“Selamat malam, ini dengan Amara?” Suara asing pada panggilan nomor asing terdengar. Amara mengernyit.
“Iya, saya Amara.”
“Saya mau mengabarkan kalau Pak Handoyo beserta seorang wanita mengalami kecelakaan, sekarang berada di rumah sakit Pelita, kondisinya sangat kritis.”
Suara di sebearng sana membuat telinga Amara langsung berdenging. Amara langsung menjatuhkan telepon selularnya, tubuhnya langsung lemas seketika, wajahnya pucat.
“Ada apa, Mara?” tanya Maria saat melihat wajah pucat Amara.
Bibik sigap mengambilkan air minum untuk diberikan pada Amara.
“Diminum, Non,” kata Bibik lalu membantu Amara minum. Wajah Amara semakin pucat dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.
“Ayah kecelakaan,” kata Amara dengan suara bergetar, air matanya mengalir. Tidak mungkin ayahnya kecelakaan, meski saat pulang terlihat tidak baik-baik saja, tapi dia yakin ayahnya tidak mungkin kecelakaan.
“Kecelakaan? Di mana?” Maria tak kalah kaget, dia tadi sempat melarang Handoyo pulang karena setelah mendengar kabar tentang Amara yang diperlakukan zalim oleh Abian, lelaki itu tampak begitu pucat. Maria adalah orang yang paling merasa bersalah saat ini.
“Rumah sakit pelita.” Amara berusaha tegar, dia harus segera ke rumah sakit menemui orang tuanya.
Abian sejak tadi tidak juga pulang sedang telepon selularnya tidak aktif sejak siang. Maria akhirnya menghubungi Satria untuk mengantarnya ke rumah sakit.
“Sat, buruan pulang, antar mama ke rumah sakit.”
“Mama sakit?”
“Jangan banyak tanya buruan pulang.”
Maria lalu menghubungi suaminya dan memberitahukan kalau Handoyo sedang di rumah sakit Pelita, jarak tempat Atmaja lebih dekat ke rumah sakit dari pada di rumah, tidak mungkin dia menyuruh suaminya ke rumah untuk menjemputnya.
Tidak lama Satria datang, dia langsung mendekati Amara yang sudah begitu pucat.
“Kamu yang sakit?” tanya Satria.
“Amara tidak sakit, tapi ayahnya kecelakaan.”
“Om Handoyo?” Satria langsung berlari keluar, tadi dia sempat menawarkan untuk mengantar pulang Handoyo, tapi lelaki itu menolak.
.
Di rumah sakit Pelita, dua orang yang sedang kritis tadi salah satunya telah meninggal dunia, Herlina telah meninggal sesaat setelah dibawa ke rumah sakit, sedang Handoyo masih bertahan, dia memanggil nama Amara.
“Pasien yang kecelakaan berada di mana, Sus?” tanya Atmaja di bagian informasi. Setelah mendapat kabar dari istrinya, Atmaja langsung ke rumah sakit.
Suster itu melihat daftar pasien lalu menunjukkan kalau Handoyo berada di IGD.
Atmaja langsung berlari menuju IGD. Seorang perawat baru saja keluar dari ruang IGD.
“Sus, pasien kecelakaan?”
“Iya. Bapak keluarganya?”
“Iya.”
“Salah satu pasien meninggal, Pak, dan Pasien atas nama Handoyo sedang kritis, masih ditangani dokter.”
Atmaja langsung terduduk lemas, entah bagaimana perasaannya saat ini, yang jelas dia begitu merasa bersalah. Tangannya mengepal ingin sekali dia menumpahkan kekesalannya pada putranya. Dia tahu kalau Handoyo begitu kecewa dengan Abian.
“Bapak keluarga pasien?” tanya Dokter itu setelah keluar dari ruangan.
“Iya, Dok.”
“Silahkan Bapak masuk.”
Dokter itu tidak mengatakan apa-apa dia hanya menyuruh Atmaja masuk.
