Saat ketukan ketiga, tiba-tiba saja lengan ini ditarik paksa oleh seseorang hingga diseretnya ke tempat sampah. Kami bersembunyi di balik tempat sampah.
"Fikri," celetukku ketika melihat sosok laki-laki yang ternyata adalah mantan kekasihku saat di bangku sekolah menengah kejuruan. Kami pacaran cukup lama, nyaris menikah tapi aku lebih memilih Mas Ari.
"Sttt, jangan berisik," timpalnya. Kami masih bersembunyi, karena dipastikan setelah ini akan ada yang keluar.
Benar saja, Mas Ari keluar dengan sudah mengenakan kolor dan kaos oblong saja. Ia tengak-tengok mencari orang yang mengetuk pintu, lalu menutupnya kembali.
Hatiku menjerit melihat ia keluar lalu masuk lagi. Ya, itu suamiku yang berani melamar dan mempersuntingku beberapa tahun yang lalu.
"Sabar ya," ucap Fikri. Aku baru tersadar bahwa apa laki-laki lain di hadapanku yang menyaksikan kepiluanku.
"Kamu kok ada di sini?" tanyaku penasaran.
"Jangan keras-keras, kamu mau dengar suamimu sedang bercinta nggak? Dia di kamar belakang, dan kamarnya satu tembok denganku, itu yang sebelah rumahku," terang Fikri sambil menunjuk rumahnya dengan jari telunjuk.
Aku terdiam, malu mendengar penuturan Fikri barusan. Ia mengetahui kelakuan suamiku, padahal dulu aku menolaknya karena perihal pekerjaan yang tidak mapan.
"Aku mau pulang aja," sahutku di depannya.
"Nggak mau mergoki suami sedang zina?" tanya Fikri lagi.
Aku menggelengkan kepala. Lalu bangkit dari duduk yang setengah jongkok. Namun, tangan ini ditarik oleh Fikri kembali. Ia memintaku untuk ikut dengannya.
"Kita mau ke mana?" tanyaku padanya.
Fikri terus menerus menyeretku paksa. Jaraknya sudah cukup jauh dari rumah yang Mas Ari tadi singgahi. Lalu ia berhenti di sebuah rumah yang bertuliskan ketua RT.
"Untuk apa ke sini?" tanyaku pada Fikri.
"Mau nyuruh kamu berikan saksi bahwa mereka bukan suami istri, tapi kamu lah istrinya," usul Fikri.
Aku terdiam, masih menimbang ucapannya. Rasanya masih bimbang melakukan hal itu, sebab aku tak mau juga aib keluarga tersebar ke mana-mana.
"Sepertinya terlalu berlebihan, aku tidak perlu bar-bar. Untuk apa? Rasanya untuk saat ini yang kuinginkan hanya berpisah," jawabku pada Fikri.
Ia menghela napas sambil tertawa. Sesekali membelah rambutnya dengan kelima jarinya.
"Sudah beberapa pekan, suamimu ada di sini, berzina. Tahukah kamu dosa zina bisa kena imbas 40 rumah di sekitarnya?" cetus Fikri membuatku terdiam. Sebenarnya perihal dosa itu hanya urusan Tuhan, dan apa yang kulakukan ini semata-mata hanya ingin meyakinkan diri ini saja bahwa aku salah memilih suami.
"Lalu aku harus melaporkan?" tanyaku padanya.
"Ya, mereka harus menanggung akibat dari perbuatannya. Kamu lapor, lalu kita liput di sosial media, bukankah itu sanksi sosial untuknya nanti?" Kata Fikri sambil mengajukan pertanyaan.
"Terlalu berlebihan kalau harus sampai ke sosial media, aku nggak mau," jawabku menolak tawaran Fikri.
Tidak lama kemudian, ada warga yang lewat, dua orang ibu-ibu. Mereka melintasi rumah RT yang kami lewati.
"Benar-benar keterlaluan itu dua orang, ke sini hanya numpang buang kotoran saja, warga sini nanti yang kena dampak sialnya, bukan hanya sekali dua kali, tiap siang selalu ke sini entah seminggu bisa tiga kali," jelasnya membuatku menelan ludah.
Apa yang dimaksudkan Mas Ari dan Rinta? Tapi kan mereka juga nggak pernah lihat mereka ngapain di dalam.
"Iya, Bu. Tiap keluar pasti yang cewek rambut basah, dan masuk mobil sambil cium bibir, ih nggak tahu malu, anak saya si Fano pernah lihat, kan mereka jadi tanya-tanya, dan mengira perbuatan itu pantas ditiru," jawab ibu yang satunya. Jadi, sebagian warga pun turut kesal di sini melihat mereka mempertontonkan kemesraannya.
