Share

Lima Tahun Tanpa Nafkah
Lima Tahun Tanpa Nafkah
Author: Ratu As

Bab 1

Author: Ratu As
last update Last Updated: 2023-05-05 08:19:31

 (Lima Tahun Tanpa Nafkah Lahir Batin)

"Sadarlah, Garwita! Nasibmu itu ibarat bergantung tapi tak bertali!" 

Garwita mematung ketika disentak oleh Nanto, bapaknya. 

"Tak diberi nafkah, tidak pula diceraikan, dan yang jelas tak tahu pula di mana batang hidungnya sekarang!" Nanto duduk jegang sembari menyesap asap rokok. 

Sudah biasa Garwita mendengar keluh kesah dan gerutuan bapaknya. Dia yang duduk di teras beralaskan tikar masih terdiam sambil tangannya memisahkan pucuk daun singkong dengan daun yang lebih tua. Niatnya ingin dimasak santan esok pagi. Namun, Matanya mulai berembun. 

"Menikahlah lagi, mumpung kamu masih muda!" 

Garwita mendongak, air mata yang sedari tadi ditahan kini tak mampu lagi dia bendung. "Ndak, Pak, Garwita masih mau menunggu Mas Ray." 

"Menunggu? Sampe kapan? Kamu saja ndak tahu dia masih hidup atau sudah mati kan?" Nanto mematikan puntung rokok, lalu berdiri ingin beranjak. 

"Mas Ray pasti masih hidup!" Balas Garwita dengan penuh keyakinan. Diusapnya pipi yang sudah kadung basah lalu berlari ke arah kamar. 

Garwita menyibak tirai lalu membuka jendala, tangannya langsung bertumpu di kosen kayu. Sementara tatapannya sendu ke arah matahari yang hampir tenggelam sepenuhnya, hanya menyisakan sinar kemerahan dengan langit yang berubah hitam. 

Terlalu sabar wanita itu menunggu suaminya yang sudah pergi hampir lima tahun belakangan. Mengalahkan rekor Bang Toyib yang tiga kali puasa tiga kali lebaran tak pulang, bukan? Mungkin terdengar bodoh karena dia masih bertahan tanpa kepastian. Jangankan kabar, nafkah pun tidak diberi. Selama ini dia bekerja memeras keringat sendiri demi memenuhi kebutuhan buah hati yang ditinggal pergi sejak dalam kandungan. 

"Ibuuu!" panggil seorang anak kecil yang datang dengan memakai sarung yang diselempangkan ke pundak dan peci di kepalanya. 

Mendengar suara kecil itu, buru-buru Garwita mengelap air matanya dengan ujung baju. 

"Sudah pulang?" tanya Garwita penuh perhatian. 

"Iya, tadi ngajinya cuma sebentar," celoteh anak lelaki itu. "Yang ini!" tangannya lincah menunjuk deretan huruf hijaiah. Garwita mengangguk paham lalu mengajak anaknya keluar kamar.

Dilihatnya wanita paruh baya yang baru saja melipat mukena berwarna putih kekuningan dan menaruhnya di atas dipan bambu. Dia baru saja selesai salat jamaah dan menunggui cucunya selesai mengaji di musola.

"Mau makan dulu, Mak?" Garwita dan anaknya mendekat. 

"Nanti saja. Bapakmu mana?" tanya Ijah, ibu kandung Garwita. 

Garwita menggeleng. "Mungkin pergi ngobor," balasnya tak yakin. Tapi kebiasaan Nanto jika malam memang ngobor--mencari ikan atau belut di malam hari dengan memakai senter atau obor. 

Ijah duduk di dipan lalu mengambil ilir dan mengibas-ngibaskan. Hawa gerah membuat badannya penuh peluh. 

"Ayo, Bu, makan!" ajak Gandra, anak kecil yang sekarang berlari ke arah dapur lebih dulu. 

