Keesokan paginya, aku baru saja selesai menyiapkan sarapan. Sarapan kali ini pun aku buat sesuai seleraku saja, tidak atas permintaan Dini, seperti biasanya. Kalau dia tidak mau, toh dia bisa beli sendiri.
Setelah selesai membuat sarapan, aku berniat mencuci pakaian. Sesampai di pintu belakang, kulihat sudah teronggok sekeranjang penuh pakaian Dini. Kugeleng-gelengkan kepalaku.
Saatnya memberi pelajaran pada menantu yang lidahnya tajam itu. Biar dia tau, aku selama ini bersabar, bukan karena aku takut, aku berharap dia akan berubah, namun sepertinya, aku salah langkah. Mungkin dengan jalan, bersikap sedikit tegas dan tidak memanjakannya, bisa membuat Dini sadar.
Kusingkirkan keranjang pakaiannya dekat sudut pintu. Lalu kulanjutkan mencuci pakaianku sendiri. Tak sampai satu jam pekerjaanku selesai. Tinggal menjemur saja.
Aku beranjak membawa satu ember pakaianku, yang sudah selesai dibilas, ke arah belakang. Saat aku mulai menjemur, terdengar menantu tersayang memanggil.
Mak … Mak!!!" teriak Dini.
Kutulikan kupingku, biar saja dia mencariku kebelakang.
"Mak, gak denger apa? Dini teriak- teriak dari tadi, bukannya dijawab, malahan diem aja!"
Kuhentikan kegiatanku dan menoleh ke arah Dini. Dia berdiri tak jauh dari pintu sambil berkacak pinggang.
"Sengaja," jawabku santai.
"Apa?! Sengaja, Mak bilang! Sampe kering kerongkongan Dini dan dengan entengnya, Mak bilang sengaja!" gerutu Dini.
"Siapa suruh, kamu teriak-teriak? Kebiasaan!" ucapku cuek.
"Mak, bener- bener ngeselin ya, akan Dini adukan perlakuan Mak sama mas Imron. Dini gak main-main!" ancam Dini.
"Terserah, mak gak peduli! Kutinggalkan Dini yang sedang mencak-mencak gak karuan.
" Mak, Dini belum selesai ngomong!"ucapnya ketus sambil mengikutiku ke dalam.
"Mau ngomong ya tinggal ngomong! Gitu aja, kok repot," ucapku santai.
Biar saja dia kesal. Siapa suruh membangunkan singa yang lagi tidur. Belum tau dia kekuatan seorang mak.
"Itu kenapa, pakaian Dini belum dicuci?" Dini menunjuk keranjang bajunya yang tadi kusingkirkan.
Aku beralih menatap onggokan pakaian itu. Aku tersenyum kecil.
"Mak mau nanya, itu pakaian punya siapa?" tanyaku.
"Ya, punya Dinilah, punya siapa lagi!" ujar Dini ketus.
"Lah, itu tau, kok malah nanya mak, kenapa belum dicuci. Ya, pakaianmu, cuci sendiri dong!" Kembali kujawab masih dengan gaya santai.
Kutarok ember bekas menjemur tadi di tempat cucian. Lalu aku beranjak ke dapur, untuk sarapan.
"Mak, kan biasanya, Mak yang cuci, kenapa, kok nyuruh Dini sih?" tanya Dini emosi.
"Itu, dulu. Sebelum kamu berniat jahat sama Wita dan menjelek-jelekkan Wita. Sampai kapan pun, mak gak bakalan terima dan gak ikhlas dengan perbuatan kamu, terhadap Wita."
Kulihat Dini terbengong dengan ucapanku.
"Wita itu, pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Masih wajar yang Dini lakukan pada Wita. Mak, gak tau perbuatan Wita. Dia sudah ancurin kehidupan dan kebahagiaan Dini!"
" Kebahagiaan yang mana? Setau mak, Wita baru mengenal kamu, ya, semenjak kamu jadi menantu di rumah ini! Jadi mana mungkin, Wita berbuat kayak gitu!" ucapku sedikit ketus.
"Mak gak tau apa-apa, jadi gak usah ambil kesimpulan sendiri! Pokoknya, Dini gak mau tau! Mak cucikan baju Dini atau— "
"Atau apa?" tanyaku menantang.
"Mak akan rasakan akibatnya! Jangan main-main sama Dini Sundari," ucap Dini emosi.