"Pak Wendi pernah nanya katanya nggak ada buku nikah mereka berdua, bilang nikah siri, tapi kenapa ke sini hanya di saat waktu tertentu aja?" tanya ibu yang satunya lagi. Mereka berdua bicara dengan langkah kaki yang sesekali berhenti di depanku dan Fikri.
Sebaiknya aku ikut kata Fikri saja, melaporkan pada RT setempat dan mengakuinya bahwa aku adalah istri sah Mas Ari, dan wanita yang dibawanya ke rumah yang setengah jadi itu adalah pembantuku.
"Baiklah, Fik. Aku bersedia memberikan keterangan bahwa aku istri sah dan mereka bukan pasangan yang telah terikat pernikahan. Mereka itu pezina," ucapku dengan lantang.
Kemudian, kami masuk, lalu Fikri membantu menjelaskan maksud kedatangan kami berdua. Setelah dijelaskan panjang lebar, ketua RT setempat pun langsung mengajakku untuk memergokinya sekarang juga.
"Baiklah, kita ke rumahnya sekarang, mumpung mereka ada di sini," ajaknya. "Apalagi Mbak punya bukti foto pernikahan di ponsel," tambahnya lagi. Sebab, aku memang menunjukkan foto pernikahan kami yang tersimpan di memori telepon genggam milikku.
"Ayo, sekarang, soalnya sepuluh menit lagi biasanya mereka cabut dari rumah itu," pungkas Fikri sampai hafal betul jadwal mereka keluar.
"Kamu sampai hafal, Fik?" tanyaku sekali lagi.
"Ini jam makan siang, sepertinya suami kamu hanya memanfaatkan istirahat siangnya," jawab Fikri membuatku sesak. Tangan ini memegang dada, lalu mengatur napas dalam-dalam agar tidak tersulut emosi dan sakit hati yang terlalu dalam.
"Ya sudah, kita jangan buang-buang waktu lagi," timpalku kini semakin semangat.
Kami bertiga keluar dari rumah RT. Namun, ternyata sudah ada beberapa warga di depan pintu RT.
"Pak, itu yang penghuni baru, pengantin baru atau bukan si? Masa ke sini tiap siang? Udah gitu di depan umum kadang ciuman," ucap ibu berbaju merah pekat dengan rambut diikat. Ia tampak kesal dengan Mas Ari dan Rinta yang tak bisa menjaga sikap.
"Iya, tenang ya, kami bertiga mau menegurnya," jawab RT yang sudah bersiap ke rumah minimalis yang masih belum direnovasi bagian depannya.
"Wah, kami turut senang deh, Pak. Semoga mereka bukan pasangan zina, kalau pun sudah menikah, tolong dinasihatin untuk jaga sikap. Ini bukan luar negeri main nyosor aja ada anak-anak di bawah umur," celetuknya lagi dengan mencontohkan mimik bibir yang monyong saat bilang nyosor.
Akhirnya ibu tadi pun pergi. Sedangkan kami, bergegas menuju rumah yang disinggahi suamiku dengan pelakor.
Meskipun hati ini dihujani rasa benci padanya, tapi aku berniat untuk bicara pelan-pelan dulu.
Bersambung
"Tante, itu semua salah paham," terangku padanya."Salah paham apanya? Fikri itu keponakan aku, dia anak baik-baik yang telah kamu sia-siakan," balasnya dengan percaya diri. Terkadang seperti itu, orang mengira yang baik di depan kita akan baik juga di belakangnya, padahal banyak yang baik di depan dan jahat di belakang. "Tante, ini saya sudah memiliki bukti bahwa mobil Fikri yang menabraknya, dan ini juga ada surat laporan yang sudah saya laporkan ke polisi," kataku sambil menyodorkan handphone dan secarik kertas.Tante Ambar meraihnya, lalu membacanya, sesekali mata Tante Ambar melirik ke arahku. Terlihat di sudut matanya ada air mata yang mengembun.Sesekali bibirnya dibasahi oleh lidahnya, lalu terlihat Tante Ambar menghela napasnya. Kemudian, pipi wanita yang memiliki dua anak itu terlihat basah. Kini air mata pun banjir setelah tahu semuanya. "Fikri," isak Tante Ambar. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Aku pun menghampiri dan menuntunnya untuk duduk."Tante yang sabar
