Jam makan siang telah tiba, aroma harum kopi dan kue-kue panggang memenuhi udara Cafe "MayOn". Namun, Gruzeline dan Dyon masih sama-sama sibuk melayani pelanggan yang berdatangan silih berganti. Dyon, dengan senyum ramahnya yang khas, menyambut setiap tamu dengan sapaan, "Terima kasih, selamat datang kembali."
Tring! Lonceng kecil di pintu cafe kembali berbunyi, menandakan kedatangan pelanggan baru. Serena, dengan cekatan, segera menghampiri mereka untuk mencatat pesanan. Di dalam ruangan pastry yang hangat dan beraroma manis, Gruzeline tampak serius mengepulkan adonan kue. Tangannya bergerak lincah, membentuk kue-kue cantik dalam jumlah yang cukup banyak. Ini sebagai antisipasi, karena ia dan Dyon akan segera pergi ke bank setelah menyelesaikan pekerjaannya. "Apakah sudah selesai?" tanya Dyon, masuk ke ruangan pastry, matanya mengamati tumpukan kue yang mulai menjulang tinggi di atas meja. Bau manis kue-kue itu memenuhi hidungnya. "Sebentar lagi, Sisca dan Anna yang akan melanjutkan memanggang," jawab Gruzeline, mencuci tangannya dengan teliti di wastafel. Wajahnya sedikit berkeringat, namun senyum puas terukir di bibirnya. Ia bangga dengan hasil karyanya. "Aku tunggu di ruanganku," ucap Dyon, lalu kembali ke area cafe, meninggalkan Gruzeline yang melanjutkan pekerjaannya. Ia mengangguk sebagai balasan, lalu kembali fokus pada pekerjaannya, memastikan setiap kue yang dibuatnya sempurna. Aroma manis dan hangat itu seakan menjadi pengantar menuju kesibukan lain yang menanti mereka berdua. Di salah satu meja cafe yang nyaman, Timothy dan Rafael duduk berhadapan. Cahaya matahari sore menerobos jendela, menciptakan suasana hangat dan tenang. Namun, suasana hati mereka tampak tegang. Mereka datang untuk memastikan sesuatu yang penting. "Kau yakin, Gruzeline adalah wanita yang sama dengan wanita yang bekerja di cafe ini?" tanya Timothy, suaranya sedikit ragu. Ia menatap Rafael, mencari kepastian. Rafael mengangguk mantap, matanya tak lepas dari meja kasir, mengamati setiap orang yang lalu lalang. "Aku tak mungkin salah mengenali dia," jawabnya, suaranya tegas. Ia mengingat jelas wajah Gruzeline. Pintu ruangan pastry terbuka, menampilkan sekilas aktivitas di baliknya. Pandangan Rafael langsung tertuju ke sana. Ia melihat Gruzeline keluar dari balik pintu, langkahnya anggun menuju salah satu ruangan kecil di sudut cafe, dekat meja kasir. Matanya menyipit, mengamati dengan seksama. Ia baru saja melihat seorang pria masuk ke ruangan yang sama beberapa saat sebelum Gruzeline. Sebuah kecurigaan mulai muncul di benaknya. "Kau melihat apa?" tanya Timothy, mengingat tatapan Rafael yang begitu tajam dan terfokus pada satu titik. Ia ikut mengamati ruangan tersebut, namun tak melihat hal yang mencurigakan. Rafael menggeleng, mencoba menyembunyikan kecurigaannya. "Tidak ada," jawabnya singkat, namun rahangnya mengeras. Pintu ruangan itu kembali terbuka. Gruzeline dan Dyon keluar bersamaan. Tatapan Rafael berubah datar, seolah-olah sebuah kepastian telah terungkap. Mereka berjalan beriringan, Dyon merangkul bahu Gruzeline dengan akrab. Timothy juga melihat Gruzeline dan pemilik cafe itu, lalu ia menatap Rafael yang kini berwajah datar, mengerti bahwa temannya telah menemukan jawaban yang dicarinya. Suasana cafe yang tadinya tenang, kini terasa berat di antara mereka berdua. Tatapan Rafael mengikuti Gruzeline dan Dyon hingga keduanya menghilang di balik pintu mobil mewah Dyon. Mobil itu melaju meninggalkan cafe, meninggalkan Rafael dengan pikiran yang bergejolak. Ia merasakan sebuah kegelisahan yang membuncah. "Cari tahu siapa pria