Sejak kejadian itu, hubungan ku baik dengan Mas Danu maupun keluarganya menjadi renggang. Bahkan, Mas Danu sering kali urung-uringan terhadapku. Tapi, aku tetap membiarkan saja. Mungkin dia juga bingung masalah uang untuk adiknya itu.
Toh kebingungan yang dia rasakan saat ini, juga karena ulahnya sendiri.Dan sebagai langkah antisipasi, aku terpaksa menyimpan semua perhiasan ku ditempat yang aman.. karena memang sejak awal Mas Danu sudah mengincarnya. Aku takut, jika aku lengah, dia bakal mengambil ya dariku"Ma, Ayah kemana?" Tanya Arina, putri kecil kami yang masih berusia lima tahun."Ayah kerumah Uti, Nduk!""Kok kita gak pernah diajak kesana ya, Ma?"Pertanyaan gadis kecil ini membuat ku bingung untuk menjawab apa. Karena, aku juga tak mungkin mengatakan jika mereka sudah tak menyayangi kita. Itu sama saja, aku mempengaruhi putri kecilki untuk membenci keluarga Mas Danu."Emang Kakak mau kesana?" Tanya ku yang langsung dijawab anggukan kecil oleh nya.Aku hanya menghela napas. Memang, jarak rumah kami tak seberapa jauh. Hanya terpaut kurang dari setengah jam saja dari rumah yang dulu diberlikan oleh orang tuaku ini. Karena dulu, mereka habis menjual separuh sawah mereka yang memang begitu lebar.Alasanya, karena Bapak sudah tak mampu menggarap sawahnya yang sangat luas itu. Hingga, sebagian hasil uang nya dibagi dua untuk ku, dan juga adik ku, Ica.Uang yang kudapat empat tahun lalu itu, lantas ku belikan rumah yang terbilang sangat sederhana atas nama ku. Yang penting, aku tak hidup serumah dengan mertua. Karena dulu sebelum punya rumah ini, aku dan Mas Danu tinggal ngontrak dirumah orang.Sedangkan Ica, uang pemberian dari Bapak di belikan tanah lagi di daerah tempat tinggalnya. Karena suaminya sudah memiliki rumah, sebelum mereka menikah. Sebab, suami Ica bekerja disalah satu perusahaan BUMN, yang otomatis penghasilanya juga lumayan banyak.Aku bersyukur, melihat adik kandung ku ini hidupnya makmur. Walaupun suaminya juga termasuk orang berada, tapi saat melakukan pesta pernikahan pun, dia tak mempermasalajkan jika diadakan secara sederhana seperti pernikahan dulu.Beda dengan Adik kandung Mas Danu yang menurutku banyak gaya itu. Setiap kali membicarakan soal Kaila, entah kenapa aku merasa sakit hati."Ma, ayo... Katanya mau kerumah Uti!" Ucapan gadis kecil ini membuyarkan lamunan ku."Iya, kita ganti gaju dulu ya Nduk!""Yeee, horeee... Oke Ma!" Kami berdua berjalan menuju kamar, untuk mengganti pakaian. Sejujurnya, aku tak ingin sekali kesana. Tapi karena Arina yang meminta, dengan sangat terpaksa aku menurutinya. Memang Mas Danu benar-benar begitu kelewatan. Dia yang memiliki masalah sama aku, tapi amarahnya juga dia lampiaskan pada putri kandung nya yang sama sekali tak tau apa-apa ini.Setelah selesai, aku mulai melajukan sepeda motor menuju kediaman Ibu dengan perasaan yang tak menentu. Aku kasian jika nanti Arina disana tak dianggap. Padahal, gadis kecil ini begitu sayang dengan mereka.Kalau untuk aku, lebih baik aku didiamkan malah lebih baik. Ketimbang diajak ngobrol, tapi bahasan nya hanya uang, uang, dan uang.Kadang aku juga heran sendiri. Mas Danu bilang jika calon suami si Kaila itu kaya raya, tapi kenapa tidak mau membantu biaya pernikahan mewah mereka? Atau jangan-jangan itu hanyalah akal-akalan mereka? Maklum, sampai detik ini juga aku masih belum pernah lihat calon suaminya.Karena, saat prosesi lamaran mereka berlangsung, kebetulan aku dirumah kedua orang tuaku. Tapi lebih tepatnya, mereka sengaja tak memberi tahuku dari awal. Dari sini saja aku sudah bisa merasa, jika memang aku menantu yang tak dianggap.Apa ini karena efek aku jarang sekali memberikan apa yang Ibu mau? Berbeda dengan Santi dan Deni yang begitu loyal pada beliau. Andai saja Mas Danu seloyal Deni, mungkin aku juga bakal bisa seperti Santi.Boro-boro untuk memenuhi gaya hidup Ibu mertua. Orang untuk hidup ku dan Arina saja, aku juga harus ikut pontang panting mencari tambahan biaya untuk bertahan hidup.