeda.

Fajar Bimantara, dengan kumis tumis, rambut model pompadour yang sedikit berantakan, wajah oval, dan fisik yang proporsional. Dari caranya membiarkan rambutnya tidak tersisir rapi, dia jelas bukan pria yang memerhatikan penampilan.

Keenan Ramadhan, tampilannya seperti pria keturunan Arab. Padahal dia asli Indonesia. Rambutnya tampak bergelombang, dengan model wafy spike. Wajahnya persegi, alis tebal, kumis dan jenggot tipis.

Fajar tampak sibuk siang ini. Dia terus saja berlari ke sana kemari, mencari sesuatu. Diperiksanya setiap meja yang ada di ruangan itu. Di sisi lain, Kei bingung, dengan kepanikan rekannya itu.

“Jar, kamu kenapa? Kelihatan panik banget?”

Sambil mengatur napas, Fajar menjawab pelahan, “Contoh desain yang dikirimkan Pak Amir kemarin, aku enggak tahu tercecer di mana. Sedangkan desain itu sudah harus selesai sore ini!”

Astagfirullah, kok kamu bisa seteledor itu?”

“Mampus aku! Kalau desain itu enggak selesai, kita kehilangan satu kerjaan lagi!” sesal Fajar.

“Di cari dululah, semoga masih ada harapan.”

Keduanya terpaku.

Mata Fajar terus menelusuri dengan saksama dokumen-dokumen yang ada di mejanya, dan di meja Kei.

Seingat aku, kertas itu hanya aku letakkan di mejaku dan meja Kei. Tapi di mana sekarang? Ya Allah, tolonglah aku.

Astagfirullah,” sebut Fajar, dengan suara yang begitu keras.

Dia berjalan menuju meja Kei, dan dia dapati kertas yang sedari tadi ia cari, telah menjadi pelapis, gelas bekas kopi.

“Apa ini?!” tanya Fajar ke Kei, dengan wajah sebal. “Sorry, aku enggak sengaja. Serius!”

Fajar menggelengkan kepala. Dia kembali ke mejanya.

Dia harus kembali fokus dan segera menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya.“Desain logo Ibu Sri, sudah dikirimkan, Jar?” tanya Kei.

“Iya, sudah tadi pagi!”

Alhamdulillah, bulan ini lumayan banyak orderan desain, jauh lebih banyak dibanding bulan lalu.”

“Semua harus disyukuri Kei. InsyaaAllah selama kita terus berusaha, pasti ada hasilnya,” jawab Fajar, dengan mata yang tetap fokus menatap layak komputer.

“Iya, semoga usaha kita ini, bisa semakin berkembang.”

“Amin.”

Hening.

Assalamu’alaykum, abang-abang keren,” suara Hendri, memecah keheningan ruangan.

“Wa’alaykumussalam, kalian!” jawab Kei.

“Sibuk banget ya Bang?” tanya Hendri.

“Iya lumayan. Abang Fajar lebih sibuk tuh, lagi mengerjakan desain deadline sore ini. Kalian dari kampus?”

“Iya Bang. Aku dan Fiki, baru dari kampus.”

“Bagaimana skripsi kamu?” sambung Kei.

“Alhamdulillah, so far so good Bang,” sahut Hendri.

“Kalau Fiki, bagaimana?”

“Lancar Bang,” jawab Fiki.

“Oh ya. Kok aku dengar dari abang kamu tuh, kamu lagi dekat dengan seseorang ya?” lanjut Kei, menatap Hendri.

Fiki tertawa, mengejek, sikap salah tingkah Hendri.

“Kamu kenapa malah tertawa?” tanya Hendri, dongkol.

Fiki seketika menghentikan tawanya. Berbalik, Kei yang tertawa melihat kelakuan kedua sahabat itu. “Ada apa sih? Abang jadi penasaran?”

“Ehm, ehm,” suara Fajar menegur ketiganya. “Kita bisik-bisik saja ya?” pinta Kei.

Ketiganya pun terkekeh, tanpa suara.

“Abang mau dengar, bagaimana ceritanya? Sudah berhasil, belum?” lanjut Kei. Fiki kembali tertawa.

“Belum sampai ke situ Bang,” jawab Hendri, pelan.

“Maksudnya?”

“Dia kan dosen aku Bang,” sambung Hendri, dengan suara yang semakin lemah.

Tawa Kei pecah. Kembali membuat Fajar terganggu. “Sudah deh! Kalau mau ribut, kalian keluar saja!”

Ketiganya langsung bangkit dan keluar dari ruangan. Mereka takut, melihat ekspresi kekesalan Fajar.

“Kita di sini saja, lebih nyaman. Dari pada di dalam, bahaya kalau abang kau itu yang marah,” sambung Kei.

Kei malah kembali terkekeh. “Abang kenapa tertawa?” tanya Fiki.

“Aku ingat saja, tadi Hendri bilang, yang dia taksir itu, dosen?”

“Iya Bang,” jawab Hendri, polos. Kei semakin tertawa.

“Abang kok tertawa terus, aku jadi merasa enggak enak,” ungkap Hendri. “Oke, oke. Abang enggak habis pikir saja. Kok kamu berani banget, taksir dosen sendiri?”

“Bang? Memang Abang belum pernah jatuh cinta?” Hendri berbalik bertanya pada Kei.

Terdengar suara Fajar, tertawa keras mendengar pertanyaan Hendri. “Bagus banget pertanyaan kamu tuh, Hen. Tanya dia, kapan dia jatuh cinta?!”

Ekspresi Kei berubah. “Kok, malah bertanya balik ke Abang?”

“Iya Bang. Hendri bertanya, karena Abang bertanya tentang perasaan. Namanya hati Bang, enggak bisa disuruh memilih. Karena yang di sana dosen, jadi hati harus mengerti? Enggak boleh jatuh cinta? Begitu kan, maksud Abang?”

“Kok malah aku yang di tanya balik, sih?” bela Kei.

Fiki dan Fajar, terkekeh kembali, melihat ekspresi kebingungan Hendri dan Kei.

“Kalian berdua, ke sini! Abang punya cerita menarik, tentang Abang kece kalian itu,” pinta Fajar, sambil menunjuk ke arah Kei.

“Memang pekerjaan kamu sudah selesai, Jar?” tanya Kei. “Sudah dong!”

Kei menarik napas. Dia pasrah.

“Cerita apa Bang?” tanya Fiki, penasaran. Belum menjawab, Fajar malah tertawa. “Abang kenapa? Kok malah tertawa?” tanya Hendri, heran.

“Oke. Kalau kalian dengar cerita ini, kalian akan tertawa seperti Abang.”

Tampak Kei hanya diam di tempat duduknya. Berusaha sibuk, mengabaikan kesibukan tiga pria, yang sementara membahas dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status