itu," perintah Rafael tiba-tiba, suaranya tegas dan dingin. Ia tak menunggu jawaban dari Timothy, langsung bangkit dari kursinya. Rafael bergegas meninggalkan cafe, langkahnya terburu-buru menuju mobilnya. Ia harus kembali ke kantor, Timothy yang baru saja menyesap kopinya, hanya bisa menggelengkan kepala melihat kepergian Rafael yang tergesa-gesa. Di ruangan kerjanya yang luas dan modern, Rafael merasa gelisah. Ia mondar-mandir di depan jendela, memandang gedung-gedung pencakar langit di luar. Kegelisahan itu tak kunjung mereda sebelum ia mendapatkan informasi tentang Dyon, pemilik cafe tersebut. "Apakah dia kekasihnya?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar, mencoba menerka hubungan Gruzeline dan Dyon. Pikirannya melayang pada Gruzeline, bayangan wajah wanita itu terus berputar di kepalanya. Tak lama kemudian, Timothy datang dengan tablet di tangannya. "Tak ada informasi penting. Dia hanya pemilik Cafe MayOn, dan sudah bertunangan," ucap Timothy, memberikan informasi yang diinginkan Rafael. Ia tampak sedikit lelah, hasil pencariannya tak memberikan informasi yang signifikan. "Siapa tunangannya?" tanya Rafael, suaranya datar, namun sorot matanya tajam. Timothy kembali memeriksa tabletnya. "Tidak ada nama tunangannya di sini, tapi mungkin saja Gruzeline adalah tunangannya," jawab Timothy, mencoba memberikan kemungkinan. "Jika benar Gruzeline tunangannya, aku benar-benar tak habis pikir denganmu. Bisa-bisanya kau berfantasi dengan wanita yang sudah memiliki tunangan. Kau terlalu ceroboh kali ini," lanjut Timothy, suaranya terdengar sedikit kesal. Ia tak habis pikir dengan obsesi Rafael pada Gruzeline. Rafael tak menanggapi ucapan Timothy. Ia termenung, sebuah kilatan tajam muncul di matanya. "Tak masalah, sekalipun dia sudah menikah, jika hanya dia yang bisa membuatku merasa puas, aku akan melakukan segala cara," ujarnya, suaranya dingin dan penuh tekad. Jawaban Rafael membuat Timothy terkejut. "Kau jangan gila! Bukankah kau mengatakan kau tertarik pada dua wanita, Gruzeline dan penari di klub malam itu? Kenapa kau tak memanfaatkan saja penari itu, daripada mengganggu tunangan orang lain?" Timothy memperingatkan Rafael, takut akan tindakan nekat temannya itu. Rafael menatap Timothy, seolah baru teringat akan opsi lain. "Ya, kau benar. Masih ada dia," ucapnya, suaranya datar, namun sebuah rencana baru mulai terpatri di benaknya. Seolah-olah ia telah menemukan solusi atas masalahnya, meninggalkan Timothy dengan rasa khawatir yang mendalam. . . . Hawa malam terasa panas dan lembap saat Gruzeline dan Dyon menyelesaikan urusan panjang mereka. Berjam-jam mereka habiskan untuk mengganti ponsel Gruzeline yang hilang dan membeli kembali barang-barang pentingnya. Lelah tampak jelas di wajah Gruzeline. "Sepertinya, malam ini aku tidak akan pergi ke klub," ucapnya, suaranya lesu. Dyon, yang sedang menyetir, melirik Gruzeline sekilas. "Kau istirahat saja. Mama tidak akan rugi karena ketidakhadiranmu," jawabnya tenang, fokus pada jalanan. Gruzeline mendengus, "Tapi aku yang rugi," bantahnya, nada sedikit kesal. