Share

Limerence
Limerence
Penulis: Widii

Memilih Mundur

"Ca, apa segitu darutatnya sampai harus pindah sekarang?" sindir Abian mengantar sang adik ke apartemen baru seakan-akan bencana akan terjadi kalau pindahnya ditunda.

Gadis yang dibalut kaus putih berlapis sweter berdecak. "Terus?" Ia melolot galak ke arah kakaknya. "Emang wajib nunggu Mas tunangan dulu sama Adelia?"

"Memang apa salahnya, enggak lama ini." Abian merapatkan pintu dengan sebelah tangan, satunya menarik koper cokelat besar memasuki ruangan dan menilai apartemen sederhana minim perabot yang dipilih adiknya, memastikan layak untuk ditempati Caca.

Perempuan itu, Camelia yang sejak kecil akrab dipanggil Caca sedang meletakkan kardus berisi buku-buku ke apartemen barunya. Dia sengaja bergerilya mencari tempat tinggal baru demi mengurangi frekuensi bertemu sang kakak.

"Kita udah bahas di rumah, ya, Mas. Udah Mas fokus saja sama Adelia."

"Mbak Adelia," koreksi Abian, berkali-kali mengingatkan kalau umur calon tunangannya lebih tua daripada Caca.

"Whatever, selisih umurku hanya dua tahun dengan Adelia!" Caca melirik sebal, dia kurang menyukai calon kakak iparnya. Ya, bukan semata-mata rasa cemburu, melainkan Adelia dinilai kurang layak menjadi pendamping Abian karena terlalu materialis dan menuntut.

Memang sedari mengenakan seragam abu-abu, Caca menyadari ada perasaan lebih pada sang kakak. Berulang kali menepis perasaan tersebut hingga dewasa, justru perasaannya makin bertumbuh. Puncaknya saat Abian mengumumkan akan membawa perempuan ke rumah sebagai calon tunangan. Dunia Caca seolah-olah berhenti berputar. Berharap semua hanya mimpi buruk dan ketika bangun keadaan masih baik-baik saja.

"Oh, ya, Mas jangan lupa besok antar semua kucingku." Caca menoleh ke Abian yang baru saja duduk di sofa ruang tamunya, meminta sang kakak memboyong empat kucing miliknya dari rumah lama.

Caca memelihara dua kucing berhidung pesek yang sangat manis, dan dua kucing kampung ditemukan di tepi jalan, lalu diadopsi sehingga menjelma cantik lantaran diurus dengan baik.

Abian mengerutkan kening. "Kamu akan mengubah apartemen menjadi panti kucing."

"Mas?" Caca menatap tajam dan menghentakkan kaki kesal.

Abian tertawa kecil. "Oke, Mas akan bawa sekalian kandangnya besok."

Caca tersenyum senang.

Sekarang hanya ada satu koper berisi baju dan kardus berisi buku. Caca tidak membutuhkan banyak barang apalagi sejibun koleksi tas, sepatu, atau make up lengkap. Gadis itu terbilang cuek soal penampilan, terbiasa menggunakan kaus kebesaran di rumah dan kalau pergi tinggal menyambar sweter atau kardigan. Beruntung Caca memiliki wajah cantik dari orok mewarisi mendiang sang mama.

"Kamu membuat Mama sedih, Ca."

Caca melirik sebentar laki-laki tampan yang duduk di sebelah. Alisnya melengkung sempurna, ada brewok tipis di dagu belum tersentuh pisau cukur, dia memiliki bahu lebar paling hangat dipeluk, dan rahangnya tegas.

Dulu papanya memperkenalkan Abian sebagai kakak tiri saat dirinya masih kelas enam. Dia senang memiliki kakak laki-laki seperti impiannya, ditambah mama baru yang tidak pernah membeda-bedakan. 

"Mas, di rumah masih ada Evaline."

Perempuan itu menyebut anak sang papa dengan mama tirinya yang masih sekolah dasar kelas empat. Sejak umur dua belas tahun, hubungan Caca dan Abian baik-baik saja. Memiliki kakak dan mama tiri bukanlah hal buruk sebelum perasaan aneh datang.

"Ca?"

"Udah, Mas. Aku cape." 

Abian paham sifat keras kepala adiknya, dia tidak akan mengubah keputusan semudah itu, sekalipun di rumah mamanya sudah memohon-mohon agar Caca tidak pindah. 

"Ya sudah kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi Mas." Abian menatap adiknya cukup lama, lalu membuang napas panjang. 

Caca mengangguk, berniat bangkit untuk memasukkan baju-baju ke lemari, tetapi tangan Abian menahannya.

"Biar Mas bantu beres-beres."

