Mas Ari dan Rinta benar-benar membuat darahku naik, mendidih bahkan membuat harga diriku ini diinjak-injak.
Pertama yang kulakukan memanfaatkan situasi ini adalah mengamankan kunci mobil yang masih berada di dalam. Mas Ari rela turun dari mobil demi Rinta, ia melindungi sampah itu, bukan melindungi istri sahnya, atau bahkan kata maaf saja aku tak mendengar dari mulutnya.
Setelah berhasil mengamankan kuncinya, aku melangkah lagi ke arah dua sejoli itu.
"Kita arak sekarang!" suruhku sambil mengibaskan rambut wanita itu.
"Bu, tolong jangan kurang ajar," ujar Rinta. "Mas, kamu jangan diam saja, istrimu sudah keterlaluan," seru Rinta terdengar sangat membuatku terkekeh, ia yang kurang ajar tapi aku yang dibilang sudah keterlaluan. Padahal tidak ada asap kalau tidak ada yang membakar.
Warga menarik tangan Mas Ari, begitu juga dengan Rinta. Sebagian ibu-ibu sangat kesal dengannya tapi memanfaatkan ini semua dengan menyoroti Rinta ke sosial media.
"Ini ada hukumnya loh!" teriak Rinta.
"Ada kalau kamunya kalem, ini kan kamunya malah seperti nantangin istri sahnya, sadar diri dong, dasar jalang!" umpat ibu yang baju merah, ia tampak kesal sekali dengan Rinta.
"Ayo, kita arak saja tapi tak perlu telanjang," suruhku padanya.
"Tapi di sini saja, supaya orang yang menyaksikan tidak ada yang berani melakukan hal yang sama," pinta RT setempat.
Kami semua bersiap untuk membawanya, tapi hanya di arak perumahan sini. Sebab cluster tempatku tinggal cukup jauh jaraknya.
Mas Ari tiba-tiba berlutut di kakiku. Meminta untuk tidak melakukan apa yang aku inginkan.
"Mona, tolong jangan lakukan itu, aku rela lakukan apa saja asalkan jangan arak kami berdua," pinta Ari.
Aku berpaling sambil melipat kedua tangan. Lalu menoleh ke arah Rinta. Ia pun melakukan hal yang sama dengan Mas Ari.
"Kita berdua sudah berlutut, itu kan yang Ibu mau? Kami mengemis di bawah kaki Bu Mona?" Rinta sungguh malah membuatku emosi. Ia melakukan hal itu karena ingin dilepaskan dari warga.
"Sudah Mbak, jangan kasih ampun, nanti bakal banyak yang niru, asisten rumah tangga bisa-bisa tercoreng namanya gara-gara satu orang," tutur salah satu orang warga. "Saya selaku asisten rumah tangga, sangat menyayangkan ada yang seperti wanita ini. Bukan menjaga martabat perempuan malah menjatuhkan," sambungnya lagi.
"Ayo, bawa dia!" suruhku setelah berpikir satu kali lagi.
Akhirnya mereka berdua dibawa keliling kompleks sini, tapi tanpa dilucuti pakaiannya.
Sementara aku berada di belakang bersama Fikri yang sedang ambil video untuk sebagai bahan berita di media Domba Turah, ternyata Fikri bekerja di sana.
"Sebaiknya setelah ini, aku juga akan berhenti bekerja di Domba Turah," tutur Fikri setelah menyudahi perekaman, video yang sedari tadi ia ambil sudah cukup sebagai bahan laporan untuk bos nya.
"Kenapa? Bukankah setelah berita ini meledak kamu akan mendapatkan komisi bahkan naik jabatan?" tanyaku heran. Kami berdua ngobrol sambil melangkah menggiring Mas Ari dan Rinta.
Suara warga yang berseru, membuat kami sesekali berhenti bicara. "Jangan ditiru, jangan ditiru, kalau tidak mau diarak seperti ini," teriak semua warga sambil berkeliling.
