Home / Rumah Tangga / Lima Tahun Tak Disentuh / Tidak Menghalangi Kebahagiaan Abian

Share

Tidak Menghalangi Kebahagiaan Abian

Author: Indira Hasya
last update Last Updated: 2023-10-10 09:08:22

 

 

Amara duduk bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, air matanya terus saja menetes hingga jilbab yang dia kenakan basah. Para pelayat sudah kembali ke rumah masing-masing. Wanita malang itu begitu hancur, dia seperti tidak bisa melanjutkan hidupnya. Seandainya … jika boleh dia meminta waktu berputar kembali, dia akan ikut ketika ayahnya memintanya pulang, tapi dia bersikeras tetap bertahan dengan suami yang sebenarnya dia sendiri tidak yakin suaminya akan mau menerimanya.

 

Kenapa dia bisa secinta itu pada Abian? Dia benci perasaan ini, dia benci menjadi lemah.

 

Abian masih di sana menatap istrinya, istri yang tak dia anggap dengan perasaan yang, entah.

 

Hampir dua jam Amara menangis di pusara kedua orang tuanya, akhirnya Abian mendekati Amara dan mengajaknya pulang.

 

“Relakan mereka agar mereka tenang di sana.” 

 

Ucapan paling lembut yang selama lima tahun didengar Amara itu membuat Amara menoleh. Wajah tampan yang selalu dia rindui, wajah yang selalu dia khayalkan bersikap lembut padanya. Apakah sekarang Amara senang? Tidak, rasa itu tiba-tiba hilang, tidak ada lagi rasa dalam hatinya setelah kepergian orang tuanya.

 

Amara mengusap air matanya lalu dia berjalan tanpa mau menerima uluran tangan suaminya. Mati rasa. Itu yang dia rasakan saat ini pada Lelaki bernama Abian Putra Atmaja. Lelaki yang sebulan lagi genap lima tahun menjadi suaminya, lelaki yang sudah menorehkan luka teramat dalam. Kesabarannya tiba-tiba saja menguap bersama jasad orang tuanya yang telah terkubur di sana.

 

“Ra, maaf,” kata Abian. Lelaki itu masih bertahan menemani Amara, dipeluknya tubuh Amara untuk pertama kalinya.

 

Mungkin jika Abian melakukan itu sebelum ayah dan ibunya meninggal, Amara adalah wanita paling bahagia di dunia ini, tapi pelukan yang selalu dia dambakan kini hambar, dia tidak merasakan apa pun dari pelukan itu. Amara hanya diam menyesali apa yang telah dia putuskan. Keputusan yang mengakibatkan orang tuanya meninggal.

 

Dan akhirnya malam ini untuk pertama kalinya Abian menemani Amara dalam satu ranjang. Dia selalu menawarkan bantuan, tapi Amara menolak.

 

“Ra, makan ya?”

 

Amara menggeleng, dia menelungkupkan kepalanya di bantal.

 

“Ra, kamu harus makan nanti kamu sakit.”

 

“Apa pedulimu, Mas. Bukankah kamu senang jika aku sakit lalu meninggal dan kamu tidak perlu lagi mencari alasan untuk menceraikanku.” Amara berkata sinis, ini adalah ucapan yang sebenarnya selalu ada dibenaknya.

 

“Ra, kamu jangan begini, aku tidak akan meninggalkan kamu dalam keadaan seperti ini.”

 

Amara menarik ujung bibirnya mendengar ucapan itu, itu pasti pernyataan omong kosong yang hanya menunjukkan simpatik saja, lelaki itu pasti tidak tulus.

 

*** 

 

“Ma, aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.”

 

“Apa maksudmu?”

 

“Benar kata ayah, buat apa aku bertahan dengan lelaki yang tidak mencintaiku.” Amara menunduk, air matanya menetes kembali. Sakit, bukan karena dia sudah tidak sanggup bersabar lagi, tapi cintanya sudah hilang. 

 

Kemarin dia masih sangat berharap dan akan menunggu hingga Abiyan mau menerimanya, tapi tidak untuk sekarang, cintanya untuk Abian telah hilang bersamaan dengan penyesalan. Sungguh, hati itu begitu cepat berubah.

