Share

Chapter 7

Author: Pejuang Pena
last update Last Updated: 2025-05-12 23:49:29

Setelah percakapan panjang dan permintaan maaf yang tulus, Gruzeline berniat pulang. Ia telah berjanji akan mengganti semua biaya pengobatan yang telah Rafael keluarkan, namun ponsel dan tasnya, beserta seluruh isinya yang berharga, tertinggal di dalam mobil. Hujan rintik-rintik masih membasahi jalanan di luar.

"Aku akan mengganti biaya pengobatan ini secepatnya," ujar Gruzeline, suaranya sedikit gemetar. Wanita itu membungkuk hormat, rasa bersalah terpancar dari sorot matanya yang sayu, sebelum berbalik meninggalkan mansion mewah pria yang telah menolongnya. Cahaya lampu jalanan memantul di rambutnya.

Rafael dan Timothy hanya mengangguk, tetapi diam-diam mereka mengikuti Gruzeline melalui layar tablet Rafael yang terhubung dengan sistem CCTV gedung apartemen miliknya. Gambar Gruzeline yang berjalan tampak jelas.

Di dalam lift yang sunyi dan mewah, setelah memastikan Gruzeline telah sampai di lantai bawah, Timothy bertanya, "Kenapa kau tidak memberitahunya bahwa tasnya ada padamu?"

Rafael, tatapannya masih terpaku pada layar tablet, menjawab dengan tenang, "Aku ingin dia membayarnya dengan cara lain. Lebih... bermakna." Seulas senyum tipis, penuh teka-teki, tersungging di bibirnya.

Pintu lift terbuka di lantai dasar, menyambut Gruzeline ke dalam malam yang dingin. Ia baru menyadari, mansion Rafael berada di puncak gedung apartemen mewah ini, sebuah fakta yang membuatnya sedikit pusing. Langkahnya tergesa, tujuannya jelas: rumah Madam May, untuk meminjam uang dan melunasi hutang budi pada Rafael, pria yang telah menyelamatkannya. Kegelapan kota terasa mencekam, membuat langkahnya semakin cepat. Mobilnya, tempat ponsel dan tasnya berada, juga masih menjadi misteri. Rafael belum memberitahu kemana mobil itu dibawa untuk diperbaiki.

Saat hendak meninggalkan gedung, seorang petugas keamanan menyapanya dengan ramah, "Selamat malam, Nona Line."

Gruzeline, yang pikirannya kalut, hanya tersenyum singkat sebagai balasan, tanpa menyadari sapaan itu ditujukan padanya. Baru beberapa langkah dari gerbang, sesuatu menyentak ingatannya. Ia berbalik, memandang gedung pencakar langit itu dengan tatapan terkejut.

"Hah?" Gumamnya, suara itu tertekan oleh rasa kaget dan kebingungan yang sama besarnya.

Salah satu unit apartemen di gedung itu adalah miliknya! Tanpa ragu, Gruzeline berlari kembali ke dalam gedung. Petugas keamanan itu kembali menyapanya, "Selamat datang kembali, Nona Line." Kali ini, Gruzeline menyadari sapaan itu, dan sebuah senyuman lega terukir di wajahnya. Ia telah menemukan jawaban atas kebingungannya.

"Selamat malam, Pak," jawab Gruzeline, suaranya sedikit terengah-engah karena berlari. Ia buru-buru masuk ke dalam lift yang terbuka, tombol lantai tujuannya tertekan dengan cepat: lantai tempat unit apartemennya berada. Kejadian barusan masih terasa tak percaya. Ia tak menyangka pria yang telah menolongnya, Rafael, tinggal di gedung yang sama.

"Suatu kebetulan yang... membingungkan," gumamnya, tatapannya tertuju pada pantulan dirinya di dinding lift yang berkilau.

Dari balik pintu lift khusus pemilik gedung, Rafael dan Timothy mengamati Gruzeline yang kembali masuk. Mereka telah menunggu di sana, menyiapkan rencana selanjutnya. Timothy bertanya dengan nada penuh teka-teki, "Mungkinkah dia akan kembali menemui kita?"

