Mobil polisi berhenti di depan kami. Semua warga pasang badan menghadapi petugas kepolisian. Mereka bersiap dan tak gentar dalam menghadapinya.
Tidak lama kemudian beberapa motor datang. Ada dua motor dan tiga orang menghampiri juga.
"Ibu!" teriak Rinta. Itu orang tuanya Rinta?
"Ibu-ibu sekalian, saya mohon maaf jika anak saya salah, tapi anak saya masih belia, paling ia begini terpengaruh dengan majikannya, lelaki mana yang dapat menahan nafsunya melihat wajah cantik anak saya? Di sini kalian jangan menyalahkan penuh anak saya," tuturnya seraya membela.
"Huh! Ibu tuh bela tapi nggak lihat kelakuan yang dibela. Anaknya dah ngaku kok tadi, malah sempat nyuruh majikannya ikhlas. Orang gila apa ya begitu?" teriak ibu yang baju merah sangat antusias.
Ibunya terdiam sambil menatap Rinta nanar. Aku yakin hati seorang ibu pun berhasil disobek-sobek oleh Rinta.
"Saya mohon, sudahi ya. Rinta hanya anak yang ingin mengabdi pada ibunya. Kami orang susah, tolong jangan ditambahkan kesulitan kami," lirihnya membuat ibu-ibu yang tadinya antusias kini menciut. Peralatan dapur yang tadi dikhususkan untuk mengiringi seraya musik saat arak keliling pun dijatuhkan.
Wajah Rinta tertunduk malu ketika ibunya mengemis pada warga. Inilah sejatinya seorang ibu, melindungi anaknya meskipun itu suatu kesalahan.
"Saya minta kalian semua pulang, sebelum kami giring ke kantor polisi," ucap polisi yang sambil memegang senjata pentungan. "Dan kamu Fikri, kami mendengar bahwa kamu lah penghasutnya. Ayo ikut kami ke kantor polisi!" serunya lagi. Namun, aku tidak tinggal diam saja.
"Tidak, Pak. Saya korban, dan Fikri membantu saya, apa itu salah?" tanyaku balik.
"Jelaskan di kantor polisi saja, saya ada laporan pencemaran nama baik dari Bu Helena dan Pak Restu, ini surat penangkapan kalian," tutur polisi membuatku mengernyitkan dahi. Itu nama kedua mertuaku, astaga aku belum sempat melaporkan malah sudah dilaporkan lebih dulu.
"Kamu tenang, kita nggak akan masuk bui," bisik Fikri lagi.
Akhirnya aku dan Fikri bersedia dibawa oleh pihak polisi, sedangkan Mas Ari dan Rinta malah dibebaskan. Banyak warga yang berteriak minta keadilan. Namun, lagi-lagi mulut mereka dibungkam atas pasal pencemaran nama baik dan masuk UU ITE.
"Tuh kan, buruan hapus Bu Lola, kita nanti kena UU ITE. Keluarga si cowok bukan orang sembarangan," celetuk salah seorang kudengar nyaring. Mereka menyesal ikut aksi dan menyebarkan video di sosial media. Padahal awalnya mereka sangat antusias.
"Iya, nggak nyangka ternyata keluarga cowok nggak terima, padahal jelas-jelas anaknya selingkuh, dengan pembantu pula," sambung ibu yang satunya.
Dikarenakan sudah tidak memungkinkan mengelak. Akhirnya aku dan Fikri ikut ke kantor polisi.
Setibanya di kantor polisi, aku menjelaskan apa yang kulakukan itu karena ingin memberikan efek jera pada pelakor. Sedangkan Fikri, ia tidak ditahan setelah menjelaskan bahwa ini adalah bagian dari pekerjaannya. Pihak yang berwajib menyayangkan caraku yang salah mengikuti apa yang Fikri bisikkan.
"Seharusnya Bu Mona tidak perlu ikutan Fikri, dia dilindungi undang-undang, sedangkan Ibu tidak. Kalau sudah begini, hanya menunggu keluarga suami Ibu lah yang mencabut laporannya, supaya Bu Mona bisa bebas," ungkap polisi yang menangani. Aku mengedarkan pandangan, melihat di mana Fikri berada, kulihat ia sudah tak berada di sini lagi.