Handoyo terbaring dengan beberapa luka dan darah yang sudah mengering, suara napasnya terdengar seperti dengkuran. Atmaja langsung menghampiri lelaki yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya.
“Handoyo, ini aku, Atmaja,” Kata Atmaja tepat di telinga Handoyo.
Dokter dan seorang perawat juga berada di ruangan tersebut.
“At-ma-ja, sa … saya titip Amara.” Setelah mengatakan itu, Handoyo hilang kesadaran lalu dokter segera memeriksa Handoyo.
Setelah memastikan dengan melakukan pemeriksaan, dokter itu menghela napasnya. “Sudah meninggal,” katanya.
“Tidak mungkin, Dok.” Atmaja tidak mempercayainya, dia tidak percaya jika Handoyo beserta istrinya meninggal, bagaimana perasaan Amara nanti, dia tidak bisa membayangkan perasaan menantunya yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri.
.
Amara yang baru datang langsung berlari menuju ruang IGD setelah mendapat informasi dari suster. Satria dan Maria mengikuti Amara.
Wanita itu langsung menghentikan langkahnya saat melihat ayahnya telah ditutup kain, dia menggeleng cepat lalu menghambur ke jasad ayahnya.
“Ayah, jangan tinggalkan Amara.”
Ketiga orang yang berdiri di dekat jenazah itu menatap sedih pada Amara dan juga Handoyo, mereka ikut merasakan kesedihan Amara. Mereka merasa bersalah karena ulah Abian akhirnya membuat kedua orang tua Amara kecelakaan. Mereka tahu pasti kedua orang tua Amara sangat terluka mendengar kabar itu, bukan saja Handoyo, Atmaja dan Maria juga sangat marah.
“Seharusnya Mara ikut kalian, menjaga kalian dan kita bersama-sama di rumah kita.” Amara menangis sambil memeluk jasad ayahnya. “Jangan tinggalkan Mara, Ayah. Mara akan tinggal sama siapa.”
Sebelum kecelakaan yang merenggut nyawa Handoyo dan istrinya, setelah mendengar kabar mengejutkan yang disampaikan Dara, Handoyo sangat marah, dia mengajak Amara pulang. Dia seorang ayah yang merasa harga diri anaknya telah diinjak-injak, lima tahun itu bukan waktu yang singkat, lima tahun tidak disentuh itu pasti sangat menyakitkan. Apakah Amara seburuk itu hingga Abian tidak mau menyentuhnya. Jika tidak suka kenapa tidak mengembalikan padanya, itu yang dikatakan Handoyo sebelum pulang.
Kabar itu memang menyakitkan, tapi yang lebih menyakitkan saat Amara menolak diajak pulang, kenapa setelah lima tahun tidak dianggap masih saja mau menunggu.
“Mara masih sah istrinya Mas Abi, Mara tidak mau menjadi istri durhaka yang meninggalkan suami begitu saja,” kata Amara. Dia memang sudah berjanji akan bersabar sampai suaminya mau menerimanya, dia yakin akan hal itu.
“Sampai kapan kamu akan bertahan, apa kamu yakin suamimu tidak punya simpanan di luar.”
“Ayah, Mas Abi bukan orang seperti itu.”
Meskipun diperlakukan buruk, tapi Amara masih saja membela suaminya, wanita adalah harga diri suami dan tidak akan menceritakan keburukan suaminya.
Kecewa, itu sudah pasti, Handoyo lantas mengajak istrinya itu pulang dengan tubuh bergetar menahan amarah, jika saja Abian ada di sana mungkin dia akan memaki menantunya yang dianggap lelaki paling baik. Ternyata dibalik sikap lembut dan sopannya itu untuk menutupi kebusukannya, dan bodohnya Amara masih mau bertahan dengan lelaki seperti Abian. Handoyo merasa gagal telah memberikan putrinya pada lelaki buruk seperti Abian.
