Share

Bab 5

Aku mengangkat lengan baju dan menyuruhnya turun dari mobil sekali lagi. "Turun sekarang nggak!" teriakku sekali lagi dengan mata membulat. Namun, Mas Ari malah membunyikan klakson. 

Ibu-ibu yang mendengar dan melihatnya pun sontak mengepung area mobil. Tak segan-segan, ada beberapa orang yang memukul kaca mobil dengan keras.

Reaksi Rinta hanya menutup wajahnya. Beberapa orang terus membantuku meneriakinya untuk keluar. 

Kulihat area rumah Mas Ari semakin ramai. Orang yang berlalu lalang di jalan pun singgah dan ikut menyaksikan kehebohan ini. 

Setelah beberapa menit dalam kepungan, Mas Ari menautkan kedua tangannya di hadapanku seraya memohon.

Aku membentangkan tangan ini dan menyuruh semua yang ada di sini diam.

"Tolong diam dulu, kita dengarkan laki-laki itu mau bicara apa," suruhku untuk menghentikan aksi. "Jangan lupa dishoot, ya, supaya mereka tak bisa macam-macam," suruhku pada beberapa yang megang ponsel termasuk Fikri. 

Mas Ari membuka kaca mobilnya sedikit, ia takut dipukul memakai alat dapur yang sudah nyaris merusak mobilnya. 

"Mona, kita bicarakan baik-baik ya, semua ini salah paham," ucap Mas Ari setengah berteriak.

Kulihat wajah Rinta yang tertutup oleh kesepuluh jarinya pun dibuka. Ia menoleh ke arah Mas Ari. 

"Kamu bilang salah paham, Mas?" Aku mendengar Rinta berucap itu lirih, matanya mengembun, aku lihat ada rasa kecewa di matanya.

"Please, jangan ada acara ngambek, kita lagi genting," celetuk Mas Ari kudengar sedang mengancam Rinta. Namun, apa yang telah terjadi? Rinta membuka pintu mobil, lalu keluar dari mobil itu dan menghampiriku.

Aku yang masih berada di atas Kap Mesin pun terperangah melihatnya berani menghampiriku.

Wanita yang rambutnya masih terlihat basah itu ikut naik ke atas Kap Mesin, lalu meraih tanganku dan memohon.

"Bu, saya mencintai Mas Ari, tolong relakan Mas Ari untuk saya," lirihnya membuat orang sekeliling bersorak.

"Huh ... wanita tak tahu malu, udah jadi perusak malah minta direlakan, situ sehat?" Kedengaran kejam, tapi kata-kata yang tersirat dari mulut Rinta lebih sadis, ia yang merebut namun ia yang minta aku untuk merelakan. 

Aku tertawa geli, apalagi ketika menyaksikan Mas Ari yang berusaha menyuruh Rinta turun, rasanya bisa ikut gila jika aku menghadapi orang seperti mereka berdua.

"Bu, tolong relakan Mas Ari," lirihnya satu kali lagi. 

"Heh, wanita murahan. Siapa juga yang sudi balik dengan laki-laki seperti ini, makan saja, nikmati selayaknya ulat bulu sedang menikmati daun muda," ejekku supaya ia tersadar bahwa aku ke sini bukan untuk mempertahankan, tapi memberikan pelajaran. 

Para warga yang tadinya ramai, kini mulai sunyi senyap. Namun, ada salah seorang warga yang nyeletuk di hadapan semuanya. 

"Sekarang sudah jelas kan mereka itu kemarin-kemarin zina?" teriak salah seorang warga kencang dengan pertanyaan terdengar memastikan. 

"Huh, iya, bikin dosa di sini. Mending kita arak aja nih berdua! Disaksikan istri sahnya," celetuk lagi di antara mereka. Namun, satpam melerai lagi. Ia menahan untuk tidak melakukan hal tak berperikemanusiaan itu.

"Jangan halangi kami!" teriak mereka lagi.

Mas Ari menundukkan wajahnya, tapi tangannya berada di genggaman perempuan itu. Aku terluka melihatnya, rasanya sulit kupercaya, laki-laki yang kupilih sebagai kepala rumah tangga ternyata berselera seorang pembantu. Bukan karena gelar pembantu, tapi karena caranya yang telah merebut suami majikannya dengan cara yang kotor. 

"Sekarang saya tanya, apa kalian telah menikah?" tanya RT meyakinkan sekali lagi. 