"Ya, saya akan tunggu suami saya," jawabku pelan. Namun, meskipun Mas Ari datang, aku takkan membiarkan harga diri ini diinjak-injak lagi.
Untuk sementara aku dikurung di jeruji besi. Fikri, di mana dia saat aku mendekam di penjara? Apakah itu artinya laki-laki yang dulu aku tolak jadi suami lalu tadi menghasutku hingga akhirnya aku pun melakukan apa yang ia suruh kini kabur dan meninggalkanku begitu saja? Apa ini dendam yang ia sematkan kepadaku?
Seketika sederet pertanyaan muncul dari lubuk hatiku yang paling dalam.
Aku tetap menunggu keluarga suamiku datang, dan sekitar setengah jam kemudian, mereka datang beserta Mas Ari.
Aku dipanggil dan diizinkan menemui mereka di ruangan berukuran 4 x 5 meter. Penjagaan pun ketat seperti menjaga tahanan narapidana.
"Mona, bagaimana rasanya di jeruji besi? Jangan kamu pikir kami tidak punya nyali untuk melaporkan kamu," tutur mertuaku dengan tangan berada di atas meja.
Aku terdiam, lalu menyorot penuh ke arah Mas Ari.
"Mona, lain kali kalau mau bertindak fikir dulu, jangan gegabah," ucap Mas Ari.
"Aku akan laporkan kamu balik atas tuduhan perzinahan," jawabku ketus.
"Mau lapor bagaimana? Kamu di penjara, siapa yang akan nolong? Fikri? Mana dia?" ejek Mas Ari membuatku geram.
"Saya tahu, anak saya juga memalukan berselingkuh dengan pembantu, tapi sebenarnya kalau kamu bicara dengan saya baik-baik, tanpa gembar-gembor seperti itu pun kami semua akan menyuruh Ari meninggalkan wanita itu," terang mertuaku lagi.
Aku tidak akan gentar sedikit pun, bagiku apa yang kulakukan sudah benar, hanya saja keberuntungan belum berpihak kepadaku. Lagi-lagi nama Fikri terlintas di pikiran ini. Ke mana dia? Jika benar hasutannya hanya untuk balas dendam, maka musuhku tidak hanya Mas Ari, tapi ada Fikri juga.
"Bagaimana jika kita buat perjanjian, kamu tidak akan menggugat cerai anak saya, dan anak saya pasti akan meninggalkan pembantu itu," hasut Mama Helena.
"Nggak, Mah. Aku tetap akan menggugat cerai Mas Ari. Dan aku pastikan, setelah ini pasti papaku akan memberikan pengacara untukku. Tentu setelah ini Mas Ari dan Rinta lah yang akan masuk bui." Aku bicara dengan yakin karena orang tuaku bukan orang tua yang tidak bertanggung jawab. Mereka pasti ada untukku.
Mereka saling beradu pandangan, kemudian hening sejenak. Tangan Mama Helena pun ditarik oleh Mas Ari ke sudut ruangan. Entahlah mereka ingin berbisik apa.
Lima menit kemudian, mereka bertiga beranjak pergi. Masih tetap dengan penawaran yang ia tawarkan tadi.
Selepas mereka pergi pun, selang dua jam, aku dibebaskan dari tuduhan, ada yang menemui polisi, seorang pengacara handal. Namun, kali ini pengacaranya berhasil menjamin dan mengeluarkan aku dari penjara.
"Ini Pak Haris, beliau yang menjamin kamu, Mona. Jadi jangan sampai ulangi acara arak atau penggerebekan dengan menyebarkan di sosial media ya," pesan polisi.
"Pak, yang menyebarkan bukan saya, tapi ...." Ucapanku terputus karena tidak ingin ibu-ibu yang telah membantuku menggerebek juga kena sasaran. Aku sudah ada yang menjamin jadi tidak perlu menyelupkan nama lainnya lagi, cukup aku saja yang merasakannya.
