Langkah Fikri tiba-tiba terhenti, ketika melihat dari sudut depan banyak segerombolan ibu-ibu membawa alat perangnya di dapur. Tangan Fikri dibentangkan seraya mencegahku untuk melanjutkan ke arah rumah yang kini sedang dibuat gelut oleh pasangan yang dimabuk asmara.
"Mona, kamu ikut aku," suruh Fikri kini meraih tanganku. "Pak RT gabung sama ibu-ibu yang sudah siap membawa panci dan centong," tambah Fikri lagi.
Pak RT dan istrinya mengangguk. Namun, langkah Fikri kembali terhenti lalu menyapa Pak RT kembali. "Pak, jangan bilang istrinya ada di sini, ya!" teriak Fikri lagi. Kata Fikri kamar mereka ada di belakang, jadi takkan mendengar teriakan Fikri barusan.
Entahlah apa yang ingin dilakukan Fikri kepadaku, ia hanya menarikku dan meminta mengikuti saja perintahnya. Saat ini di otakku hanya ada bayangan Mas Ari yang sedang bercinta dengan wanita tak tahu malu itu.
Terlintas bagaimana Fikri dan ibu-ibu yang bergosip tadi bilang bahwa mereka sering menunjukkan kemesraannya di depan umum. Setidaknya bibirnya pernah melekat di wanita itu, lalu juga singgah di bibirku. Rasanya ingin kumuntahkan jika itu bisa. Namun, aku hanya mampu mengusap kasar saat mengingatnya.
"Ah, jijik!" teriakku sambil mengusap bibir sendiri. Langkah Fikri pun terhenti dan menoleh ke arahku.
"Jijik?" tanyanya dengan penuh penekanan.
"Ya, tiba-tiba terbayang saja saat ia mencumbu Rinta, rasanya bayangan itu menari-nari di pikiranku ini," timpalku ikut berhenti.
"Kita tunggu di sini, lihat ekspresi mereka dulu ketika ibu-ibu datang menyerbu," ungkap Fikri sambil menyuruhku bersembunyi di balik daun talas yang cukup besar dan menutupi tubuh kami.
Aku menuruti ucapannya. Tiba-tiba saja sopir taksi online pun menepuk pundak ini. Ternyata sedari tadi ia menungguku kembali, aku lupa mengabarkannya dan belum memberikan uang bahkan tambahan yang kujanjikan untuknya.
"Maaf, Pak. Saya lupa kalau hanya sampai di sini antarnya, ini uang ongkosnya dan tambahan untuk Bapak," ucapku sambil memberikan uang lembaran merah tiga lembar supaya ia tak lagi berada di sini.
"Iya, saya nungguin karena kata Ibu sebentar," jawabnya membuatku tersenyum tipis. "Ya sudah kalau begitu, terima kasih," tambahnya kemudian pergi.
Fikri yang menyaksikan aku lupa pun menatap sambil melontarkan senyuman.
"Kenapa senyam-senyum?" tanyaku dengan mata menyipit.
"Dari dulu lupaan, nggak berubah. Untung nggak lupa kalau punya suami," ejeknya membuatku menghela napas.
Aku fokus kembali ke keramaian ibu-ibu kompleks yang sudah siap beraksi. Tidak ada yang meminta mereka untuk melakukan hal itu, ibu-ibu inisiatif sendiri karena sudah geram dengan mereka berdua.
Pintu mulai digedor karena dikunci oleh Mas Ari, hitungan detik mereka belum keluar juga, dan setelah berselang dua menit, akhirnya Mas Ari mengeluarkan batang hidungnya.
Fikri meraih ponselnya, ia hendak merekam kejadian yang memalukan itu.
"Fik, nanti membahayakan kamu," cegahku karena pengalaman yang aku sering lihat menyebarkan berita masalah seperti ini kadang malah dilaporkan balik.
"Tenang, aku ini wartawan, Mon," jawabnya membuatku menoleh.
"Oh," jawabku singkat. Pantas saja sedari tadi Fikri berusaha menyusun rencana dan ingin menyebarkan di sosial media. Ternyata ini kerjaannya. Ia seorang wartawan yang tugasnya mencari berita-berita hangat.
