Rafael memejamkan matanya saat menciumi bau yang masih tertinggal, pria itu kembali membuka matanya dan menoleh ke kebelakang, dimana wanita itu pergi. Sesuatu di dalam dirinya seolah dimanjakan hanya dengan bau wangi dari wanita itu.
"Hey, bung. Ada apa?" Tanya Timothy karena Rafael terus melamun. Rafael menggeleng, " Ah, tidak." Jawab nya dengan dada yang berdebar kencang. Pria itu menatap sesuatu di balik celana nya yang mulai menunjukkan tanda - tanda akan bangkit, saat wangi itu masih tertinggal, namun kini miliknya kembali tidur setelah wangi dari wanita itu ikut menghilang. "Seperti perkataan ku tadi, ayo kita kembali mencoba nya. Aku memiliki rekomendasi klub malam dari teman ku, dan dia mengatakan di sana ada seorang striptis yang menari begitu menggoda." Bisik Timothy pada kalimat terakhir nya. Rafael terdiam sejenak, dia kembali menatap sesuatu yang di apit kedua pahanya itu. Dia tak mungkin salah, milik nya tadi terasa merespon dengan wangi wanita, dan mungkin saja jika dia datang ke tempat yang di katakan oleh Timothy, milik nya akan kembali bangkit seperti dulu. "Baiklah, kita pergi ke sana malam nanti." Jawab Rafael yang membuat Timothy bersorak senang. . . . Gruzeline membereskan barang - barang nya ke dalam tas, wanita itu juga sedikit memperbaiki riasan nya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu, dan dia harus segera pergi untuk menjemput Madam May. "Dyon, aku pergi dulu. Bye." Wanita itu melambaikan tangan nya. "Ya, hati - hatilah di jalan." Balas Dyon. Gruzeline berlari kecil ke arah pintu, dia langsung menaiki mobilnya yang terparkir di depan kafe. Tanpa dia sadari, seseorang terus menatap kepergian nya hingga mobil yang membawa nya menghilang. Karena jarak dari kafe ke rumah Madam May cukup dekat, tak membutuhkan waktu lama untuk nya sampai di depan rumah wanita paruh baya itu. "Hay, Mam." Gruzeline memeluk Madam May. "Hallo, sayang." Begitu juga dengan Madam May yang mencium kedua pipi wanita itu. "Mari menghabiskan uang bersama - sama." Seruan Gruzeline dengan semangat. "Tentu." Sahut Madam May yang tak kalah bersemangat. Mereka memasuki mobil dan mobil yang di tumpangi mereka langsung melaju membelah jalanan untuk mengantarkan mereka ke tempat perbelanjaan terbesar di kota mereka. Berjam - jam waktu berlalu, mereka benar - benar menghabiskan waktu dan uang nya di tempat perbelanjaan itu. Kedua tangan Gruzeline dan Madam May penuh dengan tas - tas belanjaan yang mereka beli. Entah itu baju, gaun, riasan, perhiasan, semua yang mereka beli khusus untuk perempuan tentu nya. Dan saat ini, mereka tengah melakukan makan malam di sebuah restoran setelah lelah berkeliling. "Ah, rasanya akan sangat menyenangkan jika aku memiliki anak perempuan." Ucap Madam May. "Tidak, tidak. Maksud ku, andai putri ku masih hidup dan tumbuh dewasa seperti mu, mungkin aku sangat bahagia." Ralat wanita paruh baya itu. Gruzeline dapat melihat sorot mata sendu dari wanita paruh baya itu, dia meraih tangan Madam May dan menggenggam nya erat." Ada aku, anggap aku sebagai putri mu. Seperti aku yang menganggap mu sebagai Ibu ku," Ucap Gruzeline dengan lembut. Madam May menatap Gruzeline dengan mata berkaca - kaca, " Hey, kau membuat ku menangis nona muda." Madam May terkekeh dan menyeka air mata nya yang mengalir. Gruzeline ikut tertawa," Seperti itulah, aku tidak suka melihat kau bersedih. Itu membuat