Meski makan dengan nasi adem yang ditanak pagi tadi, tapi Gandra tetap terlihat lahap. Garwita tersenyum kecil melihat anaknya yang sekarang sudah bisa makan sendiri tanpa suapan darinya. Gandra semakin mandiri dan itu membuat Garwita bangga, juga merasa lega. Karena jika ditinggal pergi kerja, anaknya sudah bisa melakukan apa pun sendiri tanpa harus merepotkan Ijah.

*** 

Matahari sudah beranjak dan mulai meninggi, membuat hawa panas semakin terasa membakar kulit. Garwita buru-buru menyelesaikan pekerjaannya agar waktu istirahat siangnya tak terpotong. 

Dipilihnya lagi oyong yang ukurannya sudah lumayan besar untuk dipanen. Tugas hari ini dari juragan Jarwo. Tanaman itu dipilih untuk musim ini karena mudah tumbuh dan selalu laku jika dibawa ke pasar induk.

Garwita tinggal di kampung, letaknya sangat pelosok. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Kampung Karang Mencil berada di tengah-tengah, terkepung oleh aliran sungai. Jadi, jarak paling dekat untuk ke kota harus dilalui dengan memakai perahu. Bisa juga lewat jembatan, tapi butuh waktu yang lebih lama.

"Wit! Wita! Garwita!" Suara panggilan dari seseorang membuat wanita berkerudung coklat itu menoleh. 

"Mas Kala?" Mata Garwita berbinar melihat anak juragan sekaligus teman mainnya semasa kecil datang. "Kala--jengking!" lanjutnya dengan nada melengking riang.

"Yoi!" jawab lelaki berkulit kuning langsat dengan lesung pipi di sebelah kanan. 

Garwita terkekeh pelan saat mendapati lelaki itu datang menyapanya. "Pulang, Mas? Katanya beberapa bulan lagi wisuda? Kok, sudah pulang sekarang?" tanya Garwita penasaran. 

"Ish, kenapa? Orang ingin pulang." Santai Kala menjawab. Padahal Kala pulang karena mendengar ibunya sakit, juga ingin melihat Garwita yang selalu memenuhi otaknya. Bayangan wanita itu selalu saja hadir, seakan-akan berlomba ingin paling eksis dia antara tugas kuliah dan pikiran ruwet yang lain.

Kala melihat ke arah ember yang sudah terisi penuh dengan oyong, tanpa diminta dia menjunjungnya lalu memasukkan oyongnya ke dalam karung yang lebih besar. 

Garwita tak melarang anak juragannya itu membantu dengan suka rela. Pasalnya sudah biasa, ketika lelaki itu pulang kampung dan membantu sedikit-sedikit pekerjaan Garwita yang diperintahkan oleh  juragan Jarwo. 

"Masih banyak yang belum dipanen, Wit?" 

Garwita menggeleng. "Tinggal selarik itu, Mas!" tunjuk Garwita ke arah tanaman di bedengan. 

"Oh, sedikit ya?" 

"Iya, makanya juragan cuma nyuruh aku doang. Belum banyak yang siap panen, masih kecil-kecil. Jadi, pekerja yang lain disuruh ke sawah buat menyangi rumput," ujar Garwita. 

Kala mengangguk paham. Dia berjalan ke arah tanaman yang belum di panen, dilihatnya dengan jeli daun oyong yang berlubang-lubang. Juga beberapa oyong yang terdapat bintik dan lubang kecil kecoklatan, hampir membusuk. "Banyak hamanya juga, ya?" Kala merunduk dan mencolek oyong yang hampir busuk. 

"Ini sudah disemprot?" tanya Kala yang dimaksudkan penyemprotan pestisida. 

Garwita mengangguk. "Kalau enggak salah dua minggu lalu sama Kang Bejo." 

"Oh." Kala tak banyak bertanya lagi, dia tahu jika itu membuat pekerjaan Garwita tak selesai-selesai sementara setelah ini dia ingin mengajak wanita itu untuk bersantai sejenak.

