Mendengar suara lelaki dewasa yang berteriak kepadaku, sontak aku menghentikan kegiatanku dan menoleh ke arah sumber suara. Kulihat seorang guru berseragam cokelat berdiri di ambang pintu yang berjarak cukup jauh dari tempatku berdiri.
Pria itu berlari ke arahku walaupun tubuhnya sudah tidak sebugar saat dia lebih muda. "Ayo naik ke sini! Di sana berbahaya, Nak!"
Aku pun menuruti perintahnya. Aku memanjat tembok yang tingginya hanya sepinggangku dan beranjak dari atas kanopi. Pak guru yang mengkhawatirkanku pun membantuku turun dari tembok yang kupanjat dan bertanya kepadaku.
"Apa yang kamu lakukan di sana? Kamu tahu tidak seberapa kagetnya saya melihat kamu berdiri di atas kanopi? Itu berbahaya, tahu!" Dia memborbardir aku dengan pertanyaan-pertanyaan dan teguran.
"Maaf, Pak, saya hanya mau mengambil kotak bekal saya yang jatuh," jawabku sambil memperlihatkan kotak makan berbahan plastik di tanganku.
Pak guru menggeleng-gelengkan kepalanya setelah
Aku duduk di sofa yang empuk, bersama dengan siswi-siswi lain yang ikut ke sini denganku. Seorang pria berkepala plontos berdiri di depan kami sambil menyilangkan tangannya di dada. Guru yang mengantar kami ke sini pun sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya."Jadi, kalian merundung Freya lagi?" tanya pak Yeremia kepada geng Celestine setelah mendengarkan detail kejadian yang terjadi di WC perempuan lantai 3."Iya, Pak," jawab Celestine sambil memperhatikan kukunya yang pendek.Kelima siswi itu sukses membuatku menggeleng-gelengkan kepalaku. Mereka sama sekali tidak memperlihatkan sikap hormat kepada guru BK di depan kami. Mentang-mentang orang tua mereka menyogok pak Yeremia, mereka bisa bersikap seperti bos di hadapan guru itu.Kualihkan pandanganku ke arah pak Yeremia yang tampak tak masalah dengan sikap tidak sopan geng Celestine. Pria berkepala plontos itu hanya menatap mereka dalam diam dan tidak menegur mereka karena merundungku lagi.Aku
Aku menghentikan langkahku saat melihat geng Celestine berdiri menghalangi tangga turun. Kubalikkan badanku ke kanan dan berjalan ke arah yang berlawanan dengan mereka. Untung saja bangunan ini memiliki dua pasang tangga yang bisa dipakai.Kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju tangga turun yang berada tepat di samping kelas sebelah. 'Kalian pikir kalian bisa mencegatku? Seharusnya kalian menjaga kedua tangga supaya aku tidak bisa kabur ke tangga lain.'Sesekali aku menengok ke belakang untuk memeriksa apakah mereka mengejarku atau tidak. Kulihat kelima siswi itu berlari menerjang ke arahku. Aku pun berdecak kesal dan mempercepat tempo lariku agar tidak tertangkap oleh mereka.Kuturuni tangga dengan cepat dan berhati-hati agar tidak salah pijakan. Saat kupikir aku pasti akan berhasil kabur dari kejaran mereka, seseorang dari mereka berhasil mengejarku dan tanpa aba-aba menarik ranselku.Aku pun terjungkal ke belakang karena dia menariknya dengan kuat. Tu
Aku berjalan menuju gerbang sekolah dengan langkah lesu. Telapak tangan kananku menutupi pipiku yang perih, dengan harapan itu bisa meredakan rasa sakit ini. Sepertinya pukulan-pukulan yang kudapatkan dari Celestine meninggalkan bekas pada kulitku.Kulangkahkan kakiku melewati gedung sekolah dasar yang sunyi karena hampir semua murid-muridnya sudah pulang ke rumah. Beberapa anak yang masih belum pulang melihat ke arahku dengan pandangan heran.Mereka pasti heran melihatku yang berpenampilan berantakan seperti ini. Aku pun memalingkan mukaku dari mereka dan mempercepat langkah kakiku. Tatapan mereka yang memandangku seakan-akan melihat sebagai orang gila membuatku merasa tidak nyaman.Ringisan kesakitan keluar dari mulutku saat aku tidak sengaja menekan pipiku yang sakit. Sontak aku melepaskan telapak tanganku dari mukaku dan memperlambat ritme langkahku hingga kedua kakiku berhenti bergerak.Aku berdiri diam di dekat parkiran mobil para guru dan menundukk