Aku hanya tersenyum. Ini anak kayaknya, gak pernah disekolahin kali ya. Sudah berkali-kali dibilangin urus diri sendiri, masih juga nyuruh-nyuruh.
"Mak dari kemarin, kan sudah bilang, mulai sekarang urus urusanmu sendiri! Mak gak mau lagi diperintah!"
"Oke! Lihat saja akibatnya kalau berani melawan Dini!" ucap Dini sombong.
Dini berlalu dari hadapanku dan menuju kamar. Tak dihiraukannya juga pakaian kotornya itu. Aku yang memang tidak suka menumpuk pekerjaan, merasa risih. Tapi biarlah, dia belajar tanggung jawab. Merasa keenakan, karena selama ini aku diamkan dan tidak pernah menegurnya. Entah apa rencana anak itu.
Aku duduk di meja makan. Mengambil nasi goreng di dalam tudung saji dan menyantapnya. Baru beberapa suapan terdengar bunyi handphoneku yang memang sengaja kutaruh di atas lemari dapur. Kulihat panggilan dari Imron. Dahiku mengernyit. Tumben Imron nelpon. Ada apa sebenarnya.
Kujawab panggilan Imron.
" Assalamu'alaikum," ucapku
"W*'alaikumsalam, Mak," jawab Imron di seberang.
"Ada apa, Le? Tumben nelpon mak?" tanyaku penasaran.
"Itu Mak, Dini tadi nelpon Imron, nangis-nangis."
Dini nangis. Apalagi maunya anak itu.
"Nangis? Tapi, tadi baik- baik aja. Baru saja masuk ke kamar," jawabku lagi.
"Kata Dini perutnya sakit, gak bisa ngerjain apa-apa. Mau minta tolong ke Mak tapi, kata Dini kasian sama, Mak," jelas Imron.
"Minta tolong apa?" tanyaku lagi.
"Mmm … anu, Mak. Kata Dini, pakaian lagi numpuk belum dicuci. Mau nyuci gak sanggup. Perutnya kayak keram gitu. Mau minta tolong Mak, gak tega. Karena selama ini, kan Dini yang ngerjain semuanya. Gimana ya, Mak?" tanya Imron kebingungan.
Akal-akalan saja tuh anak. Pinter banget berpura-pura. Kalau ikut main sinetron, cocok sekali tuh, jadi pemeran antagonis.
"Oh, gitu ceritanya. Tapi, Dini gak ada ngeluh apa-apa sama mak. Mak liat tadi sehat-sehat aja tuh!"
"Gak tau, Mak. Tadi nelpon Imron tiba-tiba langsung nangis, ngeluh gitu."
"Ya sudah, kalau Dini gak sanggup, bawa kelaundry
aja, toh itu semua bajunya Dini semua," ucapku lagi.
"Pakaian Dini semua? Terus, pakaian Mak?" tanya Imron dengan nada heran.
"Mak sudah selesai nyuci tadi. Karena, mak gak mau merepotkan menantu mak lagi. Jadi, mak nyuci sendiri sekarang," jelasku.
"Ooh, gitu. Sebenarnya gak apa-apa, Mak, kalau Dini mau nyucikan pakaian Mak. Karena sekarang lagi sakit aja, makanya Dini gak nyuci."
" Ya, sudahlah, Le. Mak juga gak merasa keberatan. Biar badan, ada olahraganya juga."
"Okelah, Mak. Nanti, mak saja yang bilang sama Dini. Gak usah nyuci, bawa ke laundry saja," ucap Imron.
"Iya, nanti biar Mak yang bilang."
"Ya, sudah kalau gitu, Mak. Imron mau lanjut kerja lagi ya, Mak. Mak jaga kesehatan, titip Dini, Mak. Assalamu'alaikum."
Iya, Insya Allah, w*'alaikumsalam," jaw*bku.
Panggilan berakhir. Kutatap gawai pemberian Imron. Anakku sayang, anakku malang. Mudah-mudahan, Allah memberi jalan terbaik bagimu, nak, doaku.
Kulanjutkan sarapanku yang tertunda tadi. Setelah sarapan, aku akan menemui Dini di kamarnya.
Pintar sekali anak itu kalau urusan berpura-pura. Aku pikir, mungkin maksudnya berbohong agar aku mau mencuci pakaiannya. Kugeleng-gelengkan kepalaku. Tak habis pikir dengan sikap Dini. Segera kuhabiskan nasi goreng tadi, lalu berdiri dan mencuci piring. Lalu aku menuju ke kamar Dini.
