Share

Bab 4

Langkah Fikri tiba-tiba terhenti, ketika melihat dari sudut depan banyak segerombolan ibu-ibu membawa alat perangnya di dapur. Tangan Fikri dibentangkan seraya mencegahku untuk melanjutkan ke arah rumah yang kini sedang dibuat gelut oleh pasangan yang dimabuk asmara. 

"Mona, kamu ikut aku," suruh Fikri kini meraih tanganku. "Pak RT gabung sama ibu-ibu yang sudah siap membawa panci dan centong," tambah Fikri lagi.

Pak RT dan istrinya mengangguk. Namun, langkah Fikri kembali terhenti lalu menyapa Pak RT kembali. "Pak, jangan bilang istrinya ada di sini, ya!" teriak Fikri lagi. Kata Fikri kamar mereka ada di belakang, jadi takkan mendengar teriakan Fikri barusan.

Entahlah apa yang ingin dilakukan Fikri kepadaku, ia hanya menarikku dan meminta mengikuti saja perintahnya. Saat ini di otakku hanya ada bayangan Mas Ari yang sedang bercinta dengan wanita tak tahu malu itu.

Terlintas bagaimana Fikri dan ibu-ibu yang bergosip tadi bilang bahwa mereka sering menunjukkan kemesraannya di depan umum. Setidaknya bibirnya pernah melekat di wanita itu, lalu juga singgah di bibirku. Rasanya ingin kumuntahkan jika itu bisa. Namun, aku hanya mampu mengusap kasar saat mengingatnya.

"Ah, jijik!" teriakku sambil mengusap bibir sendiri. Langkah Fikri pun terhenti dan menoleh ke arahku.

"Jijik?" tanyanya dengan penuh penekanan. 

"Ya, tiba-tiba terbayang saja saat ia mencumbu Rinta, rasanya bayangan itu menari-nari di pikiranku ini," timpalku ikut berhenti. 

"Kita tunggu di sini, lihat ekspresi mereka dulu ketika ibu-ibu datang menyerbu," ungkap Fikri sambil menyuruhku bersembunyi di balik daun talas yang cukup besar dan menutupi tubuh kami.

Aku menuruti ucapannya. Tiba-tiba saja sopir taksi online pun menepuk pundak ini. Ternyata sedari tadi ia menungguku kembali, aku lupa mengabarkannya dan belum memberikan uang bahkan tambahan yang kujanjikan untuknya. 

"Maaf, Pak. Saya lupa kalau hanya sampai di sini antarnya, ini uang ongkosnya dan tambahan untuk Bapak," ucapku sambil memberikan uang lembaran merah tiga lembar supaya ia tak lagi berada di sini. 

"Iya, saya nungguin karena kata Ibu sebentar," jawabnya membuatku tersenyum tipis. "Ya sudah kalau begitu, terima kasih," tambahnya kemudian pergi. 

Fikri yang menyaksikan aku lupa pun menatap sambil melontarkan senyuman. 

"Kenapa senyam-senyum?" tanyaku dengan mata menyipit. 

"Dari dulu lupaan, nggak berubah. Untung nggak lupa kalau punya suami," ejeknya membuatku menghela napas. 

Aku fokus kembali ke keramaian ibu-ibu kompleks yang sudah siap beraksi. Tidak ada yang meminta mereka untuk melakukan hal itu, ibu-ibu inisiatif sendiri karena sudah geram dengan mereka berdua.

Pintu mulai digedor karena dikunci oleh Mas Ari, hitungan detik mereka belum keluar juga, dan setelah berselang dua menit, akhirnya Mas Ari mengeluarkan batang hidungnya. 

Fikri meraih ponselnya, ia hendak merekam kejadian yang memalukan itu. 

"Fik, nanti membahayakan kamu," cegahku karena pengalaman yang aku sering lihat menyebarkan berita masalah seperti ini kadang malah dilaporkan balik. 

"Tenang, aku ini wartawan, Mon," jawabnya membuatku menoleh. 

"Oh," jawabku singkat. Pantas saja sedari tadi Fikri berusaha menyusun rencana dan ingin menyebarkan di sosial media. Ternyata ini kerjaannya. Ia seorang wartawan yang tugasnya mencari berita-berita hangat.

Mas Ari keluar dalam kondisi sudah rapi. Namun, kemejanya sudah tak dimasukkan lagi ke dalam celana panjang yang ia kenakan. Sementara Rinta, aku belum sama sekali melihat wajahnya.

"Apa-apaan ini? Kenapa ke sini ramai-ramai?" tanya Mas Ari dengan tangan berkacak pinggang. Cuaca terik membuat matanya agak sedikit menyipit karena silau.

"Keluar dari kompleks ini, jangan kotori perumahan ini!" teriak ibu yang berbaju merah pekat. 

"Ini rumah saya, apa urusan kalian!" sentak Mas Ari seraya menantang.

"Loh, kalian zina, masih tanya urusan kami apa? Hah!" sentak ibu itu lagi. 

Aku melihat satpam berdatangan melerai pertengkaran ini. Ada dua orang satpam menghadang dan berusaha jadi penengah. 

