Share

Bagian 7 - Kaki

Awas Typo:)

Happy Reading ....

***

Maria sangat berterimakasih dengan perawat yang sedang menggantikan botol infusnya, si kaum hawa dua puluh lima tahun itu sudah mau mampus ketakutan akan kelakuan kurang ajar Mario, suaminya sendiri.

Detik ini pria itu sudah kembali duduk di sofa, memangku laptop dengan tenang seakan tdak punya beban apalagi rasa bersalah.

Jangan tanya apa-apa, tolong jangan tanyakan apapun. Maria tidak sanggup menjawab sangkin malunya.

"Selesai, maaf ya, Nyonya, Tuan ..., tadi saya menggang-"

"Kalau sudah silakan keluar." Maria memotong kalimat si perawat, langsung memberikan perintah agar wanita muda itu keluar tanpa melontarkan kalimat lainnya.

Ya dewa, mana mungkin perawat itu tak tahu apa-apa, jangan lupa Mario si otak kotor telah merusak pakaian istrinya sendiri.

"Ah ya, permisi, Nyonya, Tuan," ucap perawat buru-buru beranjak, aura Maria lumayan mengintimidasi dirinya.

Mario sendiri dari dari tempat duduk tersenyum kecil, tetap melanjutkan pekerjaannya. Ini sangat seru, bersama Maria dan menggoda Maria. Well, Mario pastikan dia tidak akan membiarkan pernikahannya berakhir. Tidak akan kecuali maut yang mendatangi mereka.

"Jangan risau, malam pertama gagal aku akan memberikan malam kedua atau ketiga," ujar Mario sambil membuka email dari Jefri.

"Crazy!" maki Maria membaringkan tubuh membelakangi Mario, menarik selimut dan menutup tubuhnya.

Si pria hanya bisa geleng kepala sambil tersenyum, bahagia Mario sederhana bukan?

*****

"Mario!"

Tidur Mario terganggu.

"Mario, bangun!"

Semakin terganggu saat suara yang sama memanggilnya.

"Mario!!!"

Terkejut, kedua mata terpejam Mario langsung terbuka lebar.

"Mario, bangun, tolong aku hiks!"

Lalu segera menoleh ke sumber suara. Ada apa ini?

"Maria." Lagi-lagi bergerak spontan, Mario bangkit dari berbaring, peduli setan kepalanya dihantam pusing, Maria ..., wanita itu kenapa bisa tergeletak tak berdaya di atas lantai?!

"Mario," memanggil, kedua tangan Maria tak pakai lama menangkap kedua tangan suaminya yang baru berjongkok, menggenggam erat.

"Kaki 'ku, Mario," berucap terbatah, air mata mengalir lumayan deras membasahi pipi Maria.

Kenapa? Kaki Maria kenapa?! Tunggu-tunggu, itu akan Mario temukan jawabannya nanti, sekarang yang ia ambil peduli hanya gendong Maria dan bawa kembali ke atas ranjang.

"Mario kaki aku! Kakik 'ku tidak bisa digerakkan!"

Deg.

Dalam hitungan detik dada Mario terhantam meteor fatamorgana. Tidak ..., ini ..., salah, 'kan?!

"Shut, tenang. Aku panggil dokter," bisik Mario menghapus air mata Maria, mengusap permukaan pipi istrinya. Ya Tuhan ..., jangan sekarang, tolong jangan sekarang.

"No, jangan pergi!!!" teriak Maria ketara panik, wanita itu tidak memberikan izin Mario untuk pergi.

Si pria pun mengangguk, menuruti mau istri. Ia tekan tombol yang ada di atas kepala ranjang Maria.

Jika pagi kemarin adalah pernikahan maka pagi ini bukan bencana 'kan?

"Aku di sini, jangan takut," bisik Mario menatap dalam kedua netra Maria yang terus meneteskan air mata.

"Kaki 'ku, dia tidak bisa digerakan, tidak merasakan apapun. Mario ...." Sehebat apapun Maria ingin membunuh Raymond Arthur William, sekeras apapun ia melawan Mario, tetap saja dia kaum hawa, wanita. Dia tetap rapuh. Apalagi ini berkaitan dengan tubuhnya sendiri, Tuhan paling tahu isi hati dan kepala Maria disetiap waktu.

Diam.

Mario tidak mengeluarkan satu kata pun, pria itu terus menekan tombol guna memanggil perawat, matanya tak lepas dari mata Maria.

Cklek.

Hingga akhirnya pintu terbuka.