Ku ketuk pintu kamar Dini. Tak lama pintu terbuka. Kulihat Dini tersenyum sinis.
"Sudah ditelepon Mas Imron, kan?" tanya Dini tiba-tiba.
"Sudah," ucapku singkat.
"Jadi, Mak mau ngapain lagi? Langsung aja, cuci pakaian Dini!" perintahnya lagi.
Aku tersenyum memandangnya.
"Siapa bilang, mak mau nyucikan pakaianmu?" tanyaku santai.
"Maksud, Mak, apa?" tanya Dini. Terlihat raut wajahnya yang kebingungan.
"Imron tadi bilang, kalau kamu, gak sanggup nyuci, suruh bawa ke laundry saja! Enak saja mau nyuruh-nyuruh, mak!" ucapku tegas.
"Jadi … Mas Imron bukan minta tolong ke Mak?" tanya Dini lagi.
"Anakku itu, gakkan mungkin tega nyuruh-nyuruh maknya. Gak kayak kamu!" Kutunjuk wajahnya.
Dini terbengong menatapku. Mungkin dia tak menyangka bakalan seperti ini.
"Ish, apaan sih, Mas Imron! Dibilangin suruh Mak yang nyuci, malah bawa ke laundry," gerutu Dini.
Aku tersenyum dan kutinggalkan Dini dengan wajahnya yang masih kesal dengan keputusan Imron.
Sepertinya aku harus berpikir keras, cara menghadapi Dini. Dia bisa saja melakukan segala cara agar Imron mendengar perkataannya. Aku harus lebih berhati-hati menghadapi menantuku ini.
POV Wita Namaku Wita. Aku seorang ibu rumah tangga, dan mempunyai sepasang anak. Suamiku, mas Bagas seorang guru di salah satu sekolah dasar negeri di daerah kami. Selain itu, kami mempunyai toko kelontong kecil-kecilan di depan rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Walaupun seadanya, Alhamdulillah cukup untuk kami sekeluarga. Aku mengenal mas Bagas, lima tahun yang lalu. Kala itu, aku mengajar di salah satu sekolah dasar swasta sebagai tenaga kontrak. Awal aku mengenal mas Bagas, karena kami bertemu disalah satu lomba cerdas cermat dan kami berdua sebagai guru pembimbing. Sejak saat itu, kami menjadi dekat dan memutuskan untuk menikah. Alhamdulillah, tak lama kami menikah, aku hamil. Semenjak aku hamil, mas Bagas memintaku untuk resig
POV Wita 2Selesai membuatkan teh untuk mas Bagas, kutaruh di meja makan. Segera kusiapkan nasi goreng dan telur mata sapi untuk mas Bagas.Tak lama, kulihat Mas Bagas sudah rapi dengan seragamnya. Dia menuju ke meja makan. Mas Bagas menarik kursi dan duduk."Wah … nasi goreng, makasih ya, Bun," ucap Mas Bagas.Dia memang selalu seperti itu. Berusaha menyenangkan hatiku apalagi kalau aku sedang galau."Sama-sama, Yah," jawabku sembari duduk di hadapan Mas Bagas.Kuperhatikan wajah Mas Bagas. Aku ber
Lidah Menantu 10Pov Wita 3Aku mengernyitkan dahi. Penasaran apa yang akan dikatakan Bu Leli."Itu, Wit. Tentang kakak iparmu itu, Dini!"Hah, Dini, tentang Dini. Jadi tambah bingung. Masalah apa lagi ini."Gini lho, Wit! Tempo hari, Dini ada belanja tuh ke tukang sayur keliling. Terus dia alih-alih ngomongin kamu," jelas Bu Leli."Ngomongin gimana, Bu?" tanyaku penasaran."Iya, ngomongin kamu. Katanya dia sama kamu tuh gak akur, terus kamu itu kasar. Terus katanya lagi Bag
Kembali Pov Mak EsahPagi ini aku berencana akan menelepon Bagas untuk meminta bantuannya. Sengaja kutelepon pagi-pagi karena yang aku tau pagi kayak gini, Wita pasti sibuk di dapur.Kuambil gawai di atas nakas samping ranjang. Kutekan nomor Bagas. Tak lama panggilan tersambung."Assalamu'alaikum, Mak." Panggilan teleponku dijawab Bagas."Wa'alaikumsalam, Gas.""Ada apa, Mak?" tanya Bagas.Mungkin dia keheranan aku menelepon langsung ke nomornya, karena biasanya aku melalui Wita."Gas, Wita ada di dekat kamu atau di dapur?" aku balik bertanya."Dekat Bagas, Mak," jawab Bagas lagi."Coba kamu keluar dulu menghindar dari Wita, mak gak mau Wita tau masalah ini!" ujarku."Nggeh, Mak,"
