"Rio kecelakaan, sekarang ada di rumah sakit," ucap Alan membuat kami semua terkejut. Terutama Pak Nando, sebab Rio itu orang kepercayaannya. "Dilarikan di rumah sakit mana?" tanya Pak Nando. Ia menoleh ke belakang sambil menunjukkan mimik wajah yang panik. "Rumah Sakit Sumber Sehat," jawab Alan lemas. Aku tahu ini adalah berita buruk, sepertinya aku urungkan niat saja untuk bertemu dengan Fikri. Kemudian, Alan menyuruh sopir putar balik ke arah rumah sakit, seketika pertemuan aku dan Fikri pun ditunda. Kami semua memutuskan bergegas ke rumah sakit.Aku terdiam, tidak menanyakan perihal bagaimana rencana bertemu dengan Fikri."Yang hubungi kamu barusan pihak rumah sakit?" tanya Pak Nando menyelidik. "Ya, katanya seperti itu," jawab Alan masih melongo. "Pakai nomor Rio?" cecar Pak Nando. Kenapa ia tiba-tiba bertanya seperti itu?"Bukan, dia hubungi aku pakai nomor rumah sakit," jawab Alan lagi."Coba sebutkan nomornya," pinta Pak Nando. Kemudian, Alan pun menyebutkan nomornya, lal
Mereka berdua menyuruh Rio memerintahkan anak buahnya membawa bobot tubuh Fikri. Alan dan Pak Nando tidak memberitahu aku bagaimana mereka akan ngerjain Fikri dan Rinta. "Kamu ikuti saya saja ya," suruh Alan. Sedangkan Pak Nando masih sibuk berbisik pada Rio. Anak buahnya itu pun mendengarkan bisikan sambil tersenyum. "Sepertinya ada hal yang lucu ya, kulihat Rio senyam-senyum ketika diberi tugas," ucapku pada Alan. Mata ini tak berhenti menyoroti Pak Nando dan Rio. "Sudahlah, nanti juga kamu tahu," ucap Alan. Hampir semua orang yang melintas melirik bahkan curiga dengan kami. Hingga pelayan cafe pun sempat menegur, tapi uang berbicara. Pak Nando memberikan beberapa lembar uang pada orang yang tak segan-segan menegurnya. Ada satpam yang hampir curiga ia menghampiri ketika melihat Rio dan anak buah yang baru saja datang menggendong Fikri. "Maaf, ini ada apa?" tanyanya membuatku terperangah. Namun, Rio tetap mencoba tenang bahkan berpura-pura berdialog dengan temannya."Ini bocah
Tanganku ditarik oleh Alan. Kami bersembunyi di balik pintu. Begitu juga dengan Pak Nando, jadi kami terpaksa berdesakan. Ini hanya sementara sampai polisi datang menyergap Mas Ari. "Sepertinya bukan saatnya aku mencari ini perbuatan siapa. Lebih baik aku pergi melarikan diri dari sini. Sebab, bisa jadi Mona menjebak karena ingin aku segera ditahan." Mas Ari mengurungkan niat untuk masuk."Ya, itu bisa jadi, lebih baik kamu segera pergi, Sayang," suruh Rinta terdengar mesra. "Ingat Fikri, urusan kita belum selesai. Rinta, kamu masih utang penjelasan padaku tentang ini," ancam Mas Ari. Kemudian, suara hentakan kaki perlahan pergi. Mas Ari kabur lagi, dan kini Fikri pasti akan mencari keberadaanku di toilet. Namun, ketika Fikri hendak menggerebek kami di toilet."Kenapa bisa seperti ini? Aku utang penjelasan dengan Mas Ari," tutur Rinta. Namun, Fikri tak terdengar menjawabnya."Kita harus keluar, kejar Ari," bisik Pak Nando. Kemudian, Pak Nando berusaha keluar dengan membuka pintuny
"Kamu tenang, Mon. Siapa tahu ini jebakan Fikri. Bukankah ia masih di apartemen?" tanya Alan membuatku seketika berpikir. Bisa jadi ini hanya akal-akalan Fikri saja. Aku tidak boleh panik dulu. Alan menyuruhku untuk menarik napas dalam-dalam, kemudian dihembuskan. "Sudah tenang sekarang? Kenapa sih mudah panik begitu?" tanya Pak Nando sinis. Aku terdiam, meskipun masih kepikiran orang tuaku, tapi berusaha berpikir logis saja."Rio sekarang di mana, Mas?" tanya Alan pada kakaknya. Aku hanya terdiam, sambil menenangkan diri."Aku hubungi Rio dulu, untuk mencari tahu kondisi orang tuamu, Mona. Jangan panik lagi, Fikri itu wartawan, lebih disorot publik, jadi ia takkan menggunakan cara kekerasan," tutur Pak Nando. Aku menelan ludah sambil mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Pak Ridwan telah membukakan pintu mobil dari tadi, jadi kami putuskan untuk masuk lebih dulu. Namun, ketusnya Pak Nando membuatku kadang ingin menyudahi kerja sama dengannya ini. Lelah kadang dihardik bahkan dib
