Share

Bab 7

Mobil polisi berhenti di depan kami. Semua warga pasang badan menghadapi petugas kepolisian. Mereka bersiap dan tak gentar dalam menghadapinya.

Tidak lama kemudian beberapa motor datang. Ada dua motor dan tiga orang menghampiri juga.

"Ibu!" teriak Rinta. Itu orang tuanya Rinta? 

"Ibu-ibu sekalian, saya mohon maaf jika anak saya salah, tapi anak saya masih belia, paling ia begini terpengaruh dengan majikannya, lelaki mana yang dapat menahan nafsunya melihat wajah cantik anak saya? Di sini kalian jangan menyalahkan penuh anak saya," tuturnya seraya membela. 

"Huh! Ibu tuh bela tapi nggak lihat kelakuan yang dibela. Anaknya dah ngaku kok tadi, malah sempat nyuruh majikannya ikhlas. Orang gila apa ya begitu?" teriak ibu yang baju merah sangat antusias.

Ibunya terdiam sambil menatap Rinta nanar. Aku yakin hati seorang ibu pun berhasil disobek-sobek oleh Rinta. 

"Saya mohon, sudahi ya. Rinta hanya anak yang ingin mengabdi pada ibunya. Kami orang susah, tolong jangan ditambahkan kesulitan kami," lirihnya membuat ibu-ibu yang tadinya antusias kini menciut. Peralatan dapur yang tadi dikhususkan untuk mengiringi seraya musik saat arak keliling pun dijatuhkan. 

Wajah Rinta tertunduk malu ketika ibunya mengemis pada warga. Inilah sejatinya seorang ibu, melindungi anaknya meskipun itu suatu kesalahan. 

"Saya minta kalian semua pulang, sebelum kami giring ke kantor polisi," ucap polisi yang sambil memegang senjata pentungan. "Dan kamu Fikri, kami mendengar bahwa kamu lah penghasutnya. Ayo ikut kami ke kantor polisi!" serunya lagi. Namun, aku tidak tinggal diam saja.

"Tidak, Pak. Saya korban, dan Fikri membantu saya, apa itu salah?" tanyaku balik.

"Jelaskan di kantor polisi saja, saya ada laporan pencemaran nama baik dari Bu Helena dan Pak Restu, ini surat penangkapan kalian," tutur polisi membuatku mengernyitkan dahi. Itu nama kedua mertuaku, astaga aku belum sempat melaporkan malah sudah dilaporkan lebih dulu.

"Kamu tenang, kita nggak akan masuk bui," bisik Fikri lagi.

Akhirnya aku dan Fikri bersedia dibawa oleh pihak polisi, sedangkan Mas Ari dan Rinta malah dibebaskan. Banyak warga yang berteriak minta keadilan. Namun, lagi-lagi mulut mereka dibungkam atas pasal pencemaran nama baik dan masuk UU ITE.

"Tuh kan, buruan hapus Bu Lola, kita nanti kena UU ITE. Keluarga si cowok bukan orang sembarangan," celetuk salah seorang kudengar nyaring. Mereka menyesal ikut aksi dan menyebarkan video di sosial media. Padahal awalnya mereka sangat antusias. 

"Iya, nggak nyangka ternyata keluarga cowok nggak terima, padahal jelas-jelas anaknya selingkuh, dengan pembantu pula," sambung ibu yang satunya. 

Dikarenakan sudah tidak memungkinkan mengelak. Akhirnya aku dan Fikri ikut ke kantor polisi. 

Setibanya di kantor polisi, aku menjelaskan apa yang kulakukan itu karena ingin memberikan efek jera pada pelakor. Sedangkan Fikri, ia tidak ditahan setelah menjelaskan bahwa ini adalah bagian dari pekerjaannya. Pihak yang berwajib menyayangkan caraku yang salah mengikuti apa yang Fikri bisikkan. 

"Seharusnya Bu Mona tidak perlu ikutan Fikri, dia dilindungi undang-undang, sedangkan Ibu tidak. Kalau sudah begini, hanya menunggu keluarga suami Ibu lah yang mencabut laporannya, supaya Bu Mona bisa bebas," ungkap polisi yang menangani. Aku mengedarkan pandangan, melihat di mana Fikri berada, kulihat ia sudah tak berada di sini lagi.

"Ya, saya akan tunggu suami saya," jawabku pelan. Namun, meskipun Mas Ari datang, aku takkan membiarkan harga diri ini diinjak-injak lagi.

Untuk sementara aku dikurung di jeruji besi. Fikri, di mana dia saat aku mendekam di penjara? Apakah itu artinya laki-laki yang dulu aku tolak jadi suami lalu tadi menghasutku hingga akhirnya aku pun melakukan apa yang ia suruh kini kabur dan meninggalkanku begitu saja? Apa ini dendam yang ia sematkan kepadaku?

Seketika sederet pertanyaan muncul dari lubuk hatiku yang paling dalam.