"Mak, sebelumnya Bagas minta maaf. Memang seharusnya sedari awal, Bagas jujur terutama pada Wita," ucap Bagas."Jadi, Le kamu sama Dini?" tanyaku memastikan."Sebenarnya Dini mantan pacar Bagas, Mak," jelas Bagas.Aku menghela napas. Berarti dugaanku tidak salah."Dini yang selingkuh dan mutusin Bagas karena waktu itu kan Bagas belum jadi PNS, masih honorer." lanjut Bagas."Jadi, Wita benar-benar gak tau masalah ini? Pantas saja Dini begitu memusuhi dan membenci Wita," ucapku lagi."Wita gak tau apa-apa Mak. Lagipula semenjak putus sam
Lidah Menantu 13by Inda_melSetelah itu aku menuju taksi dan bermaksud duduk di sebelah Bagas. Tapi, ternyata Dini sudah berada disebelah Bagas. Bagas terlihat memejamkan mata dan sepertinya tidak menyadari kalau yang berada disampingnya adalah Dini. Apalah maunya anak ini. Tidak henti-hentinya membuat masalah. Duduk berdekatan dengan yang bukan muhrimnya dan dia tidak merasa malu di depanku berbuat seperti itu. "Din, kamu duduk di depan!" perintahku. Dini bersikap cuek seolah-olah dia tidak mendengar ucapanku. "Din!" panggilku. "Apaan sih, Mak! Udahlah, Mak aja yang duduk di depan, gak ada masalah, kan?" jawabnya santai. "Mak bilang kamu duduk depan, ngerti gak sih!" ucapku dengan nada yang sedikit tinggi. Terlihat Bagas membuka matanya dan terkejut saat melihat Dini duduk di sampingnya.
Lidah Menantu 14By Inda_mel"Lain kali Ayah harus hati-hati! Bikin Bunda kuatir, tau gak?!" sungut Wita. "Iya, istriku. Maafkan suamimu ya, karena dah buat kuatir," ujar Bagas sambil menangkupkan kedua tangannya. Wita dan aku tersenyum mendengar perkataan Bagas. Kulirik Dini yang berdiri tak jauh dari kami. Bibirnya manyun dan menatap dengan raut wajah tak suka. Aku rasa mungkin Dini cemburu. Entahlah, aku juga tidak tau jalan pikiran Dini. Dan aku juga tidak mau tahu. Yang pasti sepulang Imron minggu ini, masalah Dini harus ada penyelesaian. "Kita pulang sekarang aja, Yah? tanya Wita pada Bagas. "Iya, Bun. Ntar kesorean kasihan anak-anak terlalu lama ditinggal," jawab Bagas. Bagas bangkit dari pembaringan. Masih kelihatan dia meringis menahan sakit.""Ayok, Yah Bunda bantuin berdiri!" ucap Wita sambil memegang pinggang Bagas. "Pelan-pelan, Le!" ujarku
Lidah Menantu 15By Inda_melKami mengangguk dan tak lama sopir itu pergi meninggalkan rumah. Bagas dipapah Wita ke dalam rumah diikuti oleh anak-anak mereka. Saat aku hendak masuk ke dalam, Narsih menggamit lenganku. Menahan agar jangan masuk ke dalam. "Sah, bentar jangan masuk dulu, ada yang aku mau tanyain?" Dahiku mengernyit. Kenapa sepertinya Narsih begitu serius. Sebenarnya hal apa yang ingin ditanyakan Narsih. Aku ditariknya agak menjauh dari teras. Kelihatannya benar-benar penting. Karena yang aku tau, Narsih tidak pernah mencampuri urusan orang lain. Kalau dia sudah bersikap begini pastilah memang ada hal penting yang ingin ditanyakan. "Ada apa? Jenengan mau nanya apa?" tanyaku pada Narsih. Usia kami berdua memang sebaya hanya beda bulan saja. Makanya bila kami bertemu, kami memanggil dengan nama saja. "Aku bukan bermaksud untuk ikut campur,