"Sudah," jawab Mas Ari. Hatiku teriris, luka ini takkan kulupakan, meski sampai menua nanti.

"Ada buktinya?" tanya Fikri sambil menyoroti Mas Ari. Mata keduanya saling beradu pandangan. Sepertinya Mas Ari sedang mengulang memori sebelum melamarku dulu.

Mas Ari melangkah ke arah Fikri, lalu mengangkat kerahnya juga badan Fikri tinggi-tinggi.

"Elu ternyata ada di sini juga, mantannya bini gue. Atau jangan-jangan, kalian berdua ada main ya?" Mulailah Mas Ari memutar balikan fakta. Ia marah seperti orang yang terdzolimi. Padahal justru ini sebaliknya terjadi. 

Fikri menendang Mas Ari keras-keras. Ia pun meringis kesakitan. 

"Jangan lu pikir gue nggak punya bukti kebeja*an elu, Ri. Gue tahu elu dan Rinta belum menikah, ya kan? Gue punya rekaman obrolan kalian berdua di kamar," terang Fikri akhirnya membuka suara.

Aku turun dari Kap Mesin, lalu turut menghampiri Fikri. Padahal sedari tadi ini yang kuharapkan, ada yang memegang bukti perselingkuhan suamiku dengan asisten rumah tangga.

"Kenapa baru bilang sekarang, Fikri? Kan kita nggak perlu mengotori tangan kita untuk adu argumen dengannya, apalagi sampai aku naik Kap Mesin," ucapku pada Fikri dengan nada datar. Mataku kosong, hanya ada kekesalan yang kupancarkan.

Ibu-ibu bersorak, ada sebagian memberikan timpukan batu kecil pada Rinta. Ia menutup kepalanya dengan kedua tangan. 

"Jadi masih mau ngaku bahwa kalian itu pasangan nikah siri?" cetus semua warga berbarengan. 

"Arak aja udah," seru laki-laki berkaos putih.

Hampir seluruh warga berteriak arak. Namun, aku masih belum mendengar alasan Fikri yang sempat merahasiakan bukti mereka bukan pasangan diikat pernikahan.

"Fik, kenapa dirahasiakan? Apa karena pekerjaan sebagai wartawan? Kalau iya, itu artinya kamu jahat, Fik," ucapku dengan mata berkaca-kaca. Namun, Fikri menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. 

"Salah satunya pekerjaan, tapi lebih dominannya karena ingin memberikan efek jera dengan sedikit pelajaran yaitu sanksi sosial," terang Fikri sejelas-jelasnya.

Kemudian, Fikri menghampiriku, ia memberikan ponselnya ke tanganku sambil Fikri berbisik lembut. "Kamu buka videonya, saat suamimu melakukan hubungan intim, dan berkata pada Rinta, bahwa ia akan menikahinya setelah ia mampu memberikan keturunan," bisik Fikri membuatku bergetar.

Aku disuruh menyaksikan perbuatan dosa suamiku. Astaga, mana kuat? Mendengar ia memanggil suamiku dengan sebutan Mas saja hatiku runtuh, apalagi mendengar desahan bahkan rintihan. 

Kemudian, aku memberikan ponsel Fikri kembali. Jari ini tak sanggup mengusap layar ponsel yang berisikan perbuatan bej*t suamiku sendiri. 

"Kenapa dikembalikan?" tanya Fikri. 

"Aku tak butuh itu, ya hati kecil ini mengatakan bahwa sanksi sosial memang pantas mereka dapatkan. Sekarang, tolong bawa kedua orang ini, lalu arak sampai ke rumah saya di Perumahan Cluster Global," suruhku sambil berlalu pergi. 

Mungkin dengan cara ini, membuat para perempuan tidak tergoda dengan rayuan hidung belang seperti Mas Ari lagi. Serta takkan ada lagi yang berani berbuat zina di tempat lain.

"Mona, Mona, tolong jangan lakukan ini!" teriak Mas Ari. 

"Aku sudah tak peduli, Mas," jawabku pelan. 

Ponselku berdering terus menerus, sebab berita siaran langsung yang ibu-ibu rekam tadi telah tersebar di jagat maya, dan teman-temanku pasti ingin menanyakan kebenarannya. 

"Telanjangin nggak nih?" Ada yang bertanya nyeleneh. Itu membuat kami semua hening seketika menghadap ke arah Mas Ari dan Rinta. 

Bersambung 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
itu baru josss
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status