Bertahun-tahun Bram mengejar Falisha, tetapi gadis itu tak pernah memberinya kesempatan. Jangankan membalas perasaannya, melirik pun enggan. Gadis itu selalu melarikan diri darinya. Sekarang saatnya untuk memberi sedikit pelajaran.
“Dia teman sekampusku.” Bram mengakui mengenal Falisha.
Bella memindai sekujur tubuh Falisha dari ujung kepala hingga ke kaki. “Hanya teman sekampus atau … dia wanita yang selama ini terobsesi denganmu?”
Falisha mendongak. Menatap tak percaya pada Bella, lalu beralih pada Bram. Sorot matanya seakan ingin menelan lelaki itu hidup-hidup.
Bram merasakan hawa dingin menjalari sekujur tubuhnya. Aliran darahnya seakan membeku seketika. Tatapan mata Falisha bukan hanya menyiratkan ketidaksenangan seperti sebelumnya, melainkan penuh kebencian dan dendam.
Lewat pandangan menikam itu seakan-akan Falisha berkata, ‘Kurang ajar! Kamu cari mati dengan memutarbalikkan fakta! Tunggu pembalasan dariku!’
Akan tetapi,
“Heh, Falisha! Kau sengaja ingin mempermalukan Bella?” Bram semakin menunjukkan keberpihakannya pada Bella. “Aku hanya menawarkan solusi.” Falisha menjawab acuh tak acuh. Orang-orang di kafe itu kian tertarik menyaksikan perdebatan antara mereka. Warna muka Bella bergulir pucat ketika jarak lelaki bertubuh tambun dengan dirinya bertambah dekat. Tanpa sadar dia bergeser, berlindung di balik badan Bram. Kalau saja dia tahu bahwa lelaki itu adalah Winata sang pemilik kafe, tentu dia tidak akan berani bersikap sombong. Merasakan tangan Bella gemetar saat menggelayuti lengannya, jiwa pahlawan Bram bangkit. Dia membusungkan dada. Dagunya menjulang angkuh menatap lelaki yang mendatangi Bella. Lewat postur tubuhnya, dia seakan berkata, ‘Jangan coba-coba mengganggu wanitaku! Atau kau akan merasakan akibatnya!’ “Anda sangat cantik, Nona! Tapi … Anda juga licik!” Winata tersenyum sinis. “Apa menurut Anda tidak ada seorang pun dari kami yang meny
“Berengsek! Siapa yang berani bermain-main denganku?!”Winata memaki geram. Bokongnya terasa sakit akibat tendangan yang sangat keras. Dia nyaris batuk darah ketika dadanya menghantam tepi meja.Begitu berhasil membalikkan badan, matanya melotot pada Gallen. “Kau?!”Gallen memasang wajah datar. “Ya. Itu aku! Anda pantas mendapatkannya.”Winata telah berhasil menguasai diri. Dia melangkah menghampiri Gallen. “Siapa kau hingga berani mencampuri urusanku?”Tatapan mengejek memancar dari mata geram Winata. Disapunya sekujur tubuh Gallen. “Cih! Kau bahkan tidak layak menginjakkan kaki di sini!”“Apa Anda pikir aku senang menginjakkan kaki di tempat sekotor ini?”“Jaga bicaramu! Apa kau tahu dengan siapa kau berhadapan?” Winata mengepalkan tinju. “Sebaiknya kau lekas angkat kaki dari sini sebelum anak buahku mematahkan kakimu!”“Tent
Winata mencengkeram kerah baju Gallen. Niat Gallen untuk membeli kafe yang dikelolanya menampar telak mukanya di hadapan umum. Sebuah tinju berkekuatan penuh dilayangkannya pada wajah Gallen.Gallen lebih gesit. Sebelum tinju Winata mendarat di pipinya, dia menangkap lengan lelaki itu lebih dulu. “Apa seperti ini cara Anda berbisnis? Itu sangat buruk! Tidak heran kalau kafe ini terus mengalami penurunan laba bersih.”“Hentikan omong kosongmu! Apa yang kau ketahui tentang dunia bisnis? Kau hanyalah seorang gembel yang mendiami kolong jembatan!”Gallen tersenyum tipis, “Mungkin aku memang gembel, tapi ... aku tidak memiliki utang yang akan segera jatuh tempo. Bukankah Anda membutuhkan uang dalam jumlah yang cukup besar untuk melunasi utang-utang Anda?”Gallen mengedarkan pandangan berkeliling, tampak seperti juru taksir yang sedang menilai harga kafe itu. “Aku memberi Anda penawaran yang bagus. Terserah kalau Anda i
Gallen bergeming. Air mukanya tak beriak. Beragam hinaan yang ditujukan kepadanya dianggapnya sekadar angin lalu. “Aku ingin surat-suratnya selesai malam ini juga.”“Wah, dia pasti benar-benar sudah gila! Apa dia pikir uang dua milyar itu cuma seharga permen?”“Jangan tertipu! Dia sedang berpura-pura untuk menutupi rasa malu.”Silang pendapat antara para pengunjung kafe terdengar seperti dengungan lebah.“Anak muda! Berhenti bermain-main denganku! Kalau kau tidak punya uang, pergilah! Tapi sebelum itu, berlututlah pada Nona Bella dan bayar kompensasi yang dia minta!”Alis Gallen mengerut. “Bukankah aku meminta Anda untuk segera menyiapkan surat-suratnya? Aku akan membayar tunai setelah Anda menandatangani jual-beli.”“Siapkan saja, Pak! Jika dia tidak mampu membayar, Anda bisa menuntutnya!”Bram semakin bersemangat memprovokasi Winata. Dia ingin melihat kehancuran