“Handoyo, maafkan anakku, aku janji akan menegurnya, beri dia kesempatan,” pinta Atmaja sebelum Handoyo pulang.
Handoyo bergeming lantas dia berjalan keluar tidak lagi mendengarkan permitaan maaf Atmaja.
“Jangan pulang dulu, kita bicarakan ini baik-baik,” pinta Maria, dia merasa bersalah pada dua orang itu.
Satria yang baru saja datang melihat Handoyo keluar dengan wajah memerah, meski mereka jarang bertemu, tapi Satria juga menghormati orang yang telah berjasa pada ayahnya. Satria menyalami Handoyo dengan istrinya.
“Pak Handoyo mau pulang?” tanya Satria sopan.
Handoyo tersenyum lalu mengangguk, dia pun langsung menarik tangan istrinya untuk segera keluar dari rumah itu.
Satria merasa ada yang aneh dari mertua kakaknya, dia lalu menawarkan diri untuk mengantar mereka, tapi Handoyo menolak.
Setelah memastikan Handoyo mengendarai mobil dengan aman, Satria masuk ke rumah, dia melihat Amara menunduk menangis ditemani Dara, keempat orang di rumah itu membisu, dia lalu memanggil Dara.
“Ada apa?” tanya Satria pada sepupunya. Saat ini mereka berdua sudah berada di teras rumah.
“Orang tua Amara sudah tahu semuanya.”
“Tahu apa?”
“Memangnya kamu tidak tahu kalau Amara tidak pernah disentuh kakakmu?”
“Apa maksudmu?”
“Abian tidak pernah menyentuh Amara selama pernikahannya.”
“Kenapa bisa?”
“Tidak tahu, tanya saja kakakmu.”
Satria mulai memahami maksud dari perkataan Dara, dia mengepalkan tangannya, dia yakin kalau kakaknya masih berhubungan dengan Felicia. Dia pun segera menuju mobilnya,
“Mau ke mana?” tanya Dara.
“Memberi pelajaran pada lelaki brengsek itu.”
Setelah dihubungi Dara untuk segera pulang, Abian berniat segera pulang setelah rapat, dia bergegas menuju mobilnya, entah masalah penting apa yang akan dikatakan Dara, yang jelas Abian menduga ada masalah dengan pemeriksaan pada Amara. Dalam pikirannya hanya satu, Amara bermasalah dengan alat reproduksinya, ini akan memudahkannya menceraikan Amara, dia tahu mamanya yang terus saja menuntut anak. Abian tersenyum penuh kemenangan, lima tahun yang dia jalani dengan Amara akan segera berakhir.Tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari belakang, siapa yang berani kurang ajar pada seorang pimpinan perusahaan. Dia pun mematung berusaha menebak siapa wanita yang telah berani melakukan itu padanya.“Aku datang, Sayang.” Suara wanita yang begitu dia rindukan terdengar sangat merdu, jantungnya langsung berpacu lebih cepat, dia langsung berbalik arah dan ….“Kapan datang, kenapa tidak mengabariku?” Abian memeluk Falicia begitu erat, diciuminya bertubi wajah cantik itu. Empat tahun Felicia berada di luar n
Amara duduk bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, air matanya terus saja menetes hingga jilbab yang dia kenakan basah. Para pelayat sudah kembali ke rumah masing-masing. Wanita malang itu begitu hancur, dia seperti tidak bisa melanjutkan hidupnya. Seandainya … jika boleh dia meminta waktu berputar kembali, dia akan ikut ketika ayahnya memintanya pulang, tapi dia bersikeras tetap bertahan dengan suami yang sebenarnya dia sendiri tidak yakin suaminya akan mau menerimanya.Kenapa dia bisa secinta itu pada Abian? Dia benci perasaan ini, dia benci menjadi lemah.Abian masih di sana menatap istrinya, istri yang tak dia anggap dengan perasaan yang, entah.Hampir dua jam Amara menangis di pusara kedua orang tuanya, akhirnya Abian mendekati Amara dan mengajaknya pulang.“Relakan mereka agar mereka tenang di sana.” Ucapan paling lembut yang selama lima tahun didengar Amara itu membuat Amara menoleh. Wajah tampan yang selalu dia rindui, wajah yang selalu dia khayalkan bersikap lembut pad
