Setelah percakapan panjang dan permintaan maaf yang tulus, Gruzeline berniat pulang. Ia telah berjanji akan mengganti semua biaya pengobatan yang telah Rafael keluarkan, namun ponsel dan tasnya, beserta seluruh isinya yang berharga, tertinggal di dalam mobil. Hujan rintik-rintik masih membasahi jalanan di luar.
"Aku akan mengganti biaya pengobatan ini secepatnya," ujar Gruzeline, suaranya sedikit gemetar. Wanita itu membungkuk hormat, rasa bersalah terpancar dari sorot matanya yang sayu, sebelum berbalik meninggalkan mansion mewah pria yang telah menolongnya. Cahaya lampu jalanan memantul di rambutnya. Rafael dan Timothy hanya mengangguk, tetapi diam-diam mereka mengikuti Gruzeline melalui layar tablet Rafael yang terhubung dengan sistem CCTV gedung apartemen miliknya. Gambar Gruzeline yang berjalan tampak jelas. Di dalam lift yang sunyi dan mewah, setelah memastikan Gruzeline telah sampai di lantai bawah, Timothy bertanya, "Kenapa kau tidak memberitahunya bahwa tasnya ada padamu?" Rafael, tatapannya masih terpaku pada layar tablet, menjawab dengan tenang, "Aku ingin dia membayarnya dengan cara lain. Lebih... bermakna." Seulas senyum tipis, penuh teka-teki, tersungging di bibirnya. Pintu lift terbuka di lantai dasar, menyambut Gruzeline ke dalam malam yang dingin. Ia baru menyadari, mansion Rafael berada di puncak gedung apartemen mewah ini, sebuah fakta yang membuatnya sedikit pusing. Langkahnya tergesa, tujuannya jelas: rumah Madam May, untuk meminjam uang dan melunasi hutang budi pada Rafael, pria yang telah menyelamatkannya. Kegelapan kota terasa mencekam, membuat langkahnya semakin cepat. Mobilnya, tempat ponsel dan tasnya berada, juga masih menjadi misteri. Rafael belum memberitahu kemana mobil itu dibawa untuk diperbaiki. Saat hendak meninggalkan gedung, seorang petugas keamanan menyapanya dengan ramah, "Selamat malam, Nona Line." Gruzeline, yang pikirannya kalut, hanya tersenyum singkat sebagai balasan, tanpa menyadari sapaan itu ditujukan padanya. Baru beberapa langkah dari gerbang, sesuatu menyentak ingatannya. Ia berbalik, memandang gedung pencakar langit itu dengan tatapan terkejut. "Hah?" Gumamnya, suara itu tertekan oleh rasa kaget dan kebingungan yang sama besarnya. Salah satu unit apartemen di gedung itu adalah miliknya! Tanpa ragu, Gruzeline berlari kembali ke dalam gedung. Petugas keamanan itu kembali menyapanya, "Selamat datang kembali, Nona Line." Kali ini, Gruzeline menyadari sapaan itu, dan sebuah senyuman lega terukir di wajahnya. Ia telah menemukan jawaban atas kebingungannya. "Selamat malam, Pak," jawab Gruzeline, suaranya sedikit terengah-engah karena berlari. Ia buru-buru masuk ke dalam lift yang terbuka, tombol lantai tujuannya tertekan dengan cepat: lantai tempat unit apartemennya berada. Kejadian barusan masih terasa tak percaya. Ia tak menyangka pria yang telah menolongnya, Rafael, tinggal di gedung yang sama. "Suatu kebetulan yang... membingungkan," gumamnya, tatapannya tertuju pada pantulan dirinya di dinding lift yang berkilau. Dari balik pintu lift khusus pemilik gedung, Rafael dan Timothy mengamati Gruzeline yang kembali masuk. Mereka telah menunggu di sana, menyiapkan rencana selanjutnya. Timothy bertanya dengan nada penuh teka-teki, "Mungkinkah dia akan kembali menemui kita?" Rafael menggeleng pelan, matanya tetap terpaku pada layar monitor kecil yang