“Hahaha … sudah kuduga kau tidak akan punya uang sebanyak itu!” Tawa Bram membahana ketika dilihatnya Gallen masih tegak bergeming di tempatnya, menatap tak berkedip pada dokumen yang baru saja ditandatangani oleh Winata. “Kalian lihat! Lelaki tak tahu diri ini pada akhirnya hanya mempermalukan dirinya sendiri!” Bram berteriak lantang, mengumumkan pada dunia bahwa Gallen sungguh terlihat menyedihkan. “Benar-benar bodoh!” “Ya. Dia seperti katak di bawah tempurung!” Semakin riuh kalimat bernada cemooh mengudara dari bibir para penjilat itu. Gallen masih bersikap acuh tak acuh. Setia menunggu sampai orang-orang itu merasa lelah. Setelah bisik-bisik mulai sedikit hening, Gallen mengeluarkan selembar cek dari kantongnya. Dia menuliskan angka sesuai dengan jumlah yang diminta, lalu menyerahkan cek itu kepada Winata. Di saat semua tercengang dengan apa yang dilakukannya, Gallen sudah selesai membubuhkan tanda tangannya pada su
Hati Gallen dipenuhi perasaan was-was sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Falisha tak mengatakan apa pun saat dia menyerahkan kafe yang baru dibelinya pada gadis itu. Namun, dia sangat yakin selaksa tanya menggayuti benak Falisha.Gadis itu pasti bertanya-tanya dari mana dia mendapatkan uang untuk melunasi pembelian harga kafe. Apakah dia harus berterus terang tentang jati diri dan kekayaannya? Tidak! Belum waktunya. Dia harus memutar otak untuk menemukan alasan yang tepat agar Falisha tidak curiga.Tepat seperti dugaannya, setibanya di rumah, Falisha langsung menarik lengan Gallen ke dapur.“Kak, ceritakan padaku! Dari mana Kakak mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Falisha, tatapannya penuh selidik. “Kakak tidak merampok atau melakukan sesuatu yang ilegal, kan?”Gallen tersedak ludahnya sendiri. “Apa di matamu kakakmu ini punya tampang kriminal?”“B–bukan begitu maksudku, Kak. Kakak hanya m
Bram berdiri di balkon kamarnya. Mulutnya mengepulkan gumpalan asap putih tebal. Saling berkejaran menggapai angkasa. Sudah tak terhitung puntung rokok berserakan di atas lantai. Namun, otaknya masih belum juga menemukan jawab atas serangkaian tanya tentang Gallen.Dia yakin pernah melihat lelaki itu sebelumnya, tetapi bukan di kampus Falisha. Selama ini Falisha selalu meninggalkan kelas dan pulang bersama teman dekatnya. Itu seorang perempuan, bukan Gallen.‘Ah, aku ingat sekarang!’Hati Bram berseru girang. Dibantingnya sisa rokok yang masih menyala ke atas lantai, dipelintirnya dengan kaki. Tepukan keras dari kedua tangannya mendarat di atas pagar pembatas balkon.“Ya, tidak salah lagi! Lelaki itu mantan pacar Laura, sepupu Joe!”Bram menyeringai licik. Bola matanya memancarkan kilat misterius. Terlintas ide di kepalanya untuk menghubungi Joe, dan dia mengeksekusi lintasan pikiran itu dalam hitungan detik.
Sebagian dari karyawan kafe Rainbows sudah mendengar desas-desus akan adanya pergantian pimpinan semenjak kemarin malam. Rasanya seperti mimpi di siang hari, mengetahui karyawan baru akan beralih status menjadi bos.Setiap orang sibuk mengulik kilas balik perbuatan mereka terhadap Falisha. Beberapa pekerja senior mengalami peningkatan rasa cemas ketika teringat bahwa mereka pernah bersikap kasar pada Falisha.Winata menyapu wajah cemas para karyawannya untuk terakhir kali sebelum melanjutkan perkataannya, “Sekarang, posisi saya akan digantikan oleh Nona Falisha. Saya yakin kafe ini akan berkembang lebih baik di bawah kepemimpinan seorang talenta muda yang sangat luar biasa!”Setelah meminta maaf kepada seluruh karyawan, Winata menutup sambutan singkatnya dan mengundang Falisha untuk naik ke atas panggung.Berdiri di atas panggung dengan lutut gemetar, Falisha membasahi kerongkongan yang terasa kering. Tatapannya tertuju pada Gallen selama bebe