Share

Bab 3

Saat ketukan ketiga, tiba-tiba saja lengan ini ditarik paksa oleh seseorang hingga diseretnya ke tempat sampah. Kami bersembunyi di balik tempat sampah. 

"Fikri," celetukku ketika melihat sosok laki-laki yang ternyata adalah mantan kekasihku saat di bangku sekolah menengah kejuruan. Kami pacaran cukup lama, nyaris menikah tapi aku lebih memilih Mas Ari. 

"Sttt, jangan berisik," timpalnya. Kami masih bersembunyi, karena dipastikan setelah ini akan ada yang keluar.

Benar saja, Mas Ari keluar dengan sudah mengenakan kolor dan kaos oblong saja. Ia tengak-tengok mencari orang yang mengetuk pintu, lalu menutupnya kembali. 

Hatiku menjerit melihat ia keluar lalu masuk lagi. Ya, itu suamiku yang berani melamar dan mempersuntingku beberapa tahun yang lalu.

"Sabar ya," ucap Fikri. Aku baru tersadar bahwa apa laki-laki lain di hadapanku yang menyaksikan kepiluanku. 

"Kamu kok ada di sini?" tanyaku penasaran. 

"Jangan keras-keras, kamu mau dengar suamimu sedang bercinta nggak? Dia di kamar belakang, dan kamarnya satu tembok denganku, itu yang sebelah rumahku," terang Fikri sambil menunjuk rumahnya dengan jari telunjuk.

Aku terdiam, malu mendengar penuturan Fikri barusan. Ia mengetahui kelakuan suamiku, padahal dulu aku menolaknya karena perihal pekerjaan yang tidak mapan.

"Aku mau pulang aja," sahutku di depannya. 

"Nggak mau mergoki suami sedang zina?" tanya Fikri lagi.

Aku menggelengkan kepala. Lalu bangkit dari duduk yang setengah jongkok. Namun, tangan ini ditarik oleh Fikri kembali. Ia memintaku untuk ikut dengannya. 

"Kita mau ke mana?" tanyaku padanya. 

Fikri terus menerus menyeretku paksa. Jaraknya sudah cukup jauh dari rumah yang Mas Ari tadi singgahi. Lalu ia berhenti di sebuah rumah yang bertuliskan ketua RT.

"Untuk apa ke sini?" tanyaku pada Fikri. 

"Mau nyuruh kamu berikan saksi bahwa mereka bukan suami istri, tapi kamu lah istrinya," usul Fikri. 

Aku terdiam, masih menimbang ucapannya. Rasanya masih bimbang melakukan hal itu, sebab aku tak mau juga aib keluarga tersebar ke mana-mana. 

"Sepertinya terlalu berlebihan, aku tidak perlu bar-bar. Untuk apa? Rasanya untuk saat ini yang kuinginkan hanya berpisah," jawabku pada Fikri. 

Ia menghela napas sambil tertawa. Sesekali membelah rambutnya dengan kelima jarinya.

"Sudah beberapa pekan, suamimu ada di sini, berzina. Tahukah kamu dosa zina bisa kena imbas 40 rumah di sekitarnya?" cetus Fikri membuatku terdiam. Sebenarnya perihal dosa itu hanya urusan Tuhan, dan apa yang kulakukan ini semata-mata hanya ingin meyakinkan diri ini saja bahwa aku salah memilih suami. 

"Lalu aku harus melaporkan?" tanyaku padanya. 

"Ya, mereka harus menanggung akibat dari perbuatannya. Kamu lapor, lalu kita liput di sosial media, bukankah itu sanksi sosial untuknya nanti?" Kata Fikri sambil mengajukan pertanyaan. 

"Terlalu berlebihan kalau harus sampai ke sosial media, aku nggak mau," jawabku menolak tawaran Fikri.

Tidak lama kemudian, ada warga yang lewat, dua orang ibu-ibu. Mereka melintasi rumah RT yang kami lewati.

