Hujan mengguyur bumi kala langit malam hanya membagi kilat. Tak ada suara lain yang Hina dengar selain gemuruh guntur, derasnya air hujan yang menerjang daratan atau memantul di atap-atap rumah, serta langkah kakinya sendiri. Tangan mungilnya menggenggam payung kertas, produk toko tempatnya bekerja. Sepertinya dia harus cepat sampai tujuan karena lebatnya hujan membuat Hina takut payung kertas miliknya bisa saja robek. Sepanjang jalan Harmonie, Hina tak melihat ada orang-orang yang wara-wiri di sekitarnya. Mungkin mereka lebih memilih untuk berteduh di dalam rumah. Jika Hina tak mendapatkan tugas dari Yukiko untuk mengantarkan barang pesanan ke salah satu pelanggan, mungkin dirinya kini juga akan berteduh di dalam rumah. Tentunya, bersama keempat kakak seperguruannya. Bisa jadi sambil berbincang, tertawa, atau bermain api pada lilin. Ternyata begini rasanya sendiri tanpa mereka berempat, Hina mempercepat langkah. Dia mulai mengenali perasaannya yang ingin cepat-cepat sampai rumah ini
Jalan Kramat saat tengah malam tampak berbeda dari siang hari yang begitu ramai penuh pejalan kaki maupun orang berjualan. Kendaraan tak ada satu pun yang melintasi jalan selain oplet berwarna biru yang ditumpangi Fadjar dan Hinagi. Kedua penumpang terakhir dari kendaraan umum itu pun turun tepat di depan toko Banzai yang berseberangan dengan kedai kopi milik Poernomo. “Selamat malam, Tuan Fadjar,” Hinagi menganggukan kepala, dan turun dari oplet. Dengan langkah-langkah kaki kecilnya, dia berbalik memasuki toko. Fadjar yang tadinya hanya ingin menanggapi Hinagi dengan anggukan dan membalas mengucapkan selamat malam, segera tergerak melontarkan suatu pertanyaan, “Ah, Nona! Kau tinggal di toko Jepang ini?” calon dokter muda ini menunjuk toko Banzai yang gelap gulita. Bagai tersengat listrik, Hinagi merasa bodoh detik ini juga. Dia langsung menghentikan langkah kakinya. Tak seharusnya dia turun tepat di depan toko Banzai. Seharusnya, Fadjar tak boleh mengetahui tempat tinggalnya selama
“Di hari itulah, aku begitu yakin….. aku begitu yakin pada apa yang kaisar sampaikan kepada kami semua, para ksatria berpedang yang semula kami kira tak ada artinya lagi semenjak restorasi Meiji ini, bahwa dunia, kini dalam genggaman timur! Dalam genggaman Asia!” dengan suara agak menggertak bercampur gemetaran, Takeshi memandang Fadjar tanpa berkedip. Dia begitu sentimentil terhadap apa yang dia katakan, bayangkan, dan yakinkan. Benaknya kembali memutar rentetan kejadian saat tentara Nippon selalu berusaha menguasai berbagai sudut dunia. Terutama Asia. Bayangan itu hanyalah bunga tidur Takeshi dalam perjalanan menuju Batavia. Ada masanya, dalam keyakinannya, Asia akan menjadi benua yang begitu ditakutkan Eropa dan Amerika. Menurutnya, semesta sudah mensiratkan hal itu. Terbukti dari arah matahari terbit. Sang surya itu terbit di timur dan terbenam di barat. Asia berada di timur belahan bumi, sedangkan Eropa dan Amerika berada di barat belahan bumi. Saatnya Asia terbit setelah tertidu
Hideyoshi menatap genggaman tangannya pada sebilah pedang kokohnya. Cukup lama perhatiannya tertuju pada senjata baru kesayangannya ini. Jiwanya terasa terhisap ke dalamnya. Dia meraba ukiran pada pegangannya, lalu menjalar ke sebilah besi dari sisi tajam maupun tumpulnya. Dingin. Begitu menaklukan. Besi tipis hasil karya pengrajin katana ini begitu dingin dan menaklukan hati. Hideyoshi jadi penasaran dengan kondisi hati pengrajinnya pada waktu membuatnya. Sungguh mengingatkannya kembali pada udara malam pegunungan saat duel satu lawan satu sampai mati itu bergulir. Rasanya memang serupa. “Hi….de? Apakah kau siap?” karena menyadari Hideyoshi begitu lama memperhatikan setiap detail katana yang digenggamnya, Jin yang mungkin tak sabar untuk latihan duel dengan Hide menyapa. Nada bicaranya meragu. Mungkin Jin masih sungkan jika mengganggu jalan pikiran Hide saat ini. Padahal, tak ada salahnya jika dia memang ingin mencoba membuyarkan lamunan silam Hide yang kelihatannya belum bisa dit