*****Sepeda motorpun terparkir tepat didepan halaman rumah Ibu mertua. Kulihat keadaan begitu sepi. Tapi, mobil Mas Dani juga sudah terparkir cantik disana. Mobil second, yang dia beli dari hasil bekerja nya dulu."Yuk Nduk, turun. Helmnya taruh sana aja.!" Ucapku sambil menunjuk meja kecil yang ada di depan rumah."Iya Ma...!"Kami berdua pun melangkah menuju teras, dan melepas helm. Arina langsung duduk dikursi, sedangkan aku langsung berdiri diambang pintu untuk mengetuk pintu."Apa si Gandi sama sekali tak membantu biaya pernikahan nanti, Kai? Apa lagi katamu Gandi anak orang kaya. Masa' dia gak mau bantu?"Terdengar suara Mas Danu yang sedang berbincang dengan Kaila. Sehingga membuatku urung untuk mengetuk pintu, guna bisa mendengar obrolan mereka."Kamu kenapa tanya seperti itu Dan? Apa kamu gak ikhlas bantu biaya pernikahan adikmu ini? Apa jangan-jangan kamu sudah terhasut dengan istrimu yang juga tak mau membantu Ibu?" Terdengar suara bentakan dari wanita yang melahirkan nya itu, dengan sedikit emosi"Bukan gitu Bu, sudah pasti aku mau bantu. Tapi masalahnya, apa iya si Gandi sama sekali tak membantu sepeserpun? Aneh aja gitu menurutku. Aku dulu yang menikah secara sederhana aja juga ngasih uang dapur ke Lita, meskipun tak banyak sih!" Mas Danu juga nampaknya sedikit emosi "I-itu Mas, sebenarnya dia ada ngasih uang dua puluh juta. Cuman... Mmm, uda habis aku buat perawatan Mas. Kamu kan tau, kalau nanti aku harus tampil cantik diacara pernikahan ku nanti Mas!" Kilah nya"Astaga Kai, Kai... Masa' uang gajimu masih belum cukup untuk biaya hidup mu sehari-hari?" Uacapan Mas Dani terdengar begitu kecewa. Sama seperti diriku yang ikut menahan geram dengan kelakuan adik iparku ini.Tak habis pikir juga dengan pola pikirnya yang katanya pintar, tapi ternyata bobrok nya naudzhubillah "Kamu kenapa sih Dan, malah menyalahkan Kaila? Lagian itu kan hak dia mau menggunakan uang dari Gandi buat apa. Seharusnya kamu juga sebagai kakak, tetap menyediakan uang buat dia.""Tapi Bu, aku juga uang dari mana? Ibu kan tau sendiri, jika semua gajiku sudah aku serahkan pada Ibu. Hanya kepotong untuk Lita sejuta, dan ongkos ku sejuta. Sisanya yang hampir lima juta lebih juga Ibu pegang semua."Duuar!!!Bagaikan disambar petir, aku begitu terkejut mendengar penuturan Mas Danu. Hingga tak terasa, butiran bening mengalir begitu saja membasahi pipi ini.Tapi buru-buru aku hapus sebelum dia tau. karena aku tak mau terlihat lemah di depannya. yang justru akan membuat dia menjadi besar kepala."Mama kenapa menangis?" Ucapan dari bibir mungil itu menyadarkan ku.Dengan kasar aku menghapus air mata yang sudah terlanjur jatuh membasahi pipi. Dan disaksikan langsung oleh putri kecil ku ini."Uti gak ada ya Ma? Kalau gak ada, kita pulang aja yuk Ma!" Tukasnya lagi."Ada kok sayang. Sebentar ya, Mama ketuk dulu pintunya." Arina mengangguk, dan kembali melempar pandangan kejalan."Bismillah....!" Gumamku dalam hati.Tok tok tok!!! Ketukan pintu dari ku membuat suasana seketika hening. Hingga derap langkah kaki dari dalam rumah mendekati daun pintu pun terdengar. Mendengar derit pintu yang terbuka, Arina langsung berdiri menghampiri ku.Terlihat Ibu mertua membukakan pintu. Tapi raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan sikap bersahabatnya."Utiii... Arin kangen!" Arina langsung berlari memeluk neneknya yang sudah hampir sebulan ini tak bertemu.Ibu mertua pun juga membalas pelukan cucu pertamanya ini. Tapi, aku melihat jika pelukan itu bukan lah pelukam yang tulus, melainkan pelu