Aku dan Pak Haris pamit bersalaman dengan polisi. Lalu setelah di luar kantor, aku bicara secara intens berdua.
"Terima kasih banyak, Pak. Pasti papaku ya yang kirim Pak Haris?" tanyaku penasaran.
"Bukan, Bu," jawabnya singkat. Apa itu artinya Fikri? Sebab, setelah bebas, ia tidak menampakkan dirinya.
"Apa Fikri?" tanyaku lagi.
"Bukan juga. Apalagi nama itu, bahkan orang yang memerintahkan saya untuk menjamin Bu Mona pun menyuruh saya bicara untuk hati-hati dengan Fikri. Sebab ia sengaja menghasut Ibu karena memang memiliki dendam," paparnya membuatku terkejut. Berati feelingku tepat, Fikri ingin membalas rasa sakit hatinya padaku.
"Lalu siapa orang yang menyuruh Pak Haris?" tanyaku sungguh amat penasaran.
Bersambung
"Tante, itu semua salah paham," terangku padanya."Salah paham apanya? Fikri itu keponakan aku, dia anak baik-baik yang telah kamu sia-siakan," balasnya dengan percaya diri. Terkadang seperti itu, orang mengira yang baik di depan kita akan baik juga di belakangnya, padahal banyak yang baik di depan dan jahat di belakang. "Tante, ini saya sudah memiliki bukti bahwa mobil Fikri yang menabraknya, dan ini juga ada surat laporan yang sudah saya laporkan ke polisi," kataku sambil menyodorkan handphone dan secarik kertas.Tante Ambar meraihnya, lalu membacanya, sesekali mata Tante Ambar melirik ke arahku. Terlihat di sudut matanya ada air mata yang mengembun.Sesekali bibirnya dibasahi oleh lidahnya, lalu terlihat Tante Ambar menghela napasnya. Kemudian, pipi wanita yang memiliki dua anak itu terlihat basah. Kini air mata pun banjir setelah tahu semuanya. "Fikri," isak Tante Ambar. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Aku pun menghampiri dan menuntunnya untuk duduk."Tante yang sabar
Setelah kami menghampirinya, ternyata darah segar sudah mengalir di kening Rinta. Tidak ada satu pun yang berani membawanya ke rumah sakit. "Alan, kita bawa Rinta ke rumah sakit," ajakku setelah menyeruak di kerumunan. "Pak tolong bantu kami bawa dia ke rumah sakit," kata Alan juga."Kata orang sini tabrak lari, Bu. Kami takut nyentuhnya. Nanti polisi jadiin kami saksi," jawab salah seorang warga.Tabrak lari lagi? Mungkinkah ini Fikri lagi? Kalau benar, berati laki-laki itu sudah gila.Darahnya terus mengalir, Rinta terlihat meringis kesakitan. Kemudian menarik telapak tanganku."Mon, tadi Fikri, tolong cari dia ...." Ucapan Rinta terhenti napasnya tampak sulit diatur. Seketika itu juga ia pingsan tergeletak di jalan."Lan, ayo cepat kita bawa saja!" suruhku berteriak. Setelah melihat ia tergeletak, barulah yang lain ikut membantu. Tiba-tiba suara sirine ambulance terdengar. Ternyata ada yang sudah menghubungi ambulance. Petugas langsung membawa Rinta yang sudah terkapar ke dalam
Aku mengelus dada, ternyata orang yang berada di layar CCTV adalah Fikri. Ia benar-benar keterlaluan. Laki-laki itu harus rela dendamnya berakhir di jeruji besi, dan yang akan melaporkannya saudaranya sendiri. Tanganku mengepal, lalu mengembuskan napas perlahan. Sisi burukku cuma satu, menolak cintanya pada saat itu tanpa meminta maaf bahkan menganggap Fikri. Jadi, ia menilaiku benar-benar musuhnya. Seandainya pada waktu itu aku memilih Fikri pun rumah tangga takkan awet jika hatinya diselimuti