Rafael menggeleng pelan, matanya tetap terpaku pada layar monitor kecil yang menampilkan pergerakan Gruzeline di dalam lift. "Tidak, dia berhenti di lantai sembilan." Ia melihat dengan jelas Gruzeline membuka pintu salah satu unit apartemen di lantai itu. Seutas senyum licik mulai mengembang di bibirnya.

"Aku baru menyadari," gumam Rafael, suaranya rendah dan penuh arti, "bahwa dia berada di tengah-tengah kita selama ini." Ambisi berkilau di matanya yang gelap, mengungkapkan rencana yang tersembunyi di balik senyum misterius itu.

. . .

Di dalam unit apartemennya yang terasa sunyi dan sedikit berantakan, Gruzeline mulai mencari ponsel lamanya. "Di mana aku meletakkannya?" gumamnya, jari-jari lentiknya membuka satu per satu laci meja rias di kamarnya. Bau parfum lama dan debu sedikit menusuk hidungnya. Kotak-kotak perhiasan dan aksesoris berserakan, menunjukkan betapa sibuknya ia akhir-akhir ini.

"Akhirnya!" Seru Gruzeline lega saat menemukan ponsel lama itu tersembunyi di balik tumpukan buku dan majalah. Ia segera mengaktifkan perangkat itu. Syukurlah, kontak-kontaknya, termasuk nomor Madam May, masih tersimpan rapi.

"Tapi, jika aku menghubunginya sekarang, dia pasti sedang beristirahat," gumamnya ragu, jari-jarinya sudah melayang di atas ikon panggilan. Bayangan wajah Madam May yang ramah terlintas di benaknya.

Gruzeline memutuskan untuk menghubungi Madam May besok pagi saja. Malam ini, ia butuh istirahat. Ia berencana membersihkan diri, menikmati mandi air hangat yang menenangkan, sebelum meringkuk di tempat tidur yang nyaman dan membiarkan lelahnya sirna dalam tidur yang nyenyak.

. . .

Mentari pagi menyinari gedung apartemen mewah tempat Gruzeline tinggal. Ia bergegas, tak sempat menghubungi Dion atau Madam May; ponsel lamanya—sebuah barang antik yang setia menemani—tiba-tiba mati total. Kecemasan mulai menggerogoti hatinya. Hari ini, ia harus sampai di kafe MayOn tepat waktu.

Setelah berpakaian seadanya, Gruzeline melesat keluar dari unit apartemennya. Di dalam lift, cermin dinding memantulkan wajahnya yang sedikit kusut, rambutnya masih berantakan karena terburu-buru. Ia membenarkannya seperlunya, napasnya memburu.

Ting!

Pintu lift terbuka. Gruzeline melangkah keluar, menyapa satpam yang berjaga dengan senyum ramah, "Pagi, Pak."

"Pagi kembali, Nona Line. Selamat menjalankan aktivitasnya," jawab satpam itu, ramah seperti biasanya. Aroma kopi dari kedai kecil di dekat pos satpam menguar, menambah semangat paginya.

Gruzeline mengangguk, langkahnya tergesa. Ia berniat mencari taksi menuju kafe Dion. Namun, saat kakinya baru melangkah keluar lobi, sebuah mobil mewah berwarna merah menyala berhenti tepat di depannya. Timothy, dengan senyum tipisnya, keluar dari mobil itu untuk menjemput Rafael.

Gruzeline hanya membalas sapaan Timothy dengan anggukan kecil, namun tatapan Rafael yang tajam—terpantul di kaca pintu lobi yang berkilau—menyejukkan tulang punggungnya. Ada sesuatu yang membuatnya merinding, sebuah firasat yang tak menyenangkan. Ia buru-buru meninggalkan lobi, mencari taksi yang diharapkan segera datang.

Gruzeline mengetuk-ngetuk jari jemarinya di jam tangan sederhana yang melingkar di pergelangan tangannya. Matahari pagi semakin meninggi, membuat keringat tipis mulai membasahi dahinya. Ia terus memandangi jalanan, berharap taksi segera muncul. Tiba-tiba, mobil Rafael melintas, lalu berhenti tepat di depannya. Kaca mobil bagian belakang terbuka perlahan, memperlihatkan wajah Rafael yang tampan namun tampak dingin.