Aku tetap menunggu keluarga suamiku datang, dan sekitar setengah jam kemudian, mereka datang beserta Mas Ari. 

Aku dipanggil dan diizinkan menemui mereka di ruangan berukuran 4 x 5 meter. Penjagaan pun ketat seperti menjaga tahanan narapidana. 

"Mona, bagaimana rasanya di jeruji besi? Jangan kamu pikir kami tidak punya nyali untuk melaporkan kamu," tutur mertuaku dengan tangan berada di atas meja. 

Aku terdiam, lalu menyorot penuh ke arah Mas Ari. 

"Mona, lain kali kalau mau bertindak fikir dulu, jangan gegabah," ucap Mas Ari. 

"Aku akan laporkan kamu balik atas tuduhan perzinahan," jawabku ketus.

"Mau lapor bagaimana? Kamu di penjara, siapa yang akan nolong? Fikri? Mana dia?" ejek Mas Ari membuatku geram.

"Saya tahu, anak saya juga memalukan berselingkuh dengan pembantu, tapi sebenarnya kalau kamu bicara dengan saya baik-baik, tanpa gembar-gembor seperti itu pun kami semua akan menyuruh Ari meninggalkan wanita itu," terang mertuaku lagi.

Aku tidak akan gentar sedikit pun, bagiku apa yang kulakukan sudah benar, hanya saja keberuntungan belum berpihak kepadaku. Lagi-lagi nama Fikri terlintas di pikiran ini. Ke mana dia? Jika benar hasutannya hanya untuk balas dendam, maka musuhku tidak hanya Mas Ari, tapi ada Fikri juga. 

"Bagaimana jika kita buat perjanjian, kamu tidak akan menggugat cerai anak saya, dan anak saya pasti akan meninggalkan pembantu itu," hasut Mama Helena. 

"Nggak, Mah. Aku tetap akan menggugat cerai Mas Ari. Dan aku pastikan, setelah ini pasti papaku akan memberikan pengacara untukku. Tentu setelah ini Mas Ari dan Rinta lah yang akan masuk bui." Aku bicara dengan yakin karena orang tuaku bukan orang tua yang tidak bertanggung jawab. Mereka pasti ada untukku. 

Mereka saling beradu pandangan, kemudian hening sejenak. Tangan Mama Helena pun ditarik oleh Mas Ari ke sudut ruangan. Entahlah mereka ingin berbisik apa.

Lima menit kemudian, mereka bertiga beranjak pergi. Masih tetap dengan penawaran yang ia tawarkan tadi. 

Selepas mereka pergi pun, selang dua jam, aku dibebaskan dari tuduhan, ada yang menemui polisi, seorang pengacara handal. Namun, kali ini pengacaranya berhasil menjamin dan mengeluarkan aku dari penjara. 

"Ini Pak Haris, beliau yang menjamin kamu, Mona. Jadi jangan sampai ulangi acara arak atau penggerebekan dengan menyebarkan di sosial media ya," pesan polisi. 

"Pak, yang menyebarkan bukan saya, tapi ...." Ucapanku terputus karena tidak ingin ibu-ibu yang telah membantuku menggerebek juga kena sasaran. Aku sudah ada yang menjamin jadi tidak perlu menyelupkan nama lainnya lagi, cukup aku saja yang merasakannya.

Aku dan Pak Haris pamit bersalaman dengan polisi. Lalu setelah di luar kantor, aku bicara secara intens berdua.

"Terima kasih banyak, Pak. Pasti papaku ya yang kirim Pak Haris?" tanyaku penasaran. 

"Bukan, Bu," jawabnya singkat. Apa itu artinya Fikri? Sebab, setelah bebas, ia tidak menampakkan dirinya. 

"Apa Fikri?" tanyaku lagi.

"Bukan juga. Apalagi nama itu, bahkan orang yang memerintahkan saya untuk menjamin Bu Mona pun menyuruh saya bicara untuk hati-hati dengan Fikri. Sebab ia sengaja menghasut Ibu karena memang memiliki dendam," paparnya membuatku terkejut. Berati feelingku tepat, Fikri ingin membalas rasa sakit hatinya padaku.

"Lalu siapa orang yang menyuruh Pak Haris?" tanyaku sungguh amat penasaran. 

Bersambung 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Isabella
waduh aku kira fikri
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
kho aneh ya thoor yang selingkuh ari dan pembokatnya harus kena pasalbperzinaan knapa istrinya yang laporin adilkah emosi bacanya
goodnovel comment avatar
Satria izzet ilhami
saat pemeriksaan, mona juga bisa lapor ttg perselingkuhan & zina. ada pengakuan dari kedua pelaku. mrk bhkn bisa lsung divisum utk mmbuktikan klw mrk berdua baru saja berhub badan. polisi gak bisa tahan mona krn mona korban & tdk menyebarkan di medsos.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status