dendam. "Mon, kita mau gimana?" tanya Alan mengejutkan aku. Seketika lamunanku tentang Fikri buyar, bukan menyesal, tapi aku sangat menyayangkan kalau hari-harinya akan menjadi kelam selamanya. "Kita ketemuan sama Rinta, tunjukkan CCTV ini," ajak Mona pada Alan."Jam berapa kamu janjian?" tanya Alan lagi."Tadi bilang jam 5 sore," timpalku padanya. "Coba telepon Rinta lagi, ketemu sekarang saja," saran Alan. Namun, aku tidak langsung mengindahkan ucapannya. Sebab, kalau kami keluar kantor
"Boleh lihat CCTV nya nggak, Pak?" tanya Alan pada salah seorang yang berada di hadapan kami. Sepertinya mereka tetanggaan di sini, sering kumpul bareng."Wah, kalau itu nanti tanya ke yang punya rumah dulu ya, Pak, Bu. Soalnya orangnya kerja," terang yang tadi mengembalikan dompet Alan. "Oh begitu, ya sudah, ini nomor handphone saya, Pak, kalau orangnya sudah pulang, bisa telepon saya," tutur Alan sambil menyodorkan nomor ponsel yang telah ia tulis di kertas kecil.Kemudian, aku dan Alan kembali ke mobil, setelah memberikan tips untuk orang yang telah menemukan dompet Alan. Aku memakai sabuk pengaman sambil termenung, bisa-bisanya penabrak itu dengan sengaja menabraknya. "Aku yakin ini kerjaannya Fikri, aku pastikan ia masuk ke penjara juga. Kita tidak bisa menyudutkan dengan masalah sosial media, tapi kalau masalah kriminal gini, tentu polisi akan bertindak," kata Alan dengan yakinnya. Aku sedikit menelan ludah, sebab perbuatan ini sangat di luar kepala. Kalau iya Fikri orangnya
Tadinya aku sudah mulai emosi saat Fikri bicarakan tentang aku melalui sambungan telepon. Namun, Alan mencegahku untuk jangan gegabah. Tangan Alan menahan pundakku yang berusaha keluar dari tempat persembunyian. Setelah memastikan Fikri pergi, kami pun beranjak ke mobil. Pintu mobil kututup dengan keras. Aku masih tidak percaya dendam kesumat Fikri denganku begitu mendalam. Hingga harus menyuruh Rinta, yang ternyata saudaranya sendiri sebagai pembantu, berzina pula. Aku mengelus dada, hingga napas ini mampu aku keluarkan dengan perasaan lega. "Sabar ya, Mon, mungkin ini ujianmu. Setelah ini akan ada kebahagiaan yang menghampiri, percayalah bahwa setelah gelap pasti akan datang terang."Kecewa aja, Lan, sama Fikri. Cuma gara-gara nolak cintanya sampai segitunya menghancurkan hidupku," timpalku masih menampakkan kekesalan. "Terkadang, ketika kamu kecewa, itu membuatmu lebih kuat, kamu itu wanita pilihan, Mon," ucap Alan sambil menyetir mobil. Kami memutuskan untuk menyudahi penyeli
Kemudian langkah Rinta menuju Tante Ambar dan langsung menyergap tubuhnya. Aku menoleh ke arah Alan, kami berdua beradu pandangan. "Satu persatu ketebak, Mon. Ini ulah Rinta, ya kan?" Alan sangat yakin bahwa ini adalah ulah Rinta. "Lan, kok aku penasaran ya, kenapa Rinta peluk Tante Ambar? Bukankah yang sepupuan dengan Firman itu Fikri?" Aku bertanya-tanya pada Alan. Seketika kami berdua terdiam sejenak. Ini sungguh seperti teka-teki. Kami berdua yakin bahwa Rinta yang menjadi dalangnya. Akan tetapi masih bertanya-tanya juga ada hubungan apa Rinta dan Firman."Mon, mungkin nggak kalau Firman itu pacarnya Rinta juga?" tanyaku lagi. Pertanyaan yang satu belum terjawab sudah muncul pertanyaan lainnya. "Apa kita samperin ke sana?" tanyaku pada Alan. "Ya sudah, kita ke sana aja, pengen tahu si Rinta jawab apa nantinya," ajak Alan. Akhirnya kami memutuskan untuk menghampiri mereka. Langkah kakiku dan Alan sangat pelan. Kami berdua berdampingan dan jalan penuh kehati-hatian.Aku melaku
