Aku mengangkat lengan baju dan menyuruhnya turun dari mobil sekali lagi. "Turun sekarang nggak!" teriakku sekali lagi dengan mata membulat. Namun, Mas Ari malah membunyikan klakson.
Ibu-ibu yang mendengar dan melihatnya pun sontak mengepung area mobil. Tak segan-segan, ada beberapa orang yang memukul kaca mobil dengan keras.
Reaksi Rinta hanya menutup wajahnya. Beberapa orang terus membantuku meneriakinya untuk keluar.
Kulihat area rumah Mas Ari semakin ramai. Orang yang berlalu lalang di jalan pun singgah dan ikut menyaksikan kehebohan ini.
Setelah beberapa menit dalam kepungan, Mas Ari menautkan kedua tangannya di hadapanku seraya memohon.
Aku membentangkan tangan ini dan menyuruh semua yang ada di sini diam.
"Tolong diam dulu, kita dengarkan laki-laki itu mau bicara apa," suruhku untuk menghentikan aksi. "Jangan lupa dishoot, ya, supaya mereka tak bisa macam-macam," suruhku pada beberapa yang megang ponsel termasuk Fikri.
Mas Ari membuka kaca mobilnya sedikit, ia takut dipukul memakai alat dapur yang sudah nyaris merusak mobilnya.
"Mona, kita bicarakan baik-baik ya, semua ini salah paham," ucap Mas Ari setengah berteriak.
Kulihat wajah Rinta yang tertutup oleh kesepuluh jarinya pun dibuka. Ia menoleh ke arah Mas Ari.
"Kamu bilang salah paham, Mas?" Aku mendengar Rinta berucap itu lirih, matanya mengembun, aku lihat ada rasa kecewa di matanya.
"Please, jangan ada acara ngambek, kita lagi genting," celetuk Mas Ari kudengar sedang mengancam Rinta. Namun, apa yang telah terjadi? Rinta membuka pintu mobil, lalu keluar dari mobil itu dan menghampiriku.
Aku yang masih berada di atas Kap Mesin pun terperangah melihatnya berani menghampiriku.
Wanita yang rambutnya masih terlihat basah itu ikut naik ke atas Kap Mesin, lalu meraih tanganku dan memohon.
"Bu, saya mencintai Mas Ari, tolong relakan Mas Ari untuk saya," lirihnya membuat orang sekeliling bersorak.
"Huh ... wanita tak tahu malu, udah jadi perusak malah minta direlakan, situ sehat?" Kedengaran kejam, tapi kata-kata yang tersirat dari mulut Rinta lebih sadis, ia yang merebut namun ia yang minta aku untuk merelakan.
Aku tertawa geli, apalagi ketika menyaksikan Mas Ari yang berusaha menyuruh Rinta turun, rasanya bisa ikut gila jika aku menghadapi orang seperti mereka berdua.
"Bu, tolong relakan Mas Ari," lirihnya satu kali lagi.
"Heh, wanita murahan. Siapa juga yang sudi balik dengan laki-laki seperti ini, makan saja, nikmati selayaknya ulat bulu sedang menikmati daun muda," ejekku supaya ia tersadar bahwa aku ke sini bukan untuk mempertahankan, tapi memberikan pelajaran.
Para warga yang tadinya ramai, kini mulai sunyi senyap. Namun, ada salah seorang warga yang nyeletuk di hadapan semuanya.
"Sekarang sudah jelas kan mereka itu kemarin-kemarin zina?" teriak salah seorang warga kencang dengan pertanyaan terdengar memastikan.
"Huh, iya, bikin dosa di sini. Mending kita arak aja nih berdua! Disaksikan istri sahnya," celetuk lagi di antara mereka. Namun, satpam melerai lagi. Ia menahan untuk tidak melakukan hal tak berperikemanusiaan itu.
"Jangan halangi kami!" teriak mereka lagi.