Sambil menunggu Garwita selesai memetik oyong, Kala berjalan-jalan di sekitaran kebun yang saat ini ditanami dengan banyak palawija. 

***

"Nah, yang sebelah itu, Mas! Kayaknya masih degan!" ujar Garwita berteriak dari bawah. Kala mencoba meraih kelapa muda yang dimaksud lalu memuntir agar terlepas dari papahnya.

Dua kelapa hijau muda sudah jatuh, Garwita mengambilnya dan membawanya ke bawah pohon mangga yang terletak di tepi tanggul. 

"Kayaknya banyak airnya, nih!" Kala menggoncang-goncangkan kelapa yang dia petik sendiri. 

Dikupasnya bagian ujung dan membuat lubang di tengah. Dengan tak sabar, Kala langsung menenggak air di dalam buah kelapa.

"Kamu tahu, Wit? Kelapa muda di sini tuh yang paling segar!" ucap Kala dengan penuh rasa puas. 

"Ya paling segar, soalnya gratis tinggal ambil. Coba kalau di kota, kudu bayar dulu kan?" Mendengar jawaban Garwita, Kala langsung tertawa lepas. 

Keduanya terlihat begitu akrab, meski  setahun tak bertemu. Kala yang melanjutkan kuliah di kota, jarang pulang. Paling ketika lebaran atau libur kuliah. Namun, mereka berdua sedari kecil memang sudah sering bersama. Bahkan ketika Kala masih ingusan, Ijah yang dipercaya menjaganya karena ibunya Kala kesundulan--punya anak yang jaraknya tak jauh. 

"Oiya, Gandra sama Mak Ijah?" tanya Kala ketika sadar sedari tadi anak Garwita tak terlihat. Padahal dulu setahunya sering dibawa Garwita ikut bekerja. 

"Kamu belum tahu? Tahun ini anakku sudah masuk sekolah!"

"Dia sudah TK?" Kala antusias menanggapi. 

"Bukan, masih PAUD, kan baru empat tahun!" 

"Oh." Kala kembali menenggak air degan lalu melihat ke arah jam di tangan. "Jam berapa dia pulang?" 

"Sekarang jam berapa?" Garwita balik tanya. 

"Jam sepuluh, kurang lima belas menit," jawab Kala. "Kebiasaan enggak bawa jam!" 

"Kan ada suara beduk zuhur yang mengingatkan waktunya istirahat nanti!" Garwita terkekeh-kekeh lagi. Mungkin hanya bersama Kala dia bisa sebebas dan senyaman itu melengkungkan bibirnya.

"Hah, dasar!" Kala berdiri lalu mengibaskan baju yang tekena debu saat duduk tadi. "Aku akan menjemput Gandra, dia pasti akan kaget melihatku!" 

"Kamu mau jemput Gandra? Tidak usah, aku sudah berpesan pada Emak untuk menjemputnya," cegah Garwati. 

Kala tetap kekeh ingin menjemput anak kecil yang sudah dia rindukan selama di kota. Bahkan ada hadiah yang sudah Kala siapkan untuk anak itu juga untuk ibunya si anak, hanya saja kejutan itu tak ingin dia berikan langsung ke Garwita. 

"Tunggu, Mas! Kapan kamu balik ke kota?" Garwita menahan Kala sebelum beranjak pergi. 

"Mmm, mungkin lusa? Kenapa?" 

"Aku boleh ikut?" 

Mendengar permintaan Garwita membuat kening Kala mengernyit. 

"Untuk apa? Ingin jadi babu? Tidak usah, kasian Gandra, lebih baik kerja di kampung. Sama-sama capek, tapi masih bisa lihat anak!" ujar Kala memberi tanggapan.

Garwita menggeleng cepat. "Aku ingin mencari Mas Ray!" ucap wanita itu, seketika membuat Kala mematung. 