ku ikut bersedih. Kau boleh mengingat putri mu, tapi jangan menangis, itu hanya akan membuat nya merasa sedih di sana." Gruzeline semakin mengeratkan genggaman tangan nya. "Ah, mengapa anak ku bukan kau saja, kenapa harus Dyon." Keluh Madam May dengan nada jenaka. "Hahahah.. Jika bukan Dyon, mungkin aku tidak akan bertemu dengan mu," Madam May mengangguk - angguk. "Benar juga." Mereka berhenti mengobrol saat makanan yang sudah mereka pesan sudah datang, kedua nya mulai makan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Itulah yang selalu mereka terapkan saat sedang makan, tidak berbicara hingga mereka selesai dengan makanan mereka masing - masing. Setelah acara makan malam mereka berdua, kedua nya kini sudah berada dalam mobil yang akan membawa mereka ke klub malam. Ya, Gruzeline akan kembali bekerja dan juga Madam May yang memang harus mengawasi para pekerja nya. "Gara - gara terlalu asik berbelanja, aku sampai telat untuk bekerja." Gumam Gruzeline. Madam May menoleh, " Hey, tenang saja. Aku bos mu, aku tak akan memecat mu hanya karena terlambat datang." "Ah, senang nya memiliki bos seperti mu," Gruzeline berseru. . . . Rafael dan juga Timothy sudah sampai di klub malam May's. Mereka masuk ke dalam klub malam yang belum terlalu ramai, karena malam memang belum terlalu larut. Wanita - wanita yang bisa menyambut tamu langsung mendekat dengan gerakan menggoda, mereka membelai dada mereka untuk menarik perhatian mereka untuk menggunakan jasa nya. Timothy langsung menolak, dan mengatakan jika dia ingin wanita itu menunjukkan dimana ruangan tertunjukan striptis itu. "Ah, tapi sayang nya Line belum datang. Mungkin kalian ingin di puaskan oleh kita terlebih dahulu?" Ucap wanita itu yang mengajak mereka untuk duduk di sofa yang di sediakan. "Tidak, kita akan pergi saja, dan lain kali akan kembali...." "Ah, itu dia." Ucap wanita itu yang membuat teman wanita lainnya langsung membungkam mulut wanita itu. Rafael dan Timothy bingung. " Ah, maksud nya, kalian bisa menunggu di ruangan, karena sebentar lagi dia akan datang." Ucap wanita satu nya. Timothy merasa sedikit aneh dengan sikap mereka, " Baiklah, jika seperti itu. Bisa kah salah satu dari kalian mengantar kita berdua ke sana?" Salah satu dari mereka langsung menarik tangan Timothy dan Rafael untuk di antarkan ke ruangan khusus itu. Meski mereka sudah sedikit menjauh, Rafael dapat mendengar salah satu wanita itu sedang memarahi wanita yang menggoda Timothy tadi. " Kau ini, bagaimana jika Line kembali di culik. Kau ingin bertanggung jawab?!" "Maafkan aku, aku lupa." Rafael tak mengerti dengan apa yang mereka maksud, tapi yang dia dengar hanyalah kata culik. "Silahkan tuan - tuan, kalian bisa menunggu disini." Ucap wanita yang mengantar kan Rafael dan Timothy. "Terima kasih." Ucap Timothy yang di balas senyuman genit wanita itu. Kedua nya masuk ke dalam ruangan itu, terlihat sudah banyak pria yang menunggu kedatangan Line di sana. Untung nya, masih tersisa kursi untuk kedua nya duduk untuk menyaksikan penampilan striptis andalan klub malam ini. "Apakah mereka rela menunggu lama hanya untuk satu wanita?" Tanya Rafael yang merasa pria - pria itu hanya membuang - buang waktu saja. "Setiap kesenangan seseorang itu berbeda." Bisik Timothy. Tak lama, pintu kembali terbuka. Dan kini yang datang adalah seorang wanita yang menggunakan sebuah jubah dan di ikuti