"Aku sudah berjanji, jika masalah kamu dan suamimu selesai di tanganku, maka aku akan mundur dari pekerjaan yang harus ikut campur dengan urusan pribadi orang," jawab Fikri.
Aku menoleh sejenak. Lalu meraih ponsel yang sedari tadi berisik penuh notifikasi dari berbagai macam aplikasi.
Beberapa pesan menanyakan berita yang tersebar di jagat maya. Termasuk mertuaku yang menanyakan apa betul berita itu. Salah satu chat yang masuk dari teman, mertua, dan orang tuaku.
[Mon, itu tadi gue lihat ada suami lo dan pembantu, elo juga ada di situ. Serius nggak sih? Bukan settingan, kan?] tanya Leni melalui pesan W******p.
[Mona, kamu yang suruh warga untuk mengeroyok anak saya ya? Itu tidak benar, jika caranya seperti itu, nama baik Mama dan Papa jadi tercemar.]
Pesan dari mertuaku inilah yang membuat dadaku kembali bergetar. Nama baik yang ia pikirkan, bukan hatiku yang sudah jelas-jelas dilukai, diinjak-injak, bahkan sudah dirampas kebahagiaanku, tapi yang dipikirkan hanya nama baik keluarganya.
Mertuaku sudah tidak online, ia mengirimkan pesan sudah dari sepuluh menit yang lalu. Sedangkan orang tuaku, mereka tetap merangkul dan memberikan semangat meskipun ia ada di luar kota.
[Mona, Mama hanya bisa mensupport dari jauh, tapi kami mendoakan yang terbaik. I feel you, Mona.]
Setidaknya lebih banyak yang menyayangi ketimbang menyakiti. Saat ini aku hanya bisa membaca pesan dari mereka, tidak bisa membalasnya dengan goresan jari. Terlalu banyak yang mengirimkan chat, baik di W******p, messenger, dan di sosial media lainnya banyak yang menyebut namaku dalam postingan yang diunggahnya dari video ibu-ibu yang viral.
Rinta diarak sambil menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Begitu juga dengan Mas Ari, ia menutup wajahnya. Namun, dari video yang sebelumnya, orang-orang tentu dapat melihat dengan jelas wajah keduanya.
"Setelah ini, terserah kamu mau lakukan apa. Mau jebloskan ke penjara atas tuduhan perzinahan, atau diselesaikan secara kekeluargaan. Semua tergantung keputusanmu," tutur Fikri.
"Aku akan laporkan, supaya keduanya mendapatkan efek jera. Hatiku sudah hancur, mereka berdua pun harus hancur tak bersisa," timpalku membuat Fikri mengusap rambut ini sambil berkaca-kaca. Matanya menyorot penuh ke bola mataku, lalu menyunggingkan senyuman.
"Kamu kuat, pasti kuat, kamu wanita hebat yang pernah aku temui dulu. Keputusanmu sudah benar, namun kalau masih ada cinta yang tersisa untuk Ari, pikirkan sekali lagi," pesan Fikri.
"Nggak, cintaku telah sirna dimakan api dendam," jawabku singkat.
Perselingkuhan itu bukan hal sepele, justru masalah yang paling berat dalam rumah tangga. Keuangan, masih bisa istri membantu bahkan menopang ekonomi seperti tulang punggung.
Langkah Mas Ari dan Rinta berhenti. Mereka berdua menoleh ke belakang sambil bersujud. "Tolong, sudahi sanksi ini," lirih Rinta. Semua orang terpanah dengan air matanya.
"Kami bukan pencuri, bahkan tidak merugikan kalian. Tapi perbuatan kalian sungguh tak berperikemanusiaan," terang Mas Ari dengan lantang.
"Huh!" sorak ibu-ibu hampir serentak.
"Kalian bukan pencuri, tapi sang pelakor adalah perampas," ejek ibu-ibu sambil tertawa.