"Hahaha, berprasangka buruk katamu Mas? Apa kamu lupa Mas, aku sudah hidup bersama mu hampir delapan tahun ini. Jadi, sedikit banyak nya aku hapal dengan karakter kamu. Apalagi saat kamu bersikap manis seperti ini, sudah pasti tentu kamu memiliki maksut lain!" Ucapku dengan intonasi penuh penegasan.Mas Danu hanya diam, tak menjawab. Bahkan untuk menatap ku saja, dia tak berani."Apa ini tentang biaya pernikahan Kaila?" Tanya ku lagi untuk memastikan.Dia hanya mengangguk menjawab pertanyaan ku, dan baru mengangkat wajahnya seraya melihatku."Sudah ku duga!" Jawab ku singkat."Lit, kenapa sih kamu masih bersikeras tak mau membantu biaya pernikahan Kaila? Toh biayanya juga dibuat patungan. Bukan kita sendriri yang nangung. Kamu tuh istriku, dan sudah masuk dalam keluarga besar ini. Jadi, jika ada kesulitan, harusnya kamu mau berbagi untuk meringankan beban kita!" Kini, gantian Mas Danu yang bersuara sedikit keras.Ku sunggingkan senyum sinis padanya. Percuma juga aku berkata, toh pasti
Aku sedikit terkjeut kala melihat Arina dibiarkan bermain sendiri dihalaman rumah. Bahkan, aku tak melihat Ibu atau pun Kaila berada disamping nya untuk menjaga.Apalagi, rumah Ibu tepat berada dijalan besar, yang sudah tentu banyak sekali kendaraan berlalu lintas. Dan tentunya itu sangat membahayakan bagi anak kecil.Hal ini membuat ku khawatir jika terjadi sesuatu pada putriku ini. Dan jika hal itu terjadi, sudah pasti aku bakal membuat perhitungan pada mereka."Nduk, kok main sendiri?" Tanya ku yang langsung berjalan mendekatinya "Uti, sama tante mana?" "Mereka ada didalam Ma. Gak tau, dari tadi gak mau keluar. Malah nyuruh Arin main didepan sendirian." Jawab nya polos.Kuraih tubuh gadis kecil ini, dan memeluknya erat."Sayang, kita pulang yuk!" Ajak ku lembut."Iya Ma, Arina gak suka disini. Uti dari tadi gak mau nemenin. Gitu kata Ayah, Uti lagi nyariin Arina. Ayah bohong ya Ma?" Tanya nya pada ku. Tatapan wajahnya tang sendu, membuat hatiku terluka. Hanya karena keegoisan ta
Mendengar ucapan Mas Danu yang malah menyalahkan ku, membikin hatiku jadi tambah panas."Jangan pernah bentak Arin, Mas!" Ucapku dengan intonasi yang tak kalah tinggi. Kini, Ku alihkan pandangan ku pada Mas Danu yang terkesiap mendengar teguran ku "Aku sama sekali tak pernah bilang hal jelek sama kalian pada Arina. Tapi dia sendiri yang bisa merasakan, jika memang kalian tak pernah sayang pada putriku ini. Jadi, jangan salahkan jika dia tak mau berlama-lama disini.""Dan perlu kalian tau, aku tak pernah mempermasalahkan sikap kalian yang dingin padaku. Tapi, jangan lakukan itu pada Arina! Karena sampai kapan pun, aku tak ikhlas jika ada yang menyakitinya termasuk kalian!" Ucapku panjang lebar dibalut dengan emosi yang sudah membara didalam dada.Pelukan kecil dari Arina menyadarkan ku, kulihat dia semakin ketakutan saat melihat ku marah. Akhirnya, aku memilih untuk meredam emosi ku dihadapan mereka, dan memilih untuk langsung undur diri."Ayo Nduk, kita pulang!" Tanpa banyak kata, la