Mas Ari menundukkan wajahnya, tapi tangannya berada di genggaman perempuan itu. Aku terluka melihatnya, rasanya sulit kupercaya, laki-laki yang kupilih sebagai kepala rumah tangga ternyata berselera seorang pembantu. Bukan karena gelar pembantu, tapi karena caranya yang telah merebut suami majikannya dengan cara yang kotor.
"Sekarang saya tanya, apa kalian telah menikah?" tanya RT meyakinkan sekali lagi.
"Sudah," jawab Mas Ari. Hatiku teriris, luka ini takkan kulupakan, meski sampai menua nanti.
"Ada buktinya?" tanya Fikri sambil menyoroti Mas Ari. Mata keduanya saling beradu pandangan. Sepertinya Mas Ari sedang mengulang memori sebelum melamarku dulu.
Mas Ari melangkah ke arah Fikri, lalu mengangkat kerahnya juga badan Fikri tinggi-tinggi.
"Elu ternyata ada di sini juga, mantannya bini gue. Atau jangan-jangan, kalian berdua ada main ya?" Mulailah Mas Ari memutar balikan fakta. Ia marah seperti orang yang terdzolimi. Padahal justru ini sebaliknya terjadi.
Fikri menendang Mas Ari keras-keras. Ia pun meringis kesakitan.
"Jangan lu pikir gue nggak punya bukti kebeja*an elu, Ri. Gue tahu elu dan Rinta belum menikah, ya kan? Gue punya rekaman obrolan kalian berdua di kamar," terang Fikri akhirnya membuka suara.
Aku turun dari Kap Mesin, lalu turut menghampiri Fikri. Padahal sedari tadi ini yang kuharapkan, ada yang memegang bukti perselingkuhan suamiku dengan asisten rumah tangga.
"Kenapa baru bilang sekarang, Fikri? Kan kita nggak perlu mengotori tangan kita untuk adu argumen dengannya, apalagi sampai aku naik Kap Mesin," ucapku pada Fikri dengan nada datar. Mataku kosong, hanya ada kekesalan yang kupancarkan.
Ibu-ibu bersorak, ada sebagian memberikan timpukan batu kecil pada Rinta. Ia menutup kepalanya dengan kedua tangan.
"Jadi masih mau ngaku bahwa kalian itu pasangan nikah siri?" cetus semua warga berbarengan.
"Arak aja udah," seru laki-laki berkaos putih.
Hampir seluruh warga berteriak arak. Namun, aku masih belum mendengar alasan Fikri yang sempat merahasiakan bukti mereka bukan pasangan diikat pernikahan.
"Fik, kenapa dirahasiakan? Apa karena pekerjaan sebagai wartawan? Kalau iya, itu artinya kamu jahat, Fik," ucapku dengan mata berkaca-kaca. Namun, Fikri menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil.
"Salah satunya pekerjaan, tapi lebih dominannya karena ingin memberikan efek jera dengan sedikit pelajaran yaitu sanksi sosial," terang Fikri sejelas-jelasnya.
Kemudian, Fikri menghampiriku, ia memberikan ponselnya ke tanganku sambil Fikri berbisik lembut. "Kamu buka videonya, saat suamimu melakukan hubungan intim, dan berkata pada Rinta, bahwa ia akan menikahinya setelah ia mampu memberikan keturunan," bisik Fikri membuatku bergetar.
Aku disuruh menyaksikan perbuatan dosa suamiku. Astaga, mana kuat? Mendengar ia memanggil suamiku dengan sebutan Mas saja hatiku runtuh, apalagi mendengar desahan bahkan rintihan.
Kemudian, aku memberikan ponsel Fikri kembali. Jari ini tak sanggup mengusap layar ponsel yang berisikan perbuatan bej*t suamiku sendiri.
"Kenapa dikembalikan?" tanya Fikri.
"Aku tak butuh itu, ya hati kecil ini mengatakan bahwa sanksi sosial memang pantas mereka dapatkan. Sekarang, tolong bawa kedua orang ini, lalu arak sampai ke rumah saya di Perumahan Cluster Global," suruhku sambil berlalu pergi.