"Iya, betul, kalau tidak diberikan pelajaran, akan ada bibit pelakor seperti kamu lagi!" susul ibu yang lainnya.
Aku menghampirinya, lalu menyuruh keduanya bangkit. Dengan kedua tangan ini, aku membantu Rinta dan Mas Ari berdiri.
"Apa yang tadi kamu bilang bahwa perbuatan kalian tidak merugikan orang lain, itu sudah flashback lagi belum? Sudahkah berkaca sebelum berkata? Rugi saya banyak, perbuatan kalian bisa mengundang penyakit, dan saya beresiko," paparku kini tersulut emosi. Dagu wanita yang kesehariannya mencuci baju dan memasak itu aku dongakkan dengan satu jari telunjuk.
"Kamu egois, Mon. Kita bisa selesaikan dengan cara kekeluargaan, tidak seperti ini. Sangat memalukan tahu," sanggah Mas Ari. Aku menggelengkan kepala, sebab ia tidak sejantan yang kupikirkan.
Sedari aku memergokinya, belum sama sekali kudengar Mas Ari dan Rinta meminta maaf. Mereka benar-benar tidak menyadari kesalahannya, hanya fokus pada kesalahan kami.
Tidak lama kemudian, terdengar suara sirine polisi memasuki perumahan. Aku dan Fikri saling beradu pandangan.
"Siapa yang lapor polisi, Fik? Aku belum lapor?" bisikku di telinga Fikri.
"Aku juga belum lapor, kamu tenang ya, Mon." Fikri coba menenangkan aku.
Bersambung
Mobil polisi berhenti di depan kami. Semua warga pasang badan menghadapi petugas kepolisian. Mereka bersiap dan tak gentar dalam menghadapinya.Tidak lama kemudian beberapa motor datang. Ada dua motor dan tiga orang menghampiri juga."Ibu!" teriak Rinta. Itu orang tuanya Rinta? "Ibu-ibu sekalian, saya mohon maaf jika anak saya salah, tapi anak saya masih belia, paling ia begini terpengaruh dengan majikannya, lelaki mana yang dapat menahan nafsunya melihat wajah cantik anak saya? Di sini kalian jangan menyalahkan penuh anak saya," tuturnya seraya membela. "Huh! Ibu tuh bela tapi nggak lihat kelakuan yang dibela. Anaknya dah ngaku kok tadi, malah sempat nyuruh majikannya ikhlas. Orang gila apa ya begitu?" teriak ibu yang baju merah sangat antusias.Ibunya terdiam sambil menatap Rinta nanar. Aku yakin hati seorang ibu pun berhasil disobek-sobek oleh Rinta. "Saya mohon, sudahi ya. Rinta hanya anak yang ingin mengabdi pada ibunya. Kami orang susah, tolong jangan ditambahkan kesulitan ka
"Maaf, Bu. Saya hanya ditugaskan untuk membebaskan Bu Mona, dan menyampaikan surat ini untuk Bu Mona," sahut Pak Haris sambil menyodorkan secarik surat."Saya baca sekarang, Pak?" tanyaku padanya. Tidak lama aku bicara, deru klakson terdengar menuju ke arahku. "Itu mobil jemputan untuk Bu Mona telah datang, silakan Ibu naik mobil itu, sopir tersebut akan mengantarkan Bu Mona sampai rumah. Baca suratnya di mobil saja," papar Pak Haris semakin membuatku kebingungan. Sopir yang tadi membunyikan klakson pun turun lalu mempersilakan aku masuk.Aku menoleh ke arah Pak Haris, "Maaf, Pak, apa ini tidak membahayakan saya?" tanyaku sambil menundukkan kepala, agak sedikit sungkan bertanya dengannya. "Iya, Bu. Saya jamin sopir ini mengantarkan Bu Mona sampai ke rumah," ucap Pak Haris. "Baiklah, semoga benar-benar orang baik, terima kasih banyak, Pak. Saya berhutang budi pada Pak Haris," ujarku padanya sambil berjabat tangan. "Saya hanya bertugas, saya dibayar mahal oleh orang yang ingin melin