"Panggil Dokter!" ujar Mario berteriak, menatap perawat yang masuk dengan mimik mau mampus.

"Ba-baik, Tuan." Si perawat pun langsung enyah, beranjak memanggil dokter yang ada.

"Mario hiks ..., hiks ...." Maria sendiri belum berhenti ketakutan, terisak dan terus memanggil nama Mario. Siapa lagi yang bisa ia panggil? Tidak ada, dia tidak punya siapa-siapa selain pria ini.

"Semua akan baik, Maria," bisik si suami.

"Tapi kaki 'ku tidak bisa digerakkan!!!" teriak Maria tanpa segan.

Bolehkah Mario mengumpat akan kondisi ini? Dia juga mau gila membayangkan yang masuk ke dalam otaknya. Tapi tidak mungkin dia ikut berteriak untuk Maria bukan? Tumpukkan kesabaran untuk Mario, please.

"Bisa atau tidak bisa, kamu akan baik-baik saja dan aku akan tetap di sampingmu," ujar Mario dengan geraman yang ditahan. Ia ingin murka, kenapa dokter sangat lama?!

"Hiks ..., hiks ...." Maria terus terisak.

Cklek.

Bagus! Akhirnya pintu kembali terbuka, menampilkan satu dokter dan perawat tadi. Telat satu menit saja, mungkin Mario akan membakar rumah sakit ini karena tidak becus.

"Nyonya, tenang, saya periksa dulu," ucap sang dokter sudah berdiri di sisi lain ranjang Maria, mengeluarkan alat bawaan.

"Apakah sakit?" bertanya. Wajar, yang merasakan Maria maka dokter perlu tahu apa yang dirasakan wanita itu.

"Dia tidak bisa ku gerakkan dan tidak merasakan apapun, mati rasa!" bentak Maria semakin erat menggenggam tangan Mario yang pun menggenggam tangannya.

Kepala dokter mengangguk, butuh sekitar dua sampai lima menit untuk memeriksa, hingga akhirnya si dokter meminta Mario memindahkan Maria ke atas kursi roda, mereka butuh memeriksa lebih lanjut. Dan sumpah Mario merasakan firasat buruk.

*****

"Maaf, Tuan. Racunnya sudah melumpuhkan saraf kaki Nyonya."

Firasat itu benar. Lemas, aliran darah Mario seketika tak terasa lagi. Bagaimana cara ia memberitahukan Maria tentang ini? Bukan hanya itu, bagaimana reaksi Maria nanti? Apa Mario bisa menenangkan si wanita?

"Kita akan segera melakukan terapi rehabilitasi agar Nyonya tidak lama mengalami kelumpuhan ini, Tuan."

Tunggu, tahan dulu. Mario sedang meresapi kegilaan, ini terlalu awal tapi Tuhan sudah menuliskan kisah tragis untuknya. Bahkan seminggung pun belum pasca Maria sadar, ya Tuhan dosa apa yang Mario lakukan di masalalu?

"Untuk saat ini, saya mohon Tuan, jaga mental Nyonya agar tetap baik."

Sinting! Mario yakin ia akan sinting.

"Bisa kita bicarakan nanti? Aku ingin menemui istriku," ujar Mario datar.

"Ya, silakan, Tuan." Persilakan si dokter jelas menangkap lelah di wajah Mario. Bahkan pria itu belum membasuh wajah bangun tidurnya. Memang benar, pelangi dan badai itu beriringan, selalu ada di jalur yang sama.

Mario menganggukkan kepala, bergerak berdiri. Tidak ada satu kata pun lagi yang bisa ia keluarkan setelah meminta izin tadi.

Tidak butuh waktu lama Mario sudah berdiri di depan pintu ruangan dokter tadi, dokter yang berbeda dari dokter yang menangani Maria sejak setahun ini. Bodo amat, Mario hanya butuh memejamkan mata, berpikir dan, menemukan kalimat penyampaian untuk Maria.

"Shit!" mengumpat, ia usap kasar wajahnya. Cekikan sangat terasa namun jelas tidak ada yang mencekiknya.

Mau tak mau, jika takdir sudah diperintahkan oleh Tuhan dan kisah begini, Mario harus menghadapinya, mau tak mau. Semoga ia bisa melewati, satu saja pintanya. Maria tetap baik-baik saja saat tahu segalanya, segala yang akan wanita itu hadapi bersama Mario.

.

.

To Be Continued

Terbit: -24/Mei-2k21

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status