Aku tutup layar ponsel dulu karena sudah ditunggu rekan-rekan untuk meeting. Meskipun rasa penasaranku makin berapi-api, namun ini jam kerja bukan jam main sosial media. Meeting telah dimulai, ada Pak Nando yang sudah menungguku dengan tangan berkacak pinggang. Sorotan mata semuanya mengarah ke tempat aku berdiri. "Maaf, telat," ucapku sambil menunduk.Pak Nando tak berkedip, tangannya pun masih berada di pinggang. Kemudian, Alan yang ada di sebelahnya pun menghampiriku. "Ayo, Mon, duduk! Kita mulai meetingnya," ajak Alan. Aku pun melangkah mengekor tepat di belakang Alan. Kemudian, duduk di kursi yang telah disediakan. "Lain kali pakai jam tangan, supaya lihat waktu dan tidak telat lagi," celetuk Pak Nando membuatku seketika melihat ke arah pergelangan tangan. Heran dengan Pak Nando, ia menyindir hingga ke hati. "Iya, Pak. Saya minta maaf," ucapku untuk yang kedua kalinya. Pak Nando memulai meeting. Ia berdiri sambil memberikan materi. Kami semua menyimaknya dengan serius, sup
"Kenapa, Mon?" tanya Fikri sambil sesekali nyeruput es yang ada di meja. Mimik wajah Fikri seakan tak merasa punya salah padaku. Padahal jelas-jelas kemarin ia telah mengutarakan semua dendam kesumat yang selama ini ia pendam. Aku menatapnya penuh, sepertinya tidak usah bicara dengannya mengenai orang yang barusan menghubungiku."Nggak kok, sepertinya sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, aku pamit permisi dulu," ucapku pada Fikri. "Kamu nggak makan dulu, ini sayang loh, lagian kamu kan kerja nanti kalau nggak makan siang bisa ngerusak konsentrasi," kata Fikri. Namun, aku hanya menyunggingkan senyuman padanya.Di meja makan ini memang sudah dipenuhi menu makan siang, tapi berhadapan dengannya hilang mood untuk melahapnya.Kemudian, aku bangkit dari duduk, lalu meraih tas yang ada di atas meja."Aku pamit, terima kasih dan permisi," ucapku padanya. Lalu aku menuju parkiran dan segera datang ke tempat yang telah diberikan oleh orang yang menghubungiku tadi. Jaraknya sekitar
Bab 21Tiba-tiba saja ada suara teriakan minta tolong. Aku dan Mona sontak terkejut dan berusaha menoleh dengan sengaja ke arah ujung suara. Namun, karena kami lengah dalam sekejap laki-laki itu menepis tanganku hingga terjatuh. Buk! Ia pun lari cukup jauh. Mona yang melihatku terjatuh pun tidak fokus lagi pada lelaki yang nyaris kurang ajar padanya. Aku segera bangkit, jatuh karena tangkisan tangan lelaki tadi, jadi ia sengaja kabur setelah melihatku yang sedang lengah. "Sial dia kabur," kataku sambil melempar batu kecil di hadapanku. Sedangkan Mona mencari sumber suara yang berteriak tadi."Loh, suara nenek yang tadi di sana juga nggak ada," timpal Mona sambil mengedarkan pandangan. Kemudian ia turut membantuku dan mengekori saat aku berusaha mencari orang tadi.Kami cari laki-laki yang katanya sengaja melakukan ini, yang katanya dibayar oleh seseorang hanya untuk menjatuhkan Mona. "Kita cari laki-laki tadi, pasti belum jauh," ajak Alan sambil menarik pergelangan tanganku. Namun
Ketika wanita itu datang ke UGD, ia langsung diarahkan ke ruangan ICU oleh suster. Sedangkan aku masih berusaha mengingat wajahnya. Namun ingatanku tidak juga muncul."Kita ke ICU, Lan. Tanya-tanya wanita itu, jujur saja aku belum mampu mengingatnya," kataku sambil memegang pelipis mata. "Memang siapa itu, Mon?" tanya Alan balik."Kalau tahu, aku nggak akan sepusing ini, Lan, aku juga penasaran kok rasanya nggak asing melihat dia," timpalku lagi. "Ayolah kita ke ICU!" ajakku lagi.Namun, ketika kami hendak melangkah, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Pak Nando. Aku melirik ke arah Alan, sebab tadi dia yang menjamin bahwa aku bebas dari omelan Pak Nando. "Lan, ini Pak Nando, kata kamu ...." Ucapanku terputus karena lebih baik mengangkat teleponnya. Akhirnya aku angkat setelah berdering beberapa kali. "Halo, Pak," ucapku dengan hati gemetar. "Iya, Mona. Sekarang kamu kembali ke kantor. Saya harap sekarang juga ya, tolong jangan membantah. Bilang sama Alan sekalian dia yang an