Share

Bab 8

"Maaf, Bu. Saya hanya ditugaskan untuk membebaskan Bu Mona, dan menyampaikan surat ini untuk Bu Mona," sahut Pak Haris sambil menyodorkan secarik surat.

"Saya baca sekarang, Pak?" tanyaku padanya. Tidak lama aku bicara, deru klakson terdengar menuju ke arahku. 

"Itu mobil jemputan untuk Bu Mona telah datang, silakan Ibu naik mobil itu, sopir tersebut akan mengantarkan Bu Mona sampai rumah. Baca suratnya di mobil saja," papar Pak Haris semakin membuatku kebingungan. Sopir yang tadi membunyikan klakson pun turun lalu mempersilakan aku masuk.

Aku menoleh ke arah Pak Haris, "Maaf, Pak, apa ini tidak membahayakan saya?" tanyaku sambil menundukkan kepala, agak sedikit sungkan bertanya dengannya. 

"Iya, Bu. Saya jamin sopir ini mengantarkan Bu Mona sampai ke rumah," ucap Pak Haris. 

"Baiklah, semoga benar-benar orang baik, terima kasih banyak, Pak. Saya berhutang budi pada Pak Haris," ujarku padanya sambil berjabat tangan. 

"Saya hanya bertugas, saya dibayar mahal oleh orang yang ingin melindungi Bu Mona," jawabnya semakin tambah membuatku penasaran. Namun, rasa penasaranku ini terpaksa ditepis lebih dulu. Sebab, Pak Haris tak ingin bicara. 

Aku turuti apa yang dikatakan Pak Haris, masuk ke mobil sedan yang sudah menjemputku dengan sopan. Sopir itu membukakan pintu hingga menutupnya kembali, aku diperlakukan bak ratu olehnya. 

Setelah duduk dan bersandar, aku coba bicara dengan sopir yang akan mengantarkan aku pulang. "Pak, maaf. Siapa yang menyuruh Bapak ke sini jemput saya?" tanyaku terpaksa menanyakan. 

"Maaf, Bu. Saya hanya diperintahkan oleh Bos untuk menjemput dan memastikan Bu Mona tiba di rumah dengan selamat," jawabnya membuatku menyunggingkan senyuman. 

Kata-kata yang sama saat aku menanyakan ke Pak Haris, ia hanya ditugaskan oleh seseorang. Astaga, siapa dia? Aku dilanda kebingungan, ditambah lagi dengan pesan Pak Haris mengenai Fikri. Ada apa ini?

Teringat kala itu, perkataan Fikri terhadapku. Jika ia sukses dengan viralnya masalah yang aku hadapi, maka Fikri akan berhenti bekerja di Domba Turah. Jadi ini maksud dan tujuan Fikri bicara seperti itu. Setelah ia berhasil menjebloskan aku ke penjara, Fikri pergi dan menghilang tak tahu rimbanya. Aku terjebak dengan masalahku sendiri. 

Aku menghela napas, kemudian membuka lembaran putih titipan Pak Haris. Namun, hanya ucapan kata-kata mutiara saja yang tertulis dalam kertas itu. 

[Dalam perjalanan hidup pasti ada momen di mana kamu harus menghadapi masalah. Pengalaman baik, buruk, dan tidak mengenakan dapat datang kapan saja. Yang terpenting bijak dan ikhlas dalam menghadapinya.]

Begitulah isi paragraf satu, aku baca sambil tersenyum, ternyata ada orang yang menguatkan aku diam-diam. Lalu kubaca paragraf kedua. 

[Hidup tanpa masalah adalah sekolah tanpa pelajaran. Satu pesan saya, jauhi Fikri. Dari orang yang sangat mengagumi kamu. Tetap semangat ya.]

Aku menghela napas, ternyata belum ada yang menyebutkan namanya. Baiklah, aku akan coba menunggu orangnya muncul nantinya. 

Aku periksa tas yang dikembalikan pihak kepolisian, terutama handphone yang tadi sempat disita. Lalu kubuka sebagian pesan, termasuk dari teman-teman. Namun, aku hanya membacanya, mereka hanya peduli melalui sosial media, tidak ada yang melakukan sesuatu hal yang membuatku terbebas, kecuali orang misterius tadi. 

"Bu, kita sudah sampai, ini rumah Bu Mona kan?" tanya laki-laki paruh baya itu.

"Iya, Pak. Terima kasih ya," ucapku sambil menoleh ke arah rumah yang tampak sepi. Berati Mas Ari pulang ke rumahnya, tidak pulang ke sini. 

Aku turun dan masuk ke dalam rumah. Lalu mandi untuk menyegarkan tubuh yang lengket. 

Di bawah kucuran shower, aku sempat terbayang dengan perlakuan Mas Ari dan Rinta. Apa yang ia lakukan benar-benar memalukan. Namun, di tengah-tengah masalah perselingkuhan pun ada orang yang tega memanfaatkan ini demi balas dendam rasa sakit hatinya padaku. 