menampilkan pergerakan Gruzeline di dalam lift. "Tidak, dia berhenti di lantai sembilan." Ia melihat dengan jelas Gruzeline membuka pintu salah satu unit apartemen di lantai itu. Seutas senyum licik mulai mengembang di bibirnya. "Aku baru menyadari," gumam Rafael, suaranya rendah dan penuh arti, "bahwa dia berada di tengah-tengah kita selama ini." Ambisi berkilau di matanya yang gelap, mengungkapkan rencana yang tersembunyi di balik senyum misterius itu. . . . Di dalam unit apartemennya yang terasa sunyi dan sedikit berantakan, Gruzeline mulai mencari ponsel lamanya. "Di mana aku meletakkannya?" gumamnya, jari-jari lentiknya membuka satu per satu laci meja rias di kamarnya. Bau parfum lama dan debu sedikit menusuk hidungnya. Kotak-kotak perhiasan dan aksesoris berserakan, menunjukkan betapa sibuknya ia akhir-akhir ini. "Akhirnya!" Seru Gruzeline lega saat menemukan ponsel lama itu tersembunyi di balik tumpukan buku dan majalah. Ia segera mengaktifkan perangkat itu. Syukurlah, kontak-kontaknya, termasuk nomor Madam May, masih tersimpan rapi. "Tapi, jika aku menghubunginya sekarang, dia pasti sedang beristirahat," gumamnya ragu, jari-jarinya sudah melayang di atas ikon panggilan. Bayangan wajah Madam May yang ramah terlintas di benaknya. Gruzeline memutuskan untuk menghubungi Madam May besok pagi saja. Malam ini, ia butuh istirahat. Ia berencana membersihkan diri, menikmati mandi air hangat yang menenangkan, sebelum meringkuk di tempat tidur yang nyaman dan membiarkan lelahnya sirna dalam tidur yang nyenyak. . . . Mentari pagi menyinari gedung apartemen mewah tempat Gruzeline tinggal. Ia bergegas, tak sempat menghubungi Dion atau Madam May; ponsel lamanya—sebuah barang antik yang setia menemani—tiba-tiba mati total. Kecemasan mulai menggerogoti hatinya. Hari ini, ia harus sampai di kafe MayOn tepat waktu. Setelah berpakaian seadanya, Gruzeline melesat keluar dari unit apartemennya. Di dalam lift, cermin dinding memantulkan wajahnya yang sedikit kusut, rambutnya masih berantakan karena terburu-buru. Ia membenarkannya seperlunya, napasnya memburu. Ting! Pintu lift terbuka. Gruzeline melangkah keluar, menyapa satpam yang berjaga dengan senyum ramah, "Pagi, Pak." "Pagi kembali, Nona Line. Selamat menjalankan aktivitasnya," jawab satpam itu, ramah seperti biasanya. Aroma kopi dari kedai kecil di dekat pos satpam menguar, menambah semangat paginya. Gruzeline mengangguk, langkahnya tergesa. Ia berniat mencari taksi menuju kafe Dion. Namun, saat kakinya baru melangkah keluar lobi, sebuah mobil mewah berwarna merah menyala berhenti tepat di depannya. Timothy, dengan senyum tipisnya, keluar dari mobil itu untuk menjemput Rafael. Gruzeline hanya membalas sapaan Timothy dengan anggukan kecil, namun tatapan Rafael yang tajam—terpantul di kaca pintu lobi yang berkilau—menyejukkan tulang punggungnya. Ada sesuatu yang membuatnya merinding, sebuah firasat yang tak menyenangkan. Ia buru-buru meninggalkan lobi, mencari taksi yang diharapkan segera datang. Gruzeline mengetuk-ngetuk jari jemarinya di jam tangan sederhana yang melingkar di pergelangan tangannya. Matahari pagi semakin meninggi, membuat keringat tipis mulai membasahi dahinya. Ia terus memandangi jalanan, berharap taksi segera muncul. Tiba-tiba, mobil Rafael melintas, lalu berhenti tepat di depannya. Kaca mobil bagian belakang terbuka perlahan, memperlihatkan