Beberapa hari telah berlalu, tibalah hari Senin. Biasanya hari Senin diawali dengan upacara bendera, tetapi kali ini upacara bendera ditiadakan. Kegiatan yang dilaksanakan tiap sekali dalam seminggu itu diadakan karena ujian akhir semester sedang berlangsung.Kulangkahkan kakiku menuju gedung SMP. Aku menghembuskan napas panjang dan berusaha menenangkan diriku yang gugup. 'Bagaimana aku tidak gugup? Hari pertama UAS dimulai dengan pelajaran yang paling berat, yaitu Matematika.'"Tak terasa UAS sudah datang. Kuharap kali ini aku bisa mendapatkan banyak nilai sempurna," gumamku sambil memandang langit biru yang cerah.Kulangkahkan kakiku menaiki tangga dan mulai mencari dimana ruang ujianku berada. Kuperhatikan selembar kertas yang ditempel pada setiap pintu kelas yang kukunjungi. Tak satu pun dari kertas-kertas itu memuat namaku di dalamnya.Aku pun membalikkan badanku dan lanjut berjalan menuju tangga naik ke lantai 3. Saat aku akan menaiki anak-anak tang
Bunyi dering bel menggema ke sepenjuru gedung SMP, menandakan waktu mengerjakan soal UAS telah habis. Terdengar suara siswa-siswi yang mengeluh karena belum menyelesaikan semua soalnya, termasuk diriku.Aku memandang lembar jawabanku. Ada beberapa soal pilihan ganda yang tak kutemukan jawabannya walaupun aku sudah menghitungnya berkali-kali. Padahal menurutku tidak ada yang salah dengan rumus maupun hitunganku, tetapi jawabannya tidak ada di pilihan."Ayo dikumpul lembar jawabannya, Anak-anak," ujar guru yang ditugaskan untuk menjadi pengawas ujian."Sebentar, Bu!" sahut sebagian besar murid yang sibuk mengerjakan ujiannya.Di antara banyaknya yang masih sibuk mengerjakan ujiannya, ada beberapa orang siswa dan siswi bangkit dari kursinya dan berjalan menuju meja guru. Mereka mengumpulkan lembar jawabannya menurut kelasnya masing-masing."Ayo yang lainnya kumpul juga," ujar pengawas ujian setelah siswa-siswi itu mengumpulkan lembar ujiannya.
Aku duduk di bangku halte sambil menunggu jemputan datang. Kupandang kosong jalanan yang rata-rata dilalui oleh kendaraan beroda dua. Terkadang ada juga kendaraan beroda empat yang berlalu-lalang di jalanan. Aku merasa tidak bersemangat karena UAS hari ini berjalan dengan kurang baik. Aku sudah memperkirakan nilai Matematika dan Bahasa Indonesia ku; 70 dan 80. Bagi orang lain, mungkin nilai itu sudah bagus, tetapi bagiku itu tidak bagus. Siku tangan kananku bertumpu pada lutut kananku yang disilangkan di atas kaki kiriku. Aku menopang daguku dengan telapak tangan kananku. Sebuah hembusan napas berat keluar dari mulutku. "Kalau mama tahu nilaiku tidak 100, apalagi di bawah 90, siap-siap aku akan kena roti panggang darinya," gumamku dengan lesu. Roti panggang yang kumaksudkan bukan roti yang dipanggang untuk dimakan, melainkan pukulan rotan. Dulu kecil, aku dan kakak biasa menyebut pukulan rotan dari mama sebagai roti panggang. Jangan tanya aku kenapa k
1 minggu telah berlalu, UAS pun berakhir. Selama UAS, aku merasa sangat tertekan karena memaksakan diriku untuk belajar sampai larut malam agar bisa mendapatkan nilai yang setinggi-tingginya.Ditambah lagi, geng Celestine yang sering menggangguku di sekolah dan mama yang sering menuntutku untuk mendapatkan nilai sempurna tak kalah membuat mentalku semakin tertekan.Kulangkahkan kakiku menuju gedung SMP dengan langkah santai. Sekarang aku tidak setertekan minggu lalu karena mulai hari ini adalah class meeting. Tidak ada lagi kegiatan belajar mengajar sehingga para murid bisa mengistirahatkan otaknya seusai UAS.Kulihat ada beberapa orang siswa berseragam olahraga sedang bermain bola basket di lapangan. Tidak ada yang menegur mereka karena seharusnya mereka mengenakan seragam putih biru pada hari Senin ataupun karena mereka berolahraga di luar jam pelajaran PENJAS.Aku mengalihkan pandanganku dari mereka. Kulangkahkan kakiku menaiki tangga teras lalu berjal
Mendengar jawaban dari Celestine, aku langsung terdiam dan tidak berkata apa-apa lagi. Aku hanya menundukkan kepalaku dan meremas rok biru yang kukenakan. 'Tidak akan puas sampai aku hancur sehancur-hancurnya? Kejamnya ....'Tanpa aba-aba, seseorang mengelus rambutku dengan kasar sehingga jadi berantakan. "Jangan murung begitu lah, aku hanya bercanda."Aku tidak membalas perkataannya yang berkata kalau yang tadi itu hanya candaan. Kutepis tangan yang mengacak-acak rambutku. Aku mengarahkan pandanganku ke arah orang yang membuat rambutku jadi berantakan; Celestine."Candaanmu sama sekali tidak lucu," balasku sambil menatap dia dengan tajam.Celestine tidak terlihat terkejut saat aku menepis tangannya, malahan dia terlihat marah. Dia mengepalkan tangannya yang barusan kutepis dan membalas tatapan tajam yang kulemparkan kepadanya."Hahaha ... kamunya saja yang tidak bisa diajak bercanda." Suara tawanya tidak terdengar seperti orang tertawa karena sesu