“Mas, aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang wanita lain, lebih baik kita berpisah agar tidak ada yang tersakiti.”“Apa maksudmu? Bukankah kamu mencintaiku?” Abian jelas tidak terima kalau Amara menolaknya, seharusnya bukan Amara yang menolak, tapi dirinya.Amara tersenyum sinis. “Cinta? Aku tidak pernah mencintaimu, Mas.”Ketiga orang itu menatap Amara tidak percaya, selama ini apa yang ditunjukkan Amara? Setiap hari Amara menunggu kedatangan Abian dan selalu patuh padanya . Mana mungkin Amara tidak cinta.“Apa maksudmu?” Jelas ini melukai harga diri Abiyan. Dia memang ingin berpisah dengan Amara, tapi tidak begini.“Aku tidak pernah mencintaimu, aku melakukan ini karena aku tidak mau menyakiti hati orang tuaku.” Kali ini Amara terisak. Memang cintanya telah mati, tapi selama lima tahun dia selalu memendam cintanya untuk Abian.“Oke, kalau begitu maumu” Abian menatap Amara lekat. “Amara Salsabila aku talak kamu, mulai sekarang kamu bukan istriku lagi.”Tubuh kedua orang tua itu lan
“Apa yang kalian lakukan?”“Satria menfitahku, Pa.” Abian masih mengepalkan tangannya, apalagi melihat adiknya tersenyum sinis padanya.Atmaja menatap Satria. Apa yang terjadi pada kedua putranya itu, memang mereka berdua jarang akur, tapi tidak pernah sampai berkelahi seperti ini.“Ini kenyataan, Pa. Anak kesayangan Papa ini menyewa kamar hotel bersama wanita.”“Astagfirullah.”Plak!Maria langsung menampar putra sulungnya mendengar ucapan Satria, dia sudah terpukul dengan masalah pernikahan Abian masih ditambah kenyataan tentang kelakuan buruk Abian,“Ini tidak benar, Ma, dia menfitnahku.”“Lali-laki dan perempuan dalam kamar hotel apa yang mereka lakukan?” Satria masih mengatakan apa yang dia lihat, dia sangat jijik mengingat kelakuan kakaknya. Kakak yang selama ini dia lihat sebagai lelaki baik-baik, tapi ternyata berani berzina.“Kami tidak melakukan apa-apa, kami hanya ….”“Sudah diam, sekarang juga bawa wanita itu ke sini, Papa tidak mau kalian melakukan hal kotor lagi.”“Tapi,
Kedua wanita itu menoleh ke arah Satria yang berkata begitu pedas pada Amara. Satria sudah membawa koper akan keluar dari rumah.“Satria, apa yang kamu katakan!” bentak Maria, dia sudah berkata baik-baik pada Satria untuk menjaga perasaan Amara.“Benar ‘kan, Ma, kalau Amara sudah menikah, kita tidak akan terbebani lagi, Ma.”“Satria jangan banyak bicara, cepat kamu pergi.” Maria mendorong tubuh anaknya untuk segera pergi, semakin anaknya itu bicara akan semakin menyakiti hati Amara.Amara menghela napasnya, apa mungkin dia telah membuat beban keluarga Atmaja, dan entah apa salahnya pada Satria, lelaki itu selalu berkata ketus padanya. Bahkan sejak lima tahun menjadi adik iparnya hanya sesekali bertanya pada Amara itupun terlalu ketus.“Sudah, jangan dengarkan Satria, dia memang seperti itu kalau bicara. Anak laki-laki ngomongnya pedes, heran Mama.” Maria menggerutu melihat ulah putranya.“Ma, Satria benar, aku hanya menjadi beban di sini, aku tidak apa-apa tinggal di rumah ayah, lagi