Ditatapnya wanita berkerudung coklat usang yang menatapnya dengan binar sendu. Kala tak mampu menolak, tapi untuk mengantar Garwita menemui lelaki pujaannya, entah mengapa membuat hatinya terasa berat. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 37

    "Bagaimana ini, Mas? Lukamu?" Garwita menunjuk wajah Kala."Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Kala lalu merapikan penampilannya dan bersiap membuka pintu, begitu juga dengan Garwita yang berada di sampingnya. Saat pintu diketuk, kedua sejoli itu langsung membukanya. Menyambut orang tua Kala dengan senyum seramah mungkin."Pak, Bu, kok ke sini enggak bilang dulu?" ujar Kala lalu mencium tangan mereka. Juragan Jarwo tidak menolak. Dia tetap diam saat tangannya diraih oleh Kala dan Garwita. "Lah, piye? Kan siang tadi Ibu telepon! Katanya mau telepon balik. Tapi Ibu tunggu-tunggu ndak ada tuh panggilan dari kamu!" balas Ambar dengan suara merajuk. Kala terkekeh geli, dia baru ingat. "Silahkan masuk, Pak,Bu ...," kata Garwita mempersilahkan mereka untuk duduk terlebih dulu. Sementara dia berlalu ke belakang untuk membuat minuman.Juragan Jarwo tampak berdeham melihat anaknya, dia sadar akan wajah Kala yang babak belur. "Ya ampun, Le. Wajahmu kenapa?" Ambar yang langsung respek. Di

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 36

    "Hallo, Le? Gimana kabarmu?" tanya Ambar dari seberang telepon. Usai mendapat perintah dari juragan Jarwo, Ambar langsung menghubungi anaknya.Kala yang sedang berada di jalan melambatkan lajunya. "Baik, Bu, ada apa? Ini Kala lagi di jalan," balas Kala menyelipkan ponselnya ke helm tanpa berhenti dulu, pikirnya nanggung karena sebentar lagi sampai."Oalah, kalau lagi di jalan jangan angkat teleponnya dulu atuh!" balas Ambar khawatir dan urung mengatakan tujuannya telepon.Kala terkekeh-kekeh mendengar suara ibunya. "Ya mau gimana lagi, abis hape geter terus! Ya udah aku lanjut dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah berhenti Kala telepon balik!" Kala kembali melanjutkan perjalanan, hari ini dia berniat untuk melamar kerja. Tadi sudah mengajukan surat lamaran ke beberapa sekolah, sementara sekarang dia ingin ke SMK yang memang ada jurusan pertanian di sana. Ya siapa tahu ada lowongan. Kala begitu bersemangat mulai merancang rencana di otaknya untuk masa depan keluarga kecilnya yang mulai dia b

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 35

    Sejak kejadian malam tadi, Garwita selalu menghindari kontak mata dengan Kala, apalagi jika harus berhadapan dengannya, Garwita akan bicara sambil menunduk. Bukan tanpa sebab, dia malu luar biasa juga jadi cangnggung karena ci*man itu. "Bu, Gandra mau tambah nasi!" pinta anak itu sambil menyodorkan piring. Buru-buru Garwita mengambilkan apa yang Gandra mau. "Aku juga mau!" Kala ikut menyodorkan piring. Garwita ingin meletakan secentong nasi, tapi Kala menarik piringnya dengan jail begitu terus sampai akhirnya Garwita mendongak. "Ish, mau enggak?" tanya Garwita menatap lelaki di samping Gandra dengan kesal. Kala menahan tawa lalu meraih tangan Garwita dan dan meletakan nasi itu pada piringnya. Pada saat Garwita ingin menarik tangannya Kala sedikit menahan membuat mereka saling adu tatap. Bagi Garwita tatapan Kala itu terlihat seperti menyeriangai dan membuatnya ingin selalu waspada. Sekali menatap wajah Kala, Garwita akan terfokus pada bibirnya lalu bayangan yang iya-iya mula