wajah Rafael yang tampan namun tampak dingin. "Sedang apa kau di pinggir jalan, Nona Gruzeline?" tanya Rafael, suaranya datar, tanpa sedikitpun nada ramah. Gruzeline tersentak, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. "Aku sedang menunggu taksi," jawabnya pelan, berusaha agar suaranya tetap tenang. "Kau ingin berangkat bersama kami? Aku akan mengantarmu ke tujuanmu," tawar Rafael, nada suaranya masih datar, tanpa sedikitpun menunjukkan kesungguhan. Gruzeline menggeleng cepat. Ia tak ingin kembali berhutang budi pada pria itu. "Tidak perlu, Tuan. Tapi, bolehkah saya tahu, di mana Anda membetulkan mobil saya?" tanyanya, berusaha untuk tetap sopan. Rafael melirik jam tangan mewahnya—sebuah Rolex yang berkilauan di bawah sinar matahari—lalu berkata, "Maaf, Nona Gruzeline, sepertinya aku harus segera pergi." Kaca mobil kembali tertutup dengan bunyi klik yang tegas. Mobil itu melaju meninggalkan Gruzeline yang tercengang di pinggir jalan. Keheranan dan sedikit kekesalan bercampur aduk dalam dirinya. "Ada apa dengan pria itu?" gumamnya, menatap mobil yang menjauh. Ia hanya menanyakan keberadaan mobilnya yang sedang diperbaiki. Mengapa Rafael menghindari pertanyaannya? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan? Pikiran Gruzeline dipenuhi tanda tanya. . . . Gruzeline memasuki kafe MayOn dengan langkah gontai, wajahnya pucat pasi. Aroma kopi yang biasanya menenangkan, kini terasa hambar. Ia berjalan menuju meja kasir tempat Dion duduk, suaranya bergetar saat memanggil, "Dion..." Dion, yang tengah menghitung uang di laci kasir, langsung menoleh. Keningnya berkerut dalam-dalam. Ia tak melihat mobil mewah Gruzeline yang biasanya terparkir di depan kafe, dan ekspresi wajah Gruzeline jauh dari biasanya. "Gruzeline, ada apa?" tanyanya, panik mulai menyelubungi suaranya. Dion segera menghampiri Gruzeline. Tatapannya tertuju pada kening Gruzeline yang tertutup kasa putih tipis, menunjukkan bekas luka. "Kau terluka?" tanyanya lagi, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Gruzeline mengangguk, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kemarin, setelah pulang dari klub, aku mengalami kecelakaan. Seseorang menolongku, tapi… mobilku, ponselku, tasku dan semua isinya hilang entah ke mana," katanya, suaranya bergetar menahan isak tangis. Dion membelalakkan matanya, kaget dan khawatir bercampur aduk. "Benarkah? Kau tidak apa-apa? Apakah ada luka lain?" tanyanya, benar-benar cemas melihat kondisi Gruzeline. Bukan hanya Dion yang terkejut. Para pekerja kafe yang tengah mempersiapkan meja dan kursi untuk membuka kafe, juga menoleh, menatap Gruzeline dengan penuh perhatian. Gruzeline menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Tidak ada luka lain, tapi… bisakah kau mengantarkanku ke bank? Aku harus memblokir semua akses kartu ATM-ku," pintanya, suaranya masih bergetar. Tring! Deringan lonceng kecil di atas pintu kafe berbunyi, menandakan kedatangan pengunjung pertama di pagi itu. Semua orang di kafe, termasuk Dion dan para pekerja lainnya, menoleh. Seorang pria paruh baya dengan tas kerja di tangannya berdiri di ambang pintu, senyum ramah terukir di wajahnya. "Selamat pagi," sapanya, suaranya ramah dan hangat. "Apakah sudah buka?" tanyanya, matanya mengamati suasana kafe yang masih sedikit sepi. Gruzeline, berusaha menyembunyikan kesedihannya, menjawab dengan