“Mas, aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang wanita lain, lebih baik kita berpisah agar tidak ada yang tersakiti.”
“Apa maksudmu? Bukankah kamu mencintaiku?” Abian jelas tidak terima kalau Amara menolaknya, seharusnya bukan Amara yang menolak, tapi dirinya. Amara tersenyum sinis. “Cinta? Aku tidak pernah mencintaimu, Mas.” Ketiga orang itu menatap Amara tidak percaya, selama ini apa yang ditunjukkan Amara? Setiap hari Amara menunggu kedatangan Abian dan selalu patuh padanya . Mana mungkin Amara tidak cinta. “Apa maksudmu?” Jelas ini melukai harga diri Abiyan. Dia memang ingin berpisah dengan Amara, tapi tidak begini. “Aku tidak pernah mencintaimu, aku melakukan ini karena aku tidak mau menyakiti hati orang tuaku.” Kali ini Amara terisak. Memang cintanya telah mati, tapi selama lima tahun dia selalu memendam cintanya untuk Abian. “Oke, kalau begitu maumu” Abian menatap Amara lekat. “Amara Salsabila aku talak kamu, mulai sekarang kamu bukan istriku lagi.” Tubuh kedua orang tua itu langsung lemas, bukan ini yang mereka harapkan, tapi mau bagaimana lagi, mungkin jodoh mereka sampai di sini. Amara tersenyum, ternyata kesabarannya sebatas ini, dia tidak bersedih atau kecewa, justru dia merasa bebannya telah hilang, dia sudah menuruti permintaan ayahnya meskipun terlambat. “Amara, meski sekarang kamu bukan istri Abian, tapi kamu tetap putri kami. Papa tidak mengizinkan kamu pergi dari rumah ini,” tegas Atmaja. “Mara akan kembali ke rumah ibu, rasanya tidak enak kalau aku tetap di sini, Pa.” “Papa sudah berjanji pada ayahmu sebelum meninggal, Papa akan penuhi janji Papa pada ayahmu.” Amara masih bergeming, dia memang tidak tahu ucapan terakhir ayahnya karena saat dia datang ayahnya sudah meninggal. Dia tidak bisa membantah permintaan Atmaja. “Ra, kamu bisa tempati kamar kita, aku akan di kamar bawah,” ujar Abian. Lelaki itu tahu apa yang dipikirkan orang tuanya, dia juga merasa ikut bertangung jawab atas kehidupan Amara. Tidak mungkin dia membiarkan Amara hidup sendirian. “Tidak, Mas, aku tidak akan mengambil apa yang menjadi milikmu. Pa, Ma, apa boleh aku tinggal di kamar dekat kamar Bibik?” Mau tidak mau Amara harus tetap tinggal. Dia juga perlu mempersiapkan diri untuk bisa hidup mandiri. Lima tahun tanpa akses di luar pasti akan sulit baginya. “Jangan di situ, kamu putriku itu kamar pembantu. Kalau kamu tidak mau tetap di kamar Abi, kamu di kamar dekat kamar Satria.” Kamar itu juga berada di lantai atas, tapi lumayan jauh dari kamar Abian dan di kamar itu ada teras kecil menghadap ke jalan. Amara sering berada di sana saat sedang bosan menunggu suaminya datang. Amara akhirnya menerima permintaan mereka untuk tinggal di sana. Atmaja dan Maria sudah menjadi orang tuanya sejak lima tahun ini, dia juga tidak punya siapa-siapa di kota itu, saudara orang tuanya juga tidak berada di kota itu. *** “Ra, boleh aku peluk kamu untuk terakhir kali,” pinta Abian. Ada rasa sesal dalam hatinya setelah mengucap ikrar talak, bukan ini yang dia mau. “Maaf, mas, kita sudah bukan suami istri,” jawab Amara lalu tersenyum, “aku akan ambil barang-barangaku.” Abian menatap Amara, kenapa dia begitu cantik sekarang, entah kemana selama ini hatinya, tidak bisakah dulu dia melihat Amara dan membuka hatinya. “Maaf, Den, saya mau bantu Non Amara,” kata Bibik yang tiba-tiba saja sudah berada di depan pintu. Amara tadi