Aku ditarik olehnya ke kursi tunggu. Wanita yang belum kuingat namanya itu tampak serius ingin bicara denganku."Ini nggak apa-apa saya negur saat ada pacarmu?" tanyanya membuatku terkejut. Alan dikira pacarku, padahal ketemu saja baru beberapa hari ini."Nggak apa-apa, Tante. Rasa penasaran saya memuncak nih," ucapku lagi.Tiba-tiba saja dokter datang saat kami hendak bicara di kursi tunggu. Jadi, ia memilih menunda lebih dulu."Maaf, keluarga dari Firman?" tanya dokter."Iya, saya ibunya Firman," jawabnya dengan serius.Jadi wanita yang barusan mengenalku itu orang tuanya Firman, tapi kenapa aku tidak mengenalnya? Bukankah ia tadi juga tahu bahwa aku ini mantannya Fikri?Sederet pertanyaan muncul, Alan pun menghampiriku, bibirnya sedikit mendekat dan berbisik. "Kok aku jadi tambah penasaran ya," bisik Alan. Jangankan aku yang memiliki permasalahan, Alan pun ikut penasaran yang hanya berniat membantu.Dokter itu mengajak ibunya Firman bicara empat mata di ruangan. jadi mereka berdua
Ketika wanita itu datang ke UGD, ia langsung diarahkan ke ruangan ICU oleh suster. Sedangkan aku masih berusaha mengingat wajahnya. Namun ingatanku tidak juga muncul."Kita ke ICU, Lan. Tanya-tanya wanita itu, jujur saja aku belum mampu mengingatnya," kataku sambil memegang pelipis mata. "Memang siapa itu, Mon?" tanya Alan balik."Kalau tahu, aku nggak akan sepusing ini, Lan, aku juga penasaran kok rasanya nggak asing melihat dia," timpalku lagi. "Ayolah kita ke ICU!" ajakku lagi.Namun, ketika kami hendak melangkah, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Pak Nando. Aku melirik ke arah Alan, sebab tadi dia yang menjamin bahwa aku bebas dari omelan Pak Nando. "Lan, ini Pak Nando, kata kamu ...." Ucapanku terputus karena lebih baik mengangkat teleponnya. Akhirnya aku angkat setelah berdering beberapa kali. "Halo, Pak," ucapku dengan hati gemetar. "Iya, Mona. Sekarang kamu kembali ke kantor. Saya harap sekarang juga ya, tolong jangan membantah. Bilang sama Alan sekalian dia yang an
Bab 21Tiba-tiba saja ada suara teriakan minta tolong. Aku dan Mona sontak terkejut dan berusaha menoleh dengan sengaja ke arah ujung suara. Namun, karena kami lengah dalam sekejap laki-laki itu menepis tanganku hingga terjatuh. Buk! Ia pun lari cukup jauh. Mona yang melihatku terjatuh pun tidak fokus lagi pada lelaki yang nyaris kurang ajar padanya. Aku segera bangkit, jatuh karena tangkisan tangan lelaki tadi, jadi ia sengaja kabur setelah melihatku yang sedang lengah. "Sial dia kabur," kataku sambil melempar batu kecil di hadapanku. Sedangkan Mona mencari sumber suara yang berteriak tadi."Loh, suara nenek yang tadi di sana juga nggak ada," timpal Mona sambil mengedarkan pandangan. Kemudian ia turut membantuku dan mengekori saat aku berusaha mencari orang tadi.Kami cari laki-laki yang katanya sengaja melakukan ini, yang katanya dibayar oleh seseorang hanya untuk menjatuhkan Mona. "Kita cari laki-laki tadi, pasti belum jauh," ajak Alan sambil menarik pergelangan tanganku. Namun