Mas Ari menambah kecepatannya, ia melaju dengan kencang, mobil yang ada di belakang pun terus mengikuti kami.'Semoga orang yang berada di belakang berniat baik,' gumamku dalam hati.Mas Ari memasuki area jalan yang sepi, mobil belakang pun masih mengikuti, itu artinya orang itu benar sedang membuntuti kami. Namun, Mas Ari tidak menghentikan laju mobilnya, ia tetap jalan entah ke mana tujuannya.Ponsel Mas Ari berdering, ia mengangkat telepon sambil mengendarai. "Tunggu di hotel, saya sebentar lagi sampai di lokasi, siapkan uang setengah milyar. Jangan lupakan itu, Anda bisa puas dengannya," tutur Mas Ari membuat hatiku seketika terasa diiris-iris. Bagaimana bisa seorang suami menjual sang istri demi pembantunya. Ini gila, sudah benar-benar gila, apa yang sebenarnya yang dilakukan oleh Rinta hingga Mas Ari tega begini kepadaku?Mas Ari menutup teleponnya, ia menoleh ke belakang, namun mobil itu tak ada lagi di belakang kami. Harapanku kini sirna, tidak ada lagi yang akan menolongku."
Aku terdiam, mencerna dan mengingat berkali-kali siapa laki-laki ini? Sepertinya memang tidak asing. "Rio, kok diam?" tanyanya ketika aku lama terdiam."Emm, saya bukan Rio, saya ...." Telepon pun langsung diputus olehnya. Aku mengecap bibir, lalu merebahkan tubuh ini di ranjang empuk yang disediakan. Masih agak sakit punggung ini untuk mengubah posisi tidur, butuh jahe dan minuman hangat untuk memulihkan punggung yang dipukul oleh Mas Ari.Akhirnya aku hubungi saja Rio untuk menyegerakan jahe parut dan berbentuk minuman. "Halo, Rio. Aku minta diantar ya, tolong antar jahe parut dan yang berbentuk minuman," suruhku. "Oh iya, Bu. Tadi saya sudah pesan sebentar lagi juga diantar," timpal Rio. "Emm, ngomong-ngomong tadi ada kontak yang kamu save, Bos itu siapa ya?" tanyaku padanya. "Astaga, iya saya lupa hapus, maaf Bu nanti juga Bos nya ke apartemen jemput Bu Mona untuk melaporkan kelakuan suami Bu Mona ke kantor polisi," ucap Rio. "Tunggu-tunggu, memang siapa ya Rio?" tanyaku pe
"Rio, biar saya yang ikuti dia," pintaku mencegah Rio mengikuti Fikri. Sebab, aku ingin menegurnya dengan cara sendiri. "Tapi, Bu. Bos sudah nunggu," timpal Rio."Sebentar, aku ingin tahu Fikri mau ke mana," jawabku lagi sambil meneliti ke mana perginya Fikri. Langkah kaki ini berjalan setengah berlari, supaya tidak kehilangan jejak Fikri. Terlihat jelas ia belok ke sebuah cafe. Kemudian, laki-laki yang pernah ketidak cintanya itu tengah menghampiri seorang wanita. Tangannya disodorkan ke wanita itu, aku melihatnya dari arah belakang, tidak mengetahui siapa dia. "Bu, ayo kita bertemu Bos, beliau sudah menunggu di lobi," ujar Rio tiba-tiba ada di sebelahku. Rasanya aku tidak ingin pergi dari sini, perasaanku berkata bahwa ada rencana jahat Fikri dengan wanita yang belum kuketahui. Sebab, dari belakang ia tertutup jaket dan tudungnya. "Sebentar ya," timpalku. Awalnya lebih ingin mengetahui Bos dari Rio. Namun, sekarang malah ingin mengetahui dengan siapa Fikri bicara."Bu, kita tid