meminta bibik menemaninya, dia tidak mau timbul fitnah jika berdua dengan Abiyan. Abian akhirnya membiarkan dua wanita itu mengambil barang-barang Amara. Tidak banyak pakaian Amara, wanita itu memang tidak suka berbelanja meski Abian selalu mengirim sejumlah uang sebagai nafkah. Seharusnya dia sangat beruntung karena meskipun dia tidak memberi nafkah batin, Amara tidak pernah meminta lebih, Amara selalu mengucapkan terima kasih saat dia sudah mengirim sejumlah uang sebagai nafkah. Amara juga tidak pernah melalaikan tugasnya sebagai seorang istri. “Mas, ini aku kembalikan, jumlahnya berkurang kemarin buat bayar pemakaman ayah dan ibu,” kata Amara sambil mengulurkan kartu debit yang lima tahun lalu dia berikan. “Itu hak kamu, tidak perlu kamu kembalikan.” Amara menggeleng lalu meletakkan kartu debit itu diatas nakas, “ini bukan hakku, Mas. Terima kasih selama ini sudah mau menjadi suamiku.” Ucapan Amara benar-benar membuat dadanya sakit, bagaimana mungkin Amara bisa berkata seperti itu padahal dia telah melakukan hal buruk pada Amara. Sungguh dia merasa menjadi lelaki yang sangat b*doh. Apa mungkin kehilangan Amara adalah hal paling b*doh dalam hidup Abian. Amara memasuki kamar yang sekarang resmi menjadi kamarnya, kamar itu selalu bersih karena dia selalu membersihkannya. Direbahkannya tubuhnya yang begitu lelah, setelah kematian orang tuanya Amara belum memejamkan matanya, pikirannya sangat kacau. *** “Aku sudah mentalak Amara,” kata Abiyan pada Felicia, rasanya dia tidak bersemangat hari ini. Terlebih setelah melihat kartu debit yang Amara kembalikan, ternyata Amara tidak pernah memakainya uang itu hanya berkurang untuk pemakaman orang tuanya kemarin. “Beneran? Akhirnya kita bisa bersatu. Kapan kamu kenalkan aku sama orang tuamu?” Felicia sangat antusias, dia pikir akan lama, tapi ternyata Abian sangat cepat memberi kabar itu. “Fel, tidak untuk saat ini, aku baru saja mentalak Amara tadi pagi dan kami belum mengurus surat cerainya.” “Kita bisa nikah secara agama, Mas, aku sudah tidak sabar ingin bersamamu.” “Tunggu setelah surat cerai turun.” “Biar pengacara papaku yang tangani, satu bulan pasti beres.” “Mana bisa.” “Dengan uang, apa yang tidak bisa.” “Terserah kamu saja.” Abian akhirnya membiarkan Felicia membantu perceraiannya, rasanya dia tidak sanggup melakukan sendiri karena ada rasa yang dia sendiri tidak mengerti. Entah kenapa sejak ikrar talak itu dia kepikiran terus pada Amara. *** “Kenapa kamu? Mikirin si br*ngsek itu?” tanya Satria saat melihat Amara duduk sendiri di teras lantai atas. Teras itu memang menghubungkan kamar yang dia tempati dengan kamar Satria. Amara tersenyum kecut, hubungannya dengan Satria tidak cukup baik, baginya Satria adalah lelaki angkuh, selama ini Satria bahkan tidak pernah menyapanya, tapi untuk apa, dia juga tidak pernah ada urusan dengan Satria. “Kamu itu wanita paling bod*h di dunia, lima tahu bertahan hanya sebagai pajangan. Abi itu punya pacar, pantas saja dia tidak menyentuhmu, dia sudah kenyang dengan pacarnya.” Satria menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi di teras itu. “Apa maksudmu, Mas Abi buka orang seperti itu.” Meski perlakuan Abian tidak baik padanya, tapi tetap saja dia membela Abian. Amara meyakini kalau Abian bukan orang seperti yang dikatakan Satria, yang dia tahu Abian adalah lelaki baik. Memang selama ini Abian tidak pernah