"Nggak perlu, Mas. Lagian cuma sedikit." 

Sejak mengenal Abian, ia terbiasa mendapatkan perhatian penuh. Sekarang dia harus merelakan Abian pada perempuan lain. Ia sadar perasannya hanya sepihak, Abian terlarang dicintai. Lagi pula mana mungkin hubungan mereka akan meningkat menjadi sepasang kekasih atau suami istri. Caca paham mimpinya terlalu tinggi.

Caca bergerak ke arah kamar, melewati ruang tengah yang cukup luas ada karpet bulu warna merah marun di depan televisi layar datar. Dia menarik koper cokelatnya pelan-pelan menuju satu-satunya kamar di ruangan bercat putih, memasukkan satu per satu baju ke lemari besar.

Kamarnya tidak buruk, ada ranjang ukuran queen, televisi, lemari di sisi kanan, dan balkon kamar yang langsung menghadap ke gedung-gedung bertingkat. Ada jendela kaca ukuran besar yang memungkinkan Caca melihat suasana luar dari dalam kamarnya. Caca biasa menulis sambil menatap pemandangan sekitar. Dia seorang gost writer sejak memasuki kuliah dan klien pertamanya adalah sang kakak sendiri.

Abian mengamati adiknya, tahu ada hal yang berusaha disimpan sendiri. "Kamu kalo ada masalah, cerita sama Mas."

'Mas nggak akan mengerti, aku mencintai Mas,' batin Caca tidak mampu mengatakan langsung. Dia tahu akan sia-sia, selain perasaannya tidak terbalas, papa dan mamanya akan sedih kalau mengetahui fakta ia mencintai kakak sendiri.

Caca menggeleng dan bergerak ke sisi ranjang usai memindahkan baju-baju ke koper. Abian membuka tutup botol air mineral dan mengulurkan tangan. 

"Nggak ada apa-apa, Mas." Caca duduk persis di sebelah sang kakak, meneguk cepat air mineral untuk membasahi kerongkongan. 

"Yakin?" tanya Abian cemas.

Caca pura-pura tersenyum. Lagi pula dia melakukan ini demi kebaikan agar bisa melupakan Abian secepatnya. Sulit merelakan Abian kalau masih melihat setiap hari. 

"Mas, aku udah dewasa."

"Bagi Mas, kamu tetap gadis kecil," tangan kekar Abian mampir ke puncak kepala Caca dan mengacak-acak rambutnya.

Suara ponsel di saku Abian menginterupsi, Abian cepat-cepat melihat siapa penelepon. Caca menggeser posisi mengintip nama sang mama berpendar di layar. Memang Arnita, mama tirinya tidak bisa ikut mengantar lantaran harus menghadiri acara sekolah Evaline, ada pentas seni mengharuskan papa dan mamanya hadir. Sementara Caca tidak mau mengulur waktu begitu mendapat apartemen kosong rekomendasi dari Malika, sahabat sejak masa putih abu-abu.

"Abian, nomor Caca susah banget dihubungi. Kalian gimana? Terus apartemennya nyaman nggak?" tanya suara di seberang terdengar cemas. Arnita sangat menyayangi Caca seperti anak kandung sendiri. 

"Iya, Ma. Caca bilang suka di sini." Abian melirik sang adik.

Seminggu lalu Caca merajuk ke papa dan mamanya agar diizinkan pindah ke apartemen. Alasannya ingin hidup mandiri, apalagi sebagai ghost writer dia memang membutuhkan ruang sendiri tanpa gangguan. Di rumah seringkali Evaline membuyarkan konsentrasi, apalagi kalau sudah merengek minta diajak jalan-jalan. Caca tidak bisa menolak keinginan adiknya, walaupun deadline di depan mata dan kliennya cukup bawel.

Jasanya terkenal berkat sang kakak dan papa merekomendasikan ia pada teman-teman bisnisnya. Lama-lama namanya sudah dikenal para pejabat dan mendapat bayaran mahal.

"Mama mau bicara sama Caca."

Abian menoleh ke perempuan yang baru bergerak menata buku-buku ke rak. "Ca?"

Gerakan tangan Caca terhenti, dia menerima telepon genggam sang kakak. Memang baterai ponselnya habis dan lupa belum mengisi daya ponsel.

"Halo, Ma."

"Sayang, apa kamu serius akan betah di sana? Kamu pulang, ya." Ada nada tidak rela dari seberang. 

"Mama, kita masih satu kota, lho. Gimana kalau Caca pindah ke luar Negeri," kekeh Caca mencoba menghibur sang mama. Dia ingat mamanya sampai menangis mengizinkan ia jauh dari pengawasan orangtua. 

