Pagi-pagi Aizar terbangun setelah mendengar kicauan burung-burung yang riuh di dalam hutan. Seketika itu juga, tanpa ingin membuang waktu, ia pun bergegas pergi untuk melanjutkan perjalanan. Hingga menjelang petang, akhirnya ia sudah sampai di pinggir hutan dan ia merasa beruntung melihat ada nyala lampu dari sebuah rumah yang tampak dari tempatnya berdiri. “Sepertinya dari rumah itulah bau masakan ini berasal,” pikir Aizar sambil memegang perutnya.
Tanpa berpikir panjang, Aizar segera melangkah menuju rumah itu, berharap ada sepotong ubi jalar atau mungkin sepiring nasi putih yang sudi diberikan si tuan rumah padanya.
Semakin mendekati rumah yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia itu, aroma masakan yang begitu lezat semakin membaui penciuman Aizar, membuat rasa lapar yang dirasakannya tidak bisa ditahan lagi.
“Permisi...!” ucap Aizar saat sudah sampai di depan rumah berukuran sederhana itu.
Krek! Daun pintu rumah yang terbuat dari papan itu pun terbuka, tampaklah sepasang suami istri yang sudah lanjut usia berdiri di depan pintu sambil membawa lampu teplok.
Kedua penghuni rumah itu tampak memperbesar bola matanya menatap ke arah Aizar dengan raut wajah penuh rasa heran dan penasaran.
“Selamat malam, Kek, Nek... bolehkah saya bermalam di rumah ini?” ucap Aizar langsung mengutarakan keinginannya sambil membungkukan sedikit tubuhnya.
“Kamu dari mana, Nak? Kenapa ada di sini?” tanya si kakek itu was-was.
“A-aku... tersesat dalam hutan dan sedang dalam perjalanan menuju ke kota,” jelas Aizar apa adanya.
“Baiklah kalau begitu, silakan masuk, Nak...” ucap Kakek itu akhirnya mempersilakan Aizar.
Saat Aizar berada di dalam rumah itu, tampaklah di atas lantai yang dialasi tikar, terdapat makanan di atas piring plastik yang sedang dinikmati oleh kedua suami-istri itu.
“Kebetulan kami sedang makan malam, jadi marilah sekalian makan bersama-sama,” ucap si nenek sambil mempersilakan Aizar untuk makan bersamanya.
“Apa aku tidak merepotkan Kakek dan Nenek?” ucap Aizar berbasa-basi.
“Tidak sama sekali, Nak, justru aku merasa senang sekali setelah hampir dua tahun lamanya, akhirnya ada juga orang yang bertamu ke gubuk kami yang reot ini,” ujar si kakek menunjukan rasa senangnya atas kehadiran Aizar.
“Betul, Nak, kalau dulu sesekali ada juga para pemburu yang singgah ke sini saat mereka balik dari hutan. Tapi, sejak dikeluarkannya peraturan pemerintah pelarangan berburu hewan liar, nyaris tidak ada seorang pun yang bertamu ke rumah ini,” tambah si nenek memberi tahu Aizar.
Aizar hanya mengangguk-angguk sambil menahan perutnya yang sudah terasa sangat lapar.
“Tadi kamu bilang tersesat di hutan? Sejak kapan? Memangnya kamu berasal dari...” ucap si kakek terhenti.
“Sudahlah, Pak..., biarkan anak ini makan dulu, jangan ditanya-tanya terus...” potong istrinya yang sudah menyendokan sepiring nasi putih untuk diberikan pada Aizar.
Melihat nasi dan lauk-pauk yang tak dijamahnya beberapa hari ini, Aizar tampak sangat gembira, sampai ia tidak bisa berkata-kata.
“Silakan makan ya, Nak, mohon maaf, lauknya cuma alakadarnya saja,” ujar si nenek mempersilakan Aizar.
“Jadi sudah berapa lama kamu tersesat di hutan, Nak?” tanya si kakek memulai pembicaraan lagi.
“Sebenarnya aku sedang mencari ayahku,” jelas Aizar.
Aizar pun menceritakan pada mereka, bahwa saat kecil dulu ayahnya menitipkan dirinya pada sebuah keluarga angkat dan orangtua angkatnya itu memberitahu kalau dulu ayahnya memilih menyendiri hidup di dalam hutan. Kini orangtua angkatnya sudah tiada, dan setelah mencari ayahnya tidak kunjung bertemu ia pun memutuskan untuk pergi ke kota mencari ibu kandungnya.
Obrolan Aizar dan kedua orang baik hati yang baru dikenalnya itu berlanjut setelah makan. Si kakek menemaninya duduk-duduk santai di balai-balai bambu yang terdapat di depan rumahnya, sambil menikmati kopi panas.