menyentuhnya, itu mungkin sebagai wujud bahwa Abiyan menjaga perasaan kekasihnya. “Laki-laki dan perempuan di kamar hotel berdua, apa yang mereka lakukan?” satria tersenyum sinis, baginya Amara itu terlalu naif. “Atau jangan-jangan kamu tidak mengerti hal itu?” “Satria, jangan fitnah aku, ya!” Suara itu membuat Satria menoleh. Sejak kapan Abian berada di sana. Lelaki itu langsung mendekati Satria kemudian menarik Satria memberikan bogem pada adiknya. “Jangan fitnah aku sebelum kamu punya bukti.” Satu pukulan lagi melayang di pipi Satria. Amara berteriak, “ Apa yang kalian lakuan, berhenti!” “Kamu itu pezina, tidak pantas menjadi suami Amara.” Satria mengumpat. Bug! Abian memukul berkali-kali adiknya hingga Satria tersungkur. “Apa-apaan ini, berhenti!”Merasa tidak mendapat perlindungan dari keluarga, Felicia akhirnya memutuskan meninggalkan tempat tinggal orang tuanya. Apa yang bisa dia harapkan dari orang tuanya, sedang selama ini dia tidak pernah mendapatkan ketenangan di sana. Felicia memang pernah melakukan hubungan bebas, itu karena dia lepas dari pengawasan orang tua, orang tua tidak memberi contoh yang baik. Felicia sadar, dengan kebebasan yang dia jalani selama ini ternyata tidak membuatnya tenang, dia harusnya mengambil pelajaran setelah kejadian demi kejadian menyakitkan yang dia alami.“Tuhan itu maha pengampun, perbaiki kehidupanmu. Jika kamu manusia beragama, maka kembalikan kehidupanmu pada jalur yang benar.” Nasehat itu yang akhirnya membuat Felicia tinggal di sebuah kota kecil jauh dari kebisingan. Seorang wanita pekerja kebun memberinya tempat tinggal setelah dia sampai dan kebingungan akan tinggal di sana.Wanita paruh baya memakai jilbab panjang itu menyambutnya sangat baik, tapi rumah kecil itu hanya mempunyai s
“Pa, kenapa Satria masuk, sebegitu bencinya kah anak kita padaku?”Maria menatap sedih jejak putranya yang sesaat tadi justru meninggalkan mereka tanpa menyalami bahkan mempersilahkan masuk pun tidak. Hati ibu mana yang tidak terluka melihat perlakuan anaknya seperti itu. Ego sudah diturunkan, sesal sudah dirasa. Namun, apa yang di dapat? Apa anak itu ingin membalas perbuatannya. Sungguh, jika itu benar Maria akan bersimpuh di hadapan putranya itu untuk meminta maaf.Kesalahannya memang terlalu fatal, bukan hanya pada Satria saja tetapi juga pada Amara—wanita yang seharusnya dia jaga karena dia sudah berjanji di depan pusara dua orang yang paling berjasa di hidupnya itu, dua orang yang telah mengorbankan diri agar suaminya tetap hidup sampai sekarang, dia berjanji akan menjadi orang yang selalu melindungi Amara. Namun, apa yang dia lakukan pada anak itu, dia malah menjauhkan anak itu dari keluarganya.Maria mulai menggali hatinya, bagaimana dia bisa berlaku kejam hanya karena ingin m
Setahun sudah berlalu, anak-anaknya jarang datang, lebih lagi satria, sudah setahun anak bungsunya itu tidak berkunjung. Buah-buahan di keranjang yang selalu dikirim Satria melalui kurir sebagai obat rindu. Maria merindukan anak-anaknya, dia telah menuai apa yang telah dilakukan pada anak-anaknya.Abian selalu saja sibuk, tiap kali dia menelepon agar anaknya itu datang, selalu saja beralasan sibuk. Ya, Maria yang meminta Abian untuk memperbaiki kualitas hidup agar kehidupannya lebih baik. Abian memang semakin sukses, dia juga sudah merambah usaha di berbagai bidang termasuk bidang otomotif dan usahanya yang baru beberapa bulan dirintis sudah sangat besar mengalahkan usaha Satria.Maria mempehatikan semua kegiatan kedua anaknya. Abian lebih kompetitif dan semakin gila kerja hingga setahun lebih pernikahan belum juga dikaruniai anak. Sedang Satria tidak terlalu bersemangat dengan usahanya, Satria bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Perkebunan