Mas Ari keluar dalam kondisi sudah rapi. Namun, kemejanya sudah tak dimasukkan lagi ke dalam celana panjang yang ia kenakan. Sementara Rinta, aku belum sama sekali melihat wajahnya.
"Apa-apaan ini? Kenapa ke sini ramai-ramai?" tanya Mas Ari dengan tangan berkacak pinggang. Cuaca terik membuat matanya agak sedikit menyipit karena silau.
"Keluar dari kompleks ini, jangan kotori perumahan ini!" teriak ibu yang berbaju merah pekat.
"Ini rumah saya, apa urusan kalian!" sentak Mas Ari seraya menantang.
"Loh, kalian zina, masih tanya urusan kami apa? Hah!" sentak ibu itu lagi.
Aku melihat satpam berdatangan melerai pertengkaran ini. Ada dua orang satpam menghadang dan berusaha jadi penengah.
"Maaf, Pak RT. Ini ada apa?" tanya satpam tersebut.
"Laki-laki ini diduga zina, Pak," jawab Pak RT.
"Saya dan Rinta sudah menikah, enak saja dibilang zina," timpal Mas Ari. Aku menyaksikan ia mengatakan itu, tak kusangka Mas Ari begitu melindungi Rinta dari cengkraman warga.
"Mana buktinya kalau kalian sudah menikah?" tanya Pak RT dengan tegas.
"Ya, nggak saya bawa," jawab Mas Ari enteng.
"Huh!" Semua yang ada di hadapan Mas Ari meneriakinya diiringi suara panci terdengar semakin berisik dan heboh.
"Usir dia! Atau sekalian aja arak!" teriak salah seorang warga menambah suasana semakin panas.
Tidak lama kemudian Rinta keluar dalam keadaan rambut basah, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu bersembunyi di balik tubuh Mas Ari.
Tangan Mas Ari tampak menggengam pergelangan tangan Rinta. Namun, lagi-lagi satpam berusaha menghadang.
"Sebaiknya, semua warga bubar ya, ini urusan rumah tangga orang, tidak baik ikut campur," jelas Pak Satpam membubarkan kerumunan.
"Minggir kata saya, kalau tidak, akan saya laporkan ke pihak yang berwajib!" ancam Mas Ari pada warga. Akhirnya mereka perlahan mundur sedangkan Mas Ari mengunci pintu rumahnya, lalu menggenggam lengan Rinta dan jalan perlahan ke mobilnya.
Aku terus memperhatikan mereka berdua, tidak menyangka ini terjadi, aku pikir Mas Ari lelaki setia, ternyata ia lelaki hidung belang.
"Kamu diam saja, Mon? Lihat suami membela seorang pembantu, ia sebegitu melindungi wanita itu," hasut Fikri setelah mematikan rekaman videonya.
Aku diam karena tak habis pikir dengan tingkah Mas Ari, dan merasa diri ini sangat hina karena kalah dengan wanita yang baru saja hadir sebagai asisten rumah tangga.
"Kamu wanita, bukan berati lemah dan diinjak-injak, Mon," tambah Fikri lagi. Tenggorokan ini sedikit tersumbat dengan air liur yang menghambat. Panas, dadaku kini seraya terbakar api, rasanya ingin kuguyur saja dengan air es.
Aku mengurutkan dada, lalu menghela napas sambil terpejam.
"Tunggu apalagi, Mon, suamimu tuh memperlakukan pembantu bak seorang bidadari. Sedangkan bidadarinya yang berada di sebelahku ini, diperlakukan seperti babu, kamu kerja ikut banting tulang agar semuanya terbeli tanpa meminta dengan suami dan orang tua, lantas wanita itu yang menikmati hasilnya?" Fikri terus menerus membuatku semakin tersulut emosi.
Akhirnya aku tarik napas dalam-dalam, lalu bangkit dan melangkah setengah berlari ke arah mobil Mas Ari yang belum dinyalakan mesinnya.
Kini aku berada di depan mobil milik Mas Ari. Awalnya ia tidak engeh karena sedang memakai seat belt. Namun, ketika aku menggebrak mobilnya dengan telapak tangan ini. Keduanya sontak menyorotku penuh.