"Sedang apa kau di pinggir jalan, Nona Gruzeline?" tanya Rafael, suaranya datar, tanpa sedikitpun nada ramah.

Gruzeline tersentak, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. "Aku sedang menunggu taksi," jawabnya pelan, berusaha agar suaranya tetap tenang.

"Kau ingin berangkat bersama kami? Aku akan mengantarmu ke tujuanmu," tawar Rafael, nada suaranya masih datar, tanpa sedikitpun menunjukkan kesungguhan.

Gruzeline menggeleng cepat. Ia tak ingin kembali berhutang budi pada pria itu. "Tidak perlu, Tuan. Tapi, bolehkah saya tahu, di mana Anda membetulkan mobil saya?" tanyanya, berusaha untuk tetap sopan.

Rafael melirik jam tangan mewahnya—sebuah Rolex yang berkilauan di bawah sinar matahari—lalu berkata, "Maaf, Nona Gruzeline, sepertinya aku harus segera pergi."

Kaca mobil kembali tertutup dengan bunyi klik yang tegas. Mobil itu melaju meninggalkan Gruzeline yang tercengang di pinggir jalan. Keheranan dan sedikit kekesalan bercampur aduk dalam dirinya. "Ada apa dengan pria itu?" gumamnya, menatap mobil yang menjauh.

Ia hanya menanyakan keberadaan mobilnya yang sedang diperbaiki. Mengapa Rafael menghindari pertanyaannya? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan? Pikiran Gruzeline dipenuhi tanda tanya.

. . .

Gruzeline memasuki kafe MayOn dengan langkah gontai, wajahnya pucat pasi. Aroma kopi yang biasanya menenangkan, kini terasa hambar. Ia berjalan menuju meja kasir tempat Dion duduk, suaranya bergetar saat memanggil, "Dion..."

Dion, yang tengah menghitung uang di laci kasir, langsung menoleh. Keningnya berkerut dalam-dalam. Ia tak melihat mobil mewah Gruzeline yang biasanya terparkir di depan kafe, dan ekspresi wajah Gruzeline jauh dari biasanya. "Gruzeline, ada apa?" tanyanya, panik mulai menyelubungi suaranya.

Dion segera menghampiri Gruzeline. Tatapannya tertuju pada kening Gruzeline yang tertutup kasa putih tipis, menunjukkan bekas luka. "Kau terluka?" tanyanya lagi, suaranya dipenuhi kekhawatiran.

Gruzeline mengangguk, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kemarin, setelah pulang dari klub, aku mengalami kecelakaan. Seseorang menolongku, tapi… mobilku, ponselku, tasku dan semua isinya hilang entah ke mana," katanya, suaranya bergetar menahan isak tangis.

Dion membelalakkan matanya, kaget dan khawatir bercampur aduk. "Benarkah? Kau tidak apa-apa? Apakah ada luka lain?" tanyanya, benar-benar cemas melihat kondisi Gruzeline.

Bukan hanya Dion yang terkejut. Para pekerja kafe yang tengah mempersiapkan meja dan kursi untuk membuka kafe, juga menoleh, menatap Gruzeline dengan penuh perhatian. Gruzeline menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Tidak ada luka lain, tapi… bisakah kau mengantarkanku ke bank? Aku harus memblokir semua akses kartu ATM-ku," pintanya, suaranya masih bergetar.

Tring!

Deringan lonceng kecil di atas pintu kafe berbunyi, menandakan kedatangan pengunjung pertama di pagi itu. Semua orang di kafe, termasuk Dion dan para pekerja lainnya, menoleh. Seorang pria paruh baya dengan tas kerja di tangannya berdiri di ambang pintu, senyum ramah terukir di wajahnya. "Selamat pagi," sapanya, suaranya ramah dan hangat.

"Apakah sudah buka?" tanyanya, matanya mengamati suasana kafe yang masih sedikit sepi.

Gruzeline, berusaha menyembunyikan kesedihannya, menjawab dengan senyum tipis, "Ya, kami sudah buka."