oleh beberapa bodyguard bertubuh besar. "Hay semua nya, selamat malam. Apakah kalian menunggu lama?" Wanita itu menyapa para tamu yang sudah menunggu penampilan nya. Seperti kebiasaan nya, Gruzeline selalu akan mendekati tamu - tamu hanya sekedar menggoda mereka untuk memberikan nya uang banyak sebelum tampil nanti. Dan kini, wanita itu berada tepat di depan Rafael. " Seperti nya, kalian adalah tamu baru. Selamat menikmati." Ucap nya membelai wajah Rafael dan juga Timothy. Sedangkan Rafael, tubuh pria itu berubah tegang. Dia kembali mencium bau familiar dari wanita striptis itu. Tangan nya dengan cepat mencekal tangan Gruzeline yang akan pergi ke atas podium. Gruzeline menoleh dengan senyum menggoda nya, " Bersabar lah tuan, aku belum memulai nya.""Kau tidak boleh membawanya. Dia tanggung jawabku," tolak Dyon tegas, tubuhnya menegang saat Rafael hendak menggapai Gruzeline yang terbaring lemah di sofa merah tua itu. Aroma alkohol dan parfum wanita masih tercium kuat di udara klub malam yang remang-remang. Lampu-lampu neon berwarna-warni berkedip-kedip, kontras dengan tatapan dingin Dyon. Rafael tersenyum sinis, sebuah lengkungan tipis di bibirnya yang menyingkapkan gigi putihnya. "Aku tahu kau mengetahui isi perjanjian itu, jadi... jangan menghalangiku." Suaranya rendah, berotoritas, menggelegar di telinga Dyon. Dyon terdiam, matanya tertuju pada Madam May yang masih terduduk di kursi, wajahnya pucat pasi. Madam May tampak seperti patung porselen rapuh, ketakutan tergambar jelas di matanya. Kekuasaan Rafael, yang menyeramkan bagai bayangan kelam, benar-benar telah melumpuhkannya. "Kuharap, kau tak melakukan apa pun padanya. Dan, jangan melakukan hal yang tidak disukainya," lirih Madam May, suaranya hampir tak terdengar di ten
Entah sudah gelas keberapa kopi pahit yang Gruzeline teguk di kafe milik Dyon. Aroma kopi robusta yang kuat tak mampu mengusir kepahitan yang menyesakkan dadanya. Perjanjian yang ditulis Rafael, seorang pria yang licik dan berkuasa, telah membuatnya benar-benar tak berdaya. Dyon, pemilik kafe yang tampan dan tenang, sudah mengetahui siapa dalang di balik jebakan ini. Namun, ia hanya bisa terdiam, tak percaya bahwa pria yang memiliki kekuasaan besar di negara ini ternyata selicik itu. Suasana kafe yang biasanya ramai terasa sunyi bagi mereka berdua. "Huft..." Dyon menghela napas panjang, mengulurkan tangan meraih cangkir kopi yang sudah kosong. Sama seperti Gruzeline, ia juga telah menghabiskan beberapa gelas kopi untuk menemani wanita itu yang tengah frustasi. Frustasi yang kini juga ia rasakan. Secangkir kopi demi secangkir kopi, tak mampu menghapuskan kegelisahan yang menghimpit dada mereka. "Hik!" Gruzeline tiba-tiba cegukan, efek dari terlalu banyak minum kopi. Wajahnya pucat, m
“Bagaimana bisa?! Apa yang sudah kau lakukan?!” Dyon menggebrak meja, amarahnya meledak saat matanya menangkap isi surat perjanjian itu. Dokumen itu, tercetak rapi di atas kertas putih bersih, kini tampak seperti kutukan baginya.Gruzeline, pucat pasi seperti mayat hidup, gemetar tak terkendali. Rambutnya yang biasanya terurai rapi kini berantakan, mencerminkan kepanikan yang menguasainya. Bukan hanya surat perjanjian itu yang membuatnya takut, tetapi juga tatapan Dyon yang bagai bara api siap membakarnya habis. “Aku…,” lirihnya, suara tertahan di tenggorokan, takut untuk jujur pada pria yang selama ini selalu melindunginya.“Jangan terlalu keras padanya, Dyon,” Madam May, ibu Dyon, tiba di tengah ketegangan. Wanita itu, yang biasanya berdandan glamor di klub malamnya, kini tampak lelah namun tetap berwibawa. Ia baru saja pulang, tergesa-gesa meninggalkan pesta mewah para sosialita, setelah mendengar kabar Gruzeline datang dengan surat perjanjian yang tak masuk akal itu. Aroma
