Share

Bab 2

"Ibu, sejak kapan berdiri di belakangku?" tanya Rinta. Ia mendekap ponselnya, lalu mundur ke belakang sambil menatapku. 

"Lingerie apa, Rinta? Barusan kamu bicara dengan siapa?" cecarku dengan kaki terus melangkah maju. Mata ini menyorotnya sambil terus melangkah, sedangkan Rinta terus mundur hingga mentok di ujung wastafel. 

"Bu, maafkan saya, kemarin sewaktu masak, baju saya kesiram minyak, jadi pinjam baju Ibu sekenanya yang di lemari," sanggah Rinta masih berdiri tegak. Ia menggigit bibirnya sambil sesekali terlihat menelan ludah.

"Oh begitu," ucapku sambil mengangguk. Tapi terus mendekati wanita yang terbilang masih muda itu. 

Aku sudah yakin bahwa orang yang ia hubungi barusan adalah Mas Ari, tapi sebaiknya tidak sekarang membongkar semuanya. 

"Boleh lihat ponsel kamu?" tanyaku penasaran juga. Ingin menyudahi menyecar Rinta, tapi rasa penasaranku justru menggebu-gebu. 

Rinta menatapku, tapi perlahan ponselnya pun ia berikan sambil menatapku dengan wajah sendu. Setelah ponselnya kugenggam. Mas Ari justru menghubungi ke nomorku. Akhirnya jari ini mengusap lembut layar ponsel yang sedang menyala. Aku pun mengangkat telepon sambil menarik kursi meja makan.

"Halo, Mas," ucapku mendahului.

"Halo, Sayang. Kamu sudah pulang?" tanya Mas Ari membuatku seketika menoleh ke arah Rinta lagi. Kulihat tangan Rinta mengelus dadanya, ternyata mereka saling menutupi satu sama lain. Baiklah kalau begitu, aku tidak akan gegabah dalam mengambil sikap. Ikuti saja main kucing-kucingan. Hingga suatu saat kucing itu tertangkap basah sedang menyergap tikus got.

"Ya, Mas, aku sudah di rumah," jawabku sambil meneguk air putih. Rasanya hati ini panas, jadi kusiram dulu dengan air putih untuk sekadar menormalkan darah yang sudah tersulut emosi.

"Emm, aku cuma mau bilang, sebentar lagi akan ada paket datang untukmu, aku belikan kamu lingerie baru. Jadi kemarin Rinta hubungi aku melalui sambungan telepon, katanya bajunya kena minyak, jadi kusuruh ambil bajumu sementara sambil nunggu bajunya kering. Eh, emang dasar orang udik ya, dia malah pilih lingerie milikmu, aku juga baru engeh setelah bangun tidur tadi kok ada lingerie menggantung, nggak mungkin kan kamu pakai baju bekas pembantu lagi? Jadi aku belikan kamu yang baru," ungkap Mas Ari panjang lebar sepanjang jalan kenangan. 

Aku menyunggingkan senyuman, antara ingin tertawa dengan kompaknya kebohongan mereka, atau ingin tertawa dengan alasan umpatan yang Mas Ari lontarkan. Mungkin hanya ingin menutupi sesuatu, jadi menjelek-jelekkan Rinta. 

"Terserah kamu, Mas. Buatku nggak penting hanya sekedar lingerie," jawabku singkat. 

"Ya, kamu jangan mikir aneh-aneh, aku juga kerja dari pagi sampai sore, tiap hari Rinta jam 11 siang pun sudah pulang, jadi kami tidak pernah bertemu, pagi-pagi sekali dia belum datang aku sudah berangkat kerja, jadi kami memang nggak pernah ketemu," jelasnya lagi. Orang kalau tengah berbohong pasti segala apapun dibicarakan, padahal aku tak menanyakannya sama sekali. 

"Ada lagi, Mas yang ingin kamu bicarakan? Aku mau makan dulu, laper," timpalku enggan bicara dengannya panjang lebar. 

"Ya sudah, sore ini aku nggak lembur di kantor deh, demi kamu, Sayang," rayunya, kemudian telepon pun terputus setelah ia mengucapkan rayuan-rayuan lain untukku.

Aku meletakkan ponsel di atas meja. Sedangkan Rinta terlihat merapikan rambutnya dengan ikat tali, lalu ia mendekatiku dan hendak pamit, karena tugasnya telah selesai. 