Adzan sholat ashar mulai berkumandang. Aku yang sedari tadi hanya rebahan akhirnya memilih melangkahkan kaki menuju kamar mandi dan berwudhu untuk mejunaikan kewajiban ku sebagai seorang muslimah.Seusai sholat, aku membuat es susu coklat. Entah mengapa, bawaan nya haus saja hari ini. Apa ini efek karena aku sering emosi? Makanya tubuhku berasa panas?Hahaha bisa jadi sih ya. Ku nyalakan tv dan mulai menonton acara gosip, sambil sesekali melirik jam dinding. Hatiku kembali gusar karena hingga pukul setengah empat sore, tamu yang dimaksut Bu Rt belum juga datang."Maaf ya Allah, jika hambamu ini terlalu berharap!" Ucap ku dalam hati.Kebetulan hari ini jahitan ku tak banyak. Jadi, aku bisa santai. Tapi akhirnya tentu berpengaruh pada pemasukan ku.Ya, dulu waktu aku sekolah di SMK, aku memgambil jurusan tata busana. Sambil aku mengambil kursus dari tetangga ku yang memang jago dalam hal soal jahit menjahit.Bahkan, dulu dia membuka usaha konveksi dengan jumlah karyawan hampir sepuluh
Hari ini aku lumayan sibuk. Untung saja aku memiliki anak yang mandiri. Jadi, Arina bisa melakukan apapun tanpa perlu bantuan ku. Bahkan, dia yang terbiasa melihat ku mengemas barang, ikut membantu.Dugaan ku pun benar, jika Mas Danu tak pulang. Mungkin dia bakal balik tengah malam atau bahkan besok pagi.Tak masalah juga lah, yang penting pekerjaan ku cepat selesai, dan menaruhnya dikamar Arina. Karena Mas Danu hampir tak pernah masuk kesana.Semua sudah terekap dengan baik, dan bahkan sudah ku masukkan kedalam karung. Tinggal nanti mengirim pesan pada Bu Jihan jumlah totalanya.Kebetulan juga adzan maghrib sudah menggema, Arina yang duduk disamping ku lalu mengajak ku untuk menunaikan sholat maghrib berjamaah."Yuk Ma, sholat dulu!""Ayo Nduk, habis itu kita makan malam ya! Yasudah, Arin wudhu dulu. Mama mau naruh ini dikamar!"Arin memgangguk kemudian berlalu menuju kamar mandi. Sedangkan aku, kembali menyeret dua karung berisi lima ratus hijab yang sudah bertuan ini.Tanpa terasa,
"Kamu ngapain Mas?" Tanyaku membuatnya terlonjak karena terkejut."Ka-kamu belum tidur Lit?" Tanya Mas Danu gugup. Kini, aku pun merubah posisi ku menjadi duduk diatas kasur."Tadi sudah tidur. Tapi mendengar suara mencurigakan, aku jadi terbangun. Ku kira itu suara maling, ternyata kamu!" Jawab ku seraya memicingkan mata."Enak saja, kau samakan aku dengan maling !" Cebiknya"Salah sendiri, siapa suruh mengendap-endap. Oh iya, kamu ngapain diisitu? Cari apa?" Tanya ku penasaran. Karena memang tak biasanya Mas Danu membuka laci lemari."Apaan sih, curiga amat. Aku cuman mau naruh dompet dilaci. Sekalian mau ganti baju, mau tidur." Ucap nya cuek, mengambil dompet disaku belakang nya dan menaruhnya didalam laci. Dan mengambil satu buah baju, kemudian dia kenakan."Tumben-tumbenan aja kamu mau taruh dompet dilaci. Biasanya juga kamu taruh diatas meja." "Ya terserah aku dong Lit, ini dompet aku. Mau aku letakkan dan simpan dimanapun juga terserah aku. Lagian, didalamnya banyak uangnya. T
Lidah ku tiba-tiba saja kelu, hingga tak bisa menjawab ucapan Bu Jihan yang cukup membuatku terkejut ini."Bu Lita, gimana? Bisa tidak?" Tanya beliau lagi yang membuatku tersadar."Eh, saya pikirkan dulu ya Bu!" Jujur, sebenarnya aku benar-benar tertarik dengan tawaran Bu Jihan ini. Tapi, aku tak sanggup jika harus mengerjakan sendiri dengan target waktu yang sangat singkat. Apalagi, sebentar lagi nikahan Kaila. Yang sudah tentu pasti nya aku juga ikut rewang dirumah mertua. Meskipun kehadiran ku disana nanti juga tak dianggap, tak masalah. Yang penting aku juga harus tetap stor muka disana, agar para tetangga tak curiga."Iya Bu Lita, tapi saya mohon jangan lama-lama ya beri kepastian nya!""Iya Bu Jihan, siap! Sebentar ya saya ambilkan kerudung nya dulu Bu!" Ucap ku seraya masuk kedalam kamar Arina untuk mengambil dua sak kerudung pesanan Bu Jihan dan Bu Farandita.Karena barang yang berat, aku pun mengambil satu persatu. Dan sekarang, semuanya sudah siap diruang tamu."Oh iya Bu,