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 34

    Gandra sudah pulang dijemput oleh Topan siang tadi. Anak itu sekarang bermain di kamar Ray, Garwita sudah menahan dan tak memperbolehkannya. Namun, Ray sendiri yang meminta. Dia beralasan sakitnya akan mereda jika melihat anak kecil bermain."Om lagi sakit, ya?" tanya Gandra sambil bermain di lantai. Ray mengangguk dengan senyum ramah. "Hem, besar nanti Gandra mau jadi dokter," ucap anak itu tanpa ditanya."Kenapa?" Ray penasaran dengan alasan Gandra."Ibu bilang, aku anaknya seorang dokter. Ayahku orang yang hebat!" balasnya menirukan cerita yang Garwita buat. Mendengar itu, Ray merasa terharu sekaligus sedih. Anak yang begitu membanggakan ayahnya, nyatanya ayahnya bukanlah seseorang yang patut dibanggakan. Ray menelan ludah dengan berat setiap kali mendengar cerita polos dari Gandra, dari situ dia tahu betapa baiknya Garwita yang selalu menceritakan kelebihan Ray pada Gandra. "Lalu apa lagi, Gandra?" tanya Ray kepo. "Mmm ...." Gandra tampak berpikir. "Kayaknya, ayah itu genten

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 33

    Kala terdiam menatap Garwita yang begitu dekat dengan wajahnya. Ingin rasanya dia pura-pura khilaf lalu mencium dengan cepat bibir tipis kemerahan yang sekarang terasa sedang menggodanya. Tapi, Kala tak ingin gegabah dan membuat Garwita jadi takut padanya. Kala menggelengkan kepala untuk meredakan rasa nyeri yang sempat hinggap. "Aku tidak apa-apa," balas Kala mencoba terduduk, Garwita mengikuti. "Lagian, pagi-pagi dah iseng!" celetuknya masih kesal dengan candaan Kala. "Ish, siapa yang iseng! Dah ah, yuk bangun kita salat bareng?" ajak Kala kemudian. Dia tak ingin berlama-lama dekat seperti ini dan membuat sesuatu dalam tubuhnya bergejolak dan memanas. ***"Nanti kuantar kamu dulu, baru Gandra ya?" kata Kala perhatian. Garwita yang sedang menyuap makanan langsung mendongak. "Mas, kulihat di samping rumah ada sepeda, apa masih bisa dipake? Kalau bisa, aku ingin memakainya untuk berangkat kerja." Kala mengernyit, mengingat-ingat apa ada sepeda di sana. "Nanti coba ku cek dulu, ya

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 32

    "Mmm, a--ku tak punya apa pun yang bisa dijadikan jaminan. Bagaimana kalau mulai besok bekerja full di sini? Pagi sampai sore?" tawar Garwita, berharap Ray mau berbaik hati.Ray menggeleng dengan senyum remeh. "Menarik!" jawab Ray singkat. "Selain itu, jemputlah Gandra ketika pulang sekolah dan bawa dia ke sini." "Gandra?" Garwita mengernyit. "Ya, saya ingin punya teman main. Gandra pasti akan jadi teman yang menyenangkan!" balas Ray dengan senyum semringah. Itu membuat Garwita lega juga tak menyangka ada yang begitu menyukai dan menginginkan anaknya."Baik, Tuan." "Oke, pulanglah. Nanti Topan yang akan mengurus semuanya. Tunggu saja kabar dari kami," jelas Ray dengan senyum tulus. Dia pun senang karena akhirnya Garwita meminta bantuan darinya. Ray sangat senang jika merasa dibutuhkan oleh Garwita dan keluagarnya. ***"Ibuuu!" panggil Gandra dari arah jalan. Rupanya Kala sudah menjemput anak itu dan membawanya bersama. Garwita langsung mendekat. "Gandra ikut bersama kita? Bagai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status