LOGIN
Setelah tersesat tiga hari dua malam, Aizar masih belum juga sampai ke tepi hutan. Ia memutuskan untuk beristirahat di dekat sebatang kayu besar yang sudah tumbang karena dimakan usia.
Saat tengah malam Aizar terbangun mendengar suara-suara berisik yang berada tidak jauh darinya. Dilingkupi rasa penasaran, ia berjalan mengendap-endap mencari sumber suara itu.
Setelah berjalan beberapa langkah mendekati semak-semak yang lebat, lalu menyibaknya, Aizar tercengang melihat di depannya ada sebuah bangunan besar nan megah, bak sebuah istana kerajaan. Dari sana lah sumber suara musik dan suara-suara orang yang sedang berkumpul itu berasal…
“Hei, Aryo... apa yang kau buat di sini?” tiba-tiba seorang pemuda menepuk tubuh Aizar yang terbalut kaos hitam berlengan panjang. Saat Aizar menoleh ke belakang, tampaklah seorang lelaki yang sebaya dengannya tersenyum penuh persahabatan.
“Rambut kamu sekarang ikal dan gondrong begini, Yo? Apa kamu sudah malas merawat diri, ya?” tambah pemuda itu keheranan, Aizar malah mengerutkan kening.
“Ayolah, kita ikut pesta di rumah ketua kampung, rugi kalau tidak ikut, banyak gadis-gadis cantik di sana...” tambah lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya itu.
“Maaf…, aku tidak bisa ikut ke sana,” jelas Aizar merasa sangat aneh berbicara dengan orang asing di tengah hutan.
“Walaupun sudah bertahun-tahun aku tidak pulang, aku tahu kok kamu punya masalah dengan seorang gadis yang menolakmu, menyebabkan kamu selalu menyendiri dan enggan bergaul dengan siapa pun, apalagi sama perempuan,” ujar pemuda itu sambil mengembangkan senyum.
“Mulai hari ini kamu tidak perlu menyendiri lagi Yo, aku bisa jadi kawan mainmu, seperti waktu kita kecil dulu. Ayolah… pergi bersamaku ke rumah kepala kampung,” ajak pemuda itu sambil meraih lengan kanan Aizar. Aizar pun akhirnya tak kuasa menolak, bahkan dalam dirinya mulai tumbuh rasa penasaran akan pesta yang dimaksud pemuda itu.
“Tunggu sebentar, Yo…” ucap pemuda itu tiba-tiba. Lalu, ia mengeluarkan sebuah kalung berwarna hitam dan memiliki liontin berwarna kehijauan, semacam batu giok.
“Ini kalung pemberian orang tua angkatku di perantauan, katanya kalau aku memakai kalung ini semua wanita akan tertarik padaku,” jelas pemuda itu sambil mengenakan kalung itu di lehernya. “Kapan-kapan kamu boleh mencobanya, Yo, tapi hari ini aku ingin membuktikannya terlebih dahulu,” tambahnya. Aizar hanya mengiyakan tanpa sedikitpun percaya dengan ucapan pemuda itu.
Saat Aizar dan pemuda itu sudah mendekati rumah ketua kampung, rupanya perhatian orang-orang yang semuanya berpakaian dominan warna hitam serta memakai udeng hanya tertuju pada si pemuda itu. Sepertinya benar yang dikatakan pemuda itu kalau ia baru saja pulang dari merantau. Hampir semua orang menyalami dan menanyakan kabarnya. Namun, sebaliknya pada Aizar orang-orang memandang sebelah mata dan sama sekali tak ada seorang pun yang menyapa.
Saat melewati kerumunan para wanita pun, pandangan mereka hanya tertuju pada pemuda itu, kehadiran Aizar seperti tidak dianggap, bahkan ada wanita yang menghinanya...
“Berani-beraninya kamu muncul di keramaian dengan pakaian lusuh begini, Aryo!” cibir seorang wanita yang memakai kemben sehingga memperlihatkan bagian dadanya.
“Iya nih, dia gak tahu apa, pesta ini hanya untuk orang-orang berkelas. Kamu itu cuma anak kampung yang miskin!” tambah wanita berpakaian serupa di sampingnya sambil menatap sinis ke arah Aizar.
Detik itu Aizar merasa kehadirannya tak diinginkan. sehingga ia mulai berpikir untuk tidak mau terlalu larut bersama orang-orang yang menggelar pesta di halaman rumah ketua kampung. Sebaliknya pemuda itu mulai dikerumuni wanita-wanita cantik. Bahkan saat tangannya dengan nakal mulai menyentuhi tubuh wanita-wanita itu di balik keremangan cahaya di sudut-sudut ruangan, mereka sama sekali tak marah ataupun menolak bahkan membalasnya dengan manja. Melihat itu semua kelaki-lakian Aizar seketika terusik…
“Rupanya benar yang dikatakan pemuda itu, kalung yang dimilikinya adalah kalung pemikat wanita. Pasti senang kalau bisa memiliki kalung sakti itu,” pikir Aizar sambil merenung.
