Share

2. kenyataan pahit

Sejak kejadian itu, hubungan ku baik dengan Mas Danu maupun keluarganya menjadi renggang. Bahkan, Mas Danu sering kali urung-uringan terhadapku. Tapi, aku tetap membiarkan saja. Mungkin dia juga bingung masalah uang untuk adiknya itu.

Toh kebingungan yang dia rasakan saat ini, juga karena ulahnya sendiri.

Dan sebagai langkah antisipasi, aku terpaksa menyimpan semua perhiasan ku ditempat yang aman.. karena memang sejak awal Mas Danu sudah mengincarnya. Aku takut, jika aku lengah, dia bakal mengambil ya dariku

"Ma, Ayah kemana?" Tanya Arina, putri kecil kami yang masih berusia lima tahun.

"Ayah kerumah Uti, Nduk!"

"Kok kita gak pernah diajak kesana ya, Ma?"

Pertanyaan gadis kecil ini membuat ku bingung untuk menjawab apa. Karena, aku juga tak mungkin mengatakan jika mereka sudah tak menyayangi kita. Itu sama saja, aku mempengaruhi putri kecilki untuk membenci keluarga Mas Danu.

"Emang Kakak mau kesana?" Tanya ku yang langsung dijawab anggukan kecil oleh nya.

Aku hanya menghela napas. Memang, jarak rumah kami tak seberapa jauh. Hanya terpaut kurang dari setengah jam saja dari rumah yang dulu diberlikan oleh orang tuaku ini. Karena dulu, mereka habis menjual separuh sawah mereka yang memang begitu lebar.

Alasanya, karena Bapak sudah tak mampu menggarap sawahnya yang sangat luas itu. Hingga, sebagian hasil uang nya dibagi dua untuk ku, dan juga adik ku, Ica.

Uang yang kudapat empat tahun lalu itu, lantas ku belikan rumah  yang terbilang sangat sederhana atas nama ku.  Yang penting, aku tak hidup serumah dengan mertua. Karena dulu sebelum punya rumah ini, aku dan Mas Danu tinggal ngontrak dirumah orang.

Sedangkan Ica, uang pemberian dari Bapak di belikan tanah lagi di daerah tempat tinggalnya. Karena suaminya sudah memiliki rumah, sebelum mereka menikah. Sebab, suami Ica bekerja disalah satu perusahaan BUMN, yang otomatis penghasilanya juga lumayan banyak.

Aku bersyukur, melihat adik kandung ku ini hidupnya makmur. Walaupun suaminya juga termasuk orang berada, tapi saat melakukan pesta pernikahan pun, dia tak mempermasalajkan jika diadakan secara sederhana seperti pernikahan dulu.

Beda dengan Adik kandung Mas Danu yang menurutku banyak gaya itu. Setiap kali membicarakan soal Kaila, entah kenapa aku merasa sakit hati.

"Ma, ayo... Katanya mau kerumah Uti!" Ucapan gadis kecil ini membuyarkan lamunan ku.

"Iya, kita ganti gaju dulu ya Nduk!"

"Yeee, horeee... Oke Ma!" 

Kami berdua berjalan menuju kamar, untuk mengganti pakaian. Sejujurnya, aku tak ingin sekali kesana. Tapi karena Arina yang meminta, dengan sangat terpaksa aku menurutinya. 

Memang Mas Danu benar-benar begitu kelewatan. Dia yang memiliki masalah sama aku, tapi amarahnya juga dia lampiaskan pada putri kandung nya yang sama sekali tak tau apa-apa ini.

Setelah selesai, aku mulai melajukan sepeda motor menuju kediaman Ibu dengan perasaan yang tak menentu. Aku kasian jika nanti Arina disana tak dianggap. Padahal, gadis kecil ini begitu sayang dengan mereka.

Kalau untuk aku, lebih baik aku didiamkan malah lebih baik. Ketimbang diajak ngobrol, tapi bahasan nya hanya uang, uang, dan uang.

Kadang aku juga heran sendiri. Mas Danu bilang jika calon suami si Kaila itu kaya raya, tapi kenapa tidak mau membantu biaya pernikahan mewah mereka? Atau jangan-jangan itu hanyalah akal-akalan mereka? Maklum, sampai detik ini juga aku masih belum pernah lihat calon suaminya.