"Mana mungkin Mama izinkan kamu ke luar Negeri. Pokoknya jangan sampai telat makan, terus kalau perlu sesuatu telepon ke rumah. Mama bakal kangen sama kamu, Sayang."

Caca tersenyum geli, dia baru saja berpisah belum ada 24 jam. Akan tetapi, sang mama seakan-akan sudah melepas anaknya berbulan-bulan.

"Mama ini, besok juga Caca pulang pas acaranya Mas."

Caca merasa dadanya seolah ditikam benda tajam, ada rasa pedih bertubi-tubi mengingat Minggu besok kakaknya akan menyematkan cincin ke jari perempuan lain. 

Selama ini dia pikir kakaknya tidak memiliki hubungan dengan siap pun, sampai malam itu mengatakan sudah menemukan tambatan hati.

Terdengar helaan napas panjang di seberang. "Oke, Mama maunya kamu menginap, ya."

"Semoga Caca bisa ya, Ma," ujar Caca mulai merasa tidak nyaman.

Caca ingin menyudahi topik paling menyakitkan ini. Mana mungkin siap melihat kakaknya tertawa bersama perempuan lain hingga usai acara. Niatnya hanya akan setor muka, terus pulang secepatnya.

"Sayang kamu harus ingat, Mama selalu ada kapanpun Caca butuh. Jaga diri baik-baik di sana, nanti sepulang acara Evaline kita mampir. Ya sudah, Mama balik ke Papa kamu dulu, ya."

"Oke, Ma."

"See you, Sayang."

"See you."

Usai sambungan telepon diputus. Caca mengembalikan ponsel pada pemiliknya yang sejak tadi bersedekap mengawasi. 

"Kamu boleh berubah pikiran, belum terlambat, Ca. Mas akan masukkan lagi barang-barang kamu ke koper." 

Abian memegang kedua bahu sang adik, dia bisa melihat ekspresi sedih di wajah adiknya. Abian yakin Caca berat meninggalkan rumah dan memilih hidup sendiri di apartemen minimalis yang hanya ada satu kamar. Seolah-olah Caca sengaja agar dia tidak menginap menemani adiknya.

Tidak bisa, Caca tidak mau kalah oleh perasaan sendiri. Dia sudah bertekad menghapus nama Abian yang sudah menempati bagian terdalam. Abian tidak tahu, bahwa ia lelah mencintai seorang diri. 

Tadinya dia pikir tidak masalah kakak tiri, toh mereka tidak memiliki hubungan darah. Dia merasa ada harapan menjalani hubungan dengan Abian dan berusaha merebut perhatian Abian setiap saat. 

Namun, kenyataan pahit harus ditelan. Abian tidak menunjukkan reaksi seperti laki-laki yang mengharapkan dirinya. Ternyata Abian sudah memiliki tambatan hati.

Caca sendiri tidak yakin bisa melupakan Abian. Selama ini ia sudah berusaha keras menepis perasaan yang berbelok terlampau jauh. Tidak seharusnya melibatkan cinta berlebihan dalam hubungan kakak adik.

"Tidak, Mas. Aku sudah nyaman di sini."

Abian menautkan alis dalam. "Kamu yakin?"

Caca mengangguk mantap. "Mas, biarkan aku mandiri."

Abian tidak punya pilihan lain. Tahu betapa keras adiknya, dia hanya menghela napas panjang. "Baiklah, asal kamu harus janji sering pulang. Jangan lupa datang tepat waktu ke acara Mas. Pokoknya Mas nggak akan melanjutkan acara kalau kamu sampai lupa hari penting Mas."

Caca tersenyum getir. Iya, dia tahu Adelia merupakan sosok spesial untuk Abian. Caca paham mengapa harinya begitu penting. Namun, Abian tidak tahu kalau itu hari terburuk sepanjang hidup Caca. Hatinya panas dan ingin berteriak kencang.

"Mas tenang saja." Caca pura-pura tersenyum.

"Dandan secantik mungkin, ya."

Caca mengangguk. Abian meraih tubuh sang adik ke dada bidangnya. Lagi-lagi Caca merasakan pelukan Abian adalah obat segala luka. Kepalanya terbenam ke dada bidang sang kakak, tangannya mempererat pelukan. Seakan-akan dia tak mau melepaskan satu detik pun.

"Aku sayang kakak," ungkap Caca menahan air mata yang mendesak keluar.

Abian tahu, dia mengusap-usap helai rambut sang adik penuh kasih sayang. "Ya, Mas juga sayang banget sama Caca."

'Mas, lihat aku sebagai perempuan yang pantas dicintai,' batin Caca sebelum makin mengeratkan pelukan. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mikha Geka
Lanjut penasaran sama kelanjutannya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status