Nara 1925 Papan Yayasan Yatim Piatu “Himawari” terjatuh ke tanah akibat kobaran api yang semakin menjalar. Di sudut kamar tidur, seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun hanya bisa memeluk lutut. Peluh membasahi kulit, bagaikan lilin yang mencair karena api yang menyala di sumbu. Kalau sudah terpojok seperti ini, memang tak ada yang dapat dilakukan selain menunggu lidah api menjilat nyawa. “Hideee! Hideeee!” suara pemilik panti terdengar di telinga mungil Hide. O bāchan alias nenek pemilik yayasan yatim piatu itu begitu mengkhawatirkan keselamatan anak-anak pantinya. Semuanya sudah berhasil dituntun keluar. Hanya satu orang yang entah di mana keberadaannya. Namanya Hide. Kegemaran dari anak yang usianya paling muda di panti ini adalah melamun. “Hideeee! Aku tahu kau tak senang berbicara! Tapi, aku mohon kali ini berteriaklah untuk membuatku tahu di mana keberadaanmu saat ini!” lengkingan suara O bāchan berusaha menembus asap-asap yang dihasilkan dari kobaran api. “Uhuk! U
Langkah kaki Fadjar gontai saat dirinya berdiri di depan bangunan kosong dengan pintu besar bergembok. Toko Jepang Banzai rupanya sudah tutup selama seminggu. Sungguh menjadi kenyataan yang sulit untuk diterima. Mungkin akan lebih gampang mengakui jika memang sejak dahulu kala, toko Jepang ini tidak pernah ada. “Ti….dak mungkin,” Betapa terkejutnya Fadjar atas fakta yang tersaji di hadapannya. Toko Banzai tutup, bukan sementara waktu, melainkan untuk selamanya. Tak ada lagi pembeli yang saling bercengkrama satu sama lain di depan pintu toko. Berlalu sudah pemandangan bagaimana para pelanggan pribumi, berdarah peranakan, maupun keturunan Eropa saling berinteraksi mengenai pembelian perabot rumah tangga. Tentara-tentara pribumi, maupun Hindia Belanda, berikut dengan para pegawai negeri sipil tak lagi dapat mencuci seragam di binatu yang juga disediakan oleh toko Banzai ini. Poernomo yakin, banyak orang yang kehilangan dengan keberadaan toko ini. Melihat tidak adanya kehidupan sekecil
Banyak kata terlontar.Banyak jalan diarahkan.Aku hanya menunduk dan menemukan bayanganku di daratan.Bahagia dapat berdiri tanpa sandaran.Kata didengar telinga.Jalan dilampaui kaki.Namun, suka-suka hati dan pikirku ingin mendengar dan melampaui yang mana.***Untuk kedua kawanku bernama mata....Janganlah kau sebegitu percayanya dengan apa yang kau lihat!Tempat-tempat itu....Kota-kota itu....Bagaimana jika hanya fatamorgana?Tak masalah jika kebangkitanmu tidak sempurna dan penuh goyah.Daripada kau terus terperosok di titik itu.Dunia ini penuh gravitasi.Jatuh itu ke bawah.Penangkalnya hanya....Bangkit!Karena bayanganmu di bawah kaki sana berharap kau ta
Permainan catur tak berpapan…. Apakah permainan bisa dilanjutkan jika papannya tak ada? Menurutku, tak masalah. Selama ada pion, kekuatan apa pun bisa dihimpun. Tak hanya dihimpun. Bisa juga dilawan. Pertanyaannya sekarang, siapa yang ingin dilawan? Apakah kawan? Bisa jadi. Karena bagaimana pun juga, permainan catur tak serupa dengan permainan dunia. Warnanya bukan putih suci, maupun hitam pekat seperti pada pion catur. Wajar jika jadi banyak kerancuan prasangka. -Kang Jang Hyuk- *** Ruang tamu kantor pemerintah Hindia Belanda kedatangan tamu sore ini. Bukanlah suatu hal yang kelewat membanggakan bagi calon dokter bernama lengkap Fadjar WongsoTjitro atas kehadirannya di ruangan berubin tegel ini. Pemuda asli pribumi ini justru begitu was-was. Dia merasa wajib untuk memenuhi panggilan dari pemerintah pusat, tetapi dia sendiri ketakutan akan sesuatu yang hendak disampaikan kepadanya. Derit pintu memancing Fadjar untuk menoleh ke arah pintu masuk. Seorang pelayan pribumi b