"Turun kalian!" sentakku dengan mata membulat. Kini bukan hanya mereka berdua yang menyorotku. Warga yang tadi sempat membawa alat-alat masak pun menoleh dan fokus memperhatikanku.
Mereka berdua hanya saling beradu pandangan. Lalu Mas Ari membuka kaca mobilnya.
"Minggir!" teriaknya berani mengusir.
Aku menggelengkan kepala sambil tertawa. Lalu aku nekat naik Kap Mesin mobil agar ia tidak bisa menabrakku.
"Gila kamu, Mon. Turun!" teriak Mas Ari.
Kulihat warga mulai menghampiri mobil. Masing-masing sudah menaikkan lengan bajunya. Lalu mengetuk pintu mobil dengan berbagai macam alat masak. Panci dan segala centong nasi menjadi senjata mereka.
"Turun kalian!" Kini gantian mereka berdua disuruh turun oleh warga. Sedangkan satpam, sudah tidak berani melerai karena kini sudah tahu dari Pak RT bahwa akulah istrinya.
Sebagian ibu-ibu ada yang memanfaatkan momen ini dengan menyebarkan secara langsung di sosial medianya. Aku perhatikan dari Kap Mesin mobil yang kutumpangi, "Gaess, di sini seru, ada pelakor nih nggak tahu malu, kepergok istrinya nggak mau ngaku, malah ngancam kami se perumahan," ucap terdengar suara ibu-ibu yang sedang melakukan siaran langsung.
Bersambung
"Tante, itu semua salah paham," terangku padanya."Salah paham apanya? Fikri itu keponakan aku, dia anak baik-baik yang telah kamu sia-siakan," balasnya dengan percaya diri. Terkadang seperti itu, orang mengira yang baik di depan kita akan baik juga di belakangnya, padahal banyak yang baik di depan dan jahat di belakang. "Tante, ini saya sudah memiliki bukti bahwa mobil Fikri yang menabraknya, dan ini juga ada surat laporan yang sudah saya laporkan ke polisi," kataku sambil menyodorkan handphone dan secarik kertas.Tante Ambar meraihnya, lalu membacanya, sesekali mata Tante Ambar melirik ke arahku. Terlihat di sudut matanya ada air mata yang mengembun.Sesekali bibirnya dibasahi oleh lidahnya, lalu terlihat Tante Ambar menghela napasnya. Kemudian, pipi wanita yang memiliki dua anak itu terlihat basah. Kini air mata pun banjir setelah tahu semuanya. "Fikri," isak Tante Ambar. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Aku pun menghampiri dan menuntunnya untuk duduk."Tante yang sabar
Setelah kami menghampirinya, ternyata darah segar sudah mengalir di kening Rinta. Tidak ada satu pun yang berani membawanya ke rumah sakit. "Alan, kita bawa Rinta ke rumah sakit," ajakku setelah menyeruak di kerumunan. "Pak tolong bantu kami bawa dia ke rumah sakit," kata Alan juga."Kata orang sini tabrak lari, Bu. Kami takut nyentuhnya. Nanti polisi jadiin kami saksi," jawab salah seorang warga.Tabrak lari lagi? Mungkinkah ini Fikri lagi? Kalau benar, berati laki-laki itu sudah gila.Darahnya terus mengalir, Rinta terlihat meringis kesakitan. Kemudian menarik telapak tanganku."Mon, tadi Fikri, tolong cari dia ...." Ucapan Rinta terhenti napasnya tampak sulit diatur. Seketika itu juga ia pingsan tergeletak di jalan."Lan, ayo cepat kita bawa saja!" suruhku berteriak. Setelah melihat ia tergeletak, barulah yang lain ikut membantu. Tiba-tiba suara sirine ambulance terdengar. Ternyata ada yang sudah menghubungi ambulance. Petugas langsung membawa Rinta yang sudah terkapar ke dalam