Malam itu malam pertama mereka, Abian sudah menahan mendekati Amara selama lima tahun, jelas dia ingin sekali merasakannya, semua laki-laki pasti begitu menginginkan itu setelah menikah.“Sayang, apa kamu sudah siap?” tanya Felicia manja dengan mulai nakal mengoda Abiyan.Sudah pasti Abiyan sangat siap lahir batin, dia sudah menunggu masa itu, apalagi selama lima tahun harus menahannya. Ah, sungguh bodoh dirinya.“Fel, kenapa perutmu agak besar gini?” Abian bertanya pada istrinya itu, dia pernah tanpa sengaja melihat Amara membuka bajunya dan perut Amara itu rata dan indah sampai tiga hari dia tidak bisa melupakan bentuk tubuh indah Amara, tapi kenapa tubuh Felicia beda dengan perut sedikit membesar.Felicia tampak gugup lalu dia memeluk Abian, mungkin dia malu. “Aku banyak makan tadi,” jawabnya lalu dia tidak membiarkan suaminya memperhatikan tubuhnya lagi, dia memberikan apa yang suaminya inginkan dan ingin memberikan pengalaman pertama suaminya hingga suaminya tidak pernah bisa ber
Sebuah mobil berhenti tepat di samping Amara berdiri, kaca mobil dibuka lalu seorang wanita memanggil Amara.“Amara, kamu mau ke mana?” tanya wanita itu.“Dara, aku mau pulang ke rumah ayahku.”“Aku antar.”Amara mendekat, sejak tadi dia menunggu taksi online masih belum ada respon. Dia lalu masuk ke mobil Dara dan segera membatalkan pesanan taksi.“Memangnya kenapa pulang? Apa Abi sudah bawa istrinya ke rumah?” tanya Dara.“Iya.” Amara memasang seat belt setelah duduk sempurnya di kursi depan. “Sebaiknya gitu, sih, kalau kamu tetap di sana, kamu akan sakit hati melihat mereka.” Wanita itu mulai menarik tuas mengatur persneling kemudian dalam gerakan pelan dan tenang, mobil meluncur bebas hambatan di jalan.“Iya, Ra, seharusnya aku pulang setelah dicerai Mas Abi.”Di sinilah, di tempat di mana Amara di besarkan dengan kasih sayang, seandainya waktu bisa berputar dia tidak akan menghabiskan waktunya sia-sia menikah dengan Abiyan, tapi semua yang terjadi adalah takdir.“Kamu sendirian?
“Ma, selamat, ya.” “Seharusnya kamu yang bersama Abi,” kata Maria sedih. Setiap kali mengingat pernikahan Abian dan Amara, dia semakin merasa bersalah. Maria memang senang punya cucu, tapi hatinya tidak bisa dibohongi bahwa sebenarnya yang dia inginkan adalah Amara yang menjadi ibu dari cucunya.Sangat jelas perbedaan keduanya, Amara begitu lembut dan juga sangat sopan, tidak pernah sekalipun Amara membantahnya, tapi Falicia tidak begitu bahkan para asisten rumah tangga di sana mengeluhkan ulah Felicia. Bisa dibilang mereka bagai bumi dan langit.“Tidak, Ma, Mas Abi itu memang jodohnya sama Felicia, ini yang Mas Abi inginkan.”“Kamu tidak apa-apa ‘kan?” Maria sebenarnya sangat khawatir dengan keadaan Amara.“Tante tenang saja, Amara sangat amat baik, dia tidak kurang apa pun dan besok Amara akan interview kerja.”“Masyaallah, selamat, ya, Nak,” ucap Maria tulus.Amara salah tingkah, dasar Dara malah bicara berlebihan.“Dara, jangan berlebihan gini,” bisik Amara.“Biar saja, mereka ha