Mungkin dengan cara ini, membuat para perempuan tidak tergoda dengan rayuan hidung belang seperti Mas Ari lagi. Serta takkan ada lagi yang berani berbuat zina di tempat lain.
"Mona, Mona, tolong jangan lakukan ini!" teriak Mas Ari.
"Aku sudah tak peduli, Mas," jawabku pelan.
Ponselku berdering terus menerus, sebab berita siaran langsung yang ibu-ibu rekam tadi telah tersebar di jagat maya, dan teman-temanku pasti ingin menanyakan kebenarannya.
"Telanjangin nggak nih?" Ada yang bertanya nyeleneh. Itu membuat kami semua hening seketika menghadap ke arah Mas Ari dan Rinta.
Bersambung
"Tante, itu semua salah paham," terangku padanya."Salah paham apanya? Fikri itu keponakan aku, dia anak baik-baik yang telah kamu sia-siakan," balasnya dengan percaya diri. Terkadang seperti itu, orang mengira yang baik di depan kita akan baik juga di belakangnya, padahal banyak yang baik di depan dan jahat di belakang. "Tante, ini saya sudah memiliki bukti bahwa mobil Fikri yang menabraknya, dan ini juga ada surat laporan yang sudah saya laporkan ke polisi," kataku sambil menyodorkan handphone dan secarik kertas.Tante Ambar meraihnya, lalu membacanya, sesekali mata Tante Ambar melirik ke arahku. Terlihat di sudut matanya ada air mata yang mengembun.Sesekali bibirnya dibasahi oleh lidahnya, lalu terlihat Tante Ambar menghela napasnya. Kemudian, pipi wanita yang memiliki dua anak itu terlihat basah. Kini air mata pun banjir setelah tahu semuanya. "Fikri," isak Tante Ambar. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Aku pun menghampiri dan menuntunnya untuk duduk."Tante yang sabar
Setelah kami menghampirinya, ternyata darah segar sudah mengalir di kening Rinta. Tidak ada satu pun yang berani membawanya ke rumah sakit. "Alan, kita bawa Rinta ke rumah sakit," ajakku setelah menyeruak di kerumunan. "Pak tolong bantu kami bawa dia ke rumah sakit," kata Alan juga."Kata orang sini tabrak lari, Bu. Kami takut nyentuhnya. Nanti polisi jadiin kami saksi," jawab salah seorang warga.Tabrak lari lagi? Mungkinkah ini Fikri lagi? Kalau benar, berati laki-laki itu sudah gila.Darahnya terus mengalir, Rinta terlihat meringis kesakitan. Kemudian menarik telapak tanganku."Mon, tadi Fikri, tolong cari dia ...." Ucapan Rinta terhenti napasnya tampak sulit diatur. Seketika itu juga ia pingsan tergeletak di jalan."Lan, ayo cepat kita bawa saja!" suruhku berteriak. Setelah melihat ia tergeletak, barulah yang lain ikut membantu. Tiba-tiba suara sirine ambulance terdengar. Ternyata ada yang sudah menghubungi ambulance. Petugas langsung membawa Rinta yang sudah terkapar ke dalam
Aku mengelus dada, ternyata orang yang berada di layar CCTV adalah Fikri. Ia benar-benar keterlaluan. Laki-laki itu harus rela dendamnya berakhir di jeruji besi, dan yang akan melaporkannya saudaranya sendiri. Tanganku mengepal, lalu mengembuskan napas perlahan. Sisi burukku cuma satu, menolak cintanya pada saat itu tanpa meminta maaf bahkan menganggap Fikri. Jadi, ia menilaiku benar-benar musuhnya. Seandainya pada waktu itu aku memilih Fikri pun rumah tangga takkan awet jika hatinya diselimuti dendam. "Mon, kita mau gimana?" tanya Alan mengejutkan aku. Seketika lamunanku tentang Fikri buyar, bukan menyesal, tapi aku sangat menyayangkan kalau hari-harinya akan menjadi kelam selamanya. "Kita ketemuan sama Rinta, tunjukkan CCTV ini," ajak Mona pada Alan."Jam berapa kamu janjian?" tanya Alan lagi."Tadi bilang jam 5 sore," timpalku padanya. "Coba telepon Rinta lagi, ketemu sekarang saja," saran Alan. Namun, aku tidak langsung mengindahkan ucapannya. Sebab, kalau kami keluar kantor