Setelah kami menghampirinya, ternyata darah segar sudah mengalir di kening Rinta. Tidak ada satu pun yang berani membawanya ke rumah sakit. "Alan, kita bawa Rinta ke rumah sakit," ajakku setelah menyeruak di kerumunan. "Pak tolong bantu kami bawa dia ke rumah sakit," kata Alan juga."Kata orang sini tabrak lari, Bu. Kami takut nyentuhnya. Nanti polisi jadiin kami saksi," jawab salah seorang warga.Tabrak lari lagi? Mungkinkah ini Fikri lagi? Kalau benar, berati laki-laki itu sudah gila.Darahnya terus mengalir, Rinta terlihat meringis kesakitan. Kemudian menarik telapak tanganku."Mon, tadi Fikri, tolong cari dia ...." Ucapan Rinta terhenti napasnya tampak sulit diatur. Seketika itu juga ia pingsan tergeletak di jalan."Lan, ayo cepat kita bawa saja!" suruhku berteriak. Setelah melihat ia tergeletak, barulah yang lain ikut membantu. Tiba-tiba suara sirine ambulance terdengar. Ternyata ada yang sudah menghubungi ambulance. Petugas langsung membawa Rinta yang sudah terkapar ke dalam
Aku mengelus dada, ternyata orang yang berada di layar CCTV adalah Fikri. Ia benar-benar keterlaluan. Laki-laki itu harus rela dendamnya berakhir di jeruji besi, dan yang akan melaporkannya saudaranya sendiri. Tanganku mengepal, lalu mengembuskan napas perlahan. Sisi burukku cuma satu, menolak cintanya pada saat itu tanpa meminta maaf bahkan menganggap Fikri. Jadi, ia menilaiku benar-benar musuhnya. Seandainya pada waktu itu aku memilih Fikri pun rumah tangga takkan awet jika hatinya diselimuti dendam. "Mon, kita mau gimana?" tanya Alan mengejutkan aku. Seketika lamunanku tentang Fikri buyar, bukan menyesal, tapi aku sangat menyayangkan kalau hari-harinya akan menjadi kelam selamanya. "Kita ketemuan sama Rinta, tunjukkan CCTV ini," ajak Mona pada Alan."Jam berapa kamu janjian?" tanya Alan lagi."Tadi bilang jam 5 sore," timpalku padanya. "Coba telepon Rinta lagi, ketemu sekarang saja," saran Alan. Namun, aku tidak langsung mengindahkan ucapannya. Sebab, kalau kami keluar kantor
"Boleh lihat CCTV nya nggak, Pak?" tanya Alan pada salah seorang yang berada di hadapan kami. Sepertinya mereka tetanggaan di sini, sering kumpul bareng."Wah, kalau itu nanti tanya ke yang punya rumah dulu ya, Pak, Bu. Soalnya orangnya kerja," terang yang tadi mengembalikan dompet Alan. "Oh begitu, ya sudah, ini nomor handphone saya, Pak, kalau orangnya sudah pulang, bisa telepon saya," tutur Alan sambil menyodorkan nomor ponsel yang telah ia tulis di kertas kecil.Kemudian, aku dan Alan kembali ke mobil, setelah memberikan tips untuk orang yang telah menemukan dompet Alan. Aku memakai sabuk pengaman sambil termenung, bisa-bisanya penabrak itu dengan sengaja menabraknya. "Aku yakin ini kerjaannya Fikri, aku pastikan ia masuk ke penjara juga. Kita tidak bisa menyudutkan dengan masalah sosial media, tapi kalau masalah kriminal gini, tentu polisi akan bertindak," kata Alan dengan yakinnya. Aku sedikit menelan ludah, sebab perbuatan ini sangat di luar kepala. Kalau iya Fikri orangnya
Tadinya aku sudah mulai emosi saat Fikri bicarakan tentang aku melalui sambungan telepon. Namun, Alan mencegahku untuk jangan gegabah. Tangan Alan menahan pundakku yang berusaha keluar dari tempat persembunyian. Setelah memastikan Fikri pergi, kami pun beranjak ke mobil. Pintu mobil kututup dengan keras. Aku masih tidak percaya dendam kesumat Fikri denganku begitu mendalam. Hingga harus menyuruh Rinta, yang ternyata saudaranya sendiri sebagai pembantu, berzina pula. Aku mengelus dada, hingga napas ini mampu aku keluarkan dengan perasaan lega. "Sabar ya, Mon, mungkin ini ujianmu. Setelah ini akan ada kebahagiaan yang menghampiri, percayalah bahwa setelah gelap pasti akan datang terang."Kecewa aja, Lan, sama Fikri. Cuma gara-gara nolak cintanya sampai segitunya menghancurkan hidupku," timpalku masih menampakkan kekesalan. "Terkadang, ketika kamu kecewa, itu membuatmu lebih kuat, kamu itu wanita pilihan, Mon," ucap Alan sambil menyetir mobil. Kami memutuskan untuk menyudahi penyeli