 

“Amara, kamu jangan begini, kami akan meminta Abi untuk menerimamu.” Maria begitu malu pada memantunya, dia sudah berpikir buruk pada Amara, tapi ternyata putranya yang bersalah. Seharusnya dia mempertanyakan tentang anak pada Abian, bukan pada Amara.

 

“Tidak perlu, Ma. Mas Abi berhak bahagia, aku tidak akan menghalangi kebahagiaannya, biar aku pergi dari sini.”

 

“Tidak bisa, kamu tidak boleh pergi dari sini apa pun yang terjadi, kamu akan tetap menjadi putri kami. Jangan biarkan kami mengingkari janji pada ayahmu, Nak.” Atmaja yang sedari tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka akhirnya angkat bicara, dia sudah berjanji pada Handoyo akan menjaga Amara di akhir hidup sahabatnya itu. 

 

“Ma, panggil Abi, kita perlu memicarakan masalah ini.”

 

Maria bergegas ke lantai atas memanggil putra sulungnya. Samar-samar dia mendengar Abian melakukan panggilan telepon. Panggilan ‘Sayang’ yang Abian ucapkan pada seseorang dari panggilan telepon membuat Maria marah. Maria langsung menarik telepon selular Abian dan melemparnya ke lantai hingga retak. Seperti itulah hatinya saat ini. 

 

“Apa yang kamu lakukan!” Wajah Maria merah dan dadanya bergemuruh, panas. Anaknya itu telah berlaku zalim pada memantunya, dia merasa telah gagal mendidik Abian.

 

“Ma, kenapa melempar hape-ku?” Abian sangat kesal dengan mamanya yang tiba-tiba datang mengabil telepon selularnya.

 

“Itu tidak cukup, seharusnya apa yang mama lakukan lebih dari ini.” Maria lalu menginjak telepon selular itu, dia menumpahkan kekesalannya pada benda tak berdosa itu.

 

“Ma.”

 

“Cepat turun temui papamu.” 

 

Maria memegang dadanya yang terasa nyeri, bagaimana mungkin disaat Amara hancur, Abian malah menelepon wanita lain. Sungguh anak itu tidak punya perasaan. 

 

Setelah Abian keluar dari kamarnya, Maria memeriksa kamar itu. Dia menuju ruang kerja Abian yang menyatu dengan kamar itu, dadanya semakin sesak melihat kenyataan yang ada. Di ruang yang seharusnya dijadikan tempat bekerja terdapat ranjang kecil. Ah, kenapa dia tidak menyadari sejak lama, bahkan Maria tidak pernah memeriksa kamar anaknya. Sungguh, jika waktu bisa diulang, dia akan menutup ruang kerja itu agar Abian satu ruangan dengan Amara.

 

“Ya, Allah, kenapa bisa begini. Abian, kamu telah zalim sama istrimu.”

 

Maria mengusap air matanya, bagaimana Amara bisa menjalani pernikahan itu. Amara tidak pernah kemana-mana, tapi dia bisa menutupi kesedihannya. Selama ini Amara tidak pernah keluar dari rumah, saat ke rumah orang tuanya selalu Maria yang mengantar, sedang Abian juga tidak pernah mengajak Amara. Kenapa dia sampai tidak menyadarinya.

 

Tatapan Amara kosong, tak ada lagi tangis tak ada lagi harap. Dia sudah memutuskan untuk berpisah. Tempatnya bukan disini, bukan di rumah ini dan bukan juga di hati suaminya. 

 

“Apa kalian masih mau meneruskan pernikahan ini?” Atmaja menatap keduanya lalu menghela napas panjang.

 

“Pa, jangan begini, Abi harus memperbaiki pernikahan mereka, Abi harus memberikan hak pada Amara,” sahut Maria sembari berjalan menuruni anak tangga.

 

“Amara berhak bahagia, kita tidak bisa mencegahnya, biarkan mereka mengambil keputusan.” Tegas, Atmaja ingin keputusan mereka tidak memberatkan salah satunya, dia tidak ingin memaksakan pernikahan yang tidak sehat itu.

 

Kedua orang tua itu akhirnya diam menunggu keputusan mereka berdua.

 

“Aku tidak ingin bertahan, Mas Abi berhak bahagia bersama wanita yang dicintai,” kata Amara dengan masih menatap kosong.

 

Abian salah tingkah, dia duduk dengan gelisah. 

 

“Nak, tapi kami sudah berjanji pada orang tuamu,” kata Atmaja.