Laki-laki putih tinggi itu ternyata masih ada hubungan darah dengan Alan. Ya, Pak Nando yang selama ini menjadi atasanku di PT. Mega Sejahtera adalah kakaknya Alan."Kenalkan, ini Nando Herdiansyah. Ia adalah kakakku," ucap Alan seakan mengejekku. Kini senyumku sulit dilayangkan karena atasan di kantor ada di hadapanku. "Sudahlah tidak usah tegang gitu, biasa saja, bahunya jangan naik gitu," ejeknya juga membuatku menghela napas panjang. Bahu yang tadinya terlihat terangkat kini agak turun ketika aku menghela napas lega."Bukan tegang, tapi heran kok dunia sempit banget, Pak Nando dan Alan ternyata adik kakak, bagaimana bisa ini terjadi?" tanyaku keheranan. Alan tertawa, begitu juga dengan Pak Nando. "Usia saya 35 tahun, Alan 25 tahun, wajarlah kamu heran begitu, dulu sewaktu Nando masih sekolah SMP saya sudah kuliah jauh dari orang tua," jawab Pak Nando. Aku mengangguk, melihat kesuksesan dua kakak beradik ini membuatku mengagungkan kedua jempol. Hebat mereka berdua, usia muda sud
"Tutup kaca mobilnya!" suruh Pak Nando. "Fikri sadar ada yang mencintainya," tambahnya lagi. Setelah itu barulah kututup kaca mobilnya. "Tadinya saya berniat menghampiri Fikri, Pak," ujarku pada Pak Nando. Pak Nando mengecap bibirnya seraya kesal. Lalu ia menyuruh sang sopir jalan kembali tanpa mempedulikan usulku. Adiknya pun tertawa menyaksikan pola tingkah kakaknya. "Jangan heran, Mas Nando memang seperti itu, ia akan melakukan sesuatu tanpa kamu pinta, Mas Nando tahu apa yang akan ia lakukan," jelas Alan. "Ya, gara-gara ngurusin beginian, aku nggak ngantor sejak Mona melakukan hal bodoh di perumahan tempat Fikri tinggal," sindirnya membuatku naik darah. Kini posisi tubuhku tegak dan menyorot ke depan, tempat duduk Pak Nando. "Kamu mau marah sama kakakku? Nanti dipecat loh," ejek Alan sembari tertawa. Aku hanya menghela napas untuk mengontrol emosi. 'Sembarangan sekali Pak Nando sebut aku bodoh, yang kulakukan sudah benar kok, hanya saja kesialan terjadi padaku saat itu,' geru
Fikri sedang bertemu dengan Rinta. Sebelumnya aku benar-benar mengira bahwa Fikri datang untuk mengisi relung hatiku lagi. Namun, makin ke sini, makin terlihat bahwa Fikri masuk di kehidupanku bukan tanpa di sengaja."Coba tanya lagi, Lan, ada yang dikatakan Fikri lagi nggak?" tanyaku pada Alan."Sudah saya kirim pesan, tapi Rio balas tidak ada rekaman lagi," jawab Alan. Aku menatap ke jalan. Sambil memikirkan bagaimana caranya membalas dendam pada mereka. Namun, aku tidak ingin lagi melakukan kebodohan yang nyaris menjebloskan aku ke penjara.Jalan raya yang dipenuhi lalu lalang mobil yang melintas, membuatku semakin sulit berpikir bagaimana caranya tetap masuk dalam permainannya."Nggak usah sok mikir," celetuk Pak Nando sedikit sinis. "Sekarang sudah tahu kan mereka sedang merencanakan sesuatu? Lebih baik kamu pulang saja," suruh Pak Nando lagi. Laki-laki yang telah memiliki seorang istri itu memang orangnya menyebalkan. Baik di kantor maupun di sini.Alan tertawa mendengar celote