Di tengah-tengah pesta untuk orang dewasa itu, tiba-tiba datang seorang pemuda berwajah mirip dengan Aizar. “Itukah pemuda yang bernama Aryo? Seperti melihat diriku di dalam cermin. Pantas saja semua orang tadi menganggap aku Aryo,” pikir Aizar seketika.
“Lho, Aryo? Ini kamu...? terus, lelaki yang bersamaku tadi siapa?” ucap pemuda itu merasa terkejut bercampur heran saat bertemu dengan lelaki yang sesungguhnya bernama Aryo. Memang sulit dibedakan kemiripannya dengan Aizar, hanya bedanya pada bola mata lelaki itu tampak sipit dan berambut lurus, sedangkan rambut Aizar ikal dan sedikit gondrong.
Menyadari hal itu, Aizar segera pergi meninggalkan tempat itu karena tidak ingin terjadi masalah karena dirinya bukan bagian dari kelompok mereka.
Dalam beberapa saat, Aizar sudah menjauh meninggalkan tempat tadi ia beristirahat di dekat pohon kayu besar yang tumbang. Ia terpaksa berjalan lumayan jauh untuk mendapatkan tempat peristirahatan baru yang aman dan tidak akan diketahui oleh orang-orang misterius yang ditemuinya sedang mengadakan pesta.
“Lebih baik, aku melanjutkan tidur, karena perjalananku masih jauh, aku butuh istirahat agar besok tubuhku menjadi segar dan bertenaga,” gumam Aizar saat sudah bersandar di bawah sebuah pohon di samping api unggun yang dibuatnya kembali.
Saat mulai memejamkan mata, Aizar termenung mengingat kalung sakti yang dimiliki pemuda itu, sambil berandai-andai dia bisa memilikinya.
Jika aku bisa memiliki liontin sakti itu, maka yang kuimpikan selama ini akan menjadi kenyataan. Siapa yang tidak mau dikelilingi banyak wanita cantik? gumam Aizar dengan khayalan melanglang buana, membayangkan dirinya berada pada posisi pemuda itu, dengan leluasa menyentuhi tubuh wanita-wanita cantik dan berakhir dengan mencumbuinya satu per satu di atas ranjang dengan sepuas hati.
“Akhhh…” desah Aizar saat menyadari bagian bawahnya telah menegang karena khayalannya itu. Tangan kanannya pun refleks perlahan menyelusup masuk ke dalam celana dan merasakan kehangatan benda di dalamnya, “Kalau aku sudah bertemu dengan keluargaku yang kaya raya di kota nanti, kamu pasti akan kugunakan untuk memuaskan wanita-wanita cantik di luar sana,” gumam Aizar sambil terus berkhayal hingga ia terlelap sendiri di tengah belantara hutan dalam pencarian keluarganya...
Setelah menerima liontin pemikat dari Aizar, Satrio kembali ke indekostnya. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke sebuah minimarket untuk membeli beberapa barang kebutuhan. Di situlah ia mulai merasakan keanehan yang terjadi. Setiap berpapasan dengan wanita, mata-mata mereka terlihat membulat serta mulut-mulut mereka tampak terbuka sambil menatap ke arahnya. Bahkan si kasir yang melayani terlihat sangat gelisah saat Satrio berada di depannya, hingga terdengar dengan jelas desahan napasnya. Karena belum terbiasa dengan keadaan itu, Satrio memilih untuk cepat-cepat pergi masuk ke dalam mobil, lalu tekan gas pergi meninggalkan minimarket itu. “Apa tadi itu hanya sugesti, atau benar-benar terjadi?” pikir Satrio dalam perjalanan penuh kebingungan.Setibanya di rumah, beberapa tetangga rumah menyapa Satrio dengan ramah, terlebih lagi ia pulang dengan membawa mobil. “Baru pulang, Mas Rio? Wah, sekarang sudah punya kendaraan ya?” sapa ibu kost yang kebetulan sedang duduk santai di depan ter
Saat dalam perjalanan pulang, Selina menceritakan kalau sebenarnya tadi Pak Sony memintanya lembur, tapi Adirah dengan sukarela bersedia menggantikan.“Bu Adirah itu memang susah ditebak, kadang baik, kadang suka marah-marah,” ungkap Satrio menjelaskan. “Oh, iya, Sel… Malam ini apa kamu ada acara?” tanyanya melanjutkan obrolan.“Tidak ada sih. Aku jarang keluar malam kalau bukan hal yang penting,” jawab Selina yang duduk menyilangkan kedua lengan di dadanya sambil menatap lurus ke depan jalan raya yang sedikit macet.“Pak Aizar mengajak kita keluar malam ini,” jelas Satrio memberitahu Selina.“Memangnya mau kemana?”“Paling diajak minum kopi di cafe langganannya.”“Oh… ya sudah, aku ikut.”“Berarti nanti malam aku jemput ya?”Selina pun tanpa ragu memberikan nomor teleponnya pada Satrio. “Langkah awal yang baik,” batin Satrio sambil tersenyum sendiri.Selesai mengantar Selina, Satrio tidak langsung pulang ke rumah indekosnya, tapi ia memutar arah menuju ke rumah Aizar, karena Aizar yan