Rafael kembali menarik tangan Gruzeline, jari-jarinya bertaut erat pada pergelangan tangannya. Gruzeline mencoba menolak, namun Rafael lebih kuat. "Jangan terus menolakku, aku tahu kau menginginkannya juga," bisik Rafael, suaranya berat dan sensual, membuat bulu kuduk Gruzeline merinding.Rafael benar. Gruzeline memang menginginkannya, namun kebingungan dan rasa malu menghalanginya untuk merespon. Melihat Gruzeline tak lagi melawan, Rafael memperhalus gerakannya, sentuhannya lembut namun penuh gairah. "Ikuti saja nalurimu," ucapnya, suaranya seperti mantra yang melelehkan pertahanan Gruzeline.Di dalam walk-in closet yang remang-remang, dikelilingi oleh aroma parfum dan kain-kain mewah, percintaan mereka bersemi. Gruzeline merasakan sensasi baru, sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tubuhnya bergetar, dan ia menemukan dirinya tenggelam dalam pusaran gairah yang membara."Oh, shit! Aku suka saat kau bersikap berani," umpat Rafael, suaranya serak saat Gr
Rafael membatalkan rencana kembali ke kantor setelah mengantar ibunya pulang. Perjalanan belanja bersama ibunya tadi terasa seperti siksaan. Bayangan Gruzeline yang mengenakan lingerie itu terus menghantuinya, membuat kepalanya berdenyut-denyut. Mobil mewahnya melaju dengan kecepatan tinggi, melewati jalanan kota yang ramai."Shit!" Umpatan kasar terlontar dari bibir Rafael berkali-kali di dalam mansion megahnya. Desain interior yang elegan dan mewah tak mampu menyembuhkan rasa frustrasinya. Ia tak bisa melakukan hal yang sama seperti saat ia mengambil keperawanan Gruzeline. Itu akan menimbulkan kecurigaan, dan Gruzeline bukanlah wanita yang mudah ditipu.Rafael membuka tabletnya, mengawasi unit apartemen Gruzeline melalui kamera tersembunyi yang telah ia pasang sebelumnya. Namun, wanita itu belum kembali dari berbelanja. Kegelisahan mulai menggerogoti pikirannya. "Di mana dia? Apakah dia pergi ke suatu tempat?" gumamnya, jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan gelis
"Rafael," suara Nyonya O'niel terdengar tegas, namun diselingi kelembutan khas seorang ibu. "Kapan kau akan mengenalkan kekasihmu, Rafael? Bukankah kau sudah berjanji akan membawanya saat adikmu kembali?" Ia menatap putranya dengan tatapan penuh harap dan sedikit cemas. Cahaya siang hari menerangi ruangan mewah itu, menciptakan suasana yang hangat namun sedikit tegang. Rafael, yang tengah sibuk dengan tabletnya, mengangkat wajahnya. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Tenang saja, Mama," jawabnya, suaranya terdengar lebih santai dan percaya diri daripada biasanya. Ia meletakkan tabletnya dengan lembut di atas meja, menunjukkan sikap yang lebih perhatian dari biasanya. Namun, Nyonya O'niel masih terlihat curiga. Ia mengenal putranya terlalu baik untuk percaya begitu saja. "Jangan sampai kau membawa wanita bayaran lagi, Rafael," peringatnya, suaranya sedikit meninggi. "Jika kau melakukannya, aku akan memintamu untuk langsung menikah dengan putri temanku!" Ancaman itu disampaikan dengan