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini sedikit kusut karena seharian berurusan dengan polisi dan petugas toko. Dyon mendelik, "Kau sudah kaya, untuk apa lagi bekerja di klub ibuku?" tanyanya, sedikit heran. Gruzeline berdecak, "Papaku yang kaya, sedangkan aku? Aku baru saja merintis usahaku sendiri, setelah... diusirnya," Gruzeline mengepalkan tangannya, amarah tersirat di matanya yang berkaca-kaca. Bau parfum kesukaannya, yang baru saja dibelinya, samar-samar tercium di dalam mobil. "Diusir, atau kau yang kabur?" tanya Dyon lagi, nada suaranya lembut, berusaha meredakan suasana. Gruzeline mendengus keras, "Sudahlah, aku berhenti di sini saja!" geramnya, tak tahan lagi membahas ayahnya. Air matanya mulai menetes, membasahi pipinya. "Cih, kita memang sudah sampai," cibir Dyon, saat menghentikan mobil di depan lobby apartemen Gruzeline. Gedung pencakar langit itu menjulang tinggi, diterangi lampu-lampu yang gemerlap. Gruzeline tersenyum lemah, menghapus air matanya. Dia mencium pipi Dyon sebelum turun dari mobil. "Sampaikan salamku pada Madam May," ucapnya, suaranya sedikit serak. Dia melambaikan tangan saat mobil Dyon melaju pergi. Saat akan menyeberang jalan menuju gedung apartemennya, lampu mobil Rafael yang tiba-tiba muncul membuatnya berhenti di tempat. Rafael turun dari mobilnya, sosok tegap dan gagah dalam balutan jas hitam. Wajahnya datar, seperti biasanya, tatapannya tajam dan dingin. "Selamat malam, Tuan Rafael," sapa Gruzeline, namun pria itu sama sekali tak membalas, hanya berlalu begitu saja, tanpa sedikit pun meliriknya. Gruzeline menarik napas dalam-dalam, merasakan kehangatan malam yang masih terasa gerah.Gruzeline berlari tergesa-gesa memasuki kediaman Marvel yang megah, napasnya tersengal-sengal. Ia menghampiri pria itu yang berdiri tak jauh dari pintu masuk, wajahnya tampak khawatir dan panik. "Marvel, aku ingin berlibur ke negara M! Bisakah kau siapkan pesawat pribadi untukku sekarang juga?" ucap Gruzeline dengan nada tergesa-gesa, seolah tengah dikejar oleh sesuatu yang menakutkan. Marvel menatap Gruzeline dengan bingung, alisnya bertaut heran. "Hey, ada apa denganmu? Kenapa kau begitu terburu-buru?" Marvel mengamati penampilan keponakannya itu dari atas hingga bawah. Piyama sutra yang dikenakannya tampak kusut dan tidak beraturan, rambutnya berantakan, dan yang lebih aneh lagi, Gruzeline keluar rumah tanpa alas kaki. "Marvel, aku..." Ucapan Gruzeline terhenti saat ekor matanya menangkap pergerakan di sudut ruangan. Instingnya berteriak, ada sesuatu yang salah di sini. Dengan ragu, wanita itu menoleh dan seketika wajahnya memucat pasi. Jantungnya berdegup kencang, darahnya tera
Melihat nona muda mereka berlari panik ke arah gerbang, sambil berteriak meminta untuk segera dibuka, para penjaga tanpa ragu langsung membuka gerbang besi itu. Gruzeline melesat melewati gerbang, namun hatinya masih berdegup kencang saat melihat Rafael dan yang lainnya masih mengejar dengan napas terengah-engah.Dengan langkah tergesa, wanita itu berlari menuju kediamannya, langsung menuju garasi, dan melompat masuk ke dalam mobil mewahnya. Mesin mobil meraung saat ia memacu kendaraannya keluar dari kediamannya, tepat ketika Rafael dan yang lainnya baru saja memasuki gerbang, wajah mereka merah padam karena bingung dan kelelahan."Ah... akhirnya aku bisa lolos," gumamnya lega, menyeka keringat dingin di dahinya.Telapak kakinya terasa perih dan panas akibat berlari tanpa alas kaki di atas aspal yang kasar. Piyama sutranya sudah kusut dan tidak beraturan, basah oleh keringat yang membasahi tubuhnya. Rambutnya yang panjang dan hitam berantakan menempel di wajahnya. "Bagaimana bisa Rafa