Setelah tiba waktunya pulang, Selina menuju lobi untuk menemui Satrio di sana. “Mau langsung pulang sekarang?” tanya Satrio saat Selina datang menghampirinya.Selina mengiyakan, lalu keduanya berjalan beriringan menuju area parkir kendaraan. “Ini mobilnya,” ucap Satrio saat berada di depan sebuah mobil klasik berwarna kehijauan.Klik! Satrio membuka pintu pengemudi mobil itu.“Lho, sopirnya kamu, Rio?”“Iya… hehehe… tentu saja atas perintah Pak Aizar,” jelas Satrio. “Ayo masuk…” ajaknya.Selina pun masuk, ia memilih duduk di kursi penumpang bagian depan, tepatnya di samping Satrio.“Aku jadi merepotkan kamu kalau begini,” ucap Selina sambil melirik ke arah Satrio di sampingnya. “Ya nggak sama sekali lah, Sel… aku juga diberi pinjaman mobil ini sama Pak Aizar sudah merasa senang sekali. Lagipula, tempat tinggal kamu kan sejalur dengan kosanku, jadi sekalian lewat antar jemput kamu tidak jadi masalah,” jelas Satrio yang mulai menghidupkan mesin. Beberapa saat kemudian perlahan mobil
Tidak sudi aku dikalahkan oleh seorang cleaning service! Adirah berceracau sendiri di dalam ruang kerjanya. Ia menabuh genderang perang pada Selina, kehadirannya telah merebut semua perhatian Aizar, dan itu baginya sesuatu yang harus diperjuangkan. “Aku harus berbuat sesuatu!” putus Adirah lalu keluar dari ruang kerjanya. Ia telah memikirkan sesuatu yang jahat untuk membalas sakit hatinya pada Selina. Adirah berjalan menuju pantry karyawan, di sana ia mencari sabun pencuci piring lalu dengan sengaja dituangnya ke lantai dekat rak tempat menaruh alat makan dan minum. Setelah itu ia kembali lagi ke ruangannya. Kring! Adirah menelepon Selina di ruang kerjanya, “Buatku aku kopi susu, tambahkan juga krimer. Kamu sendiri yang antar ke ruanganku ya, sekalian aku mau menyampaikan sesuatu dari Pak Aizar. Cepat ya!” perintahnya pada Selina.“Baik Bu, aku akan segera ke sana,” jawab Selina.Ketika Selina beranjak dari tempat duduknya bermaksud menuju pantry, tiba-tiba muncul Satrio masuk ke d
“Selina, ini ada makanan untukmu,” ucap Satrio memberikan sebuah plastik putih pada Selina saat ia tiba di kantor.“Makanan dari siapa?” tanya Adirah merasa penasaran.“Pak Aizar yang membelikannya,” jelas Satrio.Kebetulan Adirah yang sedang berada di tempat itu mendengar pembicaraan Selina dan Satrio, betapa sedih hatinya mendengar boss kesayangannya lebih perhatian pada staf yang baru sehari bekerja, sedangkan dirinya sebagai seorang sekretaris pribadi sama sekali tidak mendapatkan perhatian. “Mungkin kamu salah dengar, Satrio,” ucap Adirah tiba-tiba merebut plastik putih di tangan Selina. “Pasti makanan ini dibelikan Pak Aizar untuk aku! Aku ini kan sekretaris pribadinya. Kalau Selina siapa? cuma kepala OB!” tambah Adirah sambil menatap sinis pada Selina.“Tapi Bu…, makanan itu memang dibelikan Pak Aizar untuk Selina, kalau tidak percaya Bu Adirah bisa tanya langsung pada Pak Aizar,” jelas Satrio.“Sudah, Rio… tidak apa-apa, makanannya untuk Bu Adirah saja, kebetulan aku juga tad
Seperti yang sudah Aizar janjikan, akhirnya Satrio mendapatkan pinjaman inventaris mobil kantor. Meskipun kendaraan lama, tapi mesinnya masih berfungsi dengan baik. “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin kamu antar jemput Selina dengan mobil ini,” ucap Aizar saat memberikan kunci mobil itu pada Satrio. “Selina termasuk teman yang pernah berjasa padaku, jadi aku ingin ia menerima kemudahan dalam bekerja,” tambah Aizar.Satrio tentu saja mengiyakan, lagipula rumah Selina searah dengan tempat tinggalnya. Saat jam istirahat, Satrio mencoba menaiki mobil yang didapatnya ditemani Aizar untuk makan siang di restoran seafood yang pernah dikunjunginya. Kedekatan Aizar dengan si anak magang itu kembali menjadi buah bibir di kalangan staf kantor.“Sekarang diberikan mobil, besok-besok dikasih rumah, diberikan jabatan tinggi, atau bisa jadi diajak liburan keluar negeri,” ujar seorang staf yang melihat kebersamaan Aizar dan Satrio.“Katanya, Pak Aizar suka membawa anak magang itu ke rumahnya, lho