Aku mengelus dada, ternyata orang yang berada di layar CCTV adalah Fikri. Ia benar-benar keterlaluan. Laki-laki itu harus rela dendamnya berakhir di jeruji besi, dan yang akan melaporkannya saudaranya sendiri. Tanganku mengepal, lalu mengembuskan napas perlahan. Sisi burukku cuma satu, menolak cintanya pada saat itu tanpa meminta maaf bahkan menganggap Fikri. Jadi, ia menilaiku benar-benar musuhnya. Seandainya pada waktu itu aku memilih Fikri pun rumah tangga takkan awet jika hatinya diselimuti dendam. "Mon, kita mau gimana?" tanya Alan mengejutkan aku. Seketika lamunanku tentang Fikri buyar, bukan menyesal, tapi aku sangat menyayangkan kalau hari-harinya akan menjadi kelam selamanya. "Kita ketemuan sama Rinta, tunjukkan CCTV ini," ajak Mona pada Alan."Jam berapa kamu janjian?" tanya Alan lagi."Tadi bilang jam 5 sore," timpalku padanya. "Coba telepon Rinta lagi, ketemu sekarang saja," saran Alan. Namun, aku tidak langsung mengindahkan ucapannya. Sebab, kalau kami keluar kantor
"Boleh lihat CCTV nya nggak, Pak?" tanya Alan pada salah seorang yang berada di hadapan kami. Sepertinya mereka tetanggaan di sini, sering kumpul bareng."Wah, kalau itu nanti tanya ke yang punya rumah dulu ya, Pak, Bu. Soalnya orangnya kerja," terang yang tadi mengembalikan dompet Alan. "Oh begitu, ya sudah, ini nomor handphone saya, Pak, kalau orangnya sudah pulang, bisa telepon saya," tutur Alan sambil menyodorkan nomor ponsel yang telah ia tulis di kertas kecil.Kemudian, aku dan Alan kembali ke mobil, setelah memberikan tips untuk orang yang telah menemukan dompet Alan. Aku memakai sabuk pengaman sambil termenung, bisa-bisanya penabrak itu dengan sengaja menabraknya. "Aku yakin ini kerjaannya Fikri, aku pastikan ia masuk ke penjara juga. Kita tidak bisa menyudutkan dengan masalah sosial media, tapi kalau masalah kriminal gini, tentu polisi akan bertindak," kata Alan dengan yakinnya. Aku sedikit menelan ludah, sebab perbuatan ini sangat di luar kepala. Kalau iya Fikri orangnya
Tadinya aku sudah mulai emosi saat Fikri bicarakan tentang aku melalui sambungan telepon. Namun, Alan mencegahku untuk jangan gegabah. Tangan Alan menahan pundakku yang berusaha keluar dari tempat persembunyian. Setelah memastikan Fikri pergi, kami pun beranjak ke mobil. Pintu mobil kututup dengan keras. Aku masih tidak percaya dendam kesumat Fikri denganku begitu mendalam. Hingga harus menyuruh Rinta, yang ternyata saudaranya sendiri sebagai pembantu, berzina pula. Aku mengelus dada, hingga napas ini mampu aku keluarkan dengan perasaan lega. "Sabar ya, Mon, mungkin ini ujianmu. Setelah ini akan ada kebahagiaan yang menghampiri, percayalah bahwa setelah gelap pasti akan datang terang."Kecewa aja, Lan, sama Fikri. Cuma gara-gara nolak cintanya sampai segitunya menghancurkan hidupku," timpalku masih menampakkan kekesalan. "Terkadang, ketika kamu kecewa, itu membuatmu lebih kuat, kamu itu wanita pilihan, Mon," ucap Alan sambil menyetir mobil. Kami memutuskan untuk menyudahi penyeli
Kemudian langkah Rinta menuju Tante Ambar dan langsung menyergap tubuhnya. Aku menoleh ke arah Alan, kami berdua beradu pandangan. "Satu persatu ketebak, Mon. Ini ulah Rinta, ya kan?" Alan sangat yakin bahwa ini adalah ulah Rinta. "Lan, kok aku penasaran ya, kenapa Rinta peluk Tante Ambar? Bukankah yang sepupuan dengan Firman itu Fikri?" Aku bertanya-tanya pada Alan. Seketika kami berdua terdiam sejenak. Ini sungguh seperti teka-teki. Kami berdua yakin bahwa Rinta yang menjadi dalangnya. Akan tetapi masih bertanya-tanya juga ada hubungan apa Rinta dan Firman."Mon, mungkin nggak kalau Firman itu pacarnya Rinta juga?" tanyaku lagi. Pertanyaan yang satu belum terjawab sudah muncul pertanyaan lainnya. "Apa kita samperin ke sana?" tanyaku pada Alan. "Ya sudah, kita ke sana aja, pengen tahu si Rinta jawab apa nantinya," ajak Alan. Akhirnya kami memutuskan untuk menghampiri mereka. Langkah kakiku dan Alan sangat pelan. Kami berdua berdampingan dan jalan penuh kehati-hatian.Aku melaku