Karena, saat prosesi lamaran mereka berlangsung, kebetulan aku dirumah kedua orang tuaku. Tapi lebih tepatnya, mereka sengaja tak memberi tahuku dari awal. Dari sini saja aku sudah bisa merasa, jika memang aku menantu yang tak dianggap.

Apa ini karena efek aku jarang sekali memberikan apa yang Ibu mau? Berbeda dengan Santi dan Deni yang begitu loyal pada beliau. Andai saja Mas Danu seloyal Deni, mungkin aku juga bakal bisa seperti Santi.

Boro-boro untuk memenuhi gaya hidup Ibu mertua. Orang untuk hidup ku dan Arina saja, aku juga harus ikut pontang panting mencari tambahan biaya untuk bertahan hidup.

*****

Sepeda motorpun terparkir tepat didepan halaman rumah Ibu mertua. Kulihat keadaan begitu sepi. Tapi, mobil Mas Dani juga sudah terparkir cantik disana. Mobil second, yang dia beli dari hasil bekerja nya dulu.

"Yuk Nduk, turun. Helmnya taruh sana aja.!" Ucapku sambil menunjuk meja kecil yang ada di depan rumah.

"Iya Ma...!"

Kami berdua pun melangkah menuju teras, dan melepas helm. Arina langsung duduk dikursi, sedangkan aku langsung berdiri diambang pintu untuk mengetuk pintu.

"Apa si Gandi sama sekali tak membantu biaya pernikahan nanti, Kai? Apa lagi katamu Gandi anak orang kaya. Masa' dia gak mau bantu?"

Terdengar suara Mas Danu yang sedang berbincang dengan Kaila. Sehingga membuatku urung untuk mengetuk pintu, guna bisa mendengar obrolan mereka.

"Kamu kenapa tanya seperti itu Dan? Apa kamu gak ikhlas bantu biaya pernikahan adikmu ini? Apa jangan-jangan kamu sudah terhasut dengan istrimu yang juga tak mau membantu Ibu?" Terdengar suara bentakan dari wanita yang melahirkan nya itu, dengan sedikit emosi

"Bukan gitu Bu, sudah pasti aku mau bantu. Tapi masalahnya, apa iya si Gandi sama sekali tak membantu sepeserpun? Aneh aja gitu menurutku. Aku dulu yang menikah secara sederhana aja juga ngasih uang dapur ke Lita, meskipun tak banyak sih!" Mas Danu juga nampaknya sedikit emosi 

"I-itu Mas, sebenarnya dia ada ngasih uang dua puluh juta. Cuman... Mmm, uda habis aku buat perawatan Mas. Kamu kan tau, kalau nanti aku harus tampil cantik diacara pernikahan ku nanti Mas!" Kilah nya

"Astaga Kai, Kai... Masa' uang gajimu masih belum cukup untuk biaya hidup mu sehari-hari?" Uacapan Mas Dani terdengar begitu kecewa. Sama seperti diriku yang ikut menahan geram dengan kelakuan adik iparku ini.

Tak habis pikir juga dengan pola pikirnya yang katanya pintar, tapi ternyata bobrok nya naudzhubillah 

"Kamu kenapa sih Dan, malah menyalahkan Kaila? Lagian itu kan hak dia mau menggunakan uang dari Gandi buat apa. Seharusnya kamu juga sebagai kakak, tetap menyediakan uang buat dia."

"Tapi Bu, aku juga uang dari mana? Ibu kan tau sendiri, jika semua gajiku sudah aku serahkan pada Ibu. Hanya kepotong untuk Lita sejuta, dan ongkos ku sejuta. Sisanya yang hampir lima juta lebih juga Ibu pegang semua."

Duuar!!!

Bagaikan disambar petir, aku begitu terkejut mendengar penuturan Mas Danu. Hingga tak terasa, butiran bening mengalir begitu saja membasahi pipi ini.

Tapi buru-buru aku hapus sebelum dia tau. karena aku tak mau terlihat lemah di depannya. yang justru akan membuat dia menjadi besar kepala.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status