“Satria, kamu kenapa?” Amara langsung menghampiri lelaki berkemeja biru navi itu. Wajah yang tadi cerah berubah suram, tangannya mengepal dan rahangnya mengeras.“Pergi ke rumah mama batal,” ujar lelaki itu.Amara menarik tangan suaminya membawa presensi lelaki itu untuk duduk di sofa dekat jendela. Dia tahu kalau Satria tidak sedang baik-baik saja, lelaki itu masih belum bisa mengendalikan emosinya. Yang Amara tahu emosi seseorang akan berkurang saat duduk, kalau belum juga reda maka berbaring, itu kenapa dia mengajak Satria duduk. Satria menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Embusan napas berat ke luar dari mulutnya lalu tangan besarnya meraup wajah kasar.“Kamu masih ingat beberapa kali kita gagal ke rumah Mama?” Lelaki itu menarik sudut bibirnya. “Mama memang tidak mau kita ke sana. Semua yang terjadi pada kita, musibah kecil yang kita lalui saat akan ke rumah mama hingga kita mengurungkan niat ke sana itu ulah mama. Mama yang merencanakan semuanya agar kita tidak ke sana.”
“Aku yakin Mama yang merencanakan semua ini.”“Diam kamu Abi.”Abian menggeleng melihat kelakuan ibunya yang sudah tidak bisa dia cerna dengan akal sehat. Entah kepercayaan apa yang tertanam dalam pikiran ibunya dari dulu hingga kini tetap berpikir primitive.“Makanya Mama itu belajar sama ustaz, bukan sama guru spiritual. Guru spiritual itu sama dengan dukun. Mama tahu seberapa besar dosa orang yang mendatangi dukun?”“Sudah, jangan ceramah. Salat saja bolong-bolong malah ceramahin Mama. Sana belajar agama dulu sebelum ceramah.”Abian lantas meninggalkan ibunya, dia tidak mau peduli lagi karena capek jika berdebat dengan ibunya. Sejak dulu saat dia memprotes kenapa ibunya selalu membedakannya dengan adiknya, selalu saja jawabannya bahwa Satria adalah anak pembawa sial yang harus disingkirkan.Apa mungkin ini yang dimaksud ibunya? Bukankah beberapa waktu yang lalu ibunya sudah menerima Satria?Semakin dipikir membuat Abian pusin sendiri. Biarlah itu menjadi masalah ibu dan adiknya, ya
“Kamu tahu ‘kan kalau sejak dulu Mama tidak terlalu peduli padaku?” “Bukan tidak peduli, Sayang. Orang tua itu punya cara berbeda mengungkapkan rasa sayangnya pada anak-anaknya. Mungkin bagi Mama kamu cukup mandiri hingga Mama tidak terlalu mengkhawatirkanmu dan terbukti ‘kan kamu bisa mandiri tanpa bantuan mereka.”Amara mengusap bahu suaminya lalu duduk di sebelah lelaki itu.“Itu salah satu alasan. Ada alasan lain yang membuat Mama tidak terlalu mempedulikanku. Mama yang bilang setelah kita periksa waktu itu dan aku mulai berpikir bahwa ini adalah karma yang keluargaku lakukan di masa lalu.” Lelaki itu menggusah napasnya kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.“Karma?” Amara mengerutkan keningnya lantas meraih tangan suaminya. “Dalam agama kita tidak ada yang namanya karma. Apa kamu pernah lihat orang jahat hidupnya senang terus? Itu karena balasan dari perbuatan manusia itu nanti saat manusia telah mati. Di dunia itu hanyalah ujian.”“Tapi, Ra. Kesalahan keluarga kami sa