 

“Aku tidak mau menghalagi kebahagiaan mas Abi, Pa.”

 

“Ya Allah, Amara, kenapa kamu seperti ini, tolong beri kesempatan pada Abi.” Wanita paruh baya itu berkata penuh harap.

 

“Ma, biarkan Amara menganbil keputusan. Dan kamu Abi, apa yang kamu inginkan dari pernikahan ini, kamu ingin bertahan atau berpisah?” Kini Atmaja beralih pada Abiyan yang sedari tadi hanya diam saja.

 

“Aku akan mencoba,” jawab Abiyan.

 

Amara menoleh lalu menatap lelaki di sampingnya dan tersenyum.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei anjing koq harus menumbalkan nyawa ortu mu baru kau sadar, anjing!!! 5 th g disentuh suami dan yetap bertahan dg alasan cinta. kau sdh tidak waras dan sakit jiwa, anjing!!! makan tu cinta mu itu, anjing!!!
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
nanti kamu akan menyesal sampai mati Abi karena kamu sudah membuang BERLIAN demi batu kubur perempuan yang sudah nggak perawan itu DAJJAL
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Lima Tahun Tak Disentuh   Terima Kasih, Sayang

    Merasa tidak mendapat perlindungan dari keluarga, Felicia akhirnya memutuskan meninggalkan tempat tinggal orang tuanya. Apa yang bisa dia harapkan dari orang tuanya, sedang selama ini dia tidak pernah mendapatkan ketenangan di sana. Felicia memang pernah melakukan hubungan bebas, itu karena dia lepas dari pengawasan orang tua, orang tua tidak memberi contoh yang baik. Felicia sadar, dengan kebebasan yang dia jalani selama ini ternyata tidak membuatnya tenang, dia harusnya mengambil pelajaran setelah kejadian demi kejadian menyakitkan yang dia alami.“Tuhan itu maha pengampun, perbaiki kehidupanmu. Jika kamu manusia beragama, maka kembalikan kehidupanmu pada jalur yang benar.” Nasehat itu yang akhirnya membuat Felicia tinggal di sebuah kota kecil jauh dari kebisingan. Seorang wanita pekerja kebun memberinya tempat tinggal setelah dia sampai dan kebingungan akan tinggal di sana.Wanita paruh baya memakai jilbab panjang itu menyambutnya sangat baik, tapi rumah kecil itu hanya mempunyai s

  • Lima Tahun Tak Disentuh   Menyambut Keluarga

    “Pa, kenapa Satria masuk, sebegitu bencinya kah anak kita padaku?”Maria menatap sedih jejak putranya yang sesaat tadi justru meninggalkan mereka tanpa menyalami bahkan mempersilahkan masuk pun tidak. Hati ibu mana yang tidak terluka melihat perlakuan anaknya seperti itu. Ego sudah diturunkan, sesal sudah dirasa. Namun, apa yang di dapat? Apa anak itu ingin membalas perbuatannya. Sungguh, jika itu benar Maria akan bersimpuh di hadapan putranya itu untuk meminta maaf.Kesalahannya memang terlalu fatal, bukan hanya pada Satria saja tetapi juga pada Amara—wanita yang seharusnya dia jaga karena dia sudah berjanji di depan pusara dua orang yang paling berjasa di hidupnya itu, dua orang yang telah mengorbankan diri agar suaminya tetap hidup sampai sekarang, dia berjanji akan menjadi orang yang selalu melindungi Amara. Namun, apa yang dia lakukan pada anak itu, dia malah menjauhkan anak itu dari keluarganya.Maria mulai menggali hatinya, bagaimana dia bisa berlaku kejam hanya karena ingin m

  • Lima Tahun Tak Disentuh   Kehidupan Berbeda

    Setahun sudah berlalu, anak-anaknya jarang datang, lebih lagi satria, sudah setahun anak bungsunya itu tidak berkunjung. Buah-buahan di keranjang yang selalu dikirim Satria melalui kurir sebagai obat rindu. Maria merindukan anak-anaknya, dia telah menuai apa yang telah dilakukan pada anak-anaknya.Abian selalu saja sibuk, tiap kali dia menelepon agar anaknya itu datang, selalu saja beralasan sibuk. Ya, Maria yang meminta Abian untuk memperbaiki kualitas hidup agar kehidupannya lebih baik. Abian memang semakin sukses, dia juga sudah merambah usaha di berbagai bidang termasuk bidang otomotif dan usahanya yang baru beberapa bulan dirintis sudah sangat besar mengalahkan usaha Satria.Maria mempehatikan semua kegiatan kedua anaknya. Abian lebih kompetitif dan semakin gila kerja hingga setahun lebih pernikahan belum juga dikaruniai anak. Sedang Satria tidak terlalu bersemangat dengan usahanya, Satria bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Perkebunan