"Boleh lihat CCTV nya nggak, Pak?" tanya Alan pada salah seorang yang berada di hadapan kami. Sepertinya mereka tetanggaan di sini, sering kumpul bareng."Wah, kalau itu nanti tanya ke yang punya rumah dulu ya, Pak, Bu. Soalnya orangnya kerja," terang yang tadi mengembalikan dompet Alan. "Oh begitu, ya sudah, ini nomor handphone saya, Pak, kalau orangnya sudah pulang, bisa telepon saya," tutur Alan sambil menyodorkan nomor ponsel yang telah ia tulis di kertas kecil.Kemudian, aku dan Alan kembali ke mobil, setelah memberikan tips untuk orang yang telah menemukan dompet Alan. Aku memakai sabuk pengaman sambil termenung, bisa-bisanya penabrak itu dengan sengaja menabraknya. "Aku yakin ini kerjaannya Fikri, aku pastikan ia masuk ke penjara juga. Kita tidak bisa menyudutkan dengan masalah sosial media, tapi kalau masalah kriminal gini, tentu polisi akan bertindak," kata Alan dengan yakinnya. Aku sedikit menelan ludah, sebab perbuatan ini sangat di luar kepala. Kalau iya Fikri orangnya
Tadinya aku sudah mulai emosi saat Fikri bicarakan tentang aku melalui sambungan telepon. Namun, Alan mencegahku untuk jangan gegabah. Tangan Alan menahan pundakku yang berusaha keluar dari tempat persembunyian. Setelah memastikan Fikri pergi, kami pun beranjak ke mobil. Pintu mobil kututup dengan keras. Aku masih tidak percaya dendam kesumat Fikri denganku begitu mendalam. Hingga harus menyuruh Rinta, yang ternyata saudaranya sendiri sebagai pembantu, berzina pula. Aku mengelus dada, hingga napas ini mampu aku keluarkan dengan perasaan lega. "Sabar ya, Mon, mungkin ini ujianmu. Setelah ini akan ada kebahagiaan yang menghampiri, percayalah bahwa setelah gelap pasti akan datang terang."Kecewa aja, Lan, sama Fikri. Cuma gara-gara nolak cintanya sampai segitunya menghancurkan hidupku," timpalku masih menampakkan kekesalan. "Terkadang, ketika kamu kecewa, itu membuatmu lebih kuat, kamu itu wanita pilihan, Mon," ucap Alan sambil menyetir mobil. Kami memutuskan untuk menyudahi penyeli
Kemudian langkah Rinta menuju Tante Ambar dan langsung menyergap tubuhnya. Aku menoleh ke arah Alan, kami berdua beradu pandangan. "Satu persatu ketebak, Mon. Ini ulah Rinta, ya kan?" Alan sangat yakin bahwa ini adalah ulah Rinta. "Lan, kok aku penasaran ya, kenapa Rinta peluk Tante Ambar? Bukankah yang sepupuan dengan Firman itu Fikri?" Aku bertanya-tanya pada Alan. Seketika kami berdua terdiam sejenak. Ini sungguh seperti teka-teki. Kami berdua yakin bahwa Rinta yang menjadi dalangnya. Akan tetapi masih bertanya-tanya juga ada hubungan apa Rinta dan Firman."Mon, mungkin nggak kalau Firman itu pacarnya Rinta juga?" tanyaku lagi. Pertanyaan yang satu belum terjawab sudah muncul pertanyaan lainnya. "Apa kita samperin ke sana?" tanyaku pada Alan. "Ya sudah, kita ke sana aja, pengen tahu si Rinta jawab apa nantinya," ajak Alan. Akhirnya kami memutuskan untuk menghampiri mereka. Langkah kakiku dan Alan sangat pelan. Kami berdua berdampingan dan jalan penuh kehati-hatian.Aku melaku
