Perjalanan panjang yang melelahkan akhirnya berakhir. Pesawat pribadi mendarat mulus di landasan bandara, mengakhiri perjalanan Gruzeline dan ayahnya. Gruzeline turun dari pesawat, langkahnya terukur dan tenang, namun wajahnya datar, dingin seperti es. Tempat kelahirannya, yang dulu terasa begitu hangat, kini terasa asing dan jauh.Enam tahun lalu, ia meninggalkan negara ini dengan hati yang hancur, luka dan trauma masih membekas dalam ingatannya. Kini, ia kembali, bukan karena kerinduan, melainkan untuk melarikan diri dari bayang-bayang masa lalu yang mengerikan.Di luar pesawat, berjajar rapi pengawal pribadi Evan, menyambut kedatangan tuan dan nona muda mereka. Gruzeline melewati mereka tanpa menoleh, bahkan pada Hans, tangan kanan Evan, pria yang ikut terlibat dalam rahasia kelam ayahnya, rahasia yang telah lama disembunyikan."Selamat datang kembali, Nona Muda," sapa Hans, suaranya hormat, tubuhnya membungkuk dalam. Tatapannya seolah menembus Gruzeline, mel
"Gruzeline?" tanya Madam May, suaranya sedikit gemetar. Mata tajamnya mengamati Rafael, seolah mencari celah dalam ekspresi datar pria itu. Udara di ruangan itu terasa menegang, berat seperti beban yang tak terlihat.Rafael menatap wanita di hadapannya dengan tatapan dingin yang menusuk. Cahaya redup dari lampu gantung di atas mereka memantul di iris matanya yang gelap, memperkuat aura mengancam yang terpancar darinya. Ia tahu Madam May berbohong. "Aku tanya sekali lagi," desis Rafael, suaranya rendah dan berat, setiap kata diukir dengan penekanan yang mematikan, "di mana Gruzeline?"Madam May menelan ludah, bunyi itu nyaring di keheningan ruangan. Tangannya gemetar, meraih cangkir teh yang sudah dingin di mejanya. Pria ini, benar-benar mengerikan, baik saat marah maupun saat diam seperti sekarang. "Gruzeline tidak ada di sini," jawabnya, suara hampir tak terdengar.Sebelum Madam May sempat menyelesaikan kalimatnya, tangan kekar Rafael sudah mencekik lehernya. Jari-jari kuat it
Gruzeline membantingkan tubuhnya ke atas kasur empuk, selimut sutra terhambur tak beraturan. Setelah perbincangan panjang dan melelahkan tentang rencana pernikahan yang dipaksakan keluarga O'niel, ia akhirnya bisa kembali ke apartemennya. "ARGH!!" Gruzeline berteriak frustasi, menyembunyikan wajahnya di balik bantal bulu angsa yang lembut.Wanita itu terlihat seperti orang yang kehilangan kendali. Rambutnya yang semula tertata rapi kini acak-acakan, mencerminkan kekacauan batinnya. "Bagaimana caranya aku lepas dari mereka?" gumamnya, suaranya teredam oleh bantal. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Di tengah keputusasaannya, ponselnya berdering nyaring, memecah kesunyian di apartemennya. Gruzeline meraba-raba mencari ponselnya di antara selimut dan bantal, akhirnya menemukannya dan mengangkat panggilan tersebut. "Ya, Madam," jawabnya, suaranya masih terdengar sedikit gemetar.["Line, bisakah kau datang ke rumahku sekarang juga?"] Suara tegas Madam Rose terdengar da
Rafael menggenggam tangan Gruzeline, mengajaknya turun ke ruang makan melalui lift pribadi yang mewah, dindingnya dilapisi marmer putih berkilau. Gruzeline terkesima, namun tak sepenuhnya terkejut melihat kemewahan kediaman Rafael. "Tuan Rafael, bisakah Anda melepaskan tangan saya?" pintanya, suaranya terdengar sedikit gemetar, meskipun berusaha tetap tenang. Aroma parfum mahal Rafael memenuhi hidungnya, bercampur dengan aroma kayu jati dari lift itu.Rafael mengernyit, ekspresi datarnya tak berubah. "Kenapa?" tanyanya, suaranya rendah dan berat."Sangat tidak pantas bagi seorang atasan untuk terus menggenggam tangan bawahannya," jawab Gruzeline, jari-jari tangannya yang tergenggam terasa semakin erat. Dalam hati, ia mengutuk Dyon yang telah membiarkannya dibawa ke sini, ke kediaman orang tua Rafael yang megah dan terasa dingin. Cahaya lampu kristal yang tergantung di langit-langit lift memantulkan bayangan mereka berdua."Kata siapa kita bawahan dan atasan? Kau sudah menandatan
"Kau tidak boleh membawanya. Dia tanggung jawabku," tolak Dyon tegas, tubuhnya menegang saat Rafael hendak menggapai Gruzeline yang terbaring lemah di sofa merah tua itu. Aroma alkohol dan parfum wanita masih tercium kuat di udara klub malam yang remang-remang. Lampu-lampu neon berwarna-warni berkedip-kedip, kontras dengan tatapan dingin Dyon. Rafael tersenyum sinis, sebuah lengkungan tipis di bibirnya yang menyingkapkan gigi putihnya. "Aku tahu kau mengetahui isi perjanjian itu, jadi... jangan menghalangiku." Suaranya rendah, berotoritas, menggelegar di telinga Dyon. Dyon terdiam, matanya tertuju pada Madam May yang masih terduduk di kursi, wajahnya pucat pasi. Madam May tampak seperti patung porselen rapuh, ketakutan tergambar jelas di matanya. Kekuasaan Rafael, yang menyeramkan bagai bayangan kelam, benar-benar telah melumpuhkannya. "Kuharap, kau tak melakukan apa pun padanya. Dan, jangan melakukan hal yang tidak disukainya," lirih Madam May, suaranya hampir tak terdengar di ten
Entah sudah gelas keberapa kopi pahit yang Gruzeline teguk di kafe milik Dyon. Aroma kopi robusta yang kuat tak mampu mengusir kepahitan yang menyesakkan dadanya. Perjanjian yang ditulis Rafael, seorang pria yang licik dan berkuasa, telah membuatnya benar-benar tak berdaya. Dyon, pemilik kafe yang tampan dan tenang, sudah mengetahui siapa dalang di balik jebakan ini. Namun, ia hanya bisa terdiam, tak percaya bahwa pria yang memiliki kekuasaan besar di negara ini ternyata selicik itu. Suasana kafe yang biasanya ramai terasa sunyi bagi mereka berdua. "Huft..." Dyon menghela napas panjang, mengulurkan tangan meraih cangkir kopi yang sudah kosong. Sama seperti Gruzeline, ia juga telah menghabiskan beberapa gelas kopi untuk menemani wanita itu yang tengah frustasi. Frustasi yang kini juga ia rasakan. Secangkir kopi demi secangkir kopi, tak mampu menghapuskan kegelisahan yang menghimpit dada mereka. "Hik!" Gruzeline tiba-tiba cegukan, efek dari terlalu banyak minum kopi. Wajahnya pucat, m