  • Lima Tahun Tak Disentuh   Pantas Mendapat Balasan

    “Satria, kamu kenapa?” Amara langsung menghampiri lelaki berkemeja biru navi itu. Wajah yang tadi cerah berubah suram, tangannya mengepal dan rahangnya mengeras.“Pergi ke rumah mama batal,” ujar lelaki itu.Amara menarik tangan suaminya membawa presensi lelaki itu untuk duduk di sofa dekat jendela. Dia tahu kalau Satria tidak sedang baik-baik saja, lelaki itu masih belum bisa mengendalikan emosinya. Yang Amara tahu emosi seseorang akan berkurang saat duduk, kalau belum juga reda maka berbaring, itu kenapa dia mengajak Satria duduk. Satria menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Embusan napas berat ke luar dari mulutnya lalu tangan besarnya meraup wajah kasar.“Kamu masih ingat beberapa kali kita gagal ke rumah Mama?” Lelaki itu menarik sudut bibirnya. “Mama memang tidak mau kita ke sana. Semua yang terjadi pada kita, musibah kecil yang kita lalui saat akan ke rumah mama hingga kita mengurungkan niat ke sana itu ulah mama. Mama yang merencanakan semuanya agar kita tidak ke sana.”

  • Lima Tahun Tak Disentuh   Kehidupan Abian dan Satria

    “Aku yakin Mama yang merencanakan semua ini.”“Diam kamu Abi.”Abian menggeleng melihat kelakuan ibunya yang sudah tidak bisa dia cerna dengan akal sehat. Entah kepercayaan apa yang tertanam dalam pikiran ibunya dari dulu hingga kini tetap berpikir primitive.“Makanya Mama itu belajar sama ustaz, bukan sama guru spiritual. Guru spiritual itu sama dengan dukun. Mama tahu seberapa besar dosa orang yang mendatangi dukun?”“Sudah, jangan ceramah. Salat saja bolong-bolong malah ceramahin Mama. Sana belajar agama dulu sebelum ceramah.”Abian lantas meninggalkan ibunya, dia tidak mau peduli lagi karena capek jika berdebat dengan ibunya. Sejak dulu saat dia memprotes kenapa ibunya selalu membedakannya dengan adiknya, selalu saja jawabannya bahwa Satria adalah anak pembawa sial yang harus disingkirkan.Apa mungkin ini yang dimaksud ibunya? Bukankah beberapa waktu yang lalu ibunya sudah menerima Satria?Semakin dipikir membuat Abian pusin sendiri. Biarlah itu menjadi masalah ibu dan adiknya, ya

  • Lima Tahun Tak Disentuh   Pengasingan

    “Kamu tahu ‘kan kalau sejak dulu Mama tidak terlalu peduli padaku?” “Bukan tidak peduli, Sayang. Orang tua itu punya cara berbeda mengungkapkan rasa sayangnya pada anak-anaknya. Mungkin bagi Mama kamu cukup mandiri hingga Mama tidak terlalu mengkhawatirkanmu dan terbukti ‘kan kamu bisa mandiri tanpa bantuan mereka.”Amara mengusap bahu suaminya lalu duduk di sebelah lelaki itu.“Itu salah satu alasan. Ada alasan lain yang membuat Mama tidak terlalu mempedulikanku. Mama yang bilang setelah kita periksa waktu itu dan aku mulai berpikir bahwa ini adalah karma yang keluargaku lakukan di masa lalu.” Lelaki itu menggusah napasnya kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.“Karma?” Amara mengerutkan keningnya lantas meraih tangan suaminya. “Dalam agama kita tidak ada yang namanya karma. Apa kamu pernah lihat orang jahat hidupnya senang terus? Itu karena balasan dari perbuatan manusia itu nanti saat manusia telah mati. Di dunia itu hanyalah ujian.”“Tapi, Ra. Kesalahan keluarga kami sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status