"Saya pulang, Bu," ucapnya sambil menundukkan wajahnya. Semenjak pertanyaan yang tadi kulontarkan, ia tak berani lagi menatapku. 

"Bawa lingerie yang pernah kamu pakai," suruhku sambil menyendok nasi. Mataku tak menoleh ke arahnya sama sekali. Ia melangkahkan kakinya ke arah kamarku, lalu kembali lagi menemuiku.

"Ini benar untuk saya, Bu?" tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk sambil mengunyah makanan. Lalu ia pulang ke rumahnya yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku ini.

Setelah Rinta pergi, aku meletakkan sendok dan menyingkirkan makanan yang ada di hadapanku. Tangan ini berada di kening, lalu memejamkan mata sejenak. Tiba-tiba kepikiran untuk mengikuti ke mana Rinta pergi. 

Aku ambil ponsel, lalu mencari taksi online dan menyuruhnya menunggu di depan gerbang perumahan. Sengaja aku tidak membawa mobil sendiri, supaya lebih aman dan tidak ketahuan. 

Rinta memiliki ojek langganan di depan perumahan. Aku sengaja menunggu taksi di daerah sebelum pangkalannya. Kulihat Rinta naik dibonceng belakang, lalu aku menyuruh sopir taksi mengikuti ke mana pun motor itu pergi. 

"Ikuti motor itu ya," suruhku sambil menunjuk ke arahnya. 

"Loh Bu, kan tujuan kita di aplikasi bukan itu," ucapnya membuatku teringat tadi klik alamat rumah Rinta.

"Iya, tapi coba aja, saya klik alamat rumah yang kita ikuti kok," suruhku lagi.

Akhirnya setelah debat lama, kami mengikuti Rinta. Ada sedikit cemas saat Rinta menoleh tapi untungnya aku memakai taksi, semisal pakai mobil pribadi mungkin ia sadar.

"Bu, seharusnya kita belok kiri," papar sopirnya. Dari sini aku sudah curiga, pasti bukan pulang, ia menuju tempat lain.

"Kita ikuti dia saja, masalah ongkos gampang, Pak. Nih pegang saja dulu dua ratus ribu, sisanya nanti setelah selesai," ucapku sambil memberikan uang lembaran merah dua lembar.

Sopir langsung bergegas, ia mengikuti terus laju motor yang ditumpangi Rinta. Di pertigaan setelah lampu merah, Rinta berhenti dan melepaskan helm yang ia pakai. Lalu ia berjalan sedikit ke tepi jalan, dan Rinta berhenti di satu mobil, yang tidak lain adalah mobil Mas Ari. Aku melepaskan kacamata, menyaksikan Mas Ari membuka pintu mobil untuk Rinta. 

"Ternyata murahnya selera kamu, Mas," ceketukku sendirian. Lalu menepuk punggung sopir dan menyuruhnya jalan mengikuti mobil Mas Ari. 

Meskipun hatiku teriris, tapi rasa penasaranku lebih besar, sebab Mas Ari bilang ia kerja dan sibuk, tapi kenyataannya bisa jemput wanita itu.

"Bu, mobil itu ke sebuah rumah di perumahan juga," ucap sopir. 

Aku menyorot perumahan yang kami singgahi, ternyata perumahan yang dulu aku inginkan, perumahan cluster dengan desain minimalis. Astaga, kenapa ia ke sini bersama Rinta?

Aku menyuruh sopir agak menjauh dari mobilnya. Ia berhenti tepat di satu rumah yang benar-benar aku inginkan. Lalu Mas Ari turun, dan menggandeng mesra tubuh wanita berusia 21 tahun itu.

Dadaku bergetar, ingin rasanya ikut masuk ke rumah itu, tapi tidak kuat juga menyaksikan kenyataan di depan mata nantinya. Namun, hati ini penasaran, apa yang tengah mereka lakukan di dalam?

Sekitar dua menit, aku berpikir harus melakukan apa. Kuketuk jari ke kursi mobil. Sesekali tubuh ini bersandar, kadang duduk tegak, mengikuti kata hati mana yang harus kulakukan?

"Pak, tunggu sini ya, aku mau masuk sebentar," suruhku sambil membuka pintu mobil. Ternyata aku memilih untuk melihat ke dalam dan memergokinya sekarang juga.

Lalu aku langkahkan kaki ini ke arah rumah yang cukup besar itu meskipun dengan hati yang sakit. Kuketuk pintu yang belum ada bel nya itu.

Bersambung 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
deg deg deg kan thier
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status