Aku ditarik olehnya ke kursi tunggu. Wanita yang belum kuingat namanya itu tampak serius ingin bicara denganku."Ini nggak apa-apa saya negur saat ada pacarmu?" tanyanya membuatku terkejut. Alan dikira pacarku, padahal ketemu saja baru beberapa hari ini."Nggak apa-apa, Tante. Rasa penasaran saya memuncak nih," ucapku lagi.Tiba-tiba saja dokter datang saat kami hendak bicara di kursi tunggu. Jadi, ia memilih menunda lebih dulu."Maaf, keluarga dari Firman?" tanya dokter."Iya, saya ibunya Firman," jawabnya dengan serius.Jadi wanita yang barusan mengenalku itu orang tuanya Firman, tapi kenapa aku tidak mengenalnya? Bukankah ia tadi juga tahu bahwa aku ini mantannya Fikri?Sederet pertanyaan muncul, Alan pun menghampiriku, bibirnya sedikit mendekat dan berbisik. "Kok aku jadi tambah penasaran ya," bisik Alan. Jangankan aku yang memiliki permasalahan, Alan pun ikut penasaran yang hanya berniat membantu.Dokter itu mengajak ibunya Firman bicara empat mata di ruangan. jadi mereka berdua
Ketika wanita itu datang ke UGD, ia langsung diarahkan ke ruangan ICU oleh suster. Sedangkan aku masih berusaha mengingat wajahnya. Namun ingatanku tidak juga muncul."Kita ke ICU, Lan. Tanya-tanya wanita itu, jujur saja aku belum mampu mengingatnya," kataku sambil memegang pelipis mata. "Memang siapa itu, Mon?" tanya Alan balik."Kalau tahu, aku nggak akan sepusing ini, Lan, aku juga penasaran kok rasanya nggak asing melihat dia," timpalku lagi. "Ayolah kita ke ICU!" ajakku lagi.Namun, ketika kami hendak melangkah, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Pak Nando. Aku melirik ke arah Alan, sebab tadi dia yang menjamin bahwa aku bebas dari omelan Pak Nando. "Lan, ini Pak Nando, kata kamu ...." Ucapanku terputus karena lebih baik mengangkat teleponnya. Akhirnya aku angkat setelah berdering beberapa kali. "Halo, Pak," ucapku dengan hati gemetar. "Iya, Mona. Sekarang kamu kembali ke kantor. Saya harap sekarang juga ya, tolong jangan membantah. Bilang sama Alan sekalian dia yang an
Bab 21Tiba-tiba saja ada suara teriakan minta tolong. Aku dan Mona sontak terkejut dan berusaha menoleh dengan sengaja ke arah ujung suara. Namun, karena kami lengah dalam sekejap laki-laki itu menepis tanganku hingga terjatuh. Buk! Ia pun lari cukup jauh. Mona yang melihatku terjatuh pun tidak fokus lagi pada lelaki yang nyaris kurang ajar padanya. Aku segera bangkit, jatuh karena tangkisan tangan lelaki tadi, jadi ia sengaja kabur setelah melihatku yang sedang lengah. "Sial dia kabur," kataku sambil melempar batu kecil di hadapanku. Sedangkan Mona mencari sumber suara yang berteriak tadi."Loh, suara nenek yang tadi di sana juga nggak ada," timpal Mona sambil mengedarkan pandangan. Kemudian ia turut membantuku dan mengekori saat aku berusaha mencari orang tadi.Kami cari laki-laki yang katanya sengaja melakukan ini, yang katanya dibayar oleh seseorang hanya untuk menjatuhkan Mona. "Kita cari laki-laki tadi, pasti belum jauh," ajak Alan sambil menarik pergelangan tanganku. Namun