Aku ditarik olehnya ke kursi tunggu. Wanita yang belum kuingat namanya itu tampak serius ingin bicara denganku."Ini nggak apa-apa saya negur saat ada pacarmu?" tanyanya membuatku terkejut. Alan dikira pacarku, padahal ketemu saja baru beberapa hari ini."Nggak apa-apa, Tante. Rasa penasaran saya memuncak nih," ucapku lagi.Tiba-tiba saja dokter datang saat kami hendak bicara di kursi tunggu. Jadi, ia memilih menunda lebih dulu."Maaf, keluarga dari Firman?" tanya dokter."Iya, saya ibunya Firman," jawabnya dengan serius.Jadi wanita yang barusan mengenalku itu orang tuanya Firman, tapi kenapa aku tidak mengenalnya? Bukankah ia tadi juga tahu bahwa aku ini mantannya Fikri?Sederet pertanyaan muncul, Alan pun menghampiriku, bibirnya sedikit mendekat dan berbisik. "Kok aku jadi tambah penasaran ya," bisik Alan. Jangankan aku yang memiliki permasalahan, Alan pun ikut penasaran yang hanya berniat membantu.Dokter itu mengajak ibunya Firman bicara empat mata di ruangan. jadi mereka berdua
Ketika wanita itu datang ke UGD, ia langsung diarahkan ke ruangan ICU oleh suster. Sedangkan aku masih berusaha mengingat wajahnya. Namun ingatanku tidak juga muncul."Kita ke ICU, Lan. Tanya-tanya wanita itu, jujur saja aku belum mampu mengingatnya," kataku sambil memegang pelipis mata. "Memang siapa itu, Mon?" tanya Alan balik."Kalau tahu, aku nggak akan sepusing ini, Lan, aku juga penasaran kok rasanya nggak asing melihat dia," timpalku lagi. "Ayolah kita ke ICU!" ajakku lagi.Namun, ketika kami hendak melangkah, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Pak Nando. Aku melirik ke arah Alan, sebab tadi dia yang menjamin bahwa aku bebas dari omelan Pak Nando. "Lan, ini Pak Nando, kata kamu ...." Ucapanku terputus karena lebih baik mengangkat teleponnya. Akhirnya aku angkat setelah berdering beberapa kali. "Halo, Pak," ucapku dengan hati gemetar. "Iya, Mona. Sekarang kamu kembali ke kantor. Saya harap sekarang juga ya, tolong jangan membantah. Bilang sama Alan sekalian dia yang an
Bab 21Tiba-tiba saja ada suara teriakan minta tolong. Aku dan Mona sontak terkejut dan berusaha menoleh dengan sengaja ke arah ujung suara. Namun, karena kami lengah dalam sekejap laki-laki itu menepis tanganku hingga terjatuh. Buk! Ia pun lari cukup jauh. Mona yang melihatku terjatuh pun tidak fokus lagi pada lelaki yang nyaris kurang ajar padanya. Aku segera bangkit, jatuh karena tangkisan tangan lelaki tadi, jadi ia sengaja kabur setelah melihatku yang sedang lengah. "Sial dia kabur," kataku sambil melempar batu kecil di hadapanku. Sedangkan Mona mencari sumber suara yang berteriak tadi."Loh, suara nenek yang tadi di sana juga nggak ada," timpal Mona sambil mengedarkan pandangan. Kemudian ia turut membantuku dan mengekori saat aku berusaha mencari orang tadi.Kami cari laki-laki yang katanya sengaja melakukan ini, yang katanya dibayar oleh seseorang hanya untuk menjatuhkan Mona. "Kita cari laki-laki tadi, pasti belum jauh," ajak Alan sambil menarik pergelangan tanganku. Namun