Timothy mengangguk, sedikit bingung dengan nada bicara Gruzeline. "Ya, aku anak tunggal. Tentu saja datang sendiri," jawab Timothy, tidak mengerti arah pembicaraan adik tirinya itu."Bukan itu maksudku!" Geram Gruzeline, wajahnya memerah karena kesal. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun urung karena panggilan tiba-tiba dari kakek mereka, Tuan Besar Scott."Gruzeline, Timothy. Ayo duduk," pinta pria itu, mengisyaratkan kedua cucunya untuk bergabung di meja makan. Suasana sarapan yang tadinya tenang, kini terasa sedikit tegang.Di kediaman Marvel, pagi-pagi sekali rumah itu sudah ramai dengan kedatangan tamu. Untung saja Marvel belum berangkat ke kantor. "Kak Sabrina?" Ucap Marvel, terkejut melihat siapa tamunya. Ia segera menghampiri wanita itu."Marvel," sahut Sabrina, suaranya bergetar. Wanita itu menghambur memeluk Marvel, pria yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri. Pelukan itu sarat akan kerinduan dan kesedihan."Kau benar-benar sudah sangat dewasa. Terakhir aku melihatmu, saa
Gerbang megah keluarga Scott sudah terbuka lebar saat Gruzeline tiba, hanya mengenakan piyama tidur. Sapaan hangat dari pengawal yang berjaga menyambutnya di gerbang kediaman. Sinar mentari pagi yang hangat menyentuh kulitnya, memberikan kehangatan yang nyaman."Nona, mengapa tidak menggunakan mobil?" tanya seorang pengawal. Usianya tampak senja, namun postur tubuhnya tetap tegap dan sehat, mencerminkan dedikasinya selama bertahun-tahun.Gruzeline tersenyum, menunjuk ke arah rumahnya yang tampak jelas dari tempatnya berdiri. "Dari rumahku ke sini hanya beberapa langkah kaki. Pakai mobil? Terlalu berlebihan."Pengawal itu tersenyum mendengar jawaban putri bungsu keluarga Scott. Memang benar, kediaman yang dibangun khusus untuk Ibu Gruzeline terletak tak jauh dari kediaman utama keluarga Scott. "Silakan masuk, Nona. Tuan Besar dan ayah Anda sudah menunggu di dalam."Gruzeline mengangguk, lalu mulai menyusuri halaman luas kediaman Scott menuju pintu utama. Langkahnya ringan, namun matany
Marvel menoleh pada keponakannya dengan ekspresi serius yang dibuat-buat, "Jika pria itu kaya, maka aku akan memberikan restuku."Ekspresi Gruzeline yang tadinya serius langsung berubah datar mendengar jawaban Marvel. "Aku sedang membicarakan hal yang serius, bisakah kau juga menjawabnya dengan serius?!" ucap Gruzeline dengan nada kesal.Mata Marvel menyipit, menatap Gruzeline dengan tatapan menyelidik. "Apakah kau kembali karena melarikan diri dari seseorang?" tebak Marvel.Gruzeline menghela napas panjang, "Apakah aku terlihat seperti itu?" tanya wanita itu, mencoba mengelak.Marvel mengangguk yakin, "Tentu saja. Saat kau baru tiba, aku sudah bisa melihat raut frustrasi di wajahmu. Mustahil kau akan pulang jika tidak ada masalah di tempat tinggalmu saat ini, bukan?" Lagi-lagi tebakan Marvel tepat sasaran.Gruzeline hanya terdiam, percuma saja mengelak karena Marvel pasti akan tetap mengetahuinya. Saat ini, ia hanya membutuhkan Marvel untuk melindunginya, jika memang dugaannya benar.
"Ya, Tuan," Timothy mengamati sekeliling ruangan Rafael dengan nanar. Pemandangan yang menyambutnya adalah kekacauan total. Pecahan kaca berkilauan di lantai, sobekan kain melapisi sofa yang kehilangan bentuknya, dan buku-buku berserakan seperti korban perang. Hanya meja kerja Rafael yang kokoh dan lemari besar di sudut ruangan yang tampak selamat dari amukan tersebut.{"Apakah ini cinta, ataukah obsesi yang sudah melewati batas?"} Timothy membatin, rasa kasihan tiba-tiba menyelinap dalam hatinya. {" Jika Gruzeline benar-benar harus menikah dengan Rafael, mampukah wanita itu bertahan?"} Kemarahan Rafael memang mengerikan, sebuah kekuatan destruktif yang mampu menghancurkan benda apa pun di jalurnya, bahkan mungkin melukai seseorang. Timothy ingat, Rafael pernah beberapa kali mengunjungi psikolog atas saran orang tuanya. Namun, setiap diagnosis selalu sama. Rafael secara mental sehat, tidak ada gangguan kejiwaan yang bisa menjelaskan emosinya yang meledak-ledak dan berbahaya itu."Sia