senyum tipis, "Ya, kami sudah buka." Pria itu mengangguk, lalu berjalan menuju salah satu meja di dekat jendela. Ia memesan secangkir kopi dan sepotong kue untuk sarapan paginya. Aroma kopi yang baru diseduh tercium harum, sedikit mengurangi beban pikiran Gruzeline. Gruzeline masuk ke pantry, siap membuat kue pesanan pelanggan tersebut. Gerakan tangannya masih sedikit gemetar, tapi ia berusaha fokus pada pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ia mendengar Dion berkata, "Aku akan mengantarmu ke bank saat jam makan siang nanti." Kata-kata Dion bagaikan obat penenang di tengah badai yang menerpanya. Sebuah senyum tulus akhirnya terbit di wajah Gruzeline, memberikan sedikit harapan di tengah kesedihannya."Kau tidak boleh membawanya. Dia tanggung jawabku," tolak Dyon tegas, tubuhnya menegang saat Rafael hendak menggapai Gruzeline yang terbaring lemah di sofa merah tua itu. Aroma alkohol dan parfum wanita masih tercium kuat di udara klub malam yang remang-remang. Lampu-lampu neon berwarna-warni berkedip-kedip, kontras dengan tatapan dingin Dyon. Rafael tersenyum sinis, sebuah lengkungan tipis di bibirnya yang menyingkapkan gigi putihnya. "Aku tahu kau mengetahui isi perjanjian itu, jadi... jangan menghalangiku." Suaranya rendah, berotoritas, menggelegar di telinga Dyon. Dyon terdiam, matanya tertuju pada Madam May yang masih terduduk di kursi, wajahnya pucat pasi. Madam May tampak seperti patung porselen rapuh, ketakutan tergambar jelas di matanya. Kekuasaan Rafael, yang menyeramkan bagai bayangan kelam, benar-benar telah melumpuhkannya. "Kuharap, kau tak melakukan apa pun padanya. Dan, jangan melakukan hal yang tidak disukainya," lirih Madam May, suaranya hampir tak terdengar di ten
Entah sudah gelas keberapa kopi pahit yang Gruzeline teguk di kafe milik Dyon. Aroma kopi robusta yang kuat tak mampu mengusir kepahitan yang menyesakkan dadanya. Perjanjian yang ditulis Rafael, seorang pria yang licik dan berkuasa, telah membuatnya benar-benar tak berdaya. Dyon, pemilik kafe yang tampan dan tenang, sudah mengetahui siapa dalang di balik jebakan ini. Namun, ia hanya bisa terdiam, tak percaya bahwa pria yang memiliki kekuasaan besar di negara ini ternyata selicik itu. Suasana kafe yang biasanya ramai terasa sunyi bagi mereka berdua. "Huft..." Dyon menghela napas panjang, mengulurkan tangan meraih cangkir kopi yang sudah kosong. Sama seperti Gruzeline, ia juga telah menghabiskan beberapa gelas kopi untuk menemani wanita itu yang tengah frustasi. Frustasi yang kini juga ia rasakan. Secangkir kopi demi secangkir kopi, tak mampu menghapuskan kegelisahan yang menghimpit dada mereka. "Hik!" Gruzeline tiba-tiba cegukan, efek dari terlalu banyak minum kopi. Wajahnya pucat, m
“Bagaimana bisa?! Apa yang sudah kau lakukan?!” Dyon menggebrak meja, amarahnya meledak saat matanya menangkap isi surat perjanjian itu. Dokumen itu, tercetak rapi di atas kertas putih bersih, kini tampak seperti kutukan baginya.Gruzeline, pucat pasi seperti mayat hidup, gemetar tak terkendali. Rambutnya yang biasanya terurai rapi kini berantakan, mencerminkan kepanikan yang menguasainya. Bukan hanya surat perjanjian itu yang membuatnya takut, tetapi juga tatapan Dyon yang bagai bara api siap membakarnya habis. “Aku…,” lirihnya, suara tertahan di tenggorokan, takut untuk jujur pada pria yang selama ini selalu melindunginya.“Jangan terlalu keras padanya, Dyon,” Madam May, ibu Dyon, tiba di tengah ketegangan. Wanita itu, yang biasanya berdandan glamor di klub malamnya, kini tampak lelah namun tetap berwibawa. Ia baru saja pulang, tergesa-gesa meninggalkan pesta mewah para sosialita, setelah mendengar kabar Gruzeline datang dengan surat perjanjian yang tak masuk akal itu. Aroma