Pria itu mengangguk, lalu berjalan menuju salah satu meja di dekat jendela. Ia memesan secangkir kopi dan sepotong kue untuk sarapan paginya. Aroma kopi yang baru diseduh tercium harum, sedikit mengurangi beban pikiran Gruzeline.

Gruzeline masuk ke pantry, siap membuat kue pesanan pelanggan tersebut. Gerakan tangannya masih sedikit gemetar, tapi ia berusaha fokus pada pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ia mendengar Dion berkata, "Aku akan mengantarmu ke bank saat jam makan siang nanti." Kata-kata Dion bagaikan obat penenang di tengah badai yang menerpanya. Sebuah senyum tulus akhirnya terbit di wajah Gruzeline, memberikan sedikit harapan di tengah kesedihannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Little Secret    Chapter 42

    Gruzeline berlari tergesa-gesa memasuki kediaman Marvel yang megah, napasnya tersengal-sengal. Ia menghampiri pria itu yang berdiri tak jauh dari pintu masuk, wajahnya tampak khawatir dan panik. "Marvel, aku ingin berlibur ke negara M! Bisakah kau siapkan pesawat pribadi untukku sekarang juga?" ucap Gruzeline dengan nada tergesa-gesa, seolah tengah dikejar oleh sesuatu yang menakutkan. Marvel menatap Gruzeline dengan bingung, alisnya bertaut heran. "Hey, ada apa denganmu? Kenapa kau begitu terburu-buru?" Marvel mengamati penampilan keponakannya itu dari atas hingga bawah. Piyama sutra yang dikenakannya tampak kusut dan tidak beraturan, rambutnya berantakan, dan yang lebih aneh lagi, Gruzeline keluar rumah tanpa alas kaki. "Marvel, aku..." Ucapan Gruzeline terhenti saat ekor matanya menangkap pergerakan di sudut ruangan. Instingnya berteriak, ada sesuatu yang salah di sini. Dengan ragu, wanita itu menoleh dan seketika wajahnya memucat pasi. Jantungnya berdegup kencang, darahnya tera

  • Little Secret    Chapter 41

    Melihat nona muda mereka berlari panik ke arah gerbang, sambil berteriak meminta untuk segera dibuka, para penjaga tanpa ragu langsung membuka gerbang besi itu. Gruzeline melesat melewati gerbang, namun hatinya masih berdegup kencang saat melihat Rafael dan yang lainnya masih mengejar dengan napas terengah-engah.Dengan langkah tergesa, wanita itu berlari menuju kediamannya, langsung menuju garasi, dan melompat masuk ke dalam mobil mewahnya. Mesin mobil meraung saat ia memacu kendaraannya keluar dari kediamannya, tepat ketika Rafael dan yang lainnya baru saja memasuki gerbang, wajah mereka merah padam karena bingung dan kelelahan."Ah... akhirnya aku bisa lolos," gumamnya lega, menyeka keringat dingin di dahinya.Telapak kakinya terasa perih dan panas akibat berlari tanpa alas kaki di atas aspal yang kasar. Piyama sutranya sudah kusut dan tidak beraturan, basah oleh keringat yang membasahi tubuhnya. Rambutnya yang panjang dan hitam berantakan menempel di wajahnya. "Bagaimana bisa Rafa

  • Little Secret    Chapter 40

    Timothy mengangguk, sedikit bingung dengan nada bicara Gruzeline. "Ya, aku anak tunggal. Tentu saja datang sendiri," jawab Timothy, tidak mengerti arah pembicaraan adik tirinya itu."Bukan itu maksudku!" Geram Gruzeline, wajahnya memerah karena kesal. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun urung karena panggilan tiba-tiba dari kakek mereka, Tuan Besar Scott."Gruzeline, Timothy. Ayo duduk," pinta pria itu, mengisyaratkan kedua cucunya untuk bergabung di meja makan. Suasana sarapan yang tadinya tenang, kini terasa sedikit tegang.Di kediaman Marvel, pagi-pagi sekali rumah itu sudah ramai dengan kedatangan tamu. Untung saja Marvel belum berangkat ke kantor. "Kak Sabrina?" Ucap Marvel, terkejut melihat siapa tamunya. Ia segera menghampiri wanita itu."Marvel," sahut Sabrina, suaranya bergetar. Wanita itu menghambur memeluk Marvel, pria yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri. Pelukan itu sarat akan kerinduan dan kesedihan."Kau benar-benar sudah sangat dewasa. Terakhir aku melihatmu, saa