“Jadi sekitar 300 meter dari rumahku ini ada jalan yang biasa digunakan petugas kehutanan untuk mengontrol keadaan hutan pohon jati yang berada di sebelah selatan hutan di belakang rumahku ini, setiap sebulan sekali mereka akan melintasi jalan itu. Aku sudah kenal dekat dengan para petugas itu, karena beberapa tahun lalu mobil mereka pernah mogok, dan mereka bermalam di rumahku ini. sejak itu, setiap sebulan sekali pasti mereka akan membawakan aku bahan makanan dan barang-barang yang aku butuhkan,” ungkap si kakek bercerita pada Aizar.
“Sepertinya, lusa ini petugas kehutanan itu akan lewat tempat ini, nanti aku minta bantuan mereka untuk menolongmu mengantarkan ke kota,” tambah si kakek membuat Aizar merasa lega mendengarnya.
Si kakek tua itu pun mengizinkan Aizar untuk tinggal di rumahnya sampai kendaraan petugas kehutanan datang untuk meminta tumpangan pada mereka. Kesempatan itu akan Aizar gunakan untuk bertanya dan belajar banyak hal dari si kakek, agar petualangannya nanti selama di kota tidak akan mengalami masalah yang berarti.
“Apakah selama perjalanan dua hari di dalam hutan ulin itu kamu menemukan hal-hal yang aneh, Nak?” tanya si kakek yang masih betah berlama-lama ngobrol dengan Aizar.
“Iya, Kek, aku bertemu sekelompok orang misterius yang sedang berpesta. Juga di telaga pernah melihat seorang gadis cantik yang sedang mandi di danau,” jelas Aizar.
“Tepi hutan ulin itu memang terkenal angker,” jelas si kakek. “Apakah kamu pernah mendengar cerita tentang orang bunian?” tanyanya menambahkan.
Aizar coba mengingat-ingat, tetapi ia merasa belum pernah mendengar hal itu.
“Mereka itu makhluk halus yang cara hidupnya seperti manusia,” beritahu si kakek, “Beruntung kamu bisa keluar dari dunia mereka, karena kalau sampai kamu tinggal di dunia mereka, ibarat 1 hari di sana sama dengan 10 tahun kehidupan di dunia manusia, pulang-pulang keadaan di dunia ini akan benar-benar terasa asing baut kamu,” tambahnya menjelaskan.
Detik itu, Aizar merasa beruntung bisa keluar dari hutan dengan selamat.
Setelah puas mengobrol dengan si kakek, Aizar merebahkan tubuh di atas balai-balai bambu di depan rumah yang akan menjadi tempat beristirahatnya malam ini. Tapi, baru saja ia terlelap dalam tidur, sosok wanita berpakaian serba putih dengan aroma tubuh seharum bunga mawar, tiba-tiba datang mengusik…
Bagi Adirah, pria bertubuh tegap dan gagah seperti Aizar adalah pria idamannya. Saat pertama kali bertemu, ia langsung jatuh hati. Namun, saat ini semua keinginan itu hanya dalam angan-angannya. Ia tak bisa berharap banyak pada Aizar, karena dia adalah seorang boss yang harus dilayani dan dihormati. “Yang penting Pak Boss senang, itu saja sudah cukup bagiku,” batin Adirah yang selalu curi-curi pandang untuk menikmati wajah Aizar setiap berdekatan dengannya.“Kenapa, Dirah?” tanya Aizar tiba-tiba menengok ke arah Adirah di depan meja kerjanya.“T-tidak apa-apa, Pak…” jawab Dirah gugup, lalu mengalihkan pandangannya ke layar komputer.“Sudah disusun semua laporannya?” tanya Aizar memastikan.“Sedikit lagi, Pa,” jawab Adirah.“Kalau sudah selesai langsung print saja ya. Aku mau ke balkon sebentar, menikmati udara pagi yang segar agar pikiranku lebih tenang saat rapat nanti,” jelas Aizar lalu berjalan keluar ruangan menuju taman di samping ruang kerjanya.“Duh, gagahnya Pak Boss-ku…” guma
Sambil memejamkan mata, tubuh Aizar mulai bergerak maju mundur di depan wajah Selina. Dalam situasi seperti itu, ia sudah tak memikirkan apa-apa, selain menuruti hasrat manusiawi yang haus dalam mereguk kenikmatan. Selina pun melakukannya dengan sepenuh hati semata-mata ingin membuat lelaki di depannya itu bahagia, sebagai balasan dan tanda terima kasih atas kebaikan hatinya.“Biar aku saja yang bersihkan,” ucap Selina saat Aizar telah mengeluarkan sari pati tubuhnya. “Terima kasih, Sel…” balas Aizar membiarkan Selina mengelap bagian bawahnya dengan tisu. Ia berdiri memperhatikan sambil mengelap keringat di dahinya.“Apa kamu mau duduk dulu atau…” ucap Selina setelah berdiri berhadapan Aizar.“Lebih baik aku pulang sekarang, Sel, besok pagi aku ada meeting,” jawab Aizar sambil menutup resleting celananya. “Terima kasih ya, Sel…” ucapnya sebelum keluar dari kamar Selina. Saat keluar dari dalam gang tempat tinggal Selina, tanpa Aizar sadari seseorang dari dalam mobil berwarna hitam be