"Benar-benar keterlaluan itu dua orang, ke sini hanya numpang buang kotoran saja, warga sini nanti yang kena dampak sialnya, bukan hanya sekali dua kali, tiap siang selalu ke sini entah seminggu bisa tiga kali," jelasnya membuatku menelan ludah. 

Apa yang dimaksudkan Mas Ari dan Rinta? Tapi kan mereka juga nggak pernah lihat mereka ngapain di dalam. 

"Iya, Bu. Tiap keluar pasti yang cewek rambut basah, dan masuk mobil sambil cium bibir, ih nggak tahu malu, anak saya si Fano pernah lihat, kan mereka jadi tanya-tanya, dan mengira perbuatan itu pantas ditiru," jawab ibu yang satunya. Jadi, sebagian warga pun turut kesal di sini melihat mereka mempertontonkan kemesraannya.

"Pak Wendi pernah nanya katanya nggak ada buku nikah mereka berdua, bilang nikah siri, tapi kenapa ke sini hanya di saat waktu tertentu aja?" tanya ibu yang satunya lagi. Mereka berdua bicara dengan langkah kaki yang sesekali berhenti di depanku dan Fikri. 

Sebaiknya aku ikut kata Fikri saja, melaporkan pada RT setempat dan mengakuinya bahwa aku adalah istri sah Mas Ari, dan wanita yang dibawanya ke rumah yang setengah jadi itu adalah pembantuku. 

"Baiklah, Fik. Aku bersedia memberikan keterangan bahwa aku istri sah dan mereka bukan pasangan yang telah terikat pernikahan. Mereka itu pezina," ucapku dengan lantang.

Kemudian, kami masuk, lalu Fikri membantu menjelaskan maksud kedatangan kami berdua. Setelah dijelaskan panjang lebar, ketua RT setempat pun langsung mengajakku untuk memergokinya sekarang juga.

"Baiklah, kita ke rumahnya sekarang, mumpung mereka ada di sini," ajaknya. "Apalagi Mbak punya bukti foto pernikahan di ponsel," tambahnya lagi. Sebab, aku memang menunjukkan foto pernikahan kami yang tersimpan di memori telepon genggam milikku. 

"Ayo, sekarang, soalnya sepuluh menit lagi biasanya mereka cabut dari rumah itu," pungkas Fikri sampai hafal betul jadwal mereka keluar.

"Kamu sampai hafal, Fik?" tanyaku sekali lagi. 

"Ini jam makan siang, sepertinya suami kamu hanya memanfaatkan istirahat siangnya," jawab Fikri membuatku sesak. Tangan ini memegang dada, lalu mengatur napas dalam-dalam agar tidak tersulut emosi dan sakit hati yang terlalu dalam.

"Ya sudah, kita jangan buang-buang waktu lagi," timpalku kini semakin semangat. 

Kami bertiga keluar dari rumah RT. Namun, ternyata sudah ada beberapa warga di depan pintu RT. 

"Pak, itu yang penghuni baru, pengantin baru atau bukan si? Masa ke sini tiap siang? Udah gitu di depan umum kadang ciuman," ucap ibu berbaju merah pekat dengan rambut diikat. Ia tampak kesal dengan Mas Ari dan Rinta yang tak bisa menjaga sikap. 

"Iya, tenang ya, kami bertiga mau menegurnya," jawab RT yang sudah bersiap ke rumah minimalis yang masih belum direnovasi bagian depannya. 

"Wah, kami turut senang deh, Pak. Semoga mereka bukan pasangan zina, kalau pun sudah menikah, tolong dinasihatin untuk jaga sikap. Ini bukan luar negeri main nyosor aja ada anak-anak di bawah umur," celetuknya lagi dengan mencontohkan mimik bibir yang monyong saat bilang nyosor.

Akhirnya ibu tadi pun pergi. Sedangkan kami, bergegas menuju rumah yang disinggahi suamiku dengan pelakor. 

Meskipun hati ini dihujani rasa benci padanya, tapi aku berniat untuk bicara pelan-pelan dulu.

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
kurang greget harusnya bawa cabe
goodnovel comment avatar
Roy Martin
busesyettt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status