  • Little Secret    Chapter 39

    Gerbang megah keluarga Scott sudah terbuka lebar saat Gruzeline tiba, hanya mengenakan piyama tidur. Sapaan hangat dari pengawal yang berjaga menyambutnya di gerbang kediaman. Sinar mentari pagi yang hangat menyentuh kulitnya, memberikan kehangatan yang nyaman."Nona, mengapa tidak menggunakan mobil?" tanya seorang pengawal. Usianya tampak senja, namun postur tubuhnya tetap tegap dan sehat, mencerminkan dedikasinya selama bertahun-tahun.Gruzeline tersenyum, menunjuk ke arah rumahnya yang tampak jelas dari tempatnya berdiri. "Dari rumahku ke sini hanya beberapa langkah kaki. Pakai mobil? Terlalu berlebihan."Pengawal itu tersenyum mendengar jawaban putri bungsu keluarga Scott. Memang benar, kediaman yang dibangun khusus untuk Ibu Gruzeline terletak tak jauh dari kediaman utama keluarga Scott. "Silakan masuk, Nona. Tuan Besar dan ayah Anda sudah menunggu di dalam."Gruzeline mengangguk, lalu mulai menyusuri halaman luas kediaman Scott menuju pintu utama. Langkahnya ringan, namun matany

  • Little Secret    Chapter 38

    Marvel menoleh pada keponakannya dengan ekspresi serius yang dibuat-buat, "Jika pria itu kaya, maka aku akan memberikan restuku."Ekspresi Gruzeline yang tadinya serius langsung berubah datar mendengar jawaban Marvel. "Aku sedang membicarakan hal yang serius, bisakah kau juga menjawabnya dengan serius?!" ucap Gruzeline dengan nada kesal.Mata Marvel menyipit, menatap Gruzeline dengan tatapan menyelidik. "Apakah kau kembali karena melarikan diri dari seseorang?" tebak Marvel.Gruzeline menghela napas panjang, "Apakah aku terlihat seperti itu?" tanya wanita itu, mencoba mengelak.Marvel mengangguk yakin, "Tentu saja. Saat kau baru tiba, aku sudah bisa melihat raut frustrasi di wajahmu. Mustahil kau akan pulang jika tidak ada masalah di tempat tinggalmu saat ini, bukan?" Lagi-lagi tebakan Marvel tepat sasaran.Gruzeline hanya terdiam, percuma saja mengelak karena Marvel pasti akan tetap mengetahuinya. Saat ini, ia hanya membutuhkan Marvel untuk melindunginya, jika memang dugaannya benar.

  • Little Secret     Chapter 37

    "Ya, Tuan," Timothy mengamati sekeliling ruangan Rafael dengan nanar. Pemandangan yang menyambutnya adalah kekacauan total. Pecahan kaca berkilauan di lantai, sobekan kain melapisi sofa yang kehilangan bentuknya, dan buku-buku berserakan seperti korban perang. Hanya meja kerja Rafael yang kokoh dan lemari besar di sudut ruangan yang tampak selamat dari amukan tersebut.{"Apakah ini cinta, ataukah obsesi yang sudah melewati batas?"} Timothy membatin, rasa kasihan tiba-tiba menyelinap dalam hatinya. {" Jika Gruzeline benar-benar harus menikah dengan Rafael, mampukah wanita itu bertahan?"} Kemarahan Rafael memang mengerikan, sebuah kekuatan destruktif yang mampu menghancurkan benda apa pun di jalurnya, bahkan mungkin melukai seseorang. Timothy ingat, Rafael pernah beberapa kali mengunjungi psikolog atas saran orang tuanya. Namun, setiap diagnosis selalu sama. Rafael secara mental sehat, tidak ada gangguan kejiwaan yang bisa menjelaskan emosinya yang meledak-ledak dan berbahaya itu."Sia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status