"Maaf, Pak RT. Ini ada apa?" tanya satpam tersebut.

"Laki-laki ini diduga zina, Pak," jawab Pak RT. 

"Saya dan Rinta sudah menikah, enak saja dibilang zina," timpal Mas Ari. Aku menyaksikan ia mengatakan itu, tak kusangka Mas Ari begitu melindungi Rinta dari cengkraman warga.

"Mana buktinya kalau kalian sudah menikah?" tanya Pak RT dengan tegas.

"Ya, nggak saya bawa," jawab Mas Ari enteng. 

"Huh!" Semua yang ada di hadapan Mas Ari meneriakinya diiringi suara panci terdengar semakin berisik dan heboh.

"Usir dia! Atau sekalian aja arak!" teriak salah seorang warga menambah suasana semakin panas. 

Tidak lama kemudian Rinta keluar dalam keadaan rambut basah, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu bersembunyi di balik tubuh Mas Ari. 

Tangan Mas Ari tampak menggengam pergelangan tangan Rinta. Namun, lagi-lagi satpam berusaha menghadang.

"Sebaiknya, semua warga bubar ya, ini urusan rumah tangga orang, tidak baik ikut campur," jelas Pak Satpam membubarkan kerumunan. 

"Minggir kata saya, kalau tidak, akan saya laporkan ke pihak yang berwajib!" ancam Mas Ari pada warga. Akhirnya mereka perlahan mundur sedangkan Mas Ari mengunci pintu rumahnya, lalu menggenggam lengan Rinta dan jalan perlahan ke mobilnya.

Aku terus memperhatikan mereka berdua, tidak menyangka ini terjadi, aku pikir Mas Ari lelaki setia, ternyata ia lelaki hidung belang. 

"Kamu diam saja, Mon? Lihat suami membela seorang pembantu, ia sebegitu melindungi wanita itu," hasut Fikri setelah mematikan rekaman videonya. 

Aku diam karena tak habis pikir dengan tingkah Mas Ari, dan merasa diri ini sangat hina karena kalah dengan wanita yang baru saja hadir sebagai asisten rumah tangga. 

"Kamu wanita, bukan berati lemah dan diinjak-injak, Mon," tambah Fikri lagi. Tenggorokan ini sedikit tersumbat dengan air liur yang menghambat. Panas, dadaku kini seraya terbakar api, rasanya ingin kuguyur saja dengan air es. 

Aku mengurutkan dada, lalu menghela napas sambil terpejam. 

"Tunggu apalagi, Mon, suamimu tuh memperlakukan pembantu bak seorang bidadari. Sedangkan bidadarinya yang berada di sebelahku ini, diperlakukan seperti babu, kamu kerja ikut banting tulang agar semuanya terbeli tanpa meminta dengan suami dan orang tua, lantas wanita itu yang menikmati hasilnya?" Fikri terus menerus membuatku semakin tersulut emosi.

Akhirnya aku tarik napas dalam-dalam, lalu bangkit dan melangkah setengah berlari ke arah mobil Mas Ari yang belum dinyalakan mesinnya. 

Kini aku berada di depan mobil milik Mas Ari. Awalnya ia tidak engeh karena sedang memakai seat belt. Namun, ketika aku menggebrak mobilnya dengan telapak tangan ini. Keduanya sontak menyorotku penuh. 

"Turun kalian!" sentakku dengan mata membulat. Kini bukan hanya mereka berdua yang menyorotku. Warga yang tadi sempat membawa alat-alat masak pun menoleh dan fokus memperhatikanku.

Mereka berdua hanya saling beradu pandangan. Lalu Mas Ari membuka kaca mobilnya. 

"Minggir!" teriaknya berani mengusir. 

Aku menggelengkan kepala sambil tertawa. Lalu aku nekat naik Kap Mesin mobil agar ia tidak bisa menabrakku.

"Gila kamu, Mon. Turun!" teriak Mas Ari. 

Kulihat warga mulai menghampiri mobil. Masing-masing sudah menaikkan lengan bajunya. Lalu mengetuk pintu mobil dengan berbagai macam alat masak. Panci dan segala centong nasi menjadi senjata mereka. 

"Turun kalian!" Kini gantian mereka berdua disuruh turun oleh warga. Sedangkan satpam, sudah tidak berani melerai karena kini sudah tahu dari Pak RT bahwa akulah istrinya. 

Sebagian ibu-ibu ada yang memanfaatkan momen ini dengan menyebarkan secara langsung di sosial medianya. Aku perhatikan dari Kap Mesin mobil yang kutumpangi, "Gaess, di sini seru, ada pelakor nih nggak tahu malu, kepergok istrinya nggak mau ngaku, malah ngancam kami se perumahan," ucap terdengar suara ibu-ibu yang sedang melakukan siaran langsung. 

Bersambung 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
ah Mona kurang tegas udah tau cuman naik knop mesti bawa batu dan pecah tuh kaca
goodnovel comment avatar
Lala
wanita lemah si mona, cih laki bgtu msih di diemin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status