Saat melewati kawasan pabrik Aiwa, Aizar teringat Selina. Keberhasilannya mengungkap penyelewengan prototype yang dilakukan Purnama, tidak lepas dari bantuan gadis itu. Detik itu, Aizar bermaksud untuk menemuinya. Amplop berisi uang pun sudah disiapkannya sebagai bentuk terima kasih atas pertolongannya. Namun, ia sedikit ragu karena tegangan dalam dirinya masih tinggi gara-gara digoda oleh wanita berdada besar di cafe. “Gimana, yah?” pikir Aizar gusar. “Masak aku tidak bisa menahan diri?” Aizar menyayangi Selina sebagai teman baik yang pernah menolongnya saat ia kesusahan, kini saatnya ia membalas kebaikannya itu, dan ia tak ingin dianggap mengambil kesempatan pada gadis itu. Aizar pun memutuskan untuk menemui Selina, ia memberhentikan mobilnya, lalu memarkir mobil sedannya itu di depan gang, lalu berjalan kaki menuju rumah sewa Selina yang dulu pernah dijadikan tempatnya menumpang sebelum ia bertemu keluarganya.Di rumah kontrakan itu ada tiga kamar terpisah. Suasana di sana sud
“Sekarang tinggal memastikan, apakah Anastasia pemilik CV Sinar Sentosa itu adalah istri Purnama,” ucap Aizar masih di dalam ruang kerja Purnama bersama Adirah.“Coba saja telepon nomor telepon di kartu namanya itu,” saran Adirah.Aizar pun mengiyakan, lalu meminta Adirah untuk menghubungi nomor telepon CV Sinar Sentosa.Kring…. Kring… kring…! tiga kali telepon berdering, namun tidak ada orang yang menjawab.“Mungkin kantornya sudah tutup, Pak,” ucap Adirah menutup gagang telepon di tangannya.“Coba sekali lagi, Adirah,” pinta Aizar.Adirah pun memutar kembali nomor telepon pada kartu nama di tangannya.Kring! Suara telepon kembali berdering.“Halo,” akhirnya seorang lelaki menjawab di sana. Adirah pun membuat pelantang suara agar Aizar dapat mendengar pembicaraannya. “Selamat malam, apa benar ini CV Sinar Sentosa?” tanya Adirah dengan sedikit berdebar.“Maaf, ini dari mana ya Bu? Dan ada keperluan apa?”“Saya dari PT Permata ingin bicara dengan Bu Anastasia pemilik CV Sinar Sentosa,
Aizar masuk ke dalam ruang kerja Purnama untuk mencari berkas-berkas berhubungan dengan CV Sinar Sentosa. Sedangkan Adirah menyalakan komputer untuk mencari data-data penting yang tersimpan di sana. Berkas-berkas di atas meja sudah Aizar periksa satu per satu, namun belum ada petunjuk yang ia dapati. Kemudian ia membuka laci meja kerja Purnama, ada banyak barang-barang di dalamnya, mulai dari alat tulis, notes, dan folder berisi kartu nama. Aizar mengeluarkan folder persegi panjang itu, lalu meletakkannya di atas meja. Satu per satu ia membaca kartu nama di dalamnya. Ada beberapa kartu nama staf Shine Group, termasuk kartu nama Sony ada di dalamnya, juga kartu nama dari staf beberapa perusahaan ternama. Pada lembar terakhir folder itu mata Aizar tertuju pada sebuah kartu nama berwarna silver, ada nama seorang wanita di sana, Anastasia Putri, chief CV Sinar Sentosa. “Dapat!” ujar Aizar membuat Adira terkejut.Aizar pun menunjukkan kartu nama itu pada Adirah. Di dalamnya ada nomor te
Di lorong rumah sakit yang sunyi, Aizar duduk menunggu bersama Kek Pram. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk menceritakan hasil penyelidikannya di kantor Aiwa…“Aku sudah mendapatkan dokumen penting itu, Kek,” ucap Aizar dengan memelankan suaranya. “Relasi Aiwa dalam penyediaan prototype barang elektroniknya berasal dari CV. Sinar Sentosa. Apakah sama dengan perusahaan yang memasok prototype untuk perusahaan kita, Kek?” tambahnya memastikan.“Sinar Sentosa? Beda, Nak. Tapi, saran Kakek selidiki lagi perusahaan tersebut. Siapa tahu ada hubungannya dengan perusahaan yang memasok prototype ke perusahaan kita. Kalau itu sampai terbukti kita bisa menuntutnya,” jelas Kek Pram.Aizar menyadari misinya belum selesai, masih ada kemungkinan keterlibatan Sony dalam pengadaan prototype di Aiwa.“Besok pagi akan ada rapat direksi di kantor, kamu harus hadir, jangan sampai kesiangan. Modal utama seorang pimpinan yang baik adalah selalu tepat waktu, agar menjadi contoh pada bawahanmu,” ucap Kek Pra