Kemudian langkah Rinta menuju Tante Ambar dan langsung menyergap tubuhnya. Aku menoleh ke arah Alan, kami berdua beradu pandangan. "Satu persatu ketebak, Mon. Ini ulah Rinta, ya kan?" Alan sangat yakin bahwa ini adalah ulah Rinta. "Lan, kok aku penasaran ya, kenapa Rinta peluk Tante Ambar? Bukankah yang sepupuan dengan Firman itu Fikri?" Aku bertanya-tanya pada Alan. Seketika kami berdua terdiam sejenak. Ini sungguh seperti teka-teki. Kami berdua yakin bahwa Rinta yang menjadi dalangnya. Akan tetapi masih bertanya-tanya juga ada hubungan apa Rinta dan Firman."Mon, mungkin nggak kalau Firman itu pacarnya Rinta juga?" tanyaku lagi. Pertanyaan yang satu belum terjawab sudah muncul pertanyaan lainnya. "Apa kita samperin ke sana?" tanyaku pada Alan. "Ya sudah, kita ke sana aja, pengen tahu si Rinta jawab apa nantinya," ajak Alan. Akhirnya kami memutuskan untuk menghampiri mereka. Langkah kakiku dan Alan sangat pelan. Kami berdua berdampingan dan jalan penuh kehati-hatian.Aku melaku
Aku ditarik olehnya ke kursi tunggu. Wanita yang belum kuingat namanya itu tampak serius ingin bicara denganku."Ini nggak apa-apa saya negur saat ada pacarmu?" tanyanya membuatku terkejut. Alan dikira pacarku, padahal ketemu saja baru beberapa hari ini."Nggak apa-apa, Tante. Rasa penasaran saya memuncak nih," ucapku lagi.Tiba-tiba saja dokter datang saat kami hendak bicara di kursi tunggu. Jadi, ia memilih menunda lebih dulu."Maaf, keluarga dari Firman?" tanya dokter."Iya, saya ibunya Firman," jawabnya dengan serius.Jadi wanita yang barusan mengenalku itu orang tuanya Firman, tapi kenapa aku tidak mengenalnya? Bukankah ia tadi juga tahu bahwa aku ini mantannya Fikri?Sederet pertanyaan muncul, Alan pun menghampiriku, bibirnya sedikit mendekat dan berbisik. "Kok aku jadi tambah penasaran ya," bisik Alan. Jangankan aku yang memiliki permasalahan, Alan pun ikut penasaran yang hanya berniat membantu.Dokter itu mengajak ibunya Firman bicara empat mata di ruangan. jadi mereka berdua
Ketika wanita itu datang ke UGD, ia langsung diarahkan ke ruangan ICU oleh suster. Sedangkan aku masih berusaha mengingat wajahnya. Namun ingatanku tidak juga muncul."Kita ke ICU, Lan. Tanya-tanya wanita itu, jujur saja aku belum mampu mengingatnya," kataku sambil memegang pelipis mata. "Memang siapa itu, Mon?" tanya Alan balik."Kalau tahu, aku nggak akan sepusing ini, Lan, aku juga penasaran kok rasanya nggak asing melihat dia," timpalku lagi. "Ayolah kita ke ICU!" ajakku lagi.Namun, ketika kami hendak melangkah, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Pak Nando. Aku melirik ke arah Alan, sebab tadi dia yang menjamin bahwa aku bebas dari omelan Pak Nando. "Lan, ini Pak Nando, kata kamu ...." Ucapanku terputus karena lebih baik mengangkat teleponnya. Akhirnya aku angkat setelah berdering beberapa kali. "Halo, Pak," ucapku dengan hati gemetar. "Iya, Mona. Sekarang kamu kembali ke kantor. Saya harap sekarang juga ya, tolong jangan membantah. Bilang sama Alan sekalian dia yang an
Bab 21Tiba-tiba saja ada suara teriakan minta tolong. Aku dan Mona sontak terkejut dan berusaha menoleh dengan sengaja ke arah ujung suara. Namun, karena kami lengah dalam sekejap laki-laki itu menepis tanganku hingga terjatuh. Buk! Ia pun lari cukup jauh. Mona yang melihatku terjatuh pun tidak fokus lagi pada lelaki yang nyaris kurang ajar padanya. Aku segera bangkit, jatuh karena tangkisan tangan lelaki tadi, jadi ia sengaja kabur setelah melihatku yang sedang lengah. "Sial dia kabur," kataku sambil melempar batu kecil di hadapanku. Sedangkan Mona mencari sumber suara yang berteriak tadi."Loh, suara nenek yang tadi di sana juga nggak ada," timpal Mona sambil mengedarkan pandangan. Kemudian ia turut membantuku dan mengekori saat aku berusaha mencari orang tadi.Kami cari laki-laki yang katanya sengaja melakukan ini, yang katanya dibayar oleh seseorang hanya untuk menjatuhkan Mona. "Kita cari laki-laki tadi, pasti belum jauh," ajak Alan sambil menarik pergelangan tanganku. Namun