Rafael kembali menarik tangan Gruzeline, jari-jarinya bertaut erat pada pergelangan tangannya. Gruzeline mencoba menolak, namun Rafael lebih kuat. "Jangan terus menolakku, aku tahu kau menginginkannya juga," bisik Rafael, suaranya berat dan sensual, membuat bulu kuduk Gruzeline merinding.Rafael benar. Gruzeline memang menginginkannya, namun kebingungan dan rasa malu menghalanginya untuk merespon. Melihat Gruzeline tak lagi melawan, Rafael memperhalus gerakannya, sentuhannya lembut namun penuh gairah. "Ikuti saja nalurimu," ucapnya, suaranya seperti mantra yang melelehkan pertahanan Gruzeline.Di dalam walk-in closet yang remang-remang, dikelilingi oleh aroma parfum dan kain-kain mewah, percintaan mereka bersemi. Gruzeline merasakan sensasi baru, sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tubuhnya bergetar, dan ia menemukan dirinya tenggelam dalam pusaran gairah yang membara."Oh, shit! Aku suka saat kau bersikap berani," umpat Rafael, suaranya serak saat Gr
Rafael membatalkan rencana kembali ke kantor setelah mengantar ibunya pulang. Perjalanan belanja bersama ibunya tadi terasa seperti siksaan. Bayangan Gruzeline yang mengenakan lingerie itu terus menghantuinya, membuat kepalanya berdenyut-denyut. Mobil mewahnya melaju dengan kecepatan tinggi, melewati jalanan kota yang ramai."Shit!" Umpatan kasar terlontar dari bibir Rafael berkali-kali di dalam mansion megahnya. Desain interior yang elegan dan mewah tak mampu menyembuhkan rasa frustrasinya. Ia tak bisa melakukan hal yang sama seperti saat ia mengambil keperawanan Gruzeline. Itu akan menimbulkan kecurigaan, dan Gruzeline bukanlah wanita yang mudah ditipu.Rafael membuka tabletnya, mengawasi unit apartemen Gruzeline melalui kamera tersembunyi yang telah ia pasang sebelumnya. Namun, wanita itu belum kembali dari berbelanja. Kegelisahan mulai menggerogoti pikirannya. "Di mana dia? Apakah dia pergi ke suatu tempat?" gumamnya, jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan gelis
"Rafael," suara Nyonya O'niel terdengar tegas, namun diselingi kelembutan khas seorang ibu. "Kapan kau akan mengenalkan kekasihmu, Rafael? Bukankah kau sudah berjanji akan membawanya saat adikmu kembali?" Ia menatap putranya dengan tatapan penuh harap dan sedikit cemas. Cahaya siang hari menerangi ruangan mewah itu, menciptakan suasana yang hangat namun sedikit tegang. Rafael, yang tengah sibuk dengan tabletnya, mengangkat wajahnya. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Tenang saja, Mama," jawabnya, suaranya terdengar lebih santai dan percaya diri daripada biasanya. Ia meletakkan tabletnya dengan lembut di atas meja, menunjukkan sikap yang lebih perhatian dari biasanya. Namun, Nyonya O'niel masih terlihat curiga. Ia mengenal putranya terlalu baik untuk percaya begitu saja. "Jangan sampai kau membawa wanita bayaran lagi, Rafael," peringatnya, suaranya sedikit meninggi. "Jika kau melakukannya, aku akan memintamu untuk langsung menikah dengan putri temanku!" Ancaman itu disampaikan dengan