Aku mematikan shower, lalu meraih handuk dan segera memakai baju. Setelah itu, duduk sendirian di kamar. Namun, terdengar suara mobil datang dan berhenti tepat di depan rumah. 

Kemudian, aku intip dari kaca jendela, ternyata Mas Ari datang. Aku segera duduk kembali di atas ranjang. Pura-pura tidak mengetahui kedatangannya. 

Brak!

"Ternyata kamu dapat menghirup udara bebas lagi ya. Aku tidak menyangka, siapa sih yang bisa melakukan hal ini? Membebaskan kamu tanpa syarat," tutur Mas Ari. 

Aku terdiam sambil menyoroti tubuhnya dari atas hingga bawah. Lalu menyunggingkan senyuman ke arahnya.

"Masih berani kamu ke sini, Mas? Apa perlu aku lanjutkan buat laporan perzinahan?" tanyaku balik. 

"Nggak semudah itu, Mona. Melaporkan masalah perselingkuhan tidak semudah membalikkan telapak tangan," sahutnya. Kemudian, ia menggeledah lemariku dengan bringas. 

Aku pun bangkit dari sandaran dan coba menghalanginnya. Aku tahu pasti ia menginginkan surat rumah.

"Mau apa, Mas?" tanyaku padanya. 

"Mau ambil surat rumah, ini rumahku, bukan rumahmu," pungkasnya membuatku tertawa lepas.

"Gila ya, nggak pernah kasih nafkah ke istri tapi mengakui apa yang dibeli, lucu kamu, Mas. Lagi pula katanya keluarga terhormat, masa rumah segini aja diambil balik," ejekku sengaja. Ingin tahu apa ia akan tersulut emosi. Padahal, ia mau geledah sampai lebaran idul fitri tiba pun tidak akan ketemu surat-surat rumah itu.

"Hah, kebanyakan bicara kamu, terlalu lancang pada suami, makanya bikin aku nggak nyaman," jawabnya sambil terus merogoh isi laci.

"Iya, nyamannya dengan pembantu," ejekku lagi membuat ia menghentikan geledahnya.

"Bisa stop mengatakan itu, bisa stop meremehkan Rinta?" Mas Ari marah, ia tersinggung atas ucapanku.

Aku hanya tertawa lalu duduk kembali. Namun, tiba-tiba Mas Ari menarik lenganku dengan kasar.

"Di mana surat-surat rumah?" sentaknya tepat di hadapanku. 

"Kamu ingat sebulan lalu? Aku meminta kamu menandatangani sebuah surat polos ketika kamu buru-buru berangkat kerja? Itu surat untuk pengalihan aset. Semua aset!" ucapku penuh penekanan. 

"Gila kamu ya, akan kutuntut kamu, Mona!" sentaknya. 

Aku meninggalkan Mas Ari begitu saja, lalu ia menarikku lagi. "Lepas, Mas," suruhku dengan mata membulat. Posisi daguku mendongak karena ia lebih tinggi dariku.

"Kalau kamu tega, aku pun akan tega denganmu. Cepat, ikut aku!" Mas Ari menarik bahkan menyeretku kasar. Lalu membuka pintu rumah dan memasukkan aku ke dalam mobilnya.

Buk! Punggungku dipukul olehnya, tapi aku masih tersadar. 

"Tolong!" Aku berteriak tapi ia tak peduli, dan orang sekeliling pun terlihat sepi. 'Astaga, ke mana warga sini? Kenapa baru jam segini sudah sangat sepi sekali? Aku takkan bisa berontak sebab punggungku terasa sakit dan sulit bangun dari kursi mobil,' gumamku dalam hati sambil coba memikirkan bagaimana caranya keluar dari mobil yang sudah dikunci.

Mas Ari menyalakan mesinnya, dan aku masih meringis kesakitan. Ia sudah menginjak gas, entahlah akan dibawa ke mana aku dengannya. 

"Mas, kamu mau bawa aku ke mana?" tanyaku sambil meringis.

"Aku akan jual kamu dengan laki-laki hidung belang, untuk uangnya akan kubelikan rumah untuk Rinta," tuturnya menurutku sudah sangat gila. Hanya demi Rinta, ia akan menjualku, istrinya ke laki-laki lain.

Tiba-tiba Mas Ari menoleh ke arah kaca spion tengah, ada yang membuntuti kami. Sebuah mobil sedan warna putih terlihat seperti mengawasi kami.

"Sial, siapa mobil di belakang? Ikut campur urusan orang saja," gerutu Mas Ari sendirian sambil berusaha menambah kecepatan. 

Bersambung 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Renni Sartika
authornya imajonasinya tinggi bgt.. ceritanya, bagussssss
goodnovel comment avatar
Lara Sati
np da suami sprt tu ya.....ego banget